Ahmad Muthohar
Universitas Islam Negeri (UIN) Samarinda
Email : ahmad.muthohar@iain-samarinda.ac.id
Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan
human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan
kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan
etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.1 Berangkat dari arti penting
pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.2
Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi
pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan
ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-
insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam
pembangunan kehidupan yang berkeadaban.3 Dari pemikiran ini, maka pendidikan
merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta
potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).4
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan
pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban
agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan
manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca,
menulis, dan mengajar.(QS. al ‘Alaq: 1-5).5 Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan
pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. al Tahrim:6). Sebagai sebuah ibadah,
maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam
memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. al
Mujadalah:11, al Nahl:43, Al Taubat: 22.). Keempat, Islam memberikan landasan
bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education).
Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang
kibur). 6 Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan
terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah
sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut
ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pentingnya pendidikan dengan landasan
konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak
1 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000,
Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Halaman 29.
2 Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius,
2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Halaman 16.
3 Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo
eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
6 Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, ihya Ulumuddin, kairo, 1969, halaman 5 dan 89.
1
Pendidikan Islam Integratif
zaman nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam 7,
meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi
kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad
SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju
masyarakat yang berbudaya.8 Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam
saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar
biasa.9 Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi
transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi
perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi
teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing). Munculnya berbagai
lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya
mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti
kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini.10 Prestasi besar Islam era inilah yang
membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western
Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam
The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan,
peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang
pendidikan kepada dunia barat.11
Namun bukan maksud penulis untuk bernostalgia dengan romantisme masa lalu
kejayaan Islam. Hal yang lebih penting dipikirkan adalah bagaimana kondisi pendidikan
Islam kekinian, apakah telah mencapai prestasi gemilang sebagaimana yang pernah di
toreh masa lalu atau belum?. Jika belum, sudahkah kita mampu mengindentifikasi apa
masalahnya? Bagaimana solusinya?, dan upaya-upaya kontrukstif apa yang dapat
dilakukan. Tulisan ini dimaksudkan untuk dapat memberikan sedikit sumbangsih
pemikiran tentang pemetaan terhadap pendidikan Islam kekinian, melakukan
identifikasi problem-problem yang dihadapi dan upaya-upaya kontruksi apa yang bisa
dilakukan?.
Simtom Dikotomik & Tradisi Taqlid; Problem Mendasar Pendidikan Islam
Kontruksi historis Islam yang spektakuler pada masa lalu pada perkembangan
selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak sejak
ketika pada 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan
7 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik,Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal. 65.
8 Fazlurrahman mengindikasikan bahwa karakteristik masyarakat Arab pra Islam adalah suatu pra kondisi bagi
perkrmbangan Islam sebagai sarana yang menyediakan aktivitas ekspansi Arab yang mencengangkan dan sarana terjadinya
perubahan revolusioner. Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979, halaman 1-2. Baca juga, Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al Qur’an, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997 dan Konsep –konsep
Etika Relegius, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1993.
9 H.A.R.Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press,1953, halaman 90.
10Dalam rentan Abad 7-11 M, Islam mencapai kejayaan sehingga menjadi kiblat dunia barat, terutama Eropa
dan spanyol. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam multi disiplin ilmu. Selain keempat madzhab sebagai
teolog, muncul nama Al Tabari (w 923) ahli tafsir orisinil al Qur’an. Bidang tauhid dan sufistik, kita kenal Hasan al Basri
(w 728) dan Asy’ari (w. 935). Juga muncul para ilmuwan di bidang filsafat dan sains seprti biologi, matematika, kimia,
kedokteran. Mereka adalah filsuf sejati al Kindi (800-870), al farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1033 M), Ibnu Rusyd, al
Jahiz (w. 255 H) ahli sastra Arab, Al Mas’udi (lahir 280 H/893 M) ahli filsafat dan geografi. al Razi (303H/925 M) ahli
fisika, matematika, astronomi, logika, linguistic, dan kimia. Kedokteran. Karya al Razi ini menjadi sumber paten bidang
kedokteran Barat sampai abad ke 18, al Khawarizmi seorang pakar matematika. Kita juga kenal Ibn Haitam, ahli cahaya.
Ibn Hazm , (lahir 384 H/994 M) ahli sejarah. Ke belakang lagi, ada al Mawardi ( w. 1058) ahli dalam teori politik dengan
maha karyanya yang terkenal, al ahkam al shulthaniyah. Nama besar al Ghazali (w. 1111 M) yang dikenal barat dengan istilah
orang terpenting kedua dalam Islam setelah Muhammad, ahli berbabagai hal mulai fiqh, filsafat, kalam dan tasawuf dan
masih banyak lagi pemikir-pemikir multi ilmu lainnya.
11 Baca selengkapnya dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964,
halaman 61-62. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta, Bakti Aksara Persada, 2003, halaman 15-16.
2
Pendidikan Islam Integratif
Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada
imperialisme Barat atas negara-negara Islam.12 Pergulatannya dengan dunia barat
bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih
ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam.13 Setidaknya
terdapat dua problem internal paling mendasar menurut beberapa pemikir. Problem ini
secara umum menjangkiti umat Islam sehingga menyebabkan dunia pendidikan juga
mengalami kemunduran yaitu merebaknya simtom dikotomik dan tradisi taqlid.
Abdurrahman Mas’ud yang mempopulerkan perlunya pendidikan nondikotomik
–untuk tidak menyebut hanya dia yang punya gagasan ini- lewat karya Menggagas
Pendidikan Nondikotomik, menuturkan bahwa sampai saat ini ada kesan umum bahwa
Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran.
Indikatornya adalah mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang
serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan cara
berfikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu
agama versus ilmu non agama (Secular Sciences) dan bentuk – bentuk dikotomi
lainnya.14 Paradigma ini dipengaruhi bahwa sains dan teknologi sebagai lambang
peradaban dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notobene negara
nonmuslim. Akibatnya, pemahaman penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan
dominasinya telah menyisihkan umat islam yang semakin dalam rasa terbelakang dalam
bidang sains, teknologi modern, informasi, ekonomi dan kultur (inferior complex).
Sintom dikotomik ini bukan hanya muncul dari lembaga pendidikan Islam, tetapi telah
menjangkiti seluruh lapisan Islam.15
Ziaudin Sardar mengungkapkan semangat penalaran dalam intelektualisme
Islam masa lalu sehingga mencapai zaman keemasan kini telah digantikan dengan
tradisi mengekor (taqlid).16 Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-
penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-
pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh
terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia
yang dimotori barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang
masuk ke dunia Islam.17 Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu
Pergolakan ini kemudian berlanjut ke dalam lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Nizamiyyah di Baghdad
(459H/1069 M) sebagai simbol pelestarian sekte, madzhab dan aliran keagamaan, lengkap dengan keyakinan
keagamaannya. Akibatnya, Madrasah ini hanya dirancang dengan kurikulum fikih an sich. Jadi tujuan madrasah ini secara
jelas dimaksudkan untuk memperkuat ideologi Syafi’I Asy’ari dan membendung serangan dari pihak lain seperti
Hambaliyyah, Hanafiyah, syi’ah, mu’tazilah yang berseberangan ideologi keagamaan. Namun Abdurrahman juga
memberikan informasi seimbang bahwa kemenangan sunni atas syi’ah dan mu’tazilah dalam rangka mengikis ideologi
hellenisme yang mengandarkan rasio yang dikhawatirkan menyebabkan demoralitas keberagaman saat itu, sehingga tidak
memperkenankan mata pelajaran filsafat yang mengandalkan rasio dan logika yang berupakan sumber ilmu-ilmu sains.
16 Baca Tulisan Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh, Pemikiran
3
Pendidikan Islam Integratif
18 Abdurrahman Assegaf dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
4
Pendidikan Islam Integratif
ilmu umum yang berkonsekuensi kewajiban kolektif, dimana jika telah ada yang
menguasainya maka tidak ada kewajiban untuk menguasainya. Hal inilah yang dalam
perkembangannya menyebabkan umat Islam tertinggal dalam penguasaan ilmu-ilmu
umum, terutama sains dan teknologi. Kita sebagai umat Islam cenderung lupa bahwa
agama adalah akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal (al din ‘aql, la
Dina li man la ‘aql lahu). Hadist ini mengisyaratkan bahwa dalam pendidikan Islam
ada keterpaduan antara etos intelektualisme dan rasionalisme. Atas dasar ini, maka
orientasi dan sistem pendidikan Islam seharusnya tidak perlu terjadi ambivalensi
dikotomis antara agama dan sains, tetapi bagaimana mengintegrasikannya secara
terpadu.
Studi tentang pendidikan integratif setidaknya memuat dua format integrasi,
yakni integrasi ilmu dan integrasi pendidikan Islam secara kelembagaan. Kedua format
integrasi ini saking terkait sebab hubungan keduanya bersifat kausalitas. Pertama,
integrasi ilmu sangat penting sebab selama ini dikotomi struktur keilmuan telah
menyebabkan dikotomi kelembagaan pendidikan Islam. Kajian tentang dikotomi ilmu
biasanya bermula dari kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan adalah
pemilik tunggal ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan yang diberikan kepada
manusia adalah bagian terkecil dari IlmuNya, namun manusia diberikan kebebasan
untuk meraih sebanyak-banyaknya. Dari keyakinan semacam ini pada puncaknya
melahirkan dikotomi ilmu dengan istilah antroposentris dihadapkan dengan istilah
teosentris.19 Pengelompokan ini kemudian berlanjut secara epistemologi bahwa
antroposentris bersumber dari manusia yang berciri akal dan rasio sedangkan teosentris
berasal dari Tuhan dengan ciri wahyu sehingga muncul pertentangan dua jenis ilmu,
yaitu agama dan filsafat. Lebih parah lagi, pertentangan ini kemudian diprovokasi
fanatisme beragama yang menghasilkan Barat versus Timur, dengan asumsi filsafat
yang cenderung fisik dan empiris lebih banyak dipelajari di barat sedang agama yang
metafisik lebih banyak dipelajari di Timur. Ironisnya, muncul anggapan bahwa ilmu
agama lebih sakral dan lebih tinggi kedudukannya dari pada ilmu umum yang
diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.20
Dalam struktur ilmu keIslaman, mestinya pertentangan tersebut tak perlu terjadi.
Sebab, untuk bisa memfungsikan ilmu teosentris haruslah ditafsirkan, diinterpretasikan
dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dengan menggunakan akal.
Demikian juga, wahyu merupakan ilmu pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh
pikiran manusia. Wahyu secara konsepsional juga bersumber dari kemampuan akal
budi, yaitu kemampuan berfikir murni bersumber dari hati nurani manusia manusia
yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan. Lagi pula antara wahyu dan filsafat secara
epistemologi berada dalam kawasan yang sama, yaitu kawasan illata, sebuah kawasan
yang sangat abstrak.. Penjelasan tersebut menunjukkan sebenarnya tidak ada perbedaan
yang dikotomik di dalam ilmu pengetahuan. 21 Maka wajar, jika Azyumardi menyebut
bahwa adanya dikotomi ilmu lebih merupakan kecelakaan sejarah (historical accident)
sebagai proses politik dan ideologisasi ilmiah yaitu ketika ilmu umum yang empiris,
rasio dan logika mendapat serangan hebat dari fuqaha.22
19 Azymardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998, hal. 94.
20 Azyumardi Azra , ‘Rekontruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam’ dalam Abdul Munir Mulkhan et.al,
Releguitas Iptek, Yogyakarta, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga-Pustaka Pelajar, 1998, halaman 87.
21 Baca penjelasan selengkapnya dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka
SIPRESS, 1993, halaman 2. Baca juga: Azyumardi Azra, Op.Cit., halaman 87.
5
Pendidikan Islam Integratif
6
Pendidikan Islam Integratif
juga dapat memberikan competitive advantage, memiliki daya saing yang handal dan
tangguh dalam zaman globalisasi, sains dan teknologi. Perubahan-perubahan ini
menuntut pendidikan tinggi Islam di Indonesia seperti IAIN dan STAIN melakukan
pengembangan paradigma, visi, misi dan orientasi agar tidak terisolir dari dunia global
dan lembaga pendidikan lainnya.26 Disiniilah konversi STAIN dan IAIN menjadi
Universitas (UIN) menemui momentumnya, meski konversi ini masih menemui
kontroversi.27
Betapapun krusialnya sebuah kontroversi, menurut hemat penulis, kita lagi-lagi
tidak boleh terjebak dalam ‘determinisme’ sempit yang tidak memiliki keberanian untuk
melakukan sesuatu yang lebih maju dan baik sebab globalisasi merupakan perubahan
yang tak terbendung dan akan terus melaju secara dinamis. Secara filosofis, legitimasi
keilmuan UIN yang mengembangkan ilmu-ilmu umum bukanlah suatu kelemahan dan
kekurangan, melainkan sebuah bentuk integralisasi dan interkoneksitas antara ilmu-ilmu
Islam dan sains. Agama maupun sains masing-masing memiliki kerangka normatif dan
sosio-historis. Secara normatif, agama maupun sains mengajarkan bagaimana
mengelola dunia dengan baik. Sedangkan secara sosio-historis, agama dan sains
mengintruksikan adanya transformasi di dunia. Jadi, agama dan sains merupakan ‘sabda
tuhan’ yang ditebarkan kepada manusia agar dapat memanfaatkan sumber daya dunia
secara serius dan dinamis (i’mal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan, Wa’mal
liakhiratika kaannaka tamutu ghadan).28
Ide pengembangan IAIN menjadi UIN yang muncul pada tahun 1996 melalui
intruksi Menteri Agama Dr. H. Tarmidzi Taher sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
sebuah upaya penilikan kembali terhadap kontruksi sejarah ilmu pengetahuan yang
integralistik dan anti sekularisme. Hal ini dapat dimengerti dari ungkapan Harun
Nasution (rektor IAIN Jakarta; 2006) untuk menerima ide pengembangan IAIN menjadi
UIN, seperti di bawah ini:
jika pada zaman yunani kuno para saintis dan filosofnya mengembangkan pemikiran rasional tanpa
terikat agama apaupun sehingga menimbulkan sekularistik bahkan ateistik, kemudian di zaman klasik
Islam (650-1250 M) dilakukan islamisasi keilmuan yunani, sekaligus perumusan pendidikan Islam
yang integralistik antara pengetahuan umum dan agama oleh para tokoh muslim. Pasca renaisance
pendidikan di Eropa menjadi sekuler dan ateis kembali seperti di zaman Yunani kuno. Sementara di
Kalangan umat Islam , sejak masa pertengahan (1250-1800) dimana para fuqaha memegang
pengaruh atas penyelenggaraan pendidikan Islam, mengalami dikotomi ilmu dan pendidikan yang
dualistik. Sementara di barat terjadi sekularisme, dunia Islam belum mampu mengatasi problem
dikotomi ilmu . padahal dikotomi ilmu dan dualisme pendidikan bahayanya bisa lebih besar dari
sekularisme. 29
26 Baca selengkapnya: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta,
dimana letak relevansi dan urgensi perubahan itu, adakah perbedaan mendasar dari perubahan itu dibandingkan dengan
universitas Islam lain yang telah berkembang di Indoensia seperti Universitas NU, Universitas Muhammadiyah dll,
Bagaimana pengambangan sistem pendidikannya sehingga memiliki corak tersendiri yang dapat disaingkan dan
sebagainya. Konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN setidaknya mengandung dua persoalan krusial. Pertama, kerangka
manajemen strategis. Jangan-jangan perubahan tersebut lebih sebagai perubahan yang bersifat formal, artifisial, prematur
dan in-effiecient. Kedua, kerangka epistemologi institusi. UIN akan menemui kesulitan dalam pemetaan kurikulum yang akan
dibangun karena beban islamisasi ilmu pengetahuan yang sering dipahami secara ideologis, bukan filosofis. Juga karena
keterbatasan produksi pemikiran dalam ilmu-ilmu Islam. Baca selengkapnya tulisan Syamsul Arifin, Republika, tanggal 26
Februari 2002.
28 Imam Tholkah, Op.Cit., halaman 102.
29 Lihat pengantar Abdurrahman Assegaf, dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Op.Cit.,
halaman xiii-xiv.
7
Pendidikan Islam Integratif
Perubahan IAIN dan STAIN menjadi UIN sebagai model reintegrasi keilmuan
di Indonesia merupakan satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan
status. UIN diharapkan dapat menjadi model sistem pendidikan Islam yang memiliki
kualitas tinggi di banding PTN dan PTS lain yang memilki status, peran dan fungsi yang
sama, disamping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan akademik,
manajemen maupun administrasinya. Jadi, perubahan UIN tidak perlu dirisaukan
dengan alasan kaburnya status nama UIN dengan islamisasi kurikulum, tetapi yang
perlu dipikirkan adalah bagaimana merekontruksi model pendidikan Islam yang relevan
dengan laju pembangunan dan modernitas melalui pengembangan program
pendidikannya.
UIN sebagai bentuk integrasi keilmuan Islam dalam lembaga pendidikan Islam
diharapkan dapat secara konsisten mendidik para sarjana yang berpredikat ulama intelek
yang profesional atau intelek- profesional yang ulama di era globalisasi. Menurut
Imam Suprayogo, UIN diharapkan dapat menempatkan diri pada posisi dan peran
strategis sebagai pelopor dan penggerak pencerdasan umat (Islam) , centre of excelent
bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan keilmuan Islam pada khususnya
sehingga terbentuk komunitas ilmiah-relegius (relegius-scientific community) yang
bersendikan ajaran agama. Sehingga, urgensinya tidak saja terletak pada persoalam
pengawal, pelestari tradisi, politis atau ideologis tetapi pada persoalan kemampuan
aktualisasi sebagai perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan zaman.30
Penutup
Ilustrasi diatas mengisyaratkan bahwa substansi pendidikan Islam integratif
sebenarnya bukan saja terletak pada rekonstruksi kelembagaan, seperti konversi IAIN
dan STAIN menjadi UIN, tetapi lebih bagaimana pendidikan Islam mampu membangun
kembali paradigma integratif dengan memadukan hal-hal yang selama ini
terdikotomikan menjadi satu kesatuan yang utuh seperti wahyu-akal, ilmu agama-ilmu
umum, teologi-sains dan teknologi dan sebagainya. Dengan demikian, lembaga
pendidikan Islam mampu secara strategis mengantarkan umat Islam menghadapi
modernitas dan globalisasi. Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat. Wa
Allahu A’lam bi al Shawabi. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan et.al, Releguitas Iptek, Yogyakarta, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga-Pustaka Pelajar, 1998
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Gama Media,
Yogyakarta, 2002
Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992
al Ghazali, ihya Ulumuddin, kairo, 1969
Amanat, Edisi 84/Februari 2001
30 Iman Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya dan Seni; Konsep pendidikan Tinggi UIN
Malang, Malakah di sampaikan dalam Seminar Nasional Reorientasi Peran PTAI, STAIN Samarinda, tanggal 1-4 September
2005
8
Pendidikan Islam Integratif
Azymardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos
Wacana Ilmu, 1998,
____________, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1991,
Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta, Bakti Aksara Persada, 2003
Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979
H.A.R. Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press
Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,
halaman 102.
Iman Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya dan Seni;
Konsep pendidikan Tinggi UIN Malang, Malakah Seminar Nasional Reorientasi
Peran PTAI, STAIN Samarinda, tanggal 1-4 September 2005
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3 tahun 2000, IAIN Walisongo Semarang, 2000
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia; antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1991,
Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh,
Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, 2003
Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat pendidikan Islam dan Dakwah,
Yogyakarta, SIPRESS, 1993
Paulo Freire dalam Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman
(Pilihan Artikel Basis), Kanisius, 2001
Syamsul Arifin, Republika, tanggal 26 Februari 2002.
Toshihiko Izutsu, Konsep –konsep Etika Relegius, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1993.
______________, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al
Qur’an, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1993.