Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH DAN DINAMIKA LEMBAGA LEMBAGA

PENDIDIKAN ISLAM DI NUSANTARA

Drs. Firdaos, M.Si


STAI Sebelas April Sumedang
Aja_firdaos@yahoo.com

Abstrak

Wacana lembaga pendidikan Islam di Nusantara merupakan persoalan menarik,


disebabkan lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses
terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Kehadiran
lembaga pendidikan Islam memberikan andil sangat besar bagi pengembangan
ajaran Islam. Eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa lepas dari proses
Islamisasi di Indonesia dan akulturasi dengan budaya lokal. Munculnya lembaga
pendidikan Islam tidak mengalami ruang hampa, tetapi dinamis, baik dari fungsi
maupun sistem pembelajarannya. Kehadiran lembaga pendidikan Islam,
memberikan spektrum membuka wawasan dan dinamika intelektual umat Islam.
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia ditandai
adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang variatif, satu dan yang lainnya
memiliki hubungan subtansial dan fungsional. Selain dipengaruhi faktor internal
dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat
global. Perkembangan pendidikan Islam ditandai oleh munculnya berbagai
lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai
dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.

Kata-kata Kunci:

Sejarah, Dinamika, Lembaga Pendidikan Islam

A. Pendahuluan
Membicarakan wacana kelembagaan pendidikan Islam di Nusantara
khususnya di Minangkabau pada masa awal, merupakan persoalan yang menarik
untuk dikaji. Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat faktor,
yaitu: Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses
terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Dalam
lintas sejarah, kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil yang
sangat besar bagi pengembangan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadis. Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa
dilepaskan dari proses masuknya Islam di Indonesia dan mengalami akulturasi
budaya lokal (adat). Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah
komunitas, tidak mengalami ruang hampa, akan tetapi senantiasa dinamis, baik
dari fungsi dan sistem pembelajarannya. Keempat, kehadiran lembaga pendidikan
Islam, telah memberikan spektrum tersendiri dalam membuka wawasan dan
dinamika intelektual umat Islam.1
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia
antara lain ditandai oleh adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang amat
bervariasi, namun antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan subtansial dan
fungsional. Dinamika pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh faktor internal dari para
pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat global. Kedua
pengaruh ini satu dan yang lainnya secara akumulatif berpadu menjadi satu dan
menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh
munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat
sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.
Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan zamannya.2 Perkembangan lembaga lembaga pendidikan
tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri
untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil
penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan
perkembangan lembaga lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang
bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para
pengelola pendidikan Islam pada masa masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan
prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan
tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi.
Dengan cara demikian upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut
tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal.
Lembaga pendidikan tersebut merupakan salah satu sistem yang
memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan. Adanya kelembagaan dalam masyarakat,
dalam rangka proses pembudayaan umat, merupakan tugas dan tanggung
jawabnya yang kultural dan edukatif terhadap masyarakatnya yang semakin berat.
Tanggung jawab lembaga pendidikan tersebut dalam segala jenisnya menurut
pandangan Islam adalah erat kaitannya dengan usaha menyukseskan misi sebagai
seorang muslim.
Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran yang dicetuskan
oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan, dan
dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur’an dan Sunnah). Lembaga pendidikan
Islam secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan
dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan yang erat
dengan kehidupan Islam secara umum. Islam telah mengenal lembaga pendidikan
sejak detik detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. Rumah Al

1 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam Potret Timur Tengah
Era Awal dan Di Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), 68.

2 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) , 279.
Arqam ibn Abi Al Arqam merupakan lembaga pendidikan pertama. Guru agung
yang pertama adalah Nabi Muhammad Saw dengan sekumpulan kecil pengikut
pengikutnya yang percaya kepadanya secara diam-diam. Dan di rumah itulah Nabi
mengajarkan Al-Qur’an.3
Lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel,
berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat. Hal ini seiring dengan
luasnya daerah Islam yang membawa dampak pada pertambahan jumlah
penduduk Islam. Dan dengan adanya keinginan untuk memperoleh aktifitas
belajar yang memadai. Sejalan dengan makin berkembangnya pemikiran tentang
pendidikan, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam mulai
dari bentuk tradisional maupun dalam bentuk yang sudah modern. Untuk itu
tulisan ini mencoba melacak akar pertumbuhan dan perkembangan dari lembaga
pendidikan Surau, meunasah, pesantren dan madrasah dan mengungkap
eksistensi, peranan, dan dinamika lembaga-lembaga pendidikan tersebut di
Indonesia.

B. Pembahasan
1. Surau
a. Awal Pertumbuhan Surau
Di Minangkabau, keberadaan lembaga pendidikan Islam sejak masa awal
telah mendapat perhatian yang cukup besar. Pada masa ini, surau merupakan
lembaga pendidikan Islam yang sangat strategis. Eksistensi surau memiliki fungsi
ganda, yaitu di samping sebagai tempat ibadah, pendidikan serta tempat
berkumpulnya anak laki laki. Fenomena ini telah ikut memperlancar terjadinya
proses pendidikan Islam secara efektif.
Upaya pelacakan surau sebagai lembaga pendidikan Islam awal di
Minangkabau, seringkali terlupakan. Hal ini disebabkan karena kurangnya
informasi tentang wacana ini dan keterbatasan pengetahuan umat Islam dalam
memahami surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Secara umum, surau hanya
dipandang sebagai tempat ibadah (sholat). Hanya saja, untuk kasus Minangkabau,
surau mengalami pelebaran fungsi, baik sebagai tempat ibadah, tarekat (suluk),
pendidikan, dan bahkan tempat berkumpul anak laki laki setelah mereka baliqh.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis,
baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran
ajaran Islam. Bahkan, lembaga ini telah mampu pula mencetak para ulama-ulama
besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa masionalisme umat Islam, terutama
dalam upaya mengusir kolonial Belanda.
Istilah Surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam.
Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai
pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul,
rapat, dan tempat tidur bagi anak laki laki yang sudah balig dan orang tua yang
sudah uzur.4 Fungsi surau ini semakin kuat karena dalam stuktur masyarakat
Minangkabau menganut sistem matrilineal,5 menurut ketentuan adat bahwa laki
laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan

3 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Kalam Mulia,2010), 276.


tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting
bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan
maupun ketrampilan praktis lainnya.
Tatkala Islam masuk,6 kehadiran surau pertama kali diperkenalkan oleh
Syekh Burhanuddin sebagai tempat melaksanakan sholat dan pendidikan tarekat
(suluk), dengan cepat bisa tersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Posisi surau kemudian mengalami perkembangan. Selain fungsinya
di atas, surau juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki laki yang telah baligh
dan persinggahan bagi perantau.7
Dalam perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang
sangat strategis bagi penyiaran agama Islam. Bahkan banyak informasi yang
diperoleh para pemuda Minangkabau melalui interaksi mereka dengan perantau
yang singgah di surau.8 Di sini terlihat bagaimana sesungguhnya surau era awal,
telah berperan multi fungsional, baik dalam wacana keilmuan maupun
keagamaan.

b. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau


Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem
pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di
seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu ilmu
keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah.9 Pada umumnya
pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam
mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu :
1. Pengajaran Al Qur’an. Untuk mempelajari Al-Qur’an, ada dua
macam tingkatan:
a. Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan
huruf Al-Qur’an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudlu dan
tata cara sholat yang dilakukan dengan metode praktek dan

4 Azzumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium Baru, (Ciputat:


Logos, 1999), 130.
5 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005), 70.

6 Tentang informasi bangunan yang dijadikan tempat berkumpulnya laki laki yang telah baligh,
lihat Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam(Jakarta:Pustaka Al Husna, 1989),
314-315.

7 Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah: Sumatera
Tengah 1784-1847, Terj.Lilian D.Tedjasukandhana (Jakarta: INIS,1992), 142.

8 Azzumardi Azra, The Rise and the Decline of the Minangkabau: A Traditional Islamic
Educational Institution in West Sumatera During The Deutch Colonial Government (Colombia:
Colombia University, 1988), 22.

9 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 34.


menghafal, keimanan--terutama sifat dua puluh- dengan metode
menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode
cerita tentang nabi dan orang orang shaleh lainnya.
b. Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur’an dengan
lagu, kasidah, berzanji, tajwid, dan kitab Perukunan. Lama
pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan.
Seorang siswa baru dikatakan tammat bila ia telah mampu
menguasai materi materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya
seorang siswa yang telah menamatkan Al-Qur;an sebanyak dua
atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian Al-Qur’an.10
2. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahu,
ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah
dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya.Penekanan
pengajaran pada jenjang ini adalah aspek hafalan.Agar siswa cepat hafal,
maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara menghafalkan materi
dengan lagu lagu tertentu.Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang ini
biasanya dilakukan pada siang dan malam hari.11
Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing masing materi
pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah ulama
Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber
yang digunakan mulai mengalami pergeseseran. Kitab yang digunakan
pada setiap materi pendidikan sudah bermacam macam.12
Hal ini menurut hemat penulis adalah wajar. Sebab, untuk
mendapatkan suatu kitab pada masa awal, bukan merupakan hal yang
mudah. Akan tetapi setelah melakukan kontak langsung dengan Timur
Tengah, semakin mudah bagi mereka (ulama) untuk memperoleh sumber
sumber (kitab) baru lainnya. Pada era ini telah ada upaya untuk melahirkan
seorang guru agama. Siswa siswa yang telah menamatkan pelajaran ilmu
fiqh dan tafsir, kemudian diangkat sebagai guru bantu surau untuk
beberapa waktu lamanya.
Apabila guru bantu surau telah dianggap mampu, baik dalam
penguasaan materi maupun memecahkan persoalan dalam sebuah kitab,
maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku muda), kemudian
lebai, dan kemudian Syekh. Disini ia baru memiliki otoritas penuh untuk
mengajarkan ilmu ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini
berlangsung cukup lama. Setelah memiliki otoritas penuh, barulah ia

10 Mahmud, Sejarah, 35-41.

11 Mahmud, Sejarah, 41-48.

12 Mahmud, Sejarah, 53-54.
pulang ke kampungnya untuk mendirikan surau baru sebagai tempat
melaksanakan pendidikan dan penyebaran agama Islam.13
Jika dianalisa, bila dibandingkan dengan metode pendidikan
modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan
kelemahan. Pertama, kelebihannya adalah pola kemampuan menghafal
muatan teoritis keilmuan. Kedua lemahnya kemampuan memahami dan
daya analisa kritis siswa terhadap teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini
diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal
isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan
dihafalkannya itu. Hal ini diakui oleh Hamka sebagai suatu kelemahan
sistem pendidikan Islam Minangkabau waktu itu.14

c. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Tarekat.


Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat (suluk)
terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama Minangkabau, memiliki surau
sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada
era ini, perkembangan tarekat menemukan momentumnya, sehingga dapat
dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga
pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukkan bentuk tarekat
yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau.15 Bahkan pada
era ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat,
ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki
otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu
ilmu keIslaman.
Meskipun setiap ulama memiliki otoritas sendiri dalam mengembangkan
aliran tarekat di suraunya, akan tetapi perkembangan tarekat-tarekat
di Minangkabau, memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari
penekanan pada hal hal yang bersifat esoterik dan lebih dominan ketimbang
syari’ah. Pendekatan ini di samping memiliki kelebihan, juga memiliki
kelemahan. Khusus kasus Minangkabau, pelaksanaan pendekatan tarekat yang
demikian itu telah mengakibatkan umat Islam kurang memahami syari’at Islam.
Fenomena ini dapat dilihat dari masih berkembangnya praktek praktek sinkretis
terhadap kepercayaan pra Islam. Untuk itu, tidak heran jika masih berkembangnya
praktek praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh Abdurrahman,
salah seorang Ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan
pendekatan persuasif, yaitu melalui pemuka adat yang sangat berpengaruh
terhadap eksistensi adat. Metode ini sangat efektif dan bisa diterima dengan baik
oleh para pemuka adat. Bahkan bersama sama dengan para ulama, pemuka adat
mengajak masyarakat untuk meninggalkan praktek adat yang bercampur khurafat

13 Mahmud, Sejarah, 49.

14 Hamka, Kenang kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 56-57.

15 Dobbin, Kebangkitan, 137.
dan bid’ah.16 Dengan keberhasilan itu banyak masyarakat yang ingin mempelajari
agama. Untuk itu Syekh Abdurrahman mendirikan surau, baik sebagai tempat
ibadah maupun sebagai lembaga pendidikan Islam.
Di suraunya ini, Syekh Abdurrahman mengajarkan agama dan membaca
Al-Qur’an. Melalui bacaan yang baik telah menjadi daya tarik tersendiri. Maka
ramailah umat Islam yang belajar dengannya. Keterkaitan umat Islam untuk
belajar bukan saja dari Minangkabau, akan tetapi juga dari wilayah lainnya,
seperti Jambi, Palembang, Bangka, dan wilayah lainnya.17
Namun demikian, pada sebagian wilayah, eksistensi adat yang bercampur
dengan khurafat dan bid’ah, masih tetap mengkristal dalam kehidupan umat
Islam. Masyarakat Agam umpamanya, memiliki adat sinkretis yang bertentangan
dengan ajaran Islam, seperti mencuri, merampok, minum arak, berjudi (khususnya
menyabung ayam). Dengan penuh kesabaran para ulama Minangkabau mengajak
mereka untuk memeluk agama Islam, melalui pendekatan pemuka adat. Upaya ini
akhirnya berhasil walaupun menemui berbagai kesulitan. Akan tetapi sikap hidup
dan praktek adat yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, sulit untuk
dihapus.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat
strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap
ajaran ajaran Islam. Bahkan lembaga ini telah mampu pula mencetak para ulama
besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa nasionalisme umat Islam terutama
dalam upaya mengusir kolonial Belanda. Melalui pendidikan tradisionalnya
Minangkabau telah melahirkan sejumlah ulama besar yang menghiasi sejarah
umat Islam Indonesia, seperti Haji Rasul, AR.St.Mansur, Abdullah Ahmad dan
Hamka.

2. Meunasah
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong
(kampung, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi
dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga
menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak
mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat
sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’.18
Meunasah, secara fisik adalah bangunan rumah panggung yang dibuat
pada setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh
keucik. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan wc yang terletak berjarak
dengan meunasah. Biasanya meunasah terletak dipinggir jalan.
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat
ibadah saja , melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga

16 Azra, The Rise, 40.

17 Nizar, Pergolakan, 79.

18 Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS,1991), 50.


tempat transaksi jual beli barang tak bergerak, kemudian juga sebagai tempat
menginap para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika
ada warga kampong yang bertikai. 19 Bahkan menurut Gazalba meunasah juga
digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa dan tempat praktik tarekat yang
kemudian disebut suluk. .
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan
terendah dan meunasah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak
murid perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.
Diantara fungsi meunasah itu adalah :
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat
pengeluarannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan
menerima tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca
Al-Qur’an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari
tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian pada
hari jum’at dipakai ibu ibu untuk sholat berjama’ah zuhur yang diteruskan
pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.20
Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Pengajaran
umumnya berlangsung pada malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan
membaca Al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Qur’an. Biasanya
pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah, seperti yang terdapat dalam
buku Qaidah Baqhdadiyah, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai
huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan
surat-surat pendek. Setelah itu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Qur’an
besar dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu diajarkan pula pokok pokok
agama seperti rukun iman, rukun Islam dan sifat sifat Allah. Selain itu juga
diajarkan rukun sholat, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran
menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama
yang dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau sholawat). Buku
buku pelajaran yang digunakan adalah buku buku yang berbahasa Melayu seperti
kitab parukunan dan Risalah Masail al Muhtadin.21
Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para
Tengku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun biasanya
Tengku mendapatkan hadiah dari murid muridnya apabila mereka telah belajar
Al-Qur’an sampai juz ke-15 atau pada saat khattam Al-Qur’an. Hadiah hadiah lain
juga diperoleh pada waktu upacara upacara akad nikah, sunat, pembagian harta
warisan, perkara perdata, menghadiri sidang sidang pengadilan, pemberian
nasehat nasehat dan juga dari zakat.

19 Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan tokoh tokohnya di Nusantara (Surabaya:


Al Ihklas,1983), 120.

20 Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam


di Indonesia, (Jakarta: Grafindo,2001),42.

21 Abuddin Nata, Sejarah, 43.


Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat
mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah.
Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat
Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh
mempunyai fanatisme agama yang tinggi.

3. Pesantren
a. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren
Pesantren dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek para sarjana
barat mempelajari Islam. Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awalan peakhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasal
dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan ada juga yang mengatakan bahwa
santri mempunyai arti orang orang yang tahu buku buku suci, buku agama, atau
buku buku tentang ilmu pengetahuan.22 Jadi istilah pesantren itu masuk ke
Indonesia bersamaan masuk dan berkembangnya agama Hindu, sebelum
datangnya Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang kurangnya
mempunyai tiga ciri umum yaitu kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat
tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan dan
pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab dengan metode wetonan,
sorogan, dan musyawarah, yang sebagian sekarang telah berkembang dengan
sistem klasikal atau madrasah.
Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik
dan suasana keagamaan yang mendalam.23 Marwan Sarijo juga mengatakan
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan
dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan.
Para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri yang dalam istilah
pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan non formal dan
menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah
umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan masyarakat.24
Sedangkan menurut K.H.Ali Maksum bahwa pesantren merupakan asrama
tempat tinggal para kyai beserta keluarga dengan santri yang mengaji di tempat
yang disediakan. Pengajian di sini berbahasa Arab, baik karangan karangan lama
ataupun buah karya pengarang baru.25 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
mempunyai misi sangat luas dan kompleks, yang terutama dan paling
mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah Islamiyah.

22  Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, LP3ES (Jakarta:


LP3ES,1986), 18.

23 Mustafa Syarif, Administrasi Pesantren (Jakarta: Karya Barkah,1982), 5.

24 Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1979), 9.

25 K.H. Ali Maksum, Ajakan suci (Yogyakarta: LTN NU, 1993), 121.


Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu,
pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis
dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah tengah
masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala
aktifitasnyapun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat
sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren
adalah merupakan sesuatu yang asli atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan
sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.26
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu satunya lembaga
kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang
modernisasi.27 Dengankondisi demikian itu, kata Azzumardi Azra, menyebabkan
pesantren tetap survivesampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau
modernisasi pendidikan Islam di berbagai belahan dunia, tidak banyak lembaga
lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.
Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau
sekuler.28 Nilai nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk
mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain.
Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding
dengan sistem pendidikan modern.Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia
adalah karena penyebaran Agama Islam oleh mubalig mubalig pertama dengan
penerangan dan amalan serta melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren.
Kemudian mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat.Maka tepatlah jika dikatakan bahwa pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam di
Indonesia.29
b. Unsur unsur Pesantren
Tegak berdirinya sebuah pesantren sekurang kurangnya harus didukung
oleh lima unsur atau elemen yaitu adanya pondok, masjid, pengajaran kitab kitab
klasik, santri, dan kyai.30 Jika dilihat dari proses munculnya atau lahirnya sebuah
pesantren, maka kelima elemen itu urut-urutannya adalah kyai, masjid, santri,
pondok, dan pengajaran kitab kitab klasik. Kyai sebagai cikal bakal berdirinya
pesantren, biasanya tinggal disebuah pemukiman baru yang cukup luas. Karena
terpanggil untuk berdakwah maka kyai mendirikan masjid yang terkadang
bermula dari musholla. Jamaah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya jauh

26 Nurcholis Majid, Bilik Bilik Pesantren, sebuah potret Perjalanan (Jakarta:


Paramadina,1997),103.

27 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),


157.

28 Azra, Pemikiran, 95.

29 Depag RI, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: 2005), 97.

30 Dhofier, Tradisi, 44.
ingin menetap bersama kyai, mereka itu disebut santri. Jika mereka yang
bermukim disitu jumlahnya banyak, maka perlu dibangunkan pondok atau asrama
agar tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan
mengambil tempat di masjid, kyai mengajar santrinya dengan materi materi kitab
Islam klasik.
c. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya
mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab kitab
bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-
Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh,
hadist dengan musthalah hadist, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan
tasauf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah :
1. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan
pelajaran. Santri menyimak kitab masing masing dan mencatat jika
perlu. Pelajaran diberikan pada waktu waktu tertentu, yaitu sebelum
atau sesudah melaksanakan sholat fardu. Di Jawa Barat, metode ini
disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan
halaqah.
2. Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kyai seorang
demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari
keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/
kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena
dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya
jawab langsung.
3. Hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau
kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.31
d. Jenjang Pendidikan dan Fungsi Pesantren
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga
lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya kenaikan tingkat
seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi
jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan
formal, tetapi pada penguasaan kitab kitab yang telah ditetapkan dari yang paling
rendah sampai yang paling tinggi.
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga
berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal madrasah, sekolah
umum, perguruan tinggi dan non formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren
menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-
bedakan status sosial, menerima tam yang datang dari masyarakat umum dengan
motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama islam, masjid

31 Nata, Sejarah, 105-106.
pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar
agama dan ibadah bagi para jamaah.
Di samping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat
besar dalam merespons ekspansi politik imprialis Belanda dalam bentuk menolak
segala sesuatu yang “berbau” barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga
terhadap unsur-unsur asing. Dan lebih dari itu, pesantren sebagai tempat
mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dan tanah air.

e. Kehidupan Kyai dan Santri


Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetao
(bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar
kepadanya dan turut pula bermukim ditempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan
pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan
masyarakat disekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa
berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.
Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang
selalu disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat
sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah,
sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamkhsyari Dhofier,
“kiai memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan
masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam Tegasnya., kiai adalah
tempat bertanya atau sumber refrensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan
tempat meminta nasihat dan fatwa.
Berikut ini dipaparkan berapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidak-
tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut.
1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
2) Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
3) Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4) Kemandirian
5) Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6) Kedisiplinan
7) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
8) Pemberian ijazah
Perlu dicatat bahwa ciri-ciri diatas merupakan gambaran sosok pesantren
dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika
dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada
sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah
pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah
mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-
beda.
Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren
dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisional,
pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti
tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak
ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak
ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-
tradisi keislaman. Kedua, pesantren tradisonal, corak pendidikan pada pesantren
ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen, tetapi tidak sepenuhnya.
Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara.
Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat
menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen
dan administrasi sudah mulai ditata secara moderen meskipun sistem
tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya
pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cendrung
melanjutkan pendidikannya kesekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga,
pesantren moderen. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat
signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaanya.
Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem moderen.
Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat
menyalurkan bakat dan hobinya secara proposional. Sistem pengajaran dapat
dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan
bahasa asing (Bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.

4. Madrasah
1. Madrasah dan Eksistensinya.
Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang
berkembang di Indonesia di samping masjid dan pesantren. Madrasah pernah
berkembang pada abad ke 11 atau periode pertengahan sejarah Islam khususnya di
wilayah Bagdad seperti madrasah Nizamiyah.32 Namun kehadiran madrasah di
Indonesia terjadi pada awal abad ke-20. Tampaknya tokoh Zainuddin Labay dapat
disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 Oktober 1915 mendirikan
lembaga pendidikan Islam (madrasah) di Padang Panjang, mungkin yang
dimaksud juga memberikan pelajaran umum di samping pelajaran agama,
sebelum berkembangnya lembaga serupa di berbagai daerah.33 Ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa pada tahun itu pula berdirilah madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam yang pertama di Jawa Tengah yang bernama Madrasah
Muawanatul Muslimin Kenepan (M3K) di Kudus yang didirikan pada tanggal 7
Juli 1915. Madrasah tersebut adalah setingkat Ibtidaiyah (dasar). Lama
pelajarannya 8 tahun terdiri dari kelas 1 A, kelas 1 B, kemudian kelas 2 sampai 6.
Mata pelajarannya terdiri dari pelajaran agama dan pengetahuan umum.34

32 George Maksidi, The Rise of College Institutions of Islam and The West, (Edinburgh University
Press, 1981), 40.

33 Taufik Abdullah, Scholl and Politic: The Kaum Muda Movement in west Sumatera (New York:
Cornel University, 1971), 34. Lihat juga Hamka, Kenang kenangan Hidup (Jakarta:Gapura,1951),
40.

34 Yunus, Sejarah, 47.
Dengan adanya undang undang tentang sistem pendidikan nasional adalah
merupakan seperangkat aturan atau ketentuan yang terpadu dari semua satuan dan
kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.35 Bagi umat Islam,
madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang berakar dari tradisi Islam
sendiri sehingga tidak mungkin ditangani secara sekuler. Tetapi pemerintah juga
memahami bahwa umat Islam menuntut hak dan status yang lebih baik bagi
madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sehingga kedudukan dan
orientasinya sama dengan sekolah.36
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam walaupun mempunyai tujuan
khusus akan tetapi pendidikan yang dilaksanakannya harus merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional dalam arti bahwa
pandidikan pada madrasah harus dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan
pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia dari awal
sampai proses menamatkan anak didik telah diatur oleh pusat sebagai pemegang
kebijakan, maka perlu adanya upaya restrukturisasi ataupun reformasi dalam
dunia pendidikan. Mungkin adanya kurikulum berbasis sekolah adalah merupakan
langkah awal dalam menata ulang sistem pendidikan yang sudah berlaku untuk
kemajuan suatu lembaga pendidikan yang akan datang.
2. Latar Belakang Munculnya Madrasah
Secara historis, kelahiran madrasah di Indonesia bisa dilihat dari dua
aspek, yaitu Pertama, aspek internal diantaranya meliputi faktor ajaran Islam dan
kondisi pendidikan Islam di Indonesia. Kedua, aspek eksternal diantaranya yang
menyangkut kondisi pendidikan modern kolonial di Indonesia. Secara sosial
kultural masyarakat Islam di Indonesia dan variasi keagamaan mempunyai
perbedaan dengan masyarakat dan tradisi keagamaan di negara negara Islam
lainnya.37 Sebelum kedatangan Islam masyarakat Indonesia sudah lebih dulu
mengenal dan terbentuk oleh budaya non Islam, yakni Hindu dan Budha,
animisme, dan dinamisme.38 Islam masuk ke Indonesia tidak dalam keadaan
kekosongan budaya, tetapi justru sudah terbentuk oleh budaya budaya sebelumnya
sehingga ajaran Islam di Indonesia terbentuk bukan hanya dari ajaran Islam
murni, tetapi lebih merupakan ajaran yang terkombinasi dengan budaya lokal
yang sudah terbentuk sebelumnya.39 Kelenturan ajaran Islam yang mengandung
nilai nilai universal mempermudah perpaduan nilai nilai Islam dengan nilai nilai
budaya lokal yang sudah berkembang.

35 Haidar, Historisitas, 34.

36 Maksud, Madrasah, Sejarah dan perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), 148.

37 Peradaban Islam tidak terlepas dari rentetan dialektis peradaban sebelumnya, baik secara
internal maupun ekternal. Nurkholis Majid, “Dialog Integral dalam Peradaban dan Pemikiran
Islam”, dalam Amir Husni, Citra Kampus Religius (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), 14-15.

38 Marwati Djoned Pusponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia Indonesia (Jakarta: Balai


Pustaka, 1984), 173.
Perpaduan antara Islam yang membawa semangat untuk pencarian ilmu
pengetahuan dan pengembangannya, dengan budaya lokal di Indonesia
membentuk tradisi intelektualitas tersendiri yang tidak terlepas dari karakter
karakter budaya masing masing. Islam yang berkombinasi dengan budaya budaya
lokal atau yang sering disebut dengan Islam sinkretis, inilah yang kemudian
banyak berkembang dan diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Maka
budaya Islam Indonesia lebih merupakan kelanjutan budaya budaya yang
terbentuk dan berkombinasi dengan ajaran ajaran Islam. Islam sinkretis yang
berkembang di Indonesia inilah yang kemudian berinteraksi dengan budaya
budaya lain, termasuk budaya barat. Madrasah adalah salah satu hasil dari bentuk
perpaduan antara budaya budaya Islam yang mempunyai akar budaya nusantara
dan budaya barat.
Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:
1. Periode Sebelum Kemerdekaan.
Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian
Al-Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah rumah,
surau, masjid dan pesantren, dan lain lain. Pada perekembangan
selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan,
materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya,
sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi
menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan
mempertahankan nilai nilai lama yang masih baik yang masih dapat
dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi
dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena
itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di
lembaga lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah
dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu ilmu umum.40
Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat
dikembalikan pada dua situasi yaitu41:
a. Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal abad
ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks
sebagaimana diuraikan oleh Karel A.Steenbrink dengan mengidentifikasi

39 Pj Zoetmulder, mengutip pendapat Cristhoper Dawson yang menyatakan bahwa agama adalah
salah satu kunci sejarah. Kita tidak akan memahami sebuah masyarakat tanpa memahami
agamanya. Kita tidak akan mengerti prestasi budaya masyarakat tanpa mengetahui keyakinan
agama yang dianut mereka. Menurutnya kreatifitas pertama sebuah masyarakat diilhami oleh rasa
keberagaman. Pj. Zoetmulder, The Significants of The Study of Culture and Religion for
Indonesian Historiography, dalam Soedjatmoko, An Intruduction to Indonesia
Historiography ( New York: Cornell University Press, 1975) 327.

40 Muhammad daud, Lembaga lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


1995), 149.

41 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos,1999), 82.


empat faktor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam di Indonesia,
antara lain :
1. Keinginan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadist.
2. Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah.
3. Memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan politik.
4. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh tokoh pembaharuan, pendidikan kiranya senantiasa
dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan
pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah
tidak bisa lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai oleh usaha
beberapa orang tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya
dikembangkan oleh organisasi organisasi Islam.

b. Respon Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan


HindiaBelanda.
Pertama kali bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk
berdagang, tetapi karena kekayaan alam nusantara yang sangat banyak,
maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai
wilayah nusantara sekaligus menanamkan pengaruh di Nusantara dengan
mengembangkan fahamnya yang terkenal dengan semboyan 3 G yaitu,
Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa
Indoensia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat Islam di
Indonesia.42
Dalam menyebarkan misi-misinya itu, Belanda (VOC) mendirikan
sekolah sekolah kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya
mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau pulau Ambon, di
Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30
sekolah.43 Dengan demikian, untuk daerah Batavia saja, sekolah kristen
sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah sekolah inilah Belanda
menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya.
Pada perkembangan selanjutnya diawal abad 20 atas perintah
Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk
sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak
anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara
luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum
untuk memasuki sekolah sekolah yang diselenggarakan secara tradisional
oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama
karena sekolah sekolah pemerintah Belanda dilaksanakan dan dikelola
secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodelogi,
sarana dan lain lain.

42 H.A.Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Pustaka


Setia, 1998), 94.

43 Ibid.
Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat
menyebabkan tumbuhnya ide ide di kalangan intelektual Islam untuk
memberikan respon dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan
tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide ide tersebut muncul dari
tokoh tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau
pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara
perseorangan maupun kelompok yang dinamakan madrasah atau sekolah.
Madrasah madrasah yang didirikan tersebut antara lain 44 :
a. Madrasah Adabiyah School. Madrasah ini didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang. Belum
cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan
dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah ini
mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi
Hollands Indansche School (HIS).
b. Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh M.Syekh
Thalib Umar di Sungayang Batusangkar pada tahun 1910.
Madras ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup dengan alasan
kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus
mendirikan Diniyah School sebagai kelanjutan dari Madras
School.
c. Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah
didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainuddin Labay
El Yunus di Padang Panjang. Madrasah ini merupakan madrasah
sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi juga
pelajaran umum.
d. Madrasah Muhammadiyah. Madrasah Muhammadiyah tidak
diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan berdiri
pada tahun 1918 yang didirikan oleh organisasi
Muhammadiyah.
e. Arabiyah School. Arabiyah School didirikan pada tahun 1918 di
Ladang Lawas oleh Syekh Abbas.
f. Sumatera Thawalib. Didirikan oleh Syekh Abdul Karim
Amrullah pada tahun 1921 di Padang Panjang. Sumatera
Thawalib ini tidak hanya berdiri di Padang Panjang tetapi juga
di Bukittinggi, Padang Japang, Sungayang/ Batusangkar, dan
Maninjau.
g. Madrasah Diniyah Putri. Didirikan di Padang Panjang tahun
1923 oleh Rangkayo Rahmah El Yunusia. Madrasah ini
merupakan madrasah putri pertama di Indonesia.
h. Madrasah Salafiyah. Didirikan oleh K.H.Hasyim Asy”ari pada
tahun 1916 di Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Madrasah ini
berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Madrasah-madrasah di atas merupakan pionir dalam pendirian
madrasah-madrasah lain diberbagai daerah lainnya untuk melakukan
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
44 Informasi lebih lanjut lihat Nizar, Sejarah, 2005.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia termasuk di
dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan
selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan
Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan
pengawasan.45 Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan
lama dan mempunyai sejarah panjang46, namun dirasakan pendidikan
Islam masih tersisih dari sistem pendidikan nasional. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24
Maret 1975 yang tersohor itu, yang berusaha mengembalikan
ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan
nasional.47 Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi
madrasah, karena pertama, ijasah dapat mempunyai nilai yang sama
dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah
dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga,
siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.48
Terbitnya SK 3 Menteri itu bertujuan antara lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan di lembaga lembaga pendidikan Islam
khususnya untuk bidang non agama. Di Dalam usaha peningkatan
komponen pendidikan non agama perlu dicermati agar tidak jatuh dari
ekstrim yang satu ke ekstrim yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri
khas pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan
yang diminta oleh perubahan zaman.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang
semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah
sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah Departemen Agama.
Namun pada perkembangan selanjutnya, akhir dekade 1980-an dunia
pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya U.U.No.2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang bercirikan Islam semakin mendapatkan tempatnya. Tetapi
ini menjadi kendala seperti yang dikhawatirkan Malik Fadjar “ Ketika
format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya,
sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan”.

45 Maksum, Sejarah, 132.

46 Malik Fajar, Madrasah dan tantangan Modernitas (Bandung: Mizan,1998), xi.

47 H.a.R.Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta,2000), 147.

48 Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi (Jakarta: Gema
windu Panca Prakasa,2000), 114.
C. Penutup
Surau bagi masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi. Tidak hanya
berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat, tempat tidur tetapi juga berfungsi
sebagai lembaga pendidikan Islam. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat
yang terbuka artinya masyarakat yang tidak menutup diri untuk menerima
perubahan. Sehingga pada akhirnya perubahan yang terjadi menjadi sebuah
ancaman bagi kelangsungan institusi surau sebagai sebuah lembaga pendidikan
Islam. Tetapi dibalik itu, surau telah mampu melahirkan ulama ulama besar yang
disegani baik di Minangkabau maupun di luar Minangkabau bahkan internasional.
Meunasah merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di
Aceh. Fungsinya hampir sama dengan surau yang ada di Minangkabau. Sebagai
lembaga pendidikan Islam tingkat rendah, materi pelajaran yang diberikanpun
masih seputar pengetahuan tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang
baik dan benar, kemudian baru diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak
dan ibadah. Lama pendidikannyapun tidak ditentukan berkisar antara dua sampai
sepuluh tahun, tidak dipungut bayaran, lembaga pendidikan ini telah mampu
mencetak masyarakat Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan
berkembang di pulau Jawa dan sampai sekarang tetap survive. Untuk bisa
dikatakan sebuah pesantren sekurang kurangnya harus memiliki Kyai, santri,
masjid, dan pemondokan (asrama).Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
Indonesia karena disebabkan oleh dua hal, yaitu karena adanya gerakan
pembaharuan di Indonesia dan sebagai respon pendidikan Islam terhadap
kebijakan Pendidikan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan
pemerintah terhadap madrasah masih belum jelas, madrasah masih tersisih atau
belum masuk kedalam sistem Pendidikan nasional. Setelah keluarnya SKB 3
Menteri tahun 1975 dan UUSPN tahun 1989, madrasah mendapatkan tempatnya
dalam sistem Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan


Aksi (Jakarta: Gema windu Panca Prakasa, 2000).
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
lembaga  Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo,2001).
Azyumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium
Baru, (Ciputat: Logos, 1999).
Azyumardi Azra, The Rise and the Decline of the Minangkabau: A Traditional
Islamic Educational Institution in West Sumatera During The Deutch
Colonial Government (Colombia: Colombia University, 1988).
Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang
Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terj.Lilian D.Tedjasukandhana
(Jakarta: INIS,1992).
Depag RI, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: 2005).
George Maksidi, The Rise of College Institutions of Islam and The West,
(Edinburgh University Press, 1981).
Hamka, Kenang kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
H.A.R.Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta,
2000).
H.A.Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
(Bandung: Pustaka Setia, 1998).
Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan tokoh tokohnya di Nusantara
(Surabaya: Al Ihklas,1983).
K.H. Ali Maksum, Ajakan suci (Yogyakarta: LTN NU, 1993).
Mustafa Syarif, Administrasi Pesantren (Jakarta: Karya Barkah,1982).
Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti,
1979).
Maksum, Madrasah, Sejarah dan perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1999).
Malik Fajar, Madrasah dan tantangan Modernitas (Bandung: Mizan,1998).
Marwati Djoned Pusponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Muhammad Daud, Lembaga lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995).
Nurcholis Majid, Bilik Bilik Pesantren, sebuah potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina,1997).
Nurkholis Majid, “Dialog Integral dalam Peradaban dan Pemikiran Islam”,
dalam Amir Husni, Citra Kampus Religius (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
Pj. Zoetmulder, The Significants of The Study of Culture and Religion for
Indonesian Historiography, dalam Soedjatmoko, An Intruduction to
Indonesia Historiography ( New York: Cornell University Press, 1975).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2010).
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam Potret Timur
Tengah Era Awal dan Di Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011).
Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam(Jakarta:Pustaka Al
Husna, 1989), 314-315.
Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS,1991).
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004).
Taufik Abdullah, Scholl and Politic: The Kaum Muda Movement in west
Sumatera (New York: Cornel University, 1971), 34. Lihat juga Hamka,
Kenang kenangan Hidup (Jakarta: Gapura,1951).
Zamakhsari Dhofier,  Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, LP3ES
(Jakarta: LP3ES,1986).

Anda mungkin juga menyukai