Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan Islam Integratif

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF:


Landasan Teologi-Filosofis Transformasi Universitas Islam Negeri

Ahmad Muthohar
Universitas Islam Negeri (UIN) Samarinda
Email : ahmad.muthohar@iain-samarinda.ac.id

Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan
human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan
kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan
etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.1 Berangkat dari arti penting
pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.2
Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi
pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan
ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-
insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam
pembangunan kehidupan yang berkeadaban.3 Dari pemikiran ini, maka pendidikan
merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta
potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).4
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan
pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban
agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan
manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca,
menulis, dan mengajar.(QS. al ‘Alaq: 1-5).5 Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan
pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. al Tahrim:6). Sebagai sebuah ibadah,
maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam
memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. al
Mujadalah:11, al Nahl:43, Al Taubat: 22.). Keempat, Islam memberikan landasan
bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education).
Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang
kibur). 6 Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan
terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah
sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut
ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pentingnya pendidikan dengan landasan
konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak

1 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000,

Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Halaman 29.
2 Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius,

2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Halaman 16.
3 Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 2004, halaman v


4 Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, Halaman 16.
5 Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu,

eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
6 Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, ihya Ulumuddin, kairo, 1969, halaman 5 dan 89.

1
Pendidikan Islam Integratif

zaman nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam 7,
meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi
kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad
SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju
masyarakat yang berbudaya.8 Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam
saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar
biasa.9 Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi
transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi
perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi
teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing). Munculnya berbagai
lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya
mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti
kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini.10 Prestasi besar Islam era inilah yang
membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western
Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam
The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan,
peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang
pendidikan kepada dunia barat.11
Namun bukan maksud penulis untuk bernostalgia dengan romantisme masa lalu
kejayaan Islam. Hal yang lebih penting dipikirkan adalah bagaimana kondisi pendidikan
Islam kekinian, apakah telah mencapai prestasi gemilang sebagaimana yang pernah di
toreh masa lalu atau belum?. Jika belum, sudahkah kita mampu mengindentifikasi apa
masalahnya? Bagaimana solusinya?, dan upaya-upaya kontrukstif apa yang dapat
dilakukan. Tulisan ini dimaksudkan untuk dapat memberikan sedikit sumbangsih
pemikiran tentang pemetaan terhadap pendidikan Islam kekinian, melakukan
identifikasi problem-problem yang dihadapi dan upaya-upaya kontruksi apa yang bisa
dilakukan?.
Simtom Dikotomik & Tradisi Taqlid; Problem Mendasar Pendidikan Islam
Kontruksi historis Islam yang spektakuler pada masa lalu pada perkembangan
selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak sejak
ketika pada 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan

7 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik,Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal. 65.
8 Fazlurrahman mengindikasikan bahwa karakteristik masyarakat Arab pra Islam adalah suatu pra kondisi bagi
perkrmbangan Islam sebagai sarana yang menyediakan aktivitas ekspansi Arab yang mencengangkan dan sarana terjadinya
perubahan revolusioner. Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979, halaman 1-2. Baca juga, Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al Qur’an, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997 dan Konsep –konsep
Etika Relegius, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1993.
9 H.A.R.Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press,1953, halaman 90.
10Dalam rentan Abad 7-11 M, Islam mencapai kejayaan sehingga menjadi kiblat dunia barat, terutama Eropa

dan spanyol. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam multi disiplin ilmu. Selain keempat madzhab sebagai
teolog, muncul nama Al Tabari (w 923) ahli tafsir orisinil al Qur’an. Bidang tauhid dan sufistik, kita kenal Hasan al Basri
(w 728) dan Asy’ari (w. 935). Juga muncul para ilmuwan di bidang filsafat dan sains seprti biologi, matematika, kimia,
kedokteran. Mereka adalah filsuf sejati al Kindi (800-870), al farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1033 M), Ibnu Rusyd, al
Jahiz (w. 255 H) ahli sastra Arab, Al Mas’udi (lahir 280 H/893 M) ahli filsafat dan geografi. al Razi (303H/925 M) ahli
fisika, matematika, astronomi, logika, linguistic, dan kimia. Kedokteran. Karya al Razi ini menjadi sumber paten bidang
kedokteran Barat sampai abad ke 18, al Khawarizmi seorang pakar matematika. Kita juga kenal Ibn Haitam, ahli cahaya.
Ibn Hazm , (lahir 384 H/994 M) ahli sejarah. Ke belakang lagi, ada al Mawardi ( w. 1058) ahli dalam teori politik dengan
maha karyanya yang terkenal, al ahkam al shulthaniyah. Nama besar al Ghazali (w. 1111 M) yang dikenal barat dengan istilah
orang terpenting kedua dalam Islam setelah Muhammad, ahli berbabagai hal mulai fiqh, filsafat, kalam dan tasawuf dan
masih banyak lagi pemikir-pemikir multi ilmu lainnya.
11 Baca selengkapnya dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964,

halaman 61-62. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta, Bakti Aksara Persada, 2003, halaman 15-16.

2
Pendidikan Islam Integratif

Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada
imperialisme Barat atas negara-negara Islam.12 Pergulatannya dengan dunia barat
bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih
ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam.13 Setidaknya
terdapat dua problem internal paling mendasar menurut beberapa pemikir. Problem ini
secara umum menjangkiti umat Islam sehingga menyebabkan dunia pendidikan juga
mengalami kemunduran yaitu merebaknya simtom dikotomik dan tradisi taqlid.
Abdurrahman Mas’ud yang mempopulerkan perlunya pendidikan nondikotomik
–untuk tidak menyebut hanya dia yang punya gagasan ini- lewat karya Menggagas
Pendidikan Nondikotomik, menuturkan bahwa sampai saat ini ada kesan umum bahwa
Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran.
Indikatornya adalah mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang
serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan cara
berfikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu
agama versus ilmu non agama (Secular Sciences) dan bentuk – bentuk dikotomi
lainnya.14 Paradigma ini dipengaruhi bahwa sains dan teknologi sebagai lambang
peradaban dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notobene negara
nonmuslim. Akibatnya, pemahaman penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan
dominasinya telah menyisihkan umat islam yang semakin dalam rasa terbelakang dalam
bidang sains, teknologi modern, informasi, ekonomi dan kultur (inferior complex).
Sintom dikotomik ini bukan hanya muncul dari lembaga pendidikan Islam, tetapi telah
menjangkiti seluruh lapisan Islam.15
Ziaudin Sardar mengungkapkan semangat penalaran dalam intelektualisme
Islam masa lalu sehingga mencapai zaman keemasan kini telah digantikan dengan
tradisi mengekor (taqlid).16 Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-
penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-
pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh
terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia
yang dimotori barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang
masuk ke dunia Islam.17 Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu

12 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, halaman 110.


13 Dalam skala makro dan tak langsung, Faisal Ismail menyebutkan beberapa faktor pemicu kemunduran
peradaban Islam terutama di dunia pendidikan pertama, pada masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad dan
Bani Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol), terjadi proses pengeroposan nilai-nilai moral, sosial dan politik dalam
bentuk meluasnya cara hidup hedonis, materialistis dan pragmatis dalam kehidupan para khalifah. Kedua, sejak peristiwa
penghancuran baghdad, umat Islam di seluruh dunia dijajah oleh kekuatan kolonialis-imperialis Barat. Ketiga, Islam yang
datang dan menyebar ke berbagai belahan dunia adalah Islam pasca Baghdad dan Pasca Cordova yang telah kehilangan
elanvital, potensi ilmiah dan dinamika intelektualitasnya. Keempat, kondisi sisio-ekonomi yang belum menggembirakan.
Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Op.Cit., halaman 15-16.
14 Baca selengkapnya: Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Op.Cit.
15 Menurut Abdurrahman Mas’ud, problem ini lebih dipicu adanya polarisasi yang tajam antara sunni dan syi’ah,

Pergolakan ini kemudian berlanjut ke dalam lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Nizamiyyah di Baghdad
(459H/1069 M) sebagai simbol pelestarian sekte, madzhab dan aliran keagamaan, lengkap dengan keyakinan
keagamaannya. Akibatnya, Madrasah ini hanya dirancang dengan kurikulum fikih an sich. Jadi tujuan madrasah ini secara
jelas dimaksudkan untuk memperkuat ideologi Syafi’I Asy’ari dan membendung serangan dari pihak lain seperti
Hambaliyyah, Hanafiyah, syi’ah, mu’tazilah yang berseberangan ideologi keagamaan. Namun Abdurrahman juga
memberikan informasi seimbang bahwa kemenangan sunni atas syi’ah dan mu’tazilah dalam rangka mengikis ideologi
hellenisme yang mengandarkan rasio yang dikhawatirkan menyebabkan demoralitas keberagaman saat itu, sehingga tidak
memperkenankan mata pelajaran filsafat yang mengandalkan rasio dan logika yang berupakan sumber ilmu-ilmu sains.
16 Baca Tulisan Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh, Pemikiran

Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, 2003, halaman 406.


17 Lihat C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991, halaman 5.

3
Pendidikan Islam Integratif

Sulayman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political


Science’, (1985) sebagaimana dikutip Rahman berkomentar bahwa krisis multidimensi
yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain : Kemunduran
umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah),
stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad
umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the
absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma
dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic
civilization).
Abdurahman Assegaf mengutarakan bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor
penyebab dikotomi dalam pendidikan Islam. Pertama, faktor perkembangan
pembidangan ilmu. Menurutnya, pembidangan ilmu yang bergerak sedemikian cepat
dalam berbagai cabang disiplin ilmu bahkan anak cabang menyebabkan jarak antara
ilmu dan filsafat sebagai induknya, ilmu agama dengan ilmu umum semakin jauh.
Akibat lebih jauh adalah munculnya kecenderungan spesialisasi, dimana seseorang
hanya mengetahui bidang garapannya an sich. Kedua, faktor historis perkembangan
Islam ketika mengalami abad kemunduran yang di dominasi fikih. Perkembangan
berikutnya, ilmu agama dianggap fardlu ‘ain, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu
kifayah. Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu
melakukan pembenahan akibat kompleksnya problem ekonomi, politik, hukum, sosial
dan budaya yang dihadapi umat Islam.18
Sampai disini kita mampu mengetahui peta umat Islam dan pendidikannya
dalam era global serta identifikasi problem sebagai penyebab kemunduran Islam.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana upaya kontrukstif yang bisa dilakukan?
Pendidikan Integratif; Upaya Rekontruksi Pendidikan Islam
Dari ilustrasi problematik di atas, maka harus ada upaya-upaya rekontruksi
untuk meninjau ulang format pendidikan Islam. Betapapun, simtom dikotomik dan
tradisi taqlid yang tidak memberdayakan pendidikan Islam harus segera dihentikan,
sehingga umat Islam tidak terus menerus berada dalam situasi keterpurukan.
Rekontruksi di bidang pendidikan diharapkan mempunyai dampak perbaikan terhadap
keterpurukan sosial, ekonomi, politik, budaya yang dialami umat Islam. Pendidikan
Integratif adalah salah satu upaya rekontruksi format pendidikan Islam. Kehadirannya
diharapkan selain kembali membagun paradigma sesuai universalitas ajaran Islam yang
tidak mengenal istilah dikotomik, juga diharapkan mampu mendongkrak posisi umat
Islam menghadapi modernitas, terutama bidang sains dan teknologi yang masih cukup
tertinggal.
Pendidikan Islam intergratif merupakan format pendidikan yang dibangun atas
dasar pengembangan struktur keilmuan atas dasar paradigma yang terpadu, yakni
keterpaduan antara kebenaran wahyu (burhan qauli) dengan bukti-bukti yang
ditemukan dialam semesta (burhan kauni). Model pendidikan Islam ini berupaya
memadukan dua hal yang sampai saat ini masih diperlakukan secara dikotomik, yakni
mengharmoniskan kembali relasi antara Tuhan-alam, dan Wahyu-akal yang telah
mengakibatkan keterpisahan antara ilmu agama dan ilmu agama. Paradigma dikotomik
semacam inilah yang menyebabkan adanya pemahaman bahwa ilmu fardlu ain adalah
ilmu agama yang berkonsekuensi kewajiban individual dan ilmu fardlu kifayah adalah

18 Abdurrahman Assegaf dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

2005, halaman viii-x

4
Pendidikan Islam Integratif

ilmu umum yang berkonsekuensi kewajiban kolektif, dimana jika telah ada yang
menguasainya maka tidak ada kewajiban untuk menguasainya. Hal inilah yang dalam
perkembangannya menyebabkan umat Islam tertinggal dalam penguasaan ilmu-ilmu
umum, terutama sains dan teknologi. Kita sebagai umat Islam cenderung lupa bahwa
agama adalah akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal (al din ‘aql, la
Dina li man la ‘aql lahu). Hadist ini mengisyaratkan bahwa dalam pendidikan Islam
ada keterpaduan antara etos intelektualisme dan rasionalisme. Atas dasar ini, maka
orientasi dan sistem pendidikan Islam seharusnya tidak perlu terjadi ambivalensi
dikotomis antara agama dan sains, tetapi bagaimana mengintegrasikannya secara
terpadu.
Studi tentang pendidikan integratif setidaknya memuat dua format integrasi,
yakni integrasi ilmu dan integrasi pendidikan Islam secara kelembagaan. Kedua format
integrasi ini saking terkait sebab hubungan keduanya bersifat kausalitas. Pertama,
integrasi ilmu sangat penting sebab selama ini dikotomi struktur keilmuan telah
menyebabkan dikotomi kelembagaan pendidikan Islam. Kajian tentang dikotomi ilmu
biasanya bermula dari kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan adalah
pemilik tunggal ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan yang diberikan kepada
manusia adalah bagian terkecil dari IlmuNya, namun manusia diberikan kebebasan
untuk meraih sebanyak-banyaknya. Dari keyakinan semacam ini pada puncaknya
melahirkan dikotomi ilmu dengan istilah antroposentris dihadapkan dengan istilah
teosentris.19 Pengelompokan ini kemudian berlanjut secara epistemologi bahwa
antroposentris bersumber dari manusia yang berciri akal dan rasio sedangkan teosentris
berasal dari Tuhan dengan ciri wahyu sehingga muncul pertentangan dua jenis ilmu,
yaitu agama dan filsafat. Lebih parah lagi, pertentangan ini kemudian diprovokasi
fanatisme beragama yang menghasilkan Barat versus Timur, dengan asumsi filsafat
yang cenderung fisik dan empiris lebih banyak dipelajari di barat sedang agama yang
metafisik lebih banyak dipelajari di Timur. Ironisnya, muncul anggapan bahwa ilmu
agama lebih sakral dan lebih tinggi kedudukannya dari pada ilmu umum yang
diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.20
Dalam struktur ilmu keIslaman, mestinya pertentangan tersebut tak perlu terjadi.
Sebab, untuk bisa memfungsikan ilmu teosentris haruslah ditafsirkan, diinterpretasikan
dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dengan menggunakan akal.
Demikian juga, wahyu merupakan ilmu pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh
pikiran manusia. Wahyu secara konsepsional juga bersumber dari kemampuan akal
budi, yaitu kemampuan berfikir murni bersumber dari hati nurani manusia manusia
yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan. Lagi pula antara wahyu dan filsafat secara
epistemologi berada dalam kawasan yang sama, yaitu kawasan illata, sebuah kawasan
yang sangat abstrak.. Penjelasan tersebut menunjukkan sebenarnya tidak ada perbedaan
yang dikotomik di dalam ilmu pengetahuan. 21 Maka wajar, jika Azyumardi menyebut
bahwa adanya dikotomi ilmu lebih merupakan kecelakaan sejarah (historical accident)
sebagai proses politik dan ideologisasi ilmiah yaitu ketika ilmu umum yang empiris,
rasio dan logika mendapat serangan hebat dari fuqaha.22

19 Azymardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998, hal. 94.
20 Azyumardi Azra , ‘Rekontruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam’ dalam Abdul Munir Mulkhan et.al,
Releguitas Iptek, Yogyakarta, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga-Pustaka Pelajar, 1998, halaman 87.
21 Baca penjelasan selengkapnya dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2005, halaman 208-215.


22 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta,

SIPRESS, 1993, halaman 2. Baca juga: Azyumardi Azra, Op.Cit., halaman 87.

5
Pendidikan Islam Integratif

Kedua, adanya dikotomi ilmu berimbas pada kemunculan dikotomi


kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya, muncul istilah sekolah agama dan
sekolah umum. Kemunculan sekolah umum versus madrasah sebagai wakil sekolah
agama merupakan wujud dikotomi lembaga pendidikan Islam. Di Indonesia, praktek
dikotomi semacam ini diperparah dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri pada tahun
1975 yang mempersamakan sekolah umum dengan madrasah yang setatusnya masih
sebagai sekolah agama.23 Model mempersamakan kedudukan sekolah umum dengan
madrasah yang masih berstatus sekolah agama semacam ini berakibat menambah
kerancuan baru pemahaman dunia pendidikan di Indonesia.24 Kerancuan yang sama
juga terjadi di pendidikan tinggi Islam. IAIN sebagai manifestasi ilmu agama juga
mengalami keterjebakan epistemologis seperti tampak dalam pembagian fakultas yang
tidak dilandasi pemikiran keilmuan yang jelas dan sistematis; dimana fakultas-fakulas
yang ada bersifat tumpang tindih. Fakultas Ushuluddin, Syariáh dan Adab cukup
memiliki dasar keilmuan, sementara fakultas Tarbiyah dan Dakwah dipertanyakan
kedudukannya, karena pada prinsipnya sama yakni sebagai suatu bentuk sosialisasi
sistem ajaran Islam dengan tujuan meningkatkan keimanan yang tercermin dalam
peningkatan kualitas hidup manusia.25 Para ahli pendidikan Islam sering menggunakan
istilah Tarbiyah untuk menunjuk pendidikan Islam. Jika istilah ini disepakati, maka
semestinya IAIN adalah bagian dari Tarbiyah, tapi kenyataannya justru sebaliknya,
Tarbiyah berada dalam lingkup IAIN.
Kemunculan dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam pada prinsipnya disebabkan
ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan pendidikan Islam
sebagai lembaga. Pendidikan Islam lebih tepat sebagai sebutan institusi mandiri yang
dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan bagi umat Islam, sedangkan pendidikan
agama Islam lebih tepat untuk penyebutan salah satu studi yang diajarkan di sekolah
umum. Demikian juga secara kelembagaan, antara sekolah umum dan agama
sebenarnya tidaklah mengandung perbedaan. Karena agama dan filsafat yang menjadi
akar dari sekolah umum sama-sama bermuara pada objek realitas dan metodologi yang
sama. Kerancuan pemikiran dan penempatan struktur keilmuan inilah yang mestinya
segera dijawab oleh lembaga pendidikan Islam seperti Instutut Agama Islam Negeri
(IAIN) dan sekolah-sekolah ‘sejenis’ lainnya. Berangkat dari ilustrasi ini, maka yang
segera perlu dilakukan adalah merekonseptualisasi struktur keilmuan Islam yang
integratif dan memikirkan bentuk implementasi dalam lembaga pendidikan Islam.
UIN ; Konstruksi Pendidikan Islam Integratif di Indonesia
Pemikiran merekontruksi pendidikan Islam yang integratif muncul seiring
dengan fenomena modernisasi. Pemikiran ini muncul lantaran dunia Islam melalui
pendidikannya dianggap masih cukup tertinggal di bidang sains dan teknologi yang
menjadi icon modernisasi. Modernisasi sendiri setidaknya telah memunculkan dua
fenomena penting, yaitu: menguatnya dominasi IPTEK dalam segala aspek kehidupan
manusia dan dominasinya lama-lama telah mengalienasi nilai-nilai kemanusiaan, agama
dan moralitas . Dalam fenomena global seperti ini, menurut Azyumardi Azra,
pendidikan Islam, terutama perguruan tinggi Islam diharapkan tidak saja survive, tetapi
23 Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia; antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991, halaman 2.
24 Kerancuan pemahaman ini berakibat pada kerancuan penggunaan istilah dalam menyebut pendidikan Islam.
Pendidikan Islam yang bersifat umum sering disamakan dengan pendidikan agama Islam yang bersifat khusus. Pada
gilirannya, mempersamakan istilah pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam berakibat pada kerancuan
penggunaan istilah bagi semua jenis, jenjang, model dan bidang studi. Pendidikan Islam yang lebih tepat sebagai institusi
mandiri sering dipakai bergantian dengan PAI yang merupakan bagian dari sebuah institusi.
25 Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit., halaman 98.

6
Pendidikan Islam Integratif

juga dapat memberikan competitive advantage, memiliki daya saing yang handal dan
tangguh dalam zaman globalisasi, sains dan teknologi. Perubahan-perubahan ini
menuntut pendidikan tinggi Islam di Indonesia seperti IAIN dan STAIN melakukan
pengembangan paradigma, visi, misi dan orientasi agar tidak terisolir dari dunia global
dan lembaga pendidikan lainnya.26 Disiniilah konversi STAIN dan IAIN menjadi
Universitas (UIN) menemui momentumnya, meski konversi ini masih menemui
kontroversi.27
Betapapun krusialnya sebuah kontroversi, menurut hemat penulis, kita lagi-lagi
tidak boleh terjebak dalam ‘determinisme’ sempit yang tidak memiliki keberanian untuk
melakukan sesuatu yang lebih maju dan baik sebab globalisasi merupakan perubahan
yang tak terbendung dan akan terus melaju secara dinamis. Secara filosofis, legitimasi
keilmuan UIN yang mengembangkan ilmu-ilmu umum bukanlah suatu kelemahan dan
kekurangan, melainkan sebuah bentuk integralisasi dan interkoneksitas antara ilmu-ilmu
Islam dan sains. Agama maupun sains masing-masing memiliki kerangka normatif dan
sosio-historis. Secara normatif, agama maupun sains mengajarkan bagaimana
mengelola dunia dengan baik. Sedangkan secara sosio-historis, agama dan sains
mengintruksikan adanya transformasi di dunia. Jadi, agama dan sains merupakan ‘sabda
tuhan’ yang ditebarkan kepada manusia agar dapat memanfaatkan sumber daya dunia
secara serius dan dinamis (i’mal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan, Wa’mal
liakhiratika kaannaka tamutu ghadan).28
Ide pengembangan IAIN menjadi UIN yang muncul pada tahun 1996 melalui
intruksi Menteri Agama Dr. H. Tarmidzi Taher sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
sebuah upaya penilikan kembali terhadap kontruksi sejarah ilmu pengetahuan yang
integralistik dan anti sekularisme. Hal ini dapat dimengerti dari ungkapan Harun
Nasution (rektor IAIN Jakarta; 2006) untuk menerima ide pengembangan IAIN menjadi
UIN, seperti di bawah ini:
jika pada zaman yunani kuno para saintis dan filosofnya mengembangkan pemikiran rasional tanpa
terikat agama apaupun sehingga menimbulkan sekularistik bahkan ateistik, kemudian di zaman klasik
Islam (650-1250 M) dilakukan islamisasi keilmuan yunani, sekaligus perumusan pendidikan Islam
yang integralistik antara pengetahuan umum dan agama oleh para tokoh muslim. Pasca renaisance
pendidikan di Eropa menjadi sekuler dan ateis kembali seperti di zaman Yunani kuno. Sementara di
Kalangan umat Islam , sejak masa pertengahan (1250-1800) dimana para fuqaha memegang
pengaruh atas penyelenggaraan pendidikan Islam, mengalami dikotomi ilmu dan pendidikan yang
dualistik. Sementara di barat terjadi sekularisme, dunia Islam belum mampu mengatasi problem
dikotomi ilmu . padahal dikotomi ilmu dan dualisme pendidikan bahayanya bisa lebih besar dari
sekularisme. 29

26 Baca selengkapnya: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta,

Logos Wacana Ilmu, 2000.


27 Kontroversi seputar konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN biasanya terletak pada seputar pertanyaan:

dimana letak relevansi dan urgensi perubahan itu, adakah perbedaan mendasar dari perubahan itu dibandingkan dengan
universitas Islam lain yang telah berkembang di Indoensia seperti Universitas NU, Universitas Muhammadiyah dll,
Bagaimana pengambangan sistem pendidikannya sehingga memiliki corak tersendiri yang dapat disaingkan dan
sebagainya. Konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN setidaknya mengandung dua persoalan krusial. Pertama, kerangka
manajemen strategis. Jangan-jangan perubahan tersebut lebih sebagai perubahan yang bersifat formal, artifisial, prematur
dan in-effiecient. Kedua, kerangka epistemologi institusi. UIN akan menemui kesulitan dalam pemetaan kurikulum yang akan
dibangun karena beban islamisasi ilmu pengetahuan yang sering dipahami secara ideologis, bukan filosofis. Juga karena
keterbatasan produksi pemikiran dalam ilmu-ilmu Islam. Baca selengkapnya tulisan Syamsul Arifin, Republika, tanggal 26
Februari 2002.
28 Imam Tholkah, Op.Cit., halaman 102.
29 Lihat pengantar Abdurrahman Assegaf, dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Op.Cit.,

halaman xiii-xiv.

7
Pendidikan Islam Integratif

Perubahan IAIN dan STAIN menjadi UIN sebagai model reintegrasi keilmuan
di Indonesia merupakan satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan
status. UIN diharapkan dapat menjadi model sistem pendidikan Islam yang memiliki
kualitas tinggi di banding PTN dan PTS lain yang memilki status, peran dan fungsi yang
sama, disamping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan akademik,
manajemen maupun administrasinya. Jadi, perubahan UIN tidak perlu dirisaukan
dengan alasan kaburnya status nama UIN dengan islamisasi kurikulum, tetapi yang
perlu dipikirkan adalah bagaimana merekontruksi model pendidikan Islam yang relevan
dengan laju pembangunan dan modernitas melalui pengembangan program
pendidikannya.
UIN sebagai bentuk integrasi keilmuan Islam dalam lembaga pendidikan Islam
diharapkan dapat secara konsisten mendidik para sarjana yang berpredikat ulama intelek
yang profesional atau intelek- profesional yang ulama di era globalisasi. Menurut
Imam Suprayogo, UIN diharapkan dapat menempatkan diri pada posisi dan peran
strategis sebagai pelopor dan penggerak pencerdasan umat (Islam) , centre of excelent
bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan keilmuan Islam pada khususnya
sehingga terbentuk komunitas ilmiah-relegius (relegius-scientific community) yang
bersendikan ajaran agama. Sehingga, urgensinya tidak saja terletak pada persoalam
pengawal, pelestari tradisi, politis atau ideologis tetapi pada persoalan kemampuan
aktualisasi sebagai perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan zaman.30
Penutup
Ilustrasi diatas mengisyaratkan bahwa substansi pendidikan Islam integratif
sebenarnya bukan saja terletak pada rekonstruksi kelembagaan, seperti konversi IAIN
dan STAIN menjadi UIN, tetapi lebih bagaimana pendidikan Islam mampu membangun
kembali paradigma integratif dengan memadukan hal-hal yang selama ini
terdikotomikan menjadi satu kesatuan yang utuh seperti wahyu-akal, ilmu agama-ilmu
umum, teologi-sains dan teknologi dan sebagainya. Dengan demikian, lembaga
pendidikan Islam mampu secara strategis mengantarkan umat Islam menghadapi
modernitas dan globalisasi. Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat. Wa
Allahu A’lam bi al Shawabi. Wassalam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan et.al, Releguitas Iptek, Yogyakarta, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga-Pustaka Pelajar, 1998
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Gama Media,
Yogyakarta, 2002
Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992
al Ghazali, ihya Ulumuddin, kairo, 1969
Amanat, Edisi 84/Februari 2001

30 Iman Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya dan Seni; Konsep pendidikan Tinggi UIN

Malang, Malakah di sampaikan dalam Seminar Nasional Reorientasi Peran PTAI, STAIN Samarinda, tanggal 1-4 September
2005

8
Pendidikan Islam Integratif

Azymardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos
Wacana Ilmu, 1998,
____________, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1991,
Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta, Bakti Aksara Persada, 2003
Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979
H.A.R. Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press
Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,
halaman 102.
Iman Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya dan Seni;
Konsep pendidikan Tinggi UIN Malang, Malakah Seminar Nasional Reorientasi
Peran PTAI, STAIN Samarinda, tanggal 1-4 September 2005
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3 tahun 2000, IAIN Walisongo Semarang, 2000
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia; antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1991,
Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh,
Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, 2003
Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat pendidikan Islam dan Dakwah,
Yogyakarta, SIPRESS, 1993
Paulo Freire dalam Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman
(Pilihan Artikel Basis), Kanisius, 2001
Syamsul Arifin, Republika, tanggal 26 Februari 2002.
Toshihiko Izutsu, Konsep –konsep Etika Relegius, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1993.
______________, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al
Qur’an, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1993.

Anda mungkin juga menyukai