Anda di halaman 1dari 14

Konsep pemikiran K.

H Abdurrahman Wahid terhadap


pendidikan islam di Indonesia serta relevansinya dengan
pendidikan saat ini
1. LATAR BELAKANG

Dalam situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap


berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya,
sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif.
K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil gusdur termasuk tokoh yang
banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang
terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah menyebabkan ia menjadi
tokoh kontroversial. Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat
menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan
tercapainya gagasannya itu. Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia
juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan
cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh
pembaru pendidikan Islam.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana biografi K.H. Abdurrahman Wahid?


2. Apa saja konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam
pendidikan?
3. Apa pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Mengenai Nilai-Nilai Pendidikan
Islam?
4. Bagaimana Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan Saat Ini?

3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui biografi K.H Abdurrahman Wahid
2. Untuk mengetahui konsep pemikiran-prmikiran K.H Abdurrahman Wahid
3. Untuk mengetahui pemikiran K.H Abdurrahman Wahid mengenai nilai-
nilai pendidikan islam
4. Untuk mengetahui relevansi pemikiran K.H Abdurrahman Wahid dengan
pendidikan saat ini
4. PENJELASAN ISTILAH

Biografi K.H.Abdurrohman Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar
Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah
Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti ‘Sang Penakluk’, sebuah nama yang
diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak
kejayaan Islam di Spanyol.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H. Wahid
Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama
(NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren
Tebuireng, Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren
Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan campuran
darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan kiai). Selain itu, trahnya
Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya adalah salah satu
dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Gus Dur menikah
dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada
Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah
Wulandari.

Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak
puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta.
Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan
dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di
bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat
tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.[1]

Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir


dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies.
Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk
mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama
tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan
sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya.
Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia
menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian
ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[2]

Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto
Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit
komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya
sejak lama.

KONSEP PEMIKIRAN K.H ABDURRAHMAN WAHID TENTANG


PENDIDIKAN ISLAM

1. Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan


hasrat dan niat dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan
dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya,
pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[3]

Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara
jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua
aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen
dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan
zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus
mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam
arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang
dipandang manfaat positif untuk perkembangan.
Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya
mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,
Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan
fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja
dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik
dan ideologi negara, sekalipun.

Konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada
keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta
didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu
penindasan.[4]Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah
kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang
diadopsi oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem
pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya,
sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran
tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran
Islam.

2. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang


mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan
dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga
akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan
Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat
pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[5]

Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan


manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral,
untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba
dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan
demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri
peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.

3. Kurikulum Pembelajaran

Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan


inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi
peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem
yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid,
diantaranya:

1. Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan


psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada
pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah
lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada
hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan).
2. Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented
sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan
inovatif pada diri peserta didik.
3. Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti
sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses
pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan
mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan
pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan
karakter (character building).

Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai
dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis
dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif,
kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan
selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan
dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[6]
4. Metode pembelajaran

Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan
Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk
secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai
metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat
Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.

Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di


pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan
juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem
pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak
didik.

5. Konsep pendidik

Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan
corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga
harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.

6. Konsep peserta didik

Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi
disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna
menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan
dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur
pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.

7. Evaluasi Pembelajaran

Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan


yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada
hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh
karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas),
seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.

1. Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Mengenai Nilai-Nilai


Pendidikan Islam

Pada dasarnya pendidikan islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan


perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam islam, yang disebut kemajuan itu
adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spiritual yang
keduanya ditujuan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Menurut Gus Dur, hukum islam harus mampu mengembangan watak dinamis bagi
dirinya, diantaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan
hukum nasional di dalam pembangunan ini. Watak dinamis ini hanya dapat
dimiliki, jika hukum islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal
duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan
pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi dimasa
kini.Menurut Gus dur, yang paling penting adalah bagaimana umat itu berlaku dan
bersikap secara islam. Tulisan tentang tarbiyah oleh Gus Dur tidak lebih sebagai
reaksi dari munculnya penggunaan istilah-istilah Tarbiyah pada lembaga-lembaga
pendidikan islam dan idiom-idiom islami.

Istilah tarbiyah yang berasal dari Bahasa Arab tersebut menurut Gus Dur banyak
digunakan sebagai istilah pendidikan. Di Negara asalnya kata tarbiyah mempunyai
arti umum. Jika ingin menunjuk pada makna pendidikan secara khusus, maka akan
ditambahkan kata lain. Seperti at-Tarbiyah as-Siyasiyyah , at-Tarbiyah ad-Diniyyah
dan sebagainya.

Pada saat tersebut manusia membutuhkan bantuan dari pihak lain,terutama orang
tua atau orang dewasa lainnya. Keadaan perlu bantuan, baik dari orang tua maupun
orang lain atau lingkungan sekitarnya sekitarnya adalah pendidikan dan belajar
yang didalamnya terdapat kegiatan latihan dan pembiasaan. Bahkan, tarbiyah yang
sudah menjadi istilah tersendiri , mengandung makna dan pengertian yang berbeda
secara filosofis dengan kata sepadannya, yaitu ta’dib, ta’lim, dan tadris.

Di Indonesia misalnya kesenjangan ekonomi, pemanfaatan sumber daya negeri


yang tidak merata, tingkat pengangguran tinggi konflik antar etnis, tawuran antar
pelajar, pertikaian antar pendukung dalam pemilu, baik daerah maupun pusat,
penistaan dan penodaan simbol-simbol agama dan kepercayaan, hingga penentuan
awal ramadhan dan awal syawal, termasuk yang akhir adalah penentuan arah kiblat,
serta beberapa fatwa majlis ulama’ Indonesia (MUI) yang seringkali berimplikasi
pada masyarakat Indonesia yang plural, semuanya memiliki potensi keberadaan dan
potensi konflik jika tidak diiringi dengan sebuah pemahaman akan keberadaan
tersebut. Sehingga menghadirkan pendidikan yang berbasis multikultural adalah
sebuah keniscayaan, bahkan sebuah kebutuhan mutlak.Dalam konsep Gus Dur,
pendidikan dalam hal ini pendidikan islam harus berbasis pada penghargaan dan
penghormatan terhadap perbedaan masyarakat.

Konsep Gus Dur tersebut seperti yang di ungkapkan oleh Muhammad Bakir, adalah
ketika mencoba membuka wacana keberbedaan dalam pola bermazhab kepada
kyai, yang semula ”syafi’iyah” murni dan tidak boleh bercampur oleh pendapat
selain mazhab syafi’I, pelan-pelan mulai bergeser pola pikirannya untuk mengkaji
diluar mazhab syafi’i.

Selain itu, upaya Gus Dur untuk mengatakan mengenalkan masalah aktual dengan
cara pandangan agama kepada kyai merupakan bentuk riil dari usaha Gus Dur untuk
memadukan religiusitas agamawan dengan persoalan kebangsaan. Diantaranya
adalah dinamika multikultural pluralitas bangsa Indonesia, untuk dicarikan
jawabannya melalui pendidikan islam.

1. Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan Pendidikan


Saat Ini

Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan,


khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam
ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih
dipertahankan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Artinya, dengan adanya
pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah
yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot
yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai
kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam saja,
namun juga berlaku untuk semua agama.

Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain
itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik
mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang
satu ini nampaknya sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat
ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun
peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia
ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of
knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta pembentukan
karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini
dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan
berkarakter.

Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan


perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski
pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam,
namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai
pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula
diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.
TEORI TERKAIT PEMIKIRAN GUS DUR

Teori Pendidikan Menurut Emha Ainun Najib

Menurut Emha Ainun Nadjib, pendidikan adalah menemani anak didik untuk
mengetahui kehendak Tuhan terhadap dirinya tersebut. Cara pertama yang harus
ditempuh untuk mengetahui kehendak Tuhan adalah mengenal jati dirinya.
Sesungguhnya Tuhan sudah memberikan seperangkat pengetahuan, begitu lahir ke
dunia - ia sengaja dilupakan oleh Tuhan. Hikmahnya, agar manusia tersebut
senantiasa mencari, meneliti dirinya sendiri sampai menemukan (keagungan)
Tuhan. Paradigma pembelajaran yang ada hingga saat ini masih cenderung
'mengimpor' pengetahuan dari luar dirinya. Akibatnya pengembangan potensi
kemampuan nalar akal dan kreativitas mengalami kemandegan. Oleh karena itu,
menurut Emha pendidikan harus mengenal sangkan paran, yaitu dimana tempat
berpijak dan kemana harus melangkah ke tujuan sejati.

Selain itu problem yang terjadi di dalam dunia pendidikan adalah rancunya
kerangka epistemologi yang menjadi basis keilmuan yang ada. Oleh karena itu,
tidak heran ketika masih banyak dijumpai adanya perdebatan seputar objek kajian
dalam pendidikan. Istilah epistemologi itu sendiri mempunyai makna yang luas dan
kompleks. Ia bisa dipahami sebagai ilmu yang mengkaji tentang asal usul, susunan,
metode, dan sahnya pengetahuan, atau bisa juga diartikan sebagai ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan.

Epistemologi jika dikaitkan dengan pendidikan maka ia akan bersentuhan dengan


masalah kurikulum, terutama dalam hal penyusunan dasar-dasar (epistemologi)
kurikulum, termasuk di dalamnya berkaitan dengan metode pembelajaran yang
digunakan, dan segala proses keilmuan yang ada di dalam lembaga pendidikan.

Sedangkan pemilihan kata ‘otentik’ yang disematkan pada pendidikan merupakan


harapan agar pendidikan dewasa ini kembali kepada makna yang sesungguhnya.
Otentik inilah yang memandu pendidikan agar menghasilkan manusia, menurut
Emha, yang senantiasa mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya,psiche-
nya, rohaninya. Karena kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini menghendaki
manusia tidak benar-benar mengenali diri sebagai dimensi yang lebih substansial,
serta cenderung menjadi robot yang dikendalikan oleh pihak lain.

HASIL PENELITIAN LAIN YANG RELEVAN

Judul penelitian :

EKSISTENSI PESANTREN DAN KONTRIBUSINYA

DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Peneliti :

Ricky Satria W.

Mahasiswa Program Magister Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam, Prodi


Pendidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Secara sosiologis, menurut Thomas O’Dea (1987: 132), ada dua peran lembaga-lembaga
keagamaan seperti pesantren, yaitu: peran sebagai directive system dan defensive
system.Dalam peran yang pertama (directive system), agama ditempatkan sebagai referensi
utama dalam proses perubahan. Dengan demikian, agama akan dapat berfungsi sebagai
supremasi moralitas yang memberikan landasan dan kekuatan etik-spiritual masyarakat
ketika mereka berdialektika dalam proses perubahan. Dalam peran yang kedua (defensive
system), agama menjadi semacam kekuatan kehidupan yang semakin kompleks di tengah
derasnya arus perubahan. Masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai religius akan
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa kekhawatiran serta
keragu-raguan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dari analisis tersebut bisa
dipahami bahwa pesantren tetap menjadi primadona masyarakat dalam membendung
derasnya arus globalisasi dan budaya budaya barat yang menggurita. Sehingga prospek
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam kedepan masih tetap cerah dan dibutuhkan.
Pesantren telah menerapkan pendidikan karakter dan secara konsisten mampu
membentengi setiap pribadi santri terhadap derasnya budaya Barat yang masuk ke
Indonesia. Selain itu, pesantren juga menerapkan pengawasan yang ketat menyangkut tata
norma, baik peribadatan maupun norma sosial. Selanjutnya, kiprah pesantren di tengah-
tengah masyarakat dapat terwujud melalui peran-peran strategis pesantren. Peran strategis
tersebut tercermin dalam fungsi pesantren seperti dikemukakan Fauzan (2015: 168)
berikut: Pertama: Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bertujuan untuk
mentransfer dan mengembangkan ilmu-ilmu agama. Kedua: Pesantren sebagai lembaga
pengkaderan yang telah berhasil mencetak kader umat dan kader bangsa. Ketiga: Pesantren
sebagai lembaga sosial yang berkomunitas dengan lingkungan sosial di lingkungannya,
mengajarkan bagaimana hakikat kehidupan. Keempat: Pesantren sebagai agen reformasi
sosial yang menciptakan perubahan dan perbaikan dalam kehidupan masyarakat.
mengajarkan anak didik (santri) hidup

KESIMPULAN

Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara
pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh
pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam
konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk
memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam
Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif
(pendewasaan), untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai
seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada
semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses
pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.

Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya,


orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik.
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran
dipesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan
juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem
pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak
didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak
kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen
moderN.

DAFTAR PUSTAKA

Faisol.Gus Dur dan Pendidikan Islam.Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013.

Al-Brebesy,Ma’mun Murod.Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien


Rais Tentang Negara.Jakarta: Raja Grafindo, 1999.

parurojji ,M.Bukhori.Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-


Raziq.Bantul: Pondok Sanusi,2003.

[1] M. Bukhori parurojji, Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq
(Bantul: Pondok Sanusi 2003), h. 60-62.

[2] Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan
Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 99.

[3] Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013),
h.37.

[4] Ibid., h.115.

[5] Ibid., h.118

[6] Ibid, hlm. 28.

Anda mungkin juga menyukai