Anda di halaman 1dari 4

Macam-macam Paradigma

Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga


aliran utama, yaitu :
1. Paradigma konservatif
Yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan
penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan
konservatif sangat mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai patron
ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif melahirkan jenis kesadaran
sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire, sebagai kesadaran magis. Yaitu
jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor
lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar
kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian.
2. Paradigma pendidikan liberal
yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi mengarahkan peserta didik pada
prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi individual.
Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan
peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses
pengembangan diri secara kolektif. Paradigma pendidikan liberal melahirkan
bentuk kesadaran naif. Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia
secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan.
3. Paradigma pendidikan kritis
Yaitu paradigma pendidikan yang menganut bahwa pendidikan adalah
diorientasikan pada refleksi kritis terhadap sistem dan struktur sosial yang
menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan. Paradigma pendidikan kritis
mengarahkan peserta didik pada kesadaran kritis, yaitu jenis kesadaran yang
melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu
sama lain.
Paradigma pendidikan sangat berimplikasi terhadap pendekatan dan metodologi
pendidikan dan pengajaran. Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah
perbedaan bentuk dalam pola belajar mengajar antara pola paedagogy dengan
pola andragogy.
Bagi Freire, selaku tokoh penggagas pendidikan kritis. Pendidikan haruslah
berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri.
Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat objektif atau subjektif,
tapi harus kedua-duanya secara sinergis. Objektivitas dan subjektivitas dalam
pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu
dikotomi dalam pengertian psikologis, kesadaran subjektif dan kemampuan
objektif adalah dua fungsi dialektis yang konstan/tetap dalam diri manusia. Oleh
karena itulah menurut Freire, pendidikan harus tampil metode yang
mengarahkan manusia pada perwujudan kesadaran subjektif yang kritis dan
pemahaman akan realitas yang objektif dan akan mengantarkan manusia pada
suatu kesadaran kritis yang konstruktif dalam membangun dunianya ke arah
yang lebih konstruktif.
Untuk memahami pendidikan Islam tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat
sepotong apa yang ditemukan dalam realitas penyelenggaraan pendidikan Islam,
tapi mesti melihatnya dari sistem nilai yang menjadi landasan paradigmanya.
Hasan Langgulung menyatakan sangat keliru jika mengkaji pendidikan Islam

hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul dalam sejarah Islam, dari
kurikulum, apalagi hanya dari metode mengajar, dan melepaskan
masalah idiologi Islam. Idiologi atau paradigma pendidikan Islam merupakan
gambaran utuh tentang ketuhanan, alam semesta, dan tentang manusia yang
dikaitkan dengan semua teori pendidikan Islam sehingga semuanya merupakan
satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Sehingga diperlukan suatu paya untuk
menegaskan kembali paradigma yang diperlukan untuk mengembangkan
pendidikan Islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik
dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan
tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah
kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan. Istilah dasar paradigma
pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempet berpijak atau pondasi
berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri.
Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari
kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah
umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah
pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah
rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep,
prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan
sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik
secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang
diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi
pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan
keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun
ke tengah masyarakat. Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran
pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban
Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai
sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma
pendidikan yang memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan.
Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan
paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu.
Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat
Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba, spontan atau mendadak. Kesadaran ini
muncul dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa
Rasul Muhammad) Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan
kesadaran pada sahabat dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu
mendorong umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya hadis yang menjelaskan tentang urgrnsi dan keutamaan ilmu
dan orang yang memiliki pengetahuan.
Setelah Muhammad wafat, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap
melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu
pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini

menjadi darah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada
abad XI sampai awal abad XIII M. Namun cikal bakal pendidikan Islam dalam
sebuah institusi baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab
(Nasr,1994).
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin Khatab mengirimkan
petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber bagi
masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di masjid dan
mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui khalaqoh-khalaqoh majlis
khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin dan persoalan lain
sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan
didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo. Selain dilengkapi oleh
perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran
yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik.
Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang. Makdunya selain
ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran,
geografi, matematika dsb.
Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah
Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Arinya telah
ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah,
pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar
yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas yang tinggi, pada
masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius
dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat
dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis
selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum
diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan istana
pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan Okt 1998). Namun setelah
kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami
kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar dari
sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan
agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah
ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri anak didik
agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas,1984). Hal ini meniscayakan
adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama
peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara
maksimak. Pada kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya
sebagai wadah pemberdayaan peserta didik. Namun seiring dengan kemunduran
dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemundurun.
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang
dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia
pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang
paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual
senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas
pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual

senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh
aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua,
adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan
intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari
marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih
menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajiankajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan
non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia
pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan
pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran
Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan
perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan
intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat dan
wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah
pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka
peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam
pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi.
Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materimateri yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada,
setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan
kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam
akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi
tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas
proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya
perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali
peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan
dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai
sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.

Anda mungkin juga menyukai