Anda di halaman 1dari 8

Studi Islam tampaknya masih merupakan sebuah harapan karena sampai saat ini, di

berbagai wilayah yang agama Islam merupakan agama mayoritas para penduduk,
setudi Islam belum banyak dilakukan. Meskipun demikian , upaya untuk
mengembangkan studi Islam di berbagai wilayah tetap di usahakan oleh para sarjana
muslim dan para sarjana yang berkecimpung dalam kajian-kajian keislaman, meskipun
usaha  mereka belum maksimal.
Banyak ilmuan mengkaji Islam yang memulai pengkajian Islam dalam beberapa
pendekatan studi, terutama studi wilayah yang akan kita bahas dalam bab ini. Melihat
pada perkembangan politik, sejarah dan budaya sangat dinamis, dan kurangnya umat
Islam mengkaji agamanya, menjadikan studi wilayah ini di anggap sangat uregen dan
signifikan untuk dikaji dan di kembangkan.
Pengertian Studi Kawasan Islam
Studi Islam secara etimologi merupakan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam
kajian Islam di Barat, studi Islam disebut Islamic Studies, yang secara harfiah adalah
kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara
terminologis, studi Islam adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk
mengetahui, menggunakan, dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan
dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam ataupun realitas
pelaksanaannya dalam kehidupan.
Studies adalah bentuk jamak dari studi, menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan
terhadap sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada satu bidang kajian, tetapi terdiri
atas berbagai bidang. Secara terminologis studi wilayah adalah pengkajian yang
digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian tentang suatu masalah  menurut wilayah
masalah tersebut terjadi.
Studi kawasan Islam adalah kajian yang tampaknya dapat menjelaskan situasi saat ini
karena fokus materi kajiannya tentang berbagai area mengenai kawasan dunia Islam
dan lingkup pranata yang ada di dalamnya. Mulai dari pertumbuhan, perkembangan,
serta ciri-ciri karakteristik sosial budaya  yang ada di  dalamnya, termasuk juga faktor-
faktor pendukung bagi munculnya berbagai ciri dan karakter serta pertumbuhan
kebudayaan pada setiap kawasan Islam. Dengan demikian, secara formal, objek
studinya harus meliputi aspek geografis, demografis, historis, bahasa, serta berbagai
perkembangan sosial budaya, yang merupakan ciri-ciri umum dari keseluruhan
perkembangan pada setiap kawasan budaya.
Studi wilayah (area studies) terdiri atas dua kata, yaitu area dan studi. Area
mengandung arti "region of the earth's surfaces", artinya daerah permukaan bumi. Area
juga bermakna luas- daerah kawasan setempat, dan bidang. Sementara studi
mengandung pengertian "devotion of time and thought to getting knowledge", artinya
pemanfaatan waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Studi juga
mengandung pengertian "something that attracts investigation, yaitu sesuatu yang perlu
untuk dikaji.
Sejarah Studi Kawasan Islam
Persoalan hubungan antar batas-batas wilayah sebuah negara sebenarnya sudah
menjadi perhatian para ahli kenegaraan sejak zaman Yunani sekitar tahun 450-an SM.
Ptolemy, Thucydidas, Hecataeus, dan Herodotus merupakan sejarawan Yunani yang
cukup intens dengan kajian-kajian wilayah yang dikenalnya, baik melalui cerita orang
maupun dari hasil pengamatan terhadap wilayah-wilayah yang ia kunjungi. Selain
sejarawan, mereka juga pengelana.
Seribu tiga ratus (1.300) tahun kemudian, Kaum Muslimin memiliki kemampuan yang
luar biasa dalam mengembangkan studi kawasan ini dengan berbagai corak ragam
yang lebih dinamis lagi. Karya-karya mereka telah melampaui sejarawan Yunani, di
mana pembahasannya bukan lagi berbicara tentang realitas sejarah, tetapi lebih maju
lagi, yaitu cara-cara menanganinya.
Munculnya berbagai karya sejarah dengan tema-tema kajian wilayah dimulai dari awal
penciptaan sampai mulai dihuni umat manusia, merupakan kajian-kajian yang sangat
populer dan hampir dapat ditemukan dalam karya-karya sejarah klasik Islam. Sekalipun
kajian geografi sebagai disiplin ilmu agak berbeda dengan sejarah, di kalangan
sejarawan muslim hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena objek pembahasan
antara keduanya saling melengkapi karena kajian sejarah sangat membutuhkan kajian
tentang ruang dan waktu sebagai aktivitas pelakunya. Oleh karena itu, karya-karya
tentang geografi dan sejarah telah menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dari
perkembangan historiografi Islam secara umum.
Sebenarnya banyak sekali studi yang telah dilakukan oleh para sarjna muslim klasik
dan pertengahan dalam melihat berbagai kawasan dan kantong-kantong kaum muslim
di berbagai wilayahnya. Perhatian mereka terhadap potensi-potensi wilayah, baik desa,
kota maupun berbagai kegiatan kependudukannya jelas membuktikan bahwa studi
kawasan Islam sepanjang sejarahnya selalu menarik perhatian. Sejarah wilayah seperti
Halb, Mesir, dan sebagainya yang menjadi objek studi, telah ditulis Bughyat Ath-Thalib
fi Tarikh Al-Halab.
Karya Al-Baladzuri, Futuh al-Buldan wa Ahkamuha merupakan kajian sejarah yang
sangat mementingkan tinjauan wilayah. Karya monumental ini merekam seluruh proses
penaklukan dan penanganan terhadap wilayah-wilayah baru kaum Muslim, seperti
Syam, Irak, Mesir, Maroko, Armenia, serta wilayah Persia lainnya. Secara metodologis
Baladzuri tidak hanya mengandalkan fakta tulis atau riwayat pengalaman pelaku, tetapi
ia juga berhasil melihat dimana wilayah-wilayah hampir seluruhnya telah ia kunjungi.
Baladzuri wafat tahun 892 M. Semasa hidupnya ia menjadi penasihat para Khalifah
Abbasiyah, Al-Mutawakkil ‘Alallah dan Al-Musta’in Billah, bahkan ia mendidik Al-Mu’taz.
Al-Ya’qubi sebagai pegawai di kekhalifahan Abbasiah dan diperkirakan meninggal
tahun 292 H, telah menulis karya al-Buldan (jama’ dari balad; negara-negara)
membicarakan bukan hanya cara-cara penaklukkan dan penanganan wilayah-wilayah
Islam, melainkan juga berbagai potensi sumber daya alam dan ekonomi tiap-tiap
wilayah ia gambarkan secara jelas. Sebagai penulis ia telah mengunjungi semananjung
India, Arab, Syam, Palestina, Libya, Aljazair, dan Sebagainya. Ia mencari sumber-
sumber otoritatif dalam aspek-aspek geografi wilayah-wilayah Islam. Sebagai seorang
pengelana dan Sejarawan, ia telah mengunjungi dan mengamati lebih dari 70 kota dan
wilayah Islam baik di Afrika Utara, Asia maupun Spanyol.
Al-mas’udy, penulis Maruj ad-Dzahab, mengawali pengetahuaan tentang geografi dan
sejarah dari hasil pengembaraannya ke berbagai wilayah, baik wilayah muslim maupun
wilayah non-muslim. Ia sering menerima berbagai informasi sehingga penjelasannya
tentang keberadaan dan sejarah wilayah sangat kaya. Ia sangat menguasai adat
istiadat dan pembangunan, pola kehidupan setiap masyarakat yang dikunjunginya,
termasuk bahasa dan iapun memiliki keakraban dengan tokoh lokal. Karya ini ditulis
tahun 947 M, ia meninggal tahun 956 M di Fusthath.
Al-Birruny, penulis kitab Al-Hind merupakan sejarawan yang ahli dalam kajian wilayah
India. Ia bukan hanya sebagai sejarawan, melainkan juga ahli dalam penelitian dan
observasi dalam ilmu lainnya. Sebagai seorang penasihat dinasti Ghaznawy, Sultan
Mahmud Ghazna bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemerintahan, tetapi juga
menjelaskan secara objektif keberadaan wilayah, keagamaan, mentalitas penduduk,
pemikiran India dan upaya-upaya yang harus ditangani oleh para penguasa muslim.
Kitab Al-Hind ini ditulis tahun 1017 M.
Begitu banyak orang mengkaji wilayah dengan berbagai variasinya, dan setiap periode
menunjukkan trend yang berbeda-beda. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarahnya,
istilah geopolitik baru lahir sebagai istilah baru abad ke-19, sebagai bagian dari konsep
“geo-strategy” bangsa Jerman yang dikembangkan oleh Otto van Bismarck, dengan
“unification of the German States”. Teori ini pada akhirnya menjadi suatu bagian yang
lebih luas dari kajian geografi secara umum.
Pada tahun 1890 Alferd Thayer menulis tentang“The Influence of Sea Power Upon
History” Rudolf Kjellen ahli geografi politik Swedia kemudian memunculkan istilah
kekuatan wilayah (the power of area) pada akhir abad ke-19. Tulisan ini kemudian
mengilhami Friedrich Ratzel seorang ahli ilmu alam, untuk merumuskan teori
“geopolitik” secara utuh dalam bukunya “politische Georaphie” tahun 1879. Dalam
teorinya ia menyatakan bahwa setiap negara selalu mengupayakan wilayah
kesatuannya dan membentenginya terhadap upaya-upaya negara lain untuk merebut
tanah wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu, semua negara (nasionalisme) ingin
hidup dalam wadah wilayah kesatuan bagi kehidupannya.
Studi Kawasan Islam
 Kawasan Timur Tengah
Pusat penyebaran Islam pertama kali adalah di Jazirah Arab, yang kini disebut dengan
Arab Saudi. Dalam negeri ini, terdapat dua kota yang sangat historis dan menjadi pusat
perhatian dunia, yaitu Mekah dan Madinah. Dua kota ini, dalam sejarah Islam dikenal
dengan sebutan Haramain (dua kota yang dimuliakan). Di kota Mekah inilah pada tahun
570 M seorang anak laki-laki dilahirkan. Anak ini diberi maka Muhammad (yang terpuji).
Muhammad diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun atau tepatnya pada tahun 610
M. Jejak langkah Nabi Muhammad SAW menjadi perhatian dunia. Michael Hart dalam
bukunya, 100 tokoh yang berpengaruh, memosisikan Nabi Muhammad SAW
sebagai orang pertama yang dapat memengaruhi dunia. Salah satu argumentasinya
adalah karena Nabi yang yatim sejak lahir mampu mengubah orang Arab jahiliyah
(bodoh dalam perilaku dan peradaban) menjadi masyarakat yang beradab dalam waktu
yang relatif singkat, hanya dalam waktu 23 tahun untuk mengubah perilaku bangsa
Arab yang biadab menjadi beradab dan berakhlak karimah. Padahal, jika dilihat tokoh-
tokoh berpengaruh lainnya yang dapat mengubah suatu masyarakat, mereka
membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan berabad-abad.
 Kawasan Afrika
Afrika menjadi perhatian para peneliti tentang keislaman karena ada sebagian dari
benua ini yang warganya beragama Islam. Bahkan, dari benua ini pula lahir pemikir
Islam besar sejak zaman klasik hingga modern.  Ibnu Khaldun, bapak sosiolog Islam
pertama, adalah intelektual Muslim yang pernah hidup di Maroko.
 Kawasan Eropa dan Amerika Serikat
Di Eropa kajian masalah Timur terpisah menjadi suatu kedisiplinan abad ke-19. Di
Prancis dan Inggris, motivasi kajian Timur Tengah merupakan kepentingan politik
karena wilayahnya itu merupakan incaran sebagai daerah jajahan.
Islam di Amerika Serikat  berkembang dengan pesat dan Muslim menjadi pemeluk
agama kedua terbesar setelah umat Kristiani.
Di Belanda, menurut salah satu ilmuwan di sana, studi Islam di Belanda sampai setelah
perang dunia II, masih merupakan refleksi dari akar anggapan seperti Islam
bermusuhan dengan kristen, dan pandangan Islam sebagai agama yang tidak patut
dianut. Saat ini, ada sifat yang lebih objektif seperti yang tertulis dalam berbagai brosur,
studi-studi Islam di Belanda lebih menekankan kepada kajian Islam di Indonesia
tertentu, kurang menekankan pada aspek sejarah Islam. [1]
 Islam di Asia Tenggara
Istilah Asia Tenggara yang dimaksud dalam tulisan-tulisan de Graaf, Roff, dan benda
adalah wilayah-wilayah Islam di Indonesia, Malaysia (Semenanjung dan Kalimantan
Utara), patani (Thailand), dan mindanau (Filipina Selatan).
Adapun mengenai kedatangan Islam ke Asia Tenggara terdapat tiga pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Asia tenggara langsung
dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Crawfurd menyatakan bahwa Islam yang datang
ke Asia Tenggara berasal dari Arab. Keyzer berpendapat bahwa Islam yang datang ke
Asia tenggara berasal dari Mesir yang bermazhab Syafi’i. Sedangkan Nieman dan de
Hollander bependapat bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggaara berasal dari
Hadramaut karena keamaan mazhab yang di anut, yaitu mazhab Syafi,i. Di samping itu,
Veth berpendapat bahwa Islam dibawa oleh "orang-orang Arab" tanpa menyebut
daerah asalnya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hamka yang menyatakan
bahwa Islam datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan
abad ke-11, tapi abad ke-7.
Kedua,pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggara berasal
dari India. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada tahun 1872.
Berdasarkan hasil penelaahannya, ia berkesimpulan bahwa yang membawa Islam ke
Asia Tenggara adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di
India. Pendapat ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronye. Ia menyatakan bahwa
bahwa para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan adalah pembawa Islam
ke Asia teggara (Sumatera). Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Morrison pada
tahun 1951 dengan menunjuk tempat yang pasti di India, yaitu pantai Koromandel
sebagai pelabuhan tempat bertolaknya pedagang Muslim dalam pelayaran mereka
menuju Nusantara.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang datang ke Asia Tengggara
berasal dari Benggali (kini Bangladesh). Sambil mengutip pendapat Tome Pires, Azra
mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang-orang
Benggali dan keturunannya. Pendapat ini di kemukakan oleh Fatimi. Namun, pendapat
ini di bantah oleh Drewes yang mengatakan bahwa pendapat Fatimi hanya perkiraan
belaka, karena mazhab yang dianut di Benggala adalah mazhab Hanafi, bukan mazhab
Syafi'i, seperti yang dianut oleh Muslim di Nusantara. Akhirnya, Azyumardi Azra
menjelaskan bahwa pendapat tersebut masih bersifat tentatif,  belum final, sehingga
masih terbuka kesempatan munculnya penafsiran baru berdasarkan penelitian atas
sumber-sumber sejarah yang ada.
Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah para
pedagang Muslim dalam jalur perdagangan yang damai; kedua, melalui dakwah para
da’i dan orang-orang suci yang datang dari India atau arab yang sengaja ingin
mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasaan atau peperangan
dengan Negara-negara penyembah berhala.[2]
Orientalisme: Melihat Islam Kritis
Orientalisme (dari kata "orient" berarti timur) adalah cara dan kebiasaan yang dilakukan
oleh sarjana Barat untuk memberi karakteristik terhadap dunia timur, mencakup studi
tentang budaya, bahasa, sastra, agama berbagai hal mengenai ketimuran.
Dikatakan orientalisme (menambah "isme") karena barat mempunyai predisposisi dan
praanggapan tertentu baik secara epistemologis, ontologis, aksionlogis memandang
Timur termasuk dunia Islam.[3]
Tujuan Barat Mempelajari Islam:
1. Untuk menarik simpati umat Islam.
2. Untuk melemahkan Islam dari dalam.
3. Untuk menunjukkan superioritas mereka sebagai orang Barat.
4. Untuk memperjuangkan doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik.
5. Untuk kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian tersebut.[4]
Salah satu tujuan orientalis adalah mengolonialisasi  dunia Islam di segala aspek
agama, ekonomi budaya dan kekuasaan. Selain ada empat mazhab (Maliki, Hanbali,
Syafi’i, dan Hanafi) yang selama ini menjadi rujukan negara di dunia, kini ada lagi
rujukan yang digunakan kalangan Islam , yaitu rujukan orientalis.
Orientalis dan tujuan barat mempelajari islam bukan untuk mendapatkan keimanan
yang benar. Menurut syamsudin, ada empat alasan mempelajari islam. Pertama,
terpesona terhadap studi Islam (fascination). Kedua, ingin tahu (curiosty). Ketiga,
agama (missionary). Keempat, karena god (tuhan /agama), gold
(kekayaan/imperialisme), dan glori (kekuasaan) atau sering di istilahkan  3G.
Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan ajaran agama.
Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) manusia  adalah pemilik
risalah ‘alamiah (global) yang datang untuk  seluruh manusia di seluruh penjuru dunia.
Benar kitab suci kita berbahasa arab Rasul kita seorang arab, dan Islam tumbuh di
dunia timur (arab). Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Islam di tunjukan  hanya untuk
bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk  bumi. Agama masehi tumbuh di
dunia timur, lalu tersebar di penjuru dunia; (2) jalan untuk saling pengertian dan
berdekatan cukup banyak. Salah satunya adalah ta’aruf. Di ta’aruf bukan saling
bermusuhan merupakan kewajiban semua penduduk bumi.  Kita tidak sependapat
dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan ‘’ Timur adalah Timur, Barat adalah
Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu”. Keduanya justru bisa bertemu, bahkan wajib
untuk bertemu  apabila niatnya benar; (3) dunia yang semakin dekat ini mengharuskan
menganut agama-agama samawi dan memiliki setiap peradaban untuk bertemu,
berdialog, dan saling memahami. Tentu dialog macam itu  lebih baik daripada
permusuhan[5].
Oksidentalisme: Menjawab Islam Sejati
Oksidentalisme (al –istighrab), secara harfiyah berarti hal-hal yang berhubungan
dengan Barat, adalah kajian tentang Barat dari perspektif non-Barat, sebagai lawan
Orientalisme, kajian tentang Timur dari perspektif Barat.[6]
Jika Orientalisme secara sengaja mengambil posisi keberpihakan sampai pada tingkat
niat buruk yang terpendam,maka oksidentalisme mengutarakan kemampuan ego
sebagai emosi yang netral dalam memandang the other, mengkajinya, dan
mengubahnya menjadi obyek, setelah sekian lama the other menjadi subyek yang
menjadikan  pihak lain sebagai obyek. Hanya saja, Oksidentalisme kali ini dibangun di
atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan
pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin
mengetahui keterbentukan dan strukturnya. Ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif
dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Bahkan kadang-kadang tampak
bahwa ego Barat dan syarat  obyektivitas dan netralitas yang digembar-gemborkannya
sejak abad lalu hanya dimanfaatkan untuk menyembunyikan egosentrisme dan
keberpihakan Barat seperti terlihat dalam orientalisme.[7]
Dunia Islam Sebagai Objek Studi Antara
Timur dan Barat
Perbedaan Tipologis Barat dan Timur (Dunia Islam):
Landasan Filosofis Dunia Barat Dunia Timur

Epistemologis Landasan ilmiah: Empirik Landasan ilmiah Non-empiris


rasional. Tidak ada justifikasi (al-Quran/Hadis). Al-Quran
dari yang non-empiris dan al-Hadis tempat
mengkonsultasikan temuan
rasio yang empirik

Ilmu mengutamakan: Ilmu mengutamakan


Epistemologis, metodik Ontologis dan aksiologis.

Kebenaran tertinggi adalah Kebenaran tertinggi adalah


kebenaran ilmiah (scientific yang bersumber dari yang
truth) Absolut/Ilahiyah.

Ontologis Manusia sebagai titik pusat Tuhan sebagai titik pusat


alam semesta (Teosentrik) orientasi ilmu
(antroposentrisme) dan dan tujuan aktifitas
sumber serta orientasi ilmu
dan tujuan aktifitas

Aksiologis Ilmu untuk power Etika: Mutlak, konstan


Etika: Relatif, Kondisional

Peradaban tersebut memperlihatkan bahwa Barat dan Timur adalah dua dunia yang
berbeda.[8]
Terdapat sejumlah alasan yang mendasari perlunya mempelajari perkembangan  Islam
di Barat dan di Timur, sebagai berikut:
1. Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai agama samawi terakhir lahir
di Timur Tengah, tepatnya di Mekkah dan Madinah, yang selanjutnya menyebar
tidak hanya di kawasan Timur Tengah melainkan juga ke berbagai kawasan di
dunia, termasuk Asia, Afrika, Eropa, dan Barat. Karena karakter kajian Islam di
Barat dan Timur memiliki perbedaan, maka hal ini perlu dikaji secara saksama.
2. Di kalangan pemikir Islam di Indonesia terdapat pro kontra  tentang belajar Islam
di Barat. Sebagian ada yang menerima dan menganjurkan, dan sebagian ada
yang menolak atau melarangnya; dan ada pula yang tidak melarang dan tidak
pula menganjurkannya.
3. Islam di Barat saat ini, bukan hanya dijadikan bahan kajian akademik dan
penelitian oleh para calon magister dan doktor pada berbagai  perguruan tinggi
terkemuka, seperti Harvard, UCL (Universitas California), Ohio dan Columbia di
Amerika, atau beberapa universitas lainnya di Kanada, Australia dan Belanda,
melainkan Islam juga telah menjadi ajaran yang dihayati, dipahami, dan
diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Keadaan ini merupakan fenomena
yang menarik untuk diketahui dan dijadikan bahan perbandingan untuk
kepentingan dakwah dan pengembangan studi Islam.[9]
Studi Islam di Barat ditinjau dari perspektif sejarah, studi yang dilakukan oleh orang
indonesia di Barat berlangsung cukup lama. Sekalipun demikian, fokus studi yang
dilakukan belum menyentuh secara langsung dengan bidang kajian Islam. Adapun
Studi Islam di Timur hampir sama yang terjadi di Barat, studi Islam di negeri-negeri
Timur Tengah juga bervariasi. Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat
perbedaan. Hal ini wajar karena karakteristik studi Islam dipengaruhi oleh berbagai
faktor antaranya faktor kebijakan politik, dinamika sosial budaya, latar belakang
pemegang kebijakan pendidikan perkembangan Ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
[10]
Problem dan Prospek Pendekatan Studi
Kawasan
Pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi bidang persejarahan,
linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan terhadap keadaan
masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Problematika yang dihadapi pada penelitian
dengan menggunakan penelitian studi area dalam studi Islam dan komunitas Muslim
berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan di selidiki.
Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah
yang dijangkaunya semakin besar persiapan yang dilakukan untuk menerapkan studi
area.[11]
Prospek pendekatan studi area dapat dikatakan sangat baik hal ini mengingat perlunya
dibangun saling pengertian dan kerjasama antara komunitas Muslim dunia yang
meliputi luas wilayah mencapai 31,8 juta km atau sebanding dengan 25% dari seluruh
wilayah dunia, memanjang dari Indonesia di sebelah timur hingga senegal di sebelah
barat, serta dari utara Turkistan hingga ke selatan Mozambik, dengan jumlah populasi
umat Islam mencapai 1.334.000.000 jiwa , mayoritas hidup di dunia Islam (+/- miliar)
dan selebihnya hidup sebagai minoritas Muslim (+/- 334.000.000) Minoritas Muslim
tersebut yang terbanyak berada di India dan Cina.[12]

Referensi
[1] Koko Abdul Kodir. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014. hlm: 210-
215
[2] Drs. Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2011 hlm: 167-168
[3] Moh. Natsir Mahmud,”Orientalisme: Pendekatan Barat Dalam Studi Islam,” (Kudus:
Maseifa Jendela Ilmu, 2013) hlm: 157
[4] Abuddin Nata,”Studi Islam Komprehensif,”(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011) hlm:552-553
[5] Koko Abdul Kodir. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014. hlm:220-
221
[6] Koko Abdul Kodir. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014. hlm:221
[7]Hassan Hanafi,”Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,” (Jakarta:
Paramadina, 2000) hlm: 29
[8] Moh. Natsir Mahmud,”Orientalisme: Pendekatan Barat Dalam Studi Islam,” (Kudus:
Maseifa Jendela Ilmu, 2013) hlm: 158-159
[9] Abuddin Nata,”Studi Islam Komprehensif,”(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011) hlm:545-546
[10] Koko Abdul Kodir. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014. Hlm: 236
[11] Ibid hlm: 237
[12] Ibid hlm: 234
[13] Koko Abdul Kodir. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2014. Hlm: 236
[14] Ibid hlm: 237

Anda mungkin juga menyukai