Anda di halaman 1dari 15

TAKHRIJ AL-AHKAM SEBAGAI

PARADIGMA DALAM METODOLOGI


IJTIHAD

Oleh:
Tedi Kurniawan

KELOMPOK: SUKU BAUZI


Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

Pendahuluan

Islam adalah agama yang memusatkan perhatiannya kepada kemaslahatan,


baik itu didunia maupun diakhirat. Seiring berjalannya waktu, Islam berkembang
secara pesat dalam beberapa dekade, baik itu dibidang keilmuan,teknologi
maupun ekonomi dan politik. Hal tersebut menjadikan Islam sebagai agama yang
maju di abad pertengahan melampaui peradaban yang sangat signifikan terutama
di bidang keilmuan tentunya.

Hal ini membawa Islam kepada zaman yang menjadi pokok acuan untuk
menegakkan tajdid1 dalam masalah agama terutama hal yang berkaitan dengan
ibadah. Karena mungkin saja suatu saat dari zaman ke zaman agama Islam akan
menyurut barangkali di mulai dari hilangnya ruh jihad dan semangat untuk
memperjuangkan agama, baik secara lahir maupun batin.

Kejadian seperti ini sangat disayangkan dan dikhawatirkan akan melebar ke


setiap aspek masyarakat, terutama canggihnya zaman sekarang dengan serba
adanya teknologi yang berbeda dengan masa lalu. Maka, hal yang ditakutkan oleh
umat Islam di era modern ini adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Saw dari sahabat Abu Umamah Al-Bahily bahwa beliau bersabda : “Sungguh
ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul, maka setiap simpul yang terurai
maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya, dan yang pertama akan
terurai adalah hukum dan yang terakhir adalah shalat”2. Para Ulama menyimpan
hadits ini dalam pembahasan atau fasal tentang Ikhtilaf dan Iftiraq dalam hukum,
namun ada juga yang menyimpannya dalam bab kabar tentang yang pertama kali
terurai secara nyata dalam simpul Islam.

Dari hadits diatas menjadi satu ancaman bagi umat Islam, apalagi yang sangat
dikhawatirkan dari hadits tersebut adalah dikarenakan sabda Rasul bersifat tauqifi
3
, apapun yang Rasulullah ungkapkan maka hal itu pasti akan terjadi, namun entah
kapan terjadi secara pastinya. Maka umat Islam terutama di zaman modern ini

1
Tajdid, kata dari bahasa Arab yang berarti pembaharuan.
2
Lihat Musnad Ahmad, 36: 485, Shahih Ibnu Hibban, 15: 111, Al-Mu‟jam Al-Kabir, 8: 98, Al-
Mustadrak „ala Al-Shahihain, 4: 104, Musnad Al-Syamiyyin, 2: 411.
3
Tauqifi berarti bersifat ilahiah, bersumber dari Allah secara langsung. Bisa dimaknai juga sebagai
wahyu, Lihat Mabahits Fi Ulum Al-Qur‟an, hal. 21-22.

1
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

memerlukan metode yang lebih telaten dalam menentukan dan mengistinbath4


hukum sesuai dengan yang Nabi ajarkan dan menghindar dari taqlid5 buta yang
semata-mata membodohkan umat Islam dan menyesatkannya ke dalam hukum
yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Hal ini berkaitan dengan judul yang penulis angkat yaitu Takhrij Ahkam
sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad, adalah sebuah konsepsi filsafat
hukum Islam atau Ilmu Ushul Al-Fiqh juga Ilmu Fiqh dalam menentukan dan
menetapkan hukum secara eksplisit dengan hujjah yang dzahir baik dalam nash
Al-Quran dan Al-Sunnah maupun secara implisit dengan kaidah fiqihiyyah
ataupun metode ijtihad yang dilakukan oleh para Ulama Ushul.

Untuk mengetahui bagaimana metode takhrij ahkam menjadi acuan terkini


dalam menetapkan hukum, maka dalam tulisan ini akan membahas beberapa hal
yang berkaitan.

Konsep dasar Islam dalam Istinbath Al-Ahkam

Banyak beberapa metode yang dilakukan oleh para Ulama mutaqaddimin


maupun mutaakhirin6 dalam menyusun metodologi penetapan hukum terutama
jika kita melihat secara dalam, para Ulama terdahulu berbeda dalam menyikapi
hukum, terkait karena berbeda dalam bakat keilmuannya, ada yang menetapkan
hukum dengan Ilmu Kalam, seperti salah satu pendapat Ahli Kalam bahwa
sumber hukum Islam adalah Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Ijtihad dan Akal, mereka -
para ahli kalam- menolak Ijma‟ juga Qiyas dalam menetapkan hukum.

Seiring dengan melihat ke belakang terutama pada zaman Rasulullah Saw


dalam menetapkan hukum, terasa mudah karena Rasulullah Saw sebagai penetap

4
Istinbath adalah menetapkan, biasanya digunakan dalam kalimat Istinbath Al-Ahkam atau
menetapkan hukum dalam Ilmu Fiqh.
5
Taqlid diambil dari kata Al-Qiladah (Kalung) yang digantung selain darinya dengan kalung
tersebut. Menurut istilah adalah menerima ucapan seseorang dan engkau tidak mengetahui
hujjahnya (dalilnya). Lihat selengkapnya dalam Al-Sulam, hal. 58.
6
Mutaqaddimin adalah para Ulama terdahulu sekitar abad ke-2 sampai abad ke-5 Hijiriyah,
sedangkan Mutaakhirin adalah para Ulama periode sekira abad ke-5 sampai abad ke-12 Hijiriyah.

2
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

syari‟at yang Allah turunkan kepadanya. Tatkala Al-Qur‟an turun kepadanya,


maka Rasulullah membacakan sekaligus menjelaskan, menta‟kid, menjelaskan,
megkhususkan ataupun memberikan batasan yang kemudian istilah tersebut
dinamakan Sunnah. 7 Maka secara historis, pada zaman Nabi Saw menetapkan
melalui Al-Qur‟an dan dijelaskan melalui wahyu dengan perkataan beliau yang
dengan istilah dinamakan Al-Sunnah. Dengan dua sumber utama ini -Al-Qur‟an
dan Al-Sunnah)- umat Islam dapat teratur dengan rapi dengan tiadanya ikhtilaf
(perselisihan) ataupun iftiraq (perpecahan).

Kemudian lahirlah beberapa metode dalam lingkup ijtihad terutama pada awal
kepemimpinan Abu Bakar Al-Shidiq tatkala banyak kaum muslimin yang murtad
dari agamanya dan enggan membayar zakat menimbulkan dua ijtihad yang
berbeda dari senior Islam yaitu dengan Umar. Ketika itu, Umar memberikan
pandangan bahwa orang yang enggan membayar zakat tidak boleh dibunuh sebab
Rasulullah menceritakan selama ia masih memiliki prinsip tauhid atau keesaan
Allah maka tidak halal dibunuh. Berbeda dengan Abu Bakar, ia memberikan
penerangan bahwa siapa saja yang bermaksiat dan mengingkari zakat maka wajib
diperangi. Akhirnya ijtihad yang dinyatakan oleh Abu Bakar pun diakui oleh
Umar, seketika itu meletuslah perang menghadapi orang-orang murtad dan yang
enggan membayar zakat.

Pada zaman Abu Bakar pula, ketika pasukan kaum muslimin perang
menghadapi pengikut nabi palsu. Terbunuh disana para Ahli Qura‟ (penghafal Al-
Qur‟an) sebanyak 70 orang. Peristiwa ini mendorong Umar bin Khattab
berinisiatif untuk membukukan Al-Qur‟an, karena dikhawatirkan akan lenyap
disebabkan semakin banyaknya para penghafal Al-Qur‟an yang berguguran.
Awalnya Abu Bakar terlihat keberatan, namun karena mementingkan
kemaslahatan maka Abu Bakar menyetujuinya walaupun Rasul tidak perna

7
Al-Sunnah atau Al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw. selain Al-Qur‟an,
baik berupa qaul (ucapan), fi‟il (perbuatan), taqrir (persetujuan), maupun sifat Nabi Saw.

3
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

mengajarkan bahkan memerintahkan karena dengan illat demi terjaganya Al-


Qur‟an dari kelenyapan, metode ini disebut dengan Maslahah Mursalah. 8

Maka dari pembahasan diatas sudah patut dipastikan bahwa sumber hukum
Islam yang dijadikan konsep dasar adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, para Ulama
sepakat tentang kehujjahan keduanya, karena tidak ada hukum yang lebih baik
selain Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Kemudian setelah Rasul wafat, dikala wahyu
terputus, tidak ada nabi lagi, maka jika tidak ada dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
maka dikembalikan kepada ijtihad sekemampuannya, seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar tatkala ada kejadian yang kondisi saat itu berbeda dan tidak pernah ada
di zaman Rasulullah, inilah yang dinamakan metode Ijtihadi.9

Problematika Ijtihad di Era Modern

Umat Islam adalah umat pertengahan sebagai pengadil dan saksi atas
diutusnya Nabi kita, 10 sedangkan Rasul pernah bersabda bahwa umat Islam akan
terpecah sebanyak 73 golongan. 11 Perpecahan ini akan terus terjadi terutama pada
hal yang urgensi yaitu dalam menetapkan hukum furu‟iyyah.12

Namun, seiring melihatnya zaman. Umat Islam pada zaman ini sedang dalam
kebimbangan, terutama terkait dengan agama. Karena adanya validitas dan
menyatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Ini terlihat ketika banyaknya perbedaan
fiqh di setiap masing-masing dengan mengatasnamakan guru dan madzhab tanpa
kembali pada nas Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Hal ini jelas, sebab dikarenakan
umat Islam bingung akhirnya karena kebingungan tersebut umat Islam
menyimpulkan bahwa agama Islam tidak ada yang benar. Peristiwa ini akan

8
Maslahah Mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ada pengakuan dari syar‟i dan tidak pula
menolaknya serta tidak ada satu pun nas secara khusu yang menjelaskannya, tetapi ia ditetapkan
sesuai pertimbangan akal (pemikian). Lihat Turuq Al-Istinbath, hal. 47.
9
Ijtihad adalah mencurahkan usaha sepenuhnya dalam menetapkan hukum syar‟i dengan jalan
menetapkan (istinbath) dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Lihat Al-Sulam, hal. 56.
10
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah: 143.
11
Lihat Sunan Al-Tirmidzi, 4: 322, dan Musnad Ahmad, 4: 124.
12
Furu‟iyyah ialah cabang-cabang agama, seperti yang berkaitan dengan ibadah, kemudian dikenal
dengan fiqh.

4
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

beresiko fatal jika tidak segera ditangani, karena akan membawa Umat ke dalam
taqlid buta yang selalu membawa nama madzhab, organisasi dan golongan tanpa
memperhatikan bahwa madzhab dan golongannya berpacu ke mana.

Timbulnya perbedaan pendapat terutama dalam masalah fiqh dan pengamalan


ibadah mahdhah membuat pelaksanaan ibadah umat menjadi beraneka ragam,
bahkan tidak jarang perbedaan pendapat disikapi dengan cara negatif. Dalam hal
ini ada tiga kelompok, yaitu: 13

1. Kelompok yang menutup diri

Mereka meyakini apa yang telah menjadi tradisi di kalanhan mereka sudah
pasti benar dan tidak ingin memunculkan pendapar baru yang membuat mereka
penasaran dan mengadakan kaji ulang. Sikap seperti ini tidak akan membuka
wawasan baru, merangsang berpikir dan menumbuhkan ruh ijtihad.

2. Kelompok yang bersikap apatis

Mereka meyakini dua-duanya benar, masing-masing mempunyai alasan yang


kuat Umat dipersilahkam mengamalkan mana saja yang ia kehendaki. Hendak
melaksanakan kunut silahkan tidak kunut pun tidak apa-apa, yang penting
menjaga kesatuan dan ukhuwah islamiyyah. Dengan sikap seperti ini, Umat selalu
dihantui keraguan dan kebingungan, dan tidak dididik untuk kritis dalam
menanggapi dan menghadapi masalah-masalah yang muncul.

3. Kelompok yang berusaha mencari penyelesaian sendiri

Karena tidak mungkin dua hal yang bertentangn kedua-duanya benar, dan
tidak mungkin dalam suatu masalah terdapat dua hukum yang berbeda; ya halal ya
haram, ya sunnah ya bid‟ah. Ini adalah tugas para ulama dan fuqaha yang dituntut
untuk mengakaji dan mengkaji lagi serta menambah wawasan keilmuan dan
literatur bacaan. Dengan demikian agama akan tetap terpelihara kemurniannya.
Sikap seperti ini adalah sikap yang diperintahkan Al-Qur‟an, hadits Nabi Saw, dan
juga yang diamalkan oleh para sahabat Nabi Saw.

13
Lihat Turuq Al-Istinbath, hal. 114-116.

5
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

Takhrij Al-Ahkam dan Tarjih Al-Aqwal 14

Takhrij Al-Ahkam adalah mengeluarkan hukum dengan metode istidlal atau


menelusuri dalil dari sumber asli, yaitu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Sedangkan
yang dimaksud dengan Tarjih Al-Aqwal adalah memberikan pendapat tentang fiqh
namun disandarkan pada satu madzhab kemudian satu sama lain dibandingkan
untuk mencari mana yang paling kuat, dan diambil pendapat yang paling kuat dari
salah satu madzhab. istilah ini bisa dinamakan perbandingan madzhab.

Penulis merasa keberatan tentang tarjih al-aqwal ini. Dikarenakan ini akan
menimbulkan kelompok yang menutup diri dan fanatik terhadap madzhabnya. Hal
ini akan mengundang kejumudan dalam berpikir dan berfiqh. Sedikit yang penulis
tahu, bahwa para imam madzhab terutama dalam menetapkan hukum berbeda
dikarenakan pada zaman mereka tidak begitu banyak hadits yang para imam itu
terima. Sebagai contoh, Imam Syafi‟I terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid.
Imam Syafi‟i memiliki fiqh qaul qadim di Kufah dan qaul jaded ditempat yang
berbeda, Mesir. Hal ini menjadi dilalah bahwa Imam Syafi‟i memutuskan hukum
sesuai jumlah hadits yang ia terima. Karena selalu ada hadits bahkan banyak yang
belum Imam Syafi‟i terima. Begitu pula Imam Malik yang memiliki metode
amalan orang Madinah di ma‟shum, karena Madinah bagi Imam Malik adalah
kota Nabi. Bila ada satu amalan yang dilakukan oleh orang luar Madinah, namun
orang Madinah tidak mengamalkannya, maka beliau meninggalkannya.

Sebagaimana dalam kaidah bahwa perubahan zaman menuntut perubahan


hukum. Maka alasan apa jika kita ingin mengikat pada satu madzhab? zaman kita
jelas berbeda dengan zaman para madzhab yang mereka kurang fasilitas dalam
literatur keilmuan dan perhaditsan. Jika kita memandang dunia kita sekarang,
tidak ada alasan lagi untuk mengikat pada satu madzhab. sebab pada zaman kita
lah banyak tersebar referensi dari mulai aplikasi hadits dan keilmuan yang
didalamnya beribu-ribu kitab. Maka tidak alasan pada zaman sekarang ini untuk
malas. Karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk berijtihad dan

14
Takhrij berasal dari kata kharraja-yukharrju yang memiliki arti mengeluarkan.
Tarjih berasal dari kata rajjaha-yurajjihu yang memiliki arti menguatkan.
Ahkam berasal dari kata hukm yang memiliki arti hukum.

6
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

beristidlal juga berhukum sesuai Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, begitu pula para
imam madzhab, mereka pun berhukum pada Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, maka jika
mereka tidak mendapatkannya maka mereka mengambil jalan ijtihad dengan hati-
hati dan cermat.

Maka bagi penulis, di masa modern ini tidak zaman lagi yang namanya fanatik
buta terhadap madzhab, apalagi sampai menolak pendapat yang asalnya dari syar‟i
ditolak sebab bertentangan dengan madzhabnya.

Adapun Takhrij Al-Ahkam ialah menelusuri hukum tertentu langsung dalam


Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, jika tidak terdapat dikeduanya maka dilakukan dengan
ijtihad, dengan hal ini para Ulama menentukan dan merumuskan manhaj dalam
memutuskan atau mengambil keputusan hukum dengan rumusan sebagai berikut:

A. Asas utama adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yang shahih15.


Pada dasarnya, biasanya para Ulama bersepakat mengenai hadits
shahih baik itu shahih lidzatih maupun shahih lighairih disepakati
kehujjahannya. Namun barang kali yang menjadi perbedaan adalah
terkadang para Ulama ada yang mengambil hadits shahih saja dan
meninggalkan hadits hasan karena dikhawatirkan hadits tersebut tidak
diriwayatkan oleh Nabi Saw. Sebagian para Ulama pun ada yang
menerima dan menjadikan hujjah hadits hasan baik itu hasan lidzatih16
maupun hasan lighairih.17 Akan tetapi terkadang beberapa darinya ber-
ikhtilaf dalam metode menaikkan hadits dha‟if menjadi hasan
15
Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya yang di tulis oleh yang „adil lagi dhabt
dari yang „adil lagi dhabt juga, keadaan riwayatnnya tidak bertentangan dengan yang lebih shahih
(ghair al-syadz) dan tidak terdapat cacat yang tersembunyi pada riwayat tersebut (ghair al-„illat).
Hadits shahih tersebut kemudian dinamakan shahih lidzatih. Adapun hadts shahih lighairih, adalah
hadits hasan lidzatih murni yang diperkuat oleh riwayat yang sebanding dengannya atau yang
sama-sama hasan lidzatih dengan jalur yang banyak baik dari sisi muttabi‟-nya maupun
syawahid-nya atau dengan yang lebih tinnggi derajatnya yaitu diperkuat dengan hadits yang
derajatnya shahih lidzatih.
16
Hadits Hasan Lidzatih adalah hadits yang memiliki kriteria atau lima syarat hadits shahih, akan
tetapi pada syarat dhabt-nya tidak tam dhabt (sempurna hafalan) seperti shahih lidzahtih.
Kriterianya adalah khafif dhabt (kurang sedikit hafalannya, terkadang hafal dan terkadang tidak),
maka hadits tersebut adalah hasan lidzatih.
17
Hadits Hasan Lighairih adalah hadits dha‟if yang ringan diperkuat oleh hadits ringan yang
sebanding dengannya atau yang lebih dari derajatnya yaitu shahih lidzatih atau dengan hasan
lidzatih. dengan jalur riwayat yang banyak. Adapun syarat hadits dha‟if ringan yang naik derajat
para Ulama ikhtilaf namun diantaranya ada yang lebih kuat bahkan dipakai oleh jumhur Ulama.

7
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

lighairih. Hal ini terletak pada perbedaan syarat-syarat hadits dha‟if


yang boleh naik derajat. Apakah hadits yang memestikan naik derajat
itu adalah hadits yang saqt al-isnad (terputus pada sanad) dari mulai
mu‟allaq, mursal, munqathi‟, mu‟dhal, mudallas atau mursal khafiy.
Dengan meninjau sanad yang terputus tersebut riwayatnya
muta‟adadah (jumlahnya banyak) dari beberapa jalur yang
kemungkinan hadits tersebut mempunyai asal keberadaanya. Atau ada
juga yang meninjau bahwa hadits dha‟if yang boleh naik derajatnya
dengan mempertimbangkan pada seorang rawi tentang tha‟n al-rawiy
(tercelanya seorang rawi). Diantara para Ulama ada yang memberikan
syarat, hadits yang boleh diperkuat adalah hadits yang didalamnya ada
rawi mukhtalith (pikun, buta, terbakar kitab sehingga pelupa), atau ada
juga yang memberikan syarat semua yang berkaitan dengan dhabt
(akurasi hafalannya) baik itu dia ghaflah (pelupa), katsir al-ghalat
(banyak salah), katsrat al-wahm (banyak ragu), su‟u al-hifzhi (jelek
hafalan), dan mukhtalith (pikun, buta, terbakar kitabnya sehingga
pelupa setelah kejadian tersebut). Dari sekian ikhtilaf para Ulama
terdahulu dalam menjadikan hujjah hadits hasan maupun metode
menaikkan derajat hadits menjadi hasan lighairhj, telah menjadi
kesepakatan bahwa metode tersebut telah di-ijma‟ kan dalam beberapa
kitab. Namun tidak sedikit para Ulama yang memiliki metode
tersendiri dalam meneliti dan mengkaji hadits. Hal ini bukan menjadi
perdebatan, justru harus dijadikan sebagai motivasi dalam menambah
literatur keilmuan, bahkan sepatutnya menelurusuri istidlal melalui Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah ini adalah suatu kebanggaan dan hal yang
istimewa, karena berusaha sepenuhnya menjaga keautentikan
keduanya. Selain itu juga, menjadi kebanggan juga karena ber-ijtihad
dengan metode yang disepakati para Ulama tanpa mengikat pada satu
pendapat atau madzhab, yaitu langsung dengan metode takhrij al-
ahkam dengan kapasitas ilmu yang telah matang.

8
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

B. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur‟an maupun Al-Sunnah, maka jalan


yang menjadi pijakan adalah melalui ijtihad, seperti hadits ketika
Mu‟adz bin Jabal diutus untuk pergi ke satu negeri untuk menegakkan
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, juga mengembangkan Islam disaat
Rasulullah menanyakan hal jika ia tidak menemukan sesuatu
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an. Mu‟adz
menyatakan bahwa dirinya akan ber-ijtihad sekemampuannya. Maka
Rasulullah mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah”. 18 Makah al ini menjadi
anjuran untuk ber-ijtihad jika suatu permasalahan tidak ada dalam Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah. Diantara, metode-metode sumber ijtihad yang
Ulama lakukan akan penulis rangkum dengan definisi yang ringkas,
diantaranya: 19
1. Ijma‟, adalah bersatunya semua sahabat Nabi Muhammad Saw
atau bersatunya sebagian dari mereka dengan tidak mendapat
teguran dari sebagian yang lain, pada mewajibkan atau
melarang sesuatu perkara yang taka da hukumnya dalam Al-
Qur‟an atau Al-Hadits, maupun dalam urusan ibadah ataupun
keduniaan.
2. Qiyas, adalah mengukur suatu perkara terhadap contoj yang
lain serta menyamakannya dengan contoh yang telah tersedia,
seperti meng-qiyas-kan beras dengan gandum.
3. Maslahah Mursalah, adalah suatu kemaslahatan yang tidak ada
pengakuan dari syar‟i dan tidak pula menolaknya serta tidak
ada satu pun nas secara khusu yang menjelaskannya, tetapi ia
ditetapkan sesuai pertimbangan akal (pemikian). Seperti
membukukan Al-Qur‟an yang pada zaman Nabi dilakukan,
namun pada zaman Abu Bakar dilakukan, demi kemaslahatan
dalam menjaga Al-Qur‟an dari kelenyapan.
4. Istihsan, adalah seorang mujtahid berpaling dari tuntutan qiyas
jaliy kepada qiyas khafiy, atau dari hukum kulliy kepada hukum
18
Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 6: 13.
19
Lihat Tuquq Al-Istinbath, hal: 45-63.

9
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

istitsna‟i (pengecualian) karena suatu dalil yang berkesan


(terbetik) pada nalarnya dapat menguatkan hal berpaling ini.
Seperti, jual beli tanpa ijab qabul tidak memenuhi syarat jual-
beli namun tetap sah karena melihat sisi baiknya (istihsan).
5. Itishab adalah suatu ungkapan mengenai hukum berdasarkan
ketetapan sesuatu di masa selanjutnya atas ketetapannya pada
masa sebelumnya karena tidak adanya yang pantas untuk
mengubahnya. Seperti apabila seseorang ragu ketika sahur
apakah sudah terbit fajar atau belum maka ambillah suatu yang
dianggap yakin, yakni ketika dia yakin bahwa telah terbit fajar
maka tahanlah dari makan dan minum.
6. Sadd Al-Dzari‟ah, ialah masalah yang secara lahirnya
dibolehkan, dan dapat menyampaikan kepada suatu perbuatan
yang dilarang. Seperti menikahkan wanita hamil hasil zina
kepada laki-laki yang menzinainya hukumnya haram sampai ia
melahirkan. Hal ini sebagai tindakan preventif dan antisipatif
terhadap peningkatan perzinaan.
7. Syar‟u Man Qablana, adalah apa-apa yang menerima
penghapusan berupa bagian-bagian amaliah agama dan apa
yang ada pada syari‟at-syari‟at para nabi sebelumnya. Seperti
syari‟at shaum sudah pernah ada syar‟atnya sebelum zaman
Rasulullah Saw.
8. Qaul Sahabiy, adalah apa yang terukil darinya (sahabat Nabi
Saw) berupa perkara yang telah ditetapkan dalam fatwa atau
keputusannya tentang suatu kejadian syar‟i yang tidak ada nas
dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
9. Al-„Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
dijalankan secara terus menerus, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun meninggalkan suatu perbuatan, dan disebut
juga al-„adah. Seperti kebiasaan inden (pemesanan barang
dengan pembayaran di muka sebagian harganya dibayar
kemudian sepenuhnya bila barang yang dipesan telah tiba)

10
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

dalam dunia perdagangan; kebiasaan memberikan sesuatu


sebagai hadiah ketika melamar seorang wanita.

Dari kesembilan sumber ijtihad tersebut, menjadi acuan dalam menetapkan


atau mengeluarkan suatu hukum. Maka pokok sumber dari agama Islam adalah
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, adapun jika tidak terdapat secara tertulis, maka
dianjurkan untuk ber-ijtihad dalam menetapkan hukum, apalagi jika permasalahan
tersebut bersifat kontemporer. Berbeda dengan tarjih al-aqwal lebih
mengedepankan kepada madzhab masing-masing. Padahal para imam madzhab
tidak mengajarkan untuk bertaklid atau mengikuti gurunya dan menghilangkan
pendapat guru lain yang bertentangan dengan gurunya. Islam mengajarkan kita
untuk selektif dalam metodologi dan juga dalam bersikap ketika menetapkan
hukum. Maka seseorang yang menggunakan takhrij al-ahkam atau mengeluarkan
hukum secara tertulis dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah kemudian menggunakan
sumber-sumber ijtihad bila tidak terdapat dalam kedua nas tersebut, maka ia
disebut seorang mujtahid.

Adapun syarat seorang mujtahid dalam melakukan takhrij al-ahkam adala


sebagai berikut: 20

1. Disyaratkan bagi seorang mujtahid mengetahui nas-nas dalam Al-Qur‟an


dan Al-Sunnah, maka jika salah satu dari kedua nas tersebut tidak dikuasai
maka ia bukan seorang mujtahid.
2. Disyaratkan baginya mengetahui seluk beluk bahasa Arab secara dalam
dan meluas yang memungkinkam bisa menafsirkan Al-Qur‟an dari
keasingan kalimatnya atau hal lainnya. Seorang mujtahid harus mampu
mengetahui makna-makna dan inti sari dari susunan kalimat Arab tersebut,
juga apa-apa yang mencakup atasnya diantara yang paling diutamakan
adalah dia mengetahui secara dalam ilmu Nahwu, Sharaf, Ma‟aniy dan
Bayan sehingga ia menetapkan padanya pada setiap ilmu dari ilmu-ilmu
yang menjadi kemampuannya. Ia juga mesti memandang pada dalil secara
shahih dan mengeluarkan dari dalil tersebut hukum-hukum yang keluar
secara kuat.
20
Lihat Al-Sulam, hal: 56.

11
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

3. Keadaannya menguasai ilmu Ushul Fiqh, karena sesungguhnya Ushul


Fiqh ini adalah pondasinya sebuah bangunan ijtihad dan dasarnya yang
tegak atasnya rukun-rukun bangunannya.

Maka ketiga syarat diatas merupakan betapa pentingnya untuk ber-istinbath


dengan Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, juga ilmu-ilmu yang mesti dikuasainya
terkenal dengan fan ilmu Islam untuk memahami Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yaitu,
„Ulum Al-Qur‟an, „Ulum Al-Hadits, Ushul Fiqh, Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi‟,
Ma‟aniy, Ulum Al-Mantiq, Ulum Al-Faraidh, Ulum Al-Kalam wa Al-Tauhid dan
Ulum Al-Akhlaq. Ke-12 ilmu ini menjadi penopang dalam hidup, tidak hanya
untuk menjadi wawasan namun dijadikan sebagai manhaj dalam menetapkan
hukum, tujuan mempelajari ke-12 ilmu ini adalah suatu sikap umat Islam untuk
menjaga Islam dari terurainya hukum dan menjaga sunnah Nabi dari orang-orang
yang berusaha mendustakan atas namanya. Wallahu A‟lam.

PENUTUP

Paradigma atau konsep pola pikir dalam menentukan hukum bagi era modern
ini sering kali terdengar secara taashub madzhabi (fanatik madzhab), karena
kebanyakan masyarakat di era ini jika mendengar satu hukum dari narasi yang
berpatok pada satu madzhab, padahal para imam madzhab sendiri menentukan
dan menetapkan hukum sesuai dengan informasi yang mereka dengar, dengan
nada jika memungkinkan ada dalil yang menentang atau lebih kuat dari
madzhabnya, para imam madzhab dengan suka rela menerima hujjah yang lebih
kuat dibandingkan harus fanatik dan membenarkan juga mempertahankan
pendapat dirinya..

Maka sedemikian apapun dunia ini berubah, Islam adalah agama yang
memiliki dua sumber hukum yang muttafaq yaitu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, dan
memiliki manhaj yang teratur dalam menentukan hukum tertentu yang tidak ada
dalam Al-Qur‟an atau Al-Sunnah. Maka para Ulama menggunakan manhaj takhrij
ahkam dengan menelusuri dalil-dalil, disertai dengan penjelasan ma‟aniy al-huruf,
makna lafadz dan maksud khitab syar‟inya, kemudian jika hal itu terjadi pada

12
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

suatu hadits, para Ulama pun menelusuri hadits tersebut dengan men-takhrij
hadits tersebut untuk mencari apakah riwayat tersebut shahih ataupun dha‟if,
andaikan dha‟if apakah kedha‟ifannya bisa naik derajat menjadi hadits hasan
dengan I‟tibar mencari muttabi‟ maupun syahid. Hal ini belum selesai sebelum
dilihat apakah riwayat tersebut bertentangan dengan hadits yang lebih shahih atau
ada satu hal yang tersembunyi, dengannya membawa hadits itu mempunyai
penyakit (illat). Jika hadits tersebut andaikata bisa dijadikan hujjah apakah
makna-makna huruf, kalimat, lafadz yang digunakan antara mutlaq dan muqayyad
atau melihat dari segi am dan khas. Apakah riwayat tersebut menunjukan dzahir,
nas,muhkam, atau mufassar diantara dilalah yang wadhih. Atau sebaliknya (ghair
wadhih) diantarnya apakah lafal tersebut khafi, musykil, mujmal, atau mutasyabih.
Hal ini akan terus digali karena baru 4 ilmu yang penulis jelaskan(Ulum Al-
Qur‟an, Ulum Al-Hadits, Ulum Al-Nahwu, Ulum Al-Ma‟aniy) belum kepada ilmu
yang menjadi inti dari penetapan hukum yaitu Ushul Al-Fiqh.

Maka metode takhrij ahkam adalah metode kaum mujtahidin baik itu dari
mutaqaddimin maupun sampai kontemporer, karena kita tidak bisa menetapkan
hukum dengan hukum yang dialami oleh Imam Abu Hanifah, ataupun dari Imam-
imam yang lain. Sebab mereka dengan kita berbeda kondisi, lingkungan,
masyarakat dan informasi. Semoga kajian yang penulis sampaikan bisa menjadi
pegangan bagi penulis sendiri dan rekan-rekan seperjuangan sebagai upaya
menjaga simpul Islam dari rongrongan kejumudan ijtihad.

Daftar Pustaka

Al-Syaibaniy, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Hanbal.
2001. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal. t.kp: Muassasah Al-Risalah.

Al-Thabaraniy, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub. 1994. Al-Mu‟jam Al-Kabir. Al-
Qahirah: Maktabah Ibnu Taimiyyah.

Al-Thahmaniy, Abu Abdillah Al-Hakim Muhammad bin Abdillah. 1990. Al-


Mustadrak „Ala Al-Shahihain. Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah.

13
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad

Al-Thabaraniy, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub. 1984. Musnad Al-Syamiyyin.


Beirut: Muassasah Al-Risalah.

Al-Tirmidzi, Muhammad bin „Isa. 1998. Al-Jami‟ Al-Kabir-Sunan Al-Tirmidzi.


Beirut: Dar Al-Gharb Al-Islamiy.

Al-„Absiy, Abu Bakar bin Abi Syaibah. 1409 H. Al-Kitab Al-Mushannaf Fi Al-
Ahaaditsi Wa Al-Atsar. t.kp: Maktabah Al-Rusyd.

Hakim, Abdul Hamid. 2007. Al-Sulam. Jakarta: Maktabah Al-Sa‟adiyyah Putra.

Al-Qatthan, Manna. 1979. Mabahits Fi Ulum Al-Qur‟an. Damaskus: Dar Al-Fikr.

Dewan Hisbah Persis. 2018. Turuq Al-Istinbath Metodologi Pengambilan Hukum.


t. kp: Persis Press.

14

Anda mungkin juga menyukai