Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN PEMIKIRAN TOKOH MUSLIM MESIR “TAHA HUSSEIN”

(Ide Sekularisasi dan Kiprahnya dalam Reformasi Pendidikan Umat)


Salmah Nurul Qomariyah (A72218075)
salmaasharma12@gmail.com

Abstrak : Sekularisasi merupakan suatu istilah yang pada awalnya menunjuk pada suatu
keadaan tentang ketidakmampuan gereja memberikan konsumsi intelektual masyarakat dalam
urusan duniawi. Ide sekularisasi pernah dipopulerkan oleh tokoh Muslim Mesir bernama Taha
Hussein. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana ide sekularisasi Taha
Hussein dan kiprahnya dalam mereformasi pendidikan umat. Sementara itu teknik
pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekularisasi dalam pemikiran Taha Hussein adalah bentuk pembebasan atau pemisahan
kegiatan kehidupan manusia utamanya dari agama dan metafisika, dan perhatiannya dialihkan
pada masa sekarang sehingga terlepas dari zaman dahulu. Gagasan sekularisasi Taha Hussein
berkaitan dengan bidang agama, kebudayaan, pendidikan, dan politik. Menurutnya, jika umat
Islam ingin maju maka mereka harus mengambil peradaban Eropa. Maka dari itu, walaupun
ide sekularisasi ini menimbulkan kontroversi dan reaksi keras dari kalangan Ulama, namun
dalam realitanya Taha Hussein telah mampu mencapai puncak karirnya hingga berhasil
mereformasi pendidikan umat khususnya di negara asalnya, Mesir.

Kata Kunci : Taha Hussein, Pemikiran Tokoh, Sekularisasi

PENDAHULUAN

Wacana pemikiran kontemporer terhadap doktrin-doktrin Islam telah membelah umat


Islam menjadi dua arus utama. Pertama, arus dari kelompok yang berpikir jernih dan rasional
di satu sisi. Kedua, arus dari kelompok yang agak emosional dan tradisional. Arus yang kedua
biasanya cenderung terlalu berhati-hati memandang warisan ajaran-ajaran Islam. di samping
itu, kelompok ini cenderung memperlakukan ajaran agama sebagai sesuatu yang disakralkan,
sehingga sulit untuk menerima perubahan. Sementara itu, arus yang pertama biasanya hanya
dilakukan oleh para akademisi baik di kalangan umat Islam maupun non-Muslim atau elemen-
elemen lain anti Islam yang berusaha mendiskreditkan Islam. Kesalahan pihak terakhir ini
agaknya telah menimbulkan reaksi keras umat Islam yang berusaha melindungi warisannya

1
baik atau buruk suatu reaksi yang terkadang sering tergelincir pada sikap apologetic dan
membingungkan.1

Taha Hussein merupakan salah satu tokoh Muslim pembaharu Mesir yang memiliki
banyak gagasan bagi kemajuan umat Islam. Taha Hussein lahir pada tahun 1889 di Maghaghah,
Mesir.2 Ia berasal dari keluarga sederhana dan dimasa kecilnya ia telah mengalami kebutaan.
Namun adanya penyakit tersebut tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan Taha Hussein menempuh pendidikannya baik di negara Mesir
maupun ke luar negeri tepatnya di Sarbone University, Perancis. Setelah menyelesaikan
pendidikannya tersebut, Taha Hussein kembali ke Mesir dan ditunjuk sebagai dosen sejarah
hingga puncaknya yakni menjadi Menteri Pendidikan Mesir. Di samping itu semua, Taha
Husein menjadi lebih dikenal oleh sebagian besar orang saat ia mampu mereformasi
pendidikan umat serta gagasan sekularisasinya yang berhasil membuat heboh dan
menimbulkan kontroversi.

Berkaitan dengan di atas, sekularisasi berasal dari kata sekuler, dan istilah sekuler
berasal dari bahasa Latin seculum yang berarti masa kini atau zaman. Ia juga menunjukkan
kepada masa dan lokasi, masa menunjukkan sekarang dan dunia menunjukkan lokasinya.
Dalam bahasa Inggris sekuler disebut secular yang bermaksud hal dunia atau kebendaan,
duniawi atau sekular. Sementara dalam bahasa Arab sekuler bermaskud ‘alumi, dunyawi,
‘ilmani, ‘ami jilli dan qarni yang semuanya merujuk kepada unsur-unsur keduniaan. Maka dari
itu, pengertian sekularisasi adalah suatu istilah yang awalnya menunjuk pada suatu keadaan
tentang ketidakmampuan gereja memberikan konsumsi intelektual masyarakat dalam urusan
duniawi. Menurut Taha Hussein sekularisasi ialah pembebasan atau pemisahan kegiatan
kehidupan manusia utamanya dari agama dan metafisika, perhatian dialihkan pada masa
sekarang dan terlepas dari zaman dahulu.3 Lebih lanjut, pemikiran Taha Hussein yang
mengatakan bahwa Barat adalah peradaban terbaik. Umat Islam, menurutnya, harus menjadi
orang Barat dalam segala hal. Kemudian menimbulkan reaksi keras di kalangan para Ulama
pada saat itu. Rasyid Ridla, misalnya. Ia menganggap bahwa ide-ide yang dimunculkan Taha
Husein telah membuat dirinya keluar dari Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

1
Jauhar Hatta, “Thoha Husain dan Reformasi Pendidikan Islam: Suatu Upaya Interpretasi Kontekstual Atas Al-
Qur’an”, Al-Bidayah, Vol. 1, No. 2, Desember 2009, 167-168.
2
Taha Hussein, An Egyptian Childhood: The Autobiography Of Taha Hussein, Translated by E. H. Paxton,
(London: George Routledge & Sons. LTD., 1932), v.
3
Syadana, “Sekularisasi dalam Perspektif Thaha Husein”, Skripsi, (Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry,
2017), 7.

2
dapat ditarik rumusan masalah, yakni : Bagaimana Riwayat Hidup Taha Hussein? Bagaimana
Pemikiran dan Ide Sekularisasi Taha Hussein? Bagaimana Kiprah Taha Hussein dalam
Reformasi Pendidikan Umat?

PEMBAHASAN

Riwayat Hidup Taha Hussein

Taha Hussein merupakan salah satu tokoh pembaharu Mesir yang lahir pada tanggal 14
November 1889 di Maghaghah, Mesir.4 Taha Hussein berasal dari keluarga petani dan dimasa
kecilnya ia mendapat penyakit yang membuatnya kehilangan penglihatan untuk selamanya.
Adanya penyakit tersebut tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Di usianya ke-9 tahun,
saat belajar di sebuah Kuttab, Taha Hussein telah mampu menghafal 30 Juz Al-Qur’an. Di
samping itu pula Taha Hussein berusaha mempelajari Alfiyah Ibn Malik pada saudaranya yang
telah belajar di al-Azhar.5

Setelah menyelesaikan pendidikan madrasah pada tahun 1902, tepatnya di usianya ke-
13 tahun, Taha Hussein melanjutkan studinya di perguruan Islam al-Azhar. Di al-Azhar itulah
Taha Hussein memperoleh bimbingan dari Syaikh Sayyid Ali al-Marshafi, sehingga ia
memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai sastra Arab. Selain itu, di tempat ini pula Taha
Hussein bertemu dengan ide-ide M. Abduh dan murid-muridnya terutama Luthfi al-Sayyid.6
Namun selama beberapa tahun menempuh studi di al-Azhar, Taha Hussein merasa tidak puas
karena silabusnya yang tradisional dan membosankan membuatnya kurang aktif mengikuti
perkuliahan. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Universitas Cairo, Mesir. Di sanalah
Taha Hussein belajar bahasa Perancis kepada guru-gurunya yakni tokoh orientalis Eropa
seperti Nallino, Santillana, dan Littmann.7 Di sini pula Taha Hussein memperoleh pengetahuan
tentang metode Barat modern dalam melakukan penelitian sejarah dan kritik sastra. Kemudian
sebagai hasil studinya di Universitas ini, Taha Hussein mendapatkan gelar doktor pada tahun
1914 dengan disertasinya berjudul “Zhikra Abi al-Alla”. Pada bagian pendahulan disertasi ini
Taha Hussein mengkritik metode-metode pengajaran sastra Arab di tanah kelahirannya, Mesir.

4
Taha Hussein, An Egyptian Childhood: The Autobiography Of Taha Hussein, Translated by E. H. Paxton ..., v.
5
H.M Yunus Gozali, “Ide Sekularisasi Thoha Husein”, Al-Qalam, No. 72, XIV, 1998, 110.
6
Taha Hussein, The Stream Of Days: A Student at the Azhar, Translated by Hilary Wayment, (London, New
York, Toronto: Longmans, Green and Co., 1948), v dan ix.
7
Taha Hussein, An Egyptian Childhood: The Autobiography Of Taha Hussein, Translated by E. H. Paxton ..., vi.

3
Selanjutnya pada tahun 1915 Taha Hussein melanjutkan studinya di Universitas
Sorbonne, Perancis. Selama empat tahun di Perancis ia memperdalam pengetahuan tentang
sastra Perancis modern, falsafah, dan sastra klasik. Untuk keperluan studinya, Taha Hussein
banyak mendapatkan bantuan dari seorang wanita Perancis bernama Suzane Bresseau, yang
akhirnya resmi menjadi istrinya pada tahun 1917. Kemudian sebagai syarat memperoleh gelar
doktor untuk kedua kalinya, Taha Hussein membaca Anatole France dan mengikuti
perkuliahan Durkheim serta menulis disertasinya tentang Ibn Khaldun dengan judul “La
Philosophie Sociale d’Ibn Khaldun”.8

Sekembalinya dari Perancis pada tahun 1919, Taha Hussein segera ditunjuk sebagai
guru besar sejarah klasik (Yunani dan Romawi) dan guru besar sastra Arab di Universitas
Cairo, Mesir. Kemudian, pada tahun 1929, karena keaktifannya dalam hal menulis akhirnya
Taha Hussein ditunjuk sebagai redaktur koran al-Syiasat.9 Selanjutnya pada tahun 1930 Taha
Hussein menjadi dekan Fakultas Sastra di Universitas Cairo dan pada tahun 1942 ia menjadi
Rektor Universitas Iskandariyah. Lebih dari itu, puncak karir dari Taha Hussein ialah saat ia
memangku jabatan sebagai Menteri Pendidikan Mesir pada tahun 1950-1952. Dikala
memangku jabatan ini Taha Hussein telah berhasil menerapkan ide-idenya mengenai
pendidikan.10 Namun pada bulan Oktober 1973 dalam usianya ke-84 tahun, Taha Husein
menghembuskan nafas terakhirnya kendati pada tahun yang sama ia memperoleh penghargaan
“hadiah nobel” dalam bidang sastra.11

Pemikiran dan Ide Sekularisasi Taha Hussein

Meminjam konsep dari intelektual Muslim, Nurcholish Madjid, ia berpendapat bahwa


pengertian sekularisasi dinilai berbeda dengan istilah sekularisme. Sekularisasi ialah
pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan
duniawi. Sedangkan sekularisme adalah paham keduniawian dan bertentangan dengan hampir
seluruh agama di dunia. Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan
merubah umat Islam menjadi kaum sekularis, tetapi untuk menduniakan sesuatu nilai yang

8
Syadana ..., 15.
9
H.M Yunus Gozali ..., 110.
10
Anang M. Sholikhudin, “Politik Pendidikan Islam Masa Modern Membaca Gagasan Tokoh Pembaharu Di
Negara Turki, India, dan Mesir”, Al-Murabbi, Vol. 1, No. 1, 2016, 159.
11
Aksin Wijaya, “Kritik Nalar Tafsir Syi’ri”, Millah, Vol. X, No. 1, Agustus 2010, 4.

4
sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya.12

Berkaitan dengan di atas, adanya gagasan sekularisasi yang pernah dilontarkan Taha
Hussein di Mesir, dinilai cukup menghebohkan dunia bahkan menimbulkan reaksi yang keras
di kalangan ulama Mesir terutama dari kalangan Masyayikh dan pembaru tradisionalis seperti
Rasyid Ridha. Kendati sebagian intelektual Islam mendukung terhadap ide tersebut di dunia
Islam, namun tak sedikit pula yang menolak dan menentangnya. Maka dari itu dalam
membumikan gagasan tersebut Taha Hussein mencoba menuliskan sebuah ide sekularisasinya
di sejumlah koran maupun dalam bentuk buku. Terlebih lagi gagasan sekularisasi Taha Hussein
ini berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang agama, kebudayaan,
pendidikan, hingga politik.13

Ide Sekularisasi Dalam Bidang Agama

Taha Hussein telah melakukan pengkajian yang mendalam terhadap nash-nash al-
Qur’an dan al-Hadits. Ia melihat kembali penafsiran-penafsiran terhadap ajaran Islam selama
ini dan melepaskan diri dari ikatan-ikatannya, kemudian ia menyerukan untuk dilakukannya
kerja intelektual (ijtihad) yang baru, merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits dengan
mempertimbangkan ilmu dan ide-ide modern yang sedang berkembang.

Dari titik tolak seperti itu, Taha Hussein mampu menelusuri kesinambungan masalah
masa kini dengan masa lampau dalam peradaban dan mampu mengembangkan sikap analitis
terhadap Barat serta sikap kritis terhadap warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Taha
Hussein dapat menemukan bahwa umat Islam itu pada dasarnya dinamis, bahkan
kedinamisannya tersebut merupakan kelanjutan yang wajar dari kedinamisan nenek moyang
(masyarakat) jahiliyah.

Karena itulah Taha Hussein mengajukan kritik yang cukup akurat terhadap para
sejarawan dan agamawan yang mengenal dan menjelaskan kehidupan masyarakat jahiliyah
berdasarkan syi’ir al-jahily yang dianggapnya kebanyakan tidak asli, sehingga memberikan
penjelasan yang tidak fair mengenai masyarakat tersebut. Hal ini ia buktikan dengan
diterbitkannya buku mengenai syi’r Arab pra Islam fi al Syi’r al-jahily pada tahun 1926 M.
Dalam hal ini, baik secara langsung maupun tidak, Taha Hussein menuduh para ulama di masa

12
Barsihannor, “Pemikiran Taha Husain”, Al-Hikmah, Vol. XV, No. 1, 2014, 119.
13
Barsihannor ..., 119-120.

5
lalu, secara tidak kritis telah keliru, menisbahkan sya’ir-sya’ir zaman Islam kepada zaman
jahiliyah untuk kepentingan mendukung argumentasi-argumentasi keislaman di berbagai
bidang. Maka dari itu, Taha Hussein tidak hanya sekadar ingin mempraktikkan metode kritik
sejarah dan semantik yang diperolehnya dari Barat, melainkan ia menggagaskan
(sekularisasinya), agar umat Islam tidak memandang sakral bahasa dan sastra Arab terutama
sya’ir jahiliyah juga penafsiran para ulama dalam berbagai kajian keislaman termasuk
kehidupan pra Islam, tetapi mengajak umat Islam untuk kembali mengikatkan diri hanya pada
ajaran dasar Islam dan kemudian melakukan ijtihad.14

Ide Sekularisasi Dalam Bidang Kebudayaan

Menurut Taha Hussein, jika umat Islam ingin maju, maka mereka harus mengambil
peradaban Eropa, bahkan mereka harus menjadi orang Eropa dalam segala hal. Agar dapat
menjadi sejajar dan sama dengan orang-orang Barat, Dunia Islam haruslah mengikuti jejak
mereka dalam hal-hal yang positif maupun negatifnya; dalam hal-hal yang disenangi ataupun
yang tidak disukainya.15 Lebih lanjut, Taha Hussein kemudian mengemukakan empat
alasannya untuk dapat mengadopsi peradaban Barat. Pertama, hari demi hari umat Islam
tengah bergerak, disadari atau tidak mendekati Eropa, baik dari segi pemikiran maupun bidang
lainnya, sehingga umat Islam sekarang ini mengukur kemampuan dan keinginannya, di bidang
materi dari semua individu dan masyarakat dengan besar kecilnya pinjaman yang didapat dari
Barat. Maka dari itu secara teoritis dan praktis dapat diakui bahwa umat Islam telah memiliki
kesiapan untuk mengambil peradaban Barat itu.

Kedua, apa yang telah diambil umat Islam saat ini dari Barat, sebenarnya merupakan
permata yang pernah hilang dari tangannya. Pada masa silam Barat mengikuti jejak Islam dan
mempelajari bahkan mengambil peradabannya. Kini Islamlah yang berjalan mengikuti jejak
Barat dan mengambil dari sana apa yang pernah mereka miliki. Ketiga, Taha Hussein
berpendapat bahwa kehidupan Eropa bukanlah kehidupan yang penuh dengan dosa dan maksiat
semata, tetapi di sana terkandung kebaikan dan manfaat. Karena kemaksiatan murni
menurutnya, tidak mungkin membawa kemajuan padahal kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa Eropa kini telah meraih kemajuan itu. Sebaliknya kehidupan umat Islam kini
dan masa silam tidak mungkin semuanya baik, sebab kebaikan murni tidak akan membawa

14
H.M Yunus Gozali ..., 119.
15
Muhammad Iqbal dan Amin H. Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2010), 152.

6
kemunduran. Memang pada dasarnya dalam kehidupan, baik individu maupun masyarakat
tidak terlepas dari baik dan buruk. Dimana dan kapan saja bisa terjadi dan setiap generasi
mengalaminya.

Keempat, Taha Hussein mengemukakan tinjauan sejarah. Menurutnya apabila


berdialog dengan sejarah umat Islam, khususnya baik pada masa Daulah Umayyah maupun
pada masa Daulah Abbasiyah, maka akan ditemukan bahwa umat Islam pada masa lampau
tidak pernah merasa takut dan enggan untuk mengambil semua perangkat yang membawa
kepada kemajuan dari kebudayaan Parsi dan Yunani. Mereka tidak pernah menolak setiap
perangkat itu meskipun mereka mengetahui bahwa disana tersimpan pula keburukan-
keburukan yang merusak moral dan aqidah. Kesemuanya itu mereka lakukan berdasarkan
prediksi yang tepat tentang hasil yang akan dipetik daripadanya, yang ternyata sangat
bermanfaat bagi kemanusiaan hingga kini.

Ide Sekularisasi Dalam Pendidikan

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan lambatnya perkembangan pendidikan di


Mesir. Dua diantaranya ialah kurangnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa serta
diterapkannya kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan menuruti keinginan
penguasa negara saja. Melihat kondisi yang demikian, Taha Hussein menyimpulkan bahwa
pendidikan menempati posisi kunci terhadap cepat atau lambatnya Mesir mencapai masyarakat
modern. Akhirnya muncullah semboyannya yang amat terkenal “Pendidikan amat penting bagi
manusia, bagai pentingnya udara dan air”. Untuk itu ia mengemukakan ide-idenya yang pada
pokoknya mengacu pada dua sasaran, yaitu peningkatan intelektual dan pengembangan sarana-
sarana pendidikan.16

Ide Sekularisasi Dalam Politik

Dalam dunia Islam terdapat tiga aturan politik. Pertama, aliran yang berpendirian
bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan serba lengkap yang mengatur segala aspek
kehidupan termasuk kehidupan bernegara. Kedua, aliran yang berpendirian bahwa al-Qur’an
tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Dan ketiga, aliran yang berpendirian
bahwa dalam al-Qur’an tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata
nilai etika bagi kehidupan bernegara.

16
H.M Yunus Gozali ..., 123-129.

7
Taha Hussein dalam bidang politik, dapat dikelompokkan dalam kategori kedua.
Menurutnya, bentuk pemikiran seperti proporsi di ataslah yang dijadikan sebagai prinsip dasar
bagi kehidupan politik Eropa modern, sehingga pembentukan negara selalu didasarkan atas
kepentingan-kepentingan praktis dan bukan atas dasar agama. Lebih jauh Taha Hussein
mengatakan bahwa baginya agama itu merupakan persoalan dirinya dengan Tuhan. Karena itu
sejalan dengan ide-idenya, Taha Hussein berpendapat, jika Mesir ingin maju maka ia harus
menerapkan prinsip-prinsip dasar tersebut, yaitu mensekulerkan sesuatu yang dianggap sebagai
masalah dunia sistem politik dan tidak selalu mensakralkan, menganggap suci, sebagai sesuatu
yang ditentukan wahyu, sistem pemerintahan yang dibangun Nabi Muhammad saw di Madinah
dan para Khalifahnya.17

Kiprah Taha Hussein Dalam Reformasi Pendidikan Umat

Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya
membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan
dan segala tantangan yang kerap muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari
suatu perubahan. Pendidikan juga dinilai sebagai sarana terbaik yang didisain untuk
menciptakan generasi baru yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri,
tapi juga sekaligus tak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan
mereka.18 Maka dari itu sesuai dengan profesinya sebagai seorang pendidik, Taha Hussein
mengamati perlunya dilakukan reformasi sistem pendidikan terutama di Mesir. Ia berpendapat
bahwa pendidikan dasar sebagai dasar kehidupan yang demokratis haruslah bersifat umum dan
di wajibkan. Selain itu, pendidikan menengah memiliki problem yang lebih sukar karena ada
beberapa macam pendidikan, keagamaan, dan bahasa asing sehingga harus diadakan kontrol.
Terlebih lagi Taha Husein mengkritik kebijakan pemerintah yang telah banyak mengirim
mahasiswa ke Eropa untuk mempelajari berbagai ilmu, namun tidak mengirim mahasiswa
untuk memperdalam sastra. Menurutnya sastra Arab memiliki kedudukan penting dikarenakan
bahasa Arab telah menjadi bahasa orang Mesir dan Mesir adalah pusat kebudayaan Arab
modern.19

17
H.M Yunus Gozali ..., 129-131.
18
Jauhar Hatta ..., 171-172.
19
Syadana ..., 32.

8
Selanjutnya keberanian sosok Taha Hussein kembali terlihat dalam upayanya
mengkritik kurikulum pendidikan al-Azhar yang masih bersifat tradisional. Menurutnya al-
Azhar yang menjadi tumpuhan pendidikan tinggi Islam hanya berupaya untuk
mempertahankan ortodoksi Sunni. Sistem al-Azhar tidak memberikan kebebasan berfikir
kepada mahasiswa, padahal kebebasan berfikir merupakan salah satu ciri masyarakat modern.
Oleh sebab itu, pada saat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan Mesir (1950-1952), realisasi
gagasan reformatif Taha Hussein semakin membuahkan hasil. Program pokoknya untuk
memajukan Mesir ialah ingin mengentaskan rakyat dari buta huruf, memperbanyak jumlah
sekolah terutama sekolah modern, dan memperbaharui kurikulum pendidikan yang ada.
Kurikulum tersebut diarahkan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme anak. Karena itu sejarah
nasional, bahasa nasional (Arab), dan agama nasional (Islam) harus dipelajari di sekolah. Selain
itu juga sebagai konsekuensi dari reformasi sistem dan kurikulum pendidikan tersebut, Taha
Hussein menegaskan dalam bukunya Mustaqbal al-Tsaqafat Fi Mishr (Masa depan peradaban
di Mesir) bahwa jika umat Islam ingin maju maka ia harus menempuh jalan yang telah
dilakukan orang-orang Eropa agar bisa setara dan menjadi partner mereka dalam peradaban.20
Usahanya ini pun tidaklah sia-sia, keberhasilan Taha Hussein terlihat dari didirikannya 2.600
ruang belajar, dihapuskannya uang sekolah untuk tingkat menengah, dan berpengaruh terhadap
lahirnya Dekrit Gamal Abdul Nasr untuk menambah Fakultas Kedokteran, Administrasi
Dagang, Pertanian, dan Teknik di Universitas al-Azhar, Mesir.21

20
Jauhar Hatta ..., 174-175.
21
Syadana ..., 33.

9
KESIMPULAN

Taha Hussein merupakan tokoh Muslim pembaharu Mesir yang memiliki banyak
gagasan bagi kemajuan umat Islam. Taha Hussein lahir pada tahun 1889 di Maghaghah, Mesir.
Ia berasal dari keluarga sederhana dan dimasa kecilnya ia telah mengalami kebutaan. Namun
adanya penyakit tersebut tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan
dengan keberhasilannya menempuh pendidikan baik di negara Mesir maupun ke luar negeri.

Ide sekularisasi Taha Hussein di Mesir, dinilai cukup menghebohkan dunia bahkan
menimbulkan reaksi yang keras di kalangan ulama. Terlebih lagi Taha Hussein juga
membumikan gagasan tersebut dengan menuliskannya di sejumlah koran maupun dalam
bentuk buku. Gagasan sekularisasi Taha Hussein berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan
baik dalam bidang agama, kebudayaan, pendidikan, hingga politik.

Pada saat Taha Hussein menjabat sebagai Menteri Pendidikan Mesir (1950-1952),
realisasi gagasan reformatifnya terhadap pendidikan umat semakin membuahkan hasil. Hal ini
terlihat dari didirikannya 2.600 ruang belajar, dihapuskannya uang sekolah untuk tingkat
menengah, dan lahirnya Dekrit Gamal Abdul Nasr untuk menambah Fakultas Kedokteran,
Administrasi Dagang, Pertanian, dan Teknik di Universitas al-Azhar, Mesir.

10
DAFTAR PUSTAKA

Barsihannor. “Pemikiran Taha Husain”. Al-Hikmah. Vol. XV. No. 1. 2014.

Gozali, H.M Yunus. “Ide Sekularisasi Thoha Husein”. Al-Qalam. No. 72. XIV. 1998.

Hatta, Jauhar. “Thoha Husain dan Reformasi Pendidikan Islam: Suatu Upaya Interpretasi
Kontekstual Atas Al-Qur’an”. Al-Bidayah. Vol. 1. No. 2. Desember 2009.

Hussein, Taha. An Egyptian Childhood: The Autobiography Of Taha Hussein. Translated by


E. H. Paxton. London: George Routledge & Sons. LTD. 1932.

Hussein, Taha. The Stream Of Days: A Student at the Azhar. Translated by Hilary Wayment.
London, New York, Toronto: Longmans, Green and Co. 1948.

Iqbal, Muhammad dan Amin H. Nasution. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2010.

Sholikhudin, M. Anang. “Politik Pendidikan Islam Masa Modern Membaca Gagasan Tokoh
Pembaharu Di Negara Turki, India, dan Mesir”. Al-Murabbi. Vol. 1. No. 1. 2016.

Syadana. “Sekularisasi dalam Perspektif Thaha Husein”. Skripsi. Aceh: Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry. 2017.

Wijaya, Aksin. “Kritik Nalar Tafsir Syi’ri”. Millah. Vol. X. No. 1. Agustus 2010.

Wijaya, Aksin. “Menggugat Otentisitas Syi’ir Jahiliyah: Telaah atas Kra & Thoha Husein
Terhadap HalmTafsk Syrri”. ‘Anil Islam. Vol. 3. No. 1. Juni 2010.

11

Anda mungkin juga menyukai