Oleh:
Tedi Kurniawan
Pendahuluan
Hal ini membawa Islam kepada zaman yang menjadi pokok acuan untuk
menegakkan tajdid1 dalam masalah agama terutama hal yang berkaitan dengan
ibadah. Karena mungkin saja suatu saat dari zaman ke zaman agama Islam akan
menyurut barangkali di mulai dari hilangnya ruh jihad dan semangat untuk
memperjuangkan agama, baik secara lahir maupun batin.
Dari hadits diatas menjadi satu ancaman bagi umat Islam, apalagi yang sangat
dikhawatirkan dari hadits tersebut adalah dikarenakan sabda Rasul bersifat tauqifi
3
, apapun yang Rasulullah ungkapkan maka hal itu pasti akan terjadi, namun entah
kapan terjadi secara pastinya. Maka umat Islam terutama di zaman modern ini
1
Tajdid, kata dari bahasa Arab yang berarti pembaharuan.
2
Lihat Musnad Ahmad, 36: 485, Shahih Ibnu Hibban, 15: 111, Al-Mu‟jam Al-Kabir, 8: 98, Al-
Mustadrak „ala Al-Shahihain, 4: 104, Musnad Al-Syamiyyin, 2: 411.
3
Tauqifi berarti bersifat ilahiah, bersumber dari Allah secara langsung. Bisa dimaknai juga sebagai
wahyu, Lihat Mabahits Fi Ulum Al-Qur‟an, hal. 21-22.
1
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
Hal ini berkaitan dengan judul yang penulis angkat yaitu Takhrij Ahkam
sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad, adalah sebuah konsepsi filsafat
hukum Islam atau Ilmu Ushul Al-Fiqh juga Ilmu Fiqh dalam menentukan dan
menetapkan hukum secara eksplisit dengan hujjah yang dzahir baik dalam nash
Al-Quran dan Al-Sunnah maupun secara implisit dengan kaidah fiqihiyyah
ataupun metode ijtihad yang dilakukan oleh para Ulama Ushul.
4
Istinbath adalah menetapkan, biasanya digunakan dalam kalimat Istinbath Al-Ahkam atau
menetapkan hukum dalam Ilmu Fiqh.
5
Taqlid diambil dari kata Al-Qiladah (Kalung) yang digantung selain darinya dengan kalung
tersebut. Menurut istilah adalah menerima ucapan seseorang dan engkau tidak mengetahui
hujjahnya (dalilnya). Lihat selengkapnya dalam Al-Sulam, hal. 58.
6
Mutaqaddimin adalah para Ulama terdahulu sekitar abad ke-2 sampai abad ke-5 Hijiriyah,
sedangkan Mutaakhirin adalah para Ulama periode sekira abad ke-5 sampai abad ke-12 Hijiriyah.
2
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
Kemudian lahirlah beberapa metode dalam lingkup ijtihad terutama pada awal
kepemimpinan Abu Bakar Al-Shidiq tatkala banyak kaum muslimin yang murtad
dari agamanya dan enggan membayar zakat menimbulkan dua ijtihad yang
berbeda dari senior Islam yaitu dengan Umar. Ketika itu, Umar memberikan
pandangan bahwa orang yang enggan membayar zakat tidak boleh dibunuh sebab
Rasulullah menceritakan selama ia masih memiliki prinsip tauhid atau keesaan
Allah maka tidak halal dibunuh. Berbeda dengan Abu Bakar, ia memberikan
penerangan bahwa siapa saja yang bermaksiat dan mengingkari zakat maka wajib
diperangi. Akhirnya ijtihad yang dinyatakan oleh Abu Bakar pun diakui oleh
Umar, seketika itu meletuslah perang menghadapi orang-orang murtad dan yang
enggan membayar zakat.
Pada zaman Abu Bakar pula, ketika pasukan kaum muslimin perang
menghadapi pengikut nabi palsu. Terbunuh disana para Ahli Qura‟ (penghafal Al-
Qur‟an) sebanyak 70 orang. Peristiwa ini mendorong Umar bin Khattab
berinisiatif untuk membukukan Al-Qur‟an, karena dikhawatirkan akan lenyap
disebabkan semakin banyaknya para penghafal Al-Qur‟an yang berguguran.
Awalnya Abu Bakar terlihat keberatan, namun karena mementingkan
kemaslahatan maka Abu Bakar menyetujuinya walaupun Rasul tidak perna
7
Al-Sunnah atau Al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw. selain Al-Qur‟an,
baik berupa qaul (ucapan), fi‟il (perbuatan), taqrir (persetujuan), maupun sifat Nabi Saw.
3
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
Maka dari pembahasan diatas sudah patut dipastikan bahwa sumber hukum
Islam yang dijadikan konsep dasar adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, para Ulama
sepakat tentang kehujjahan keduanya, karena tidak ada hukum yang lebih baik
selain Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Kemudian setelah Rasul wafat, dikala wahyu
terputus, tidak ada nabi lagi, maka jika tidak ada dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
maka dikembalikan kepada ijtihad sekemampuannya, seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar tatkala ada kejadian yang kondisi saat itu berbeda dan tidak pernah ada
di zaman Rasulullah, inilah yang dinamakan metode Ijtihadi.9
Umat Islam adalah umat pertengahan sebagai pengadil dan saksi atas
diutusnya Nabi kita, 10 sedangkan Rasul pernah bersabda bahwa umat Islam akan
terpecah sebanyak 73 golongan. 11 Perpecahan ini akan terus terjadi terutama pada
hal yang urgensi yaitu dalam menetapkan hukum furu‟iyyah.12
Namun, seiring melihatnya zaman. Umat Islam pada zaman ini sedang dalam
kebimbangan, terutama terkait dengan agama. Karena adanya validitas dan
menyatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Ini terlihat ketika banyaknya perbedaan
fiqh di setiap masing-masing dengan mengatasnamakan guru dan madzhab tanpa
kembali pada nas Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Hal ini jelas, sebab dikarenakan
umat Islam bingung akhirnya karena kebingungan tersebut umat Islam
menyimpulkan bahwa agama Islam tidak ada yang benar. Peristiwa ini akan
8
Maslahah Mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ada pengakuan dari syar‟i dan tidak pula
menolaknya serta tidak ada satu pun nas secara khusu yang menjelaskannya, tetapi ia ditetapkan
sesuai pertimbangan akal (pemikian). Lihat Turuq Al-Istinbath, hal. 47.
9
Ijtihad adalah mencurahkan usaha sepenuhnya dalam menetapkan hukum syar‟i dengan jalan
menetapkan (istinbath) dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Lihat Al-Sulam, hal. 56.
10
Lihat Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah: 143.
11
Lihat Sunan Al-Tirmidzi, 4: 322, dan Musnad Ahmad, 4: 124.
12
Furu‟iyyah ialah cabang-cabang agama, seperti yang berkaitan dengan ibadah, kemudian dikenal
dengan fiqh.
4
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
beresiko fatal jika tidak segera ditangani, karena akan membawa Umat ke dalam
taqlid buta yang selalu membawa nama madzhab, organisasi dan golongan tanpa
memperhatikan bahwa madzhab dan golongannya berpacu ke mana.
Mereka meyakini apa yang telah menjadi tradisi di kalanhan mereka sudah
pasti benar dan tidak ingin memunculkan pendapar baru yang membuat mereka
penasaran dan mengadakan kaji ulang. Sikap seperti ini tidak akan membuka
wawasan baru, merangsang berpikir dan menumbuhkan ruh ijtihad.
Karena tidak mungkin dua hal yang bertentangn kedua-duanya benar, dan
tidak mungkin dalam suatu masalah terdapat dua hukum yang berbeda; ya halal ya
haram, ya sunnah ya bid‟ah. Ini adalah tugas para ulama dan fuqaha yang dituntut
untuk mengakaji dan mengkaji lagi serta menambah wawasan keilmuan dan
literatur bacaan. Dengan demikian agama akan tetap terpelihara kemurniannya.
Sikap seperti ini adalah sikap yang diperintahkan Al-Qur‟an, hadits Nabi Saw, dan
juga yang diamalkan oleh para sahabat Nabi Saw.
13
Lihat Turuq Al-Istinbath, hal. 114-116.
5
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
Penulis merasa keberatan tentang tarjih al-aqwal ini. Dikarenakan ini akan
menimbulkan kelompok yang menutup diri dan fanatik terhadap madzhabnya. Hal
ini akan mengundang kejumudan dalam berpikir dan berfiqh. Sedikit yang penulis
tahu, bahwa para imam madzhab terutama dalam menetapkan hukum berbeda
dikarenakan pada zaman mereka tidak begitu banyak hadits yang para imam itu
terima. Sebagai contoh, Imam Syafi‟I terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid.
Imam Syafi‟i memiliki fiqh qaul qadim di Kufah dan qaul jaded ditempat yang
berbeda, Mesir. Hal ini menjadi dilalah bahwa Imam Syafi‟i memutuskan hukum
sesuai jumlah hadits yang ia terima. Karena selalu ada hadits bahkan banyak yang
belum Imam Syafi‟i terima. Begitu pula Imam Malik yang memiliki metode
amalan orang Madinah di ma‟shum, karena Madinah bagi Imam Malik adalah
kota Nabi. Bila ada satu amalan yang dilakukan oleh orang luar Madinah, namun
orang Madinah tidak mengamalkannya, maka beliau meninggalkannya.
14
Takhrij berasal dari kata kharraja-yukharrju yang memiliki arti mengeluarkan.
Tarjih berasal dari kata rajjaha-yurajjihu yang memiliki arti menguatkan.
Ahkam berasal dari kata hukm yang memiliki arti hukum.
6
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
beristidlal juga berhukum sesuai Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, begitu pula para
imam madzhab, mereka pun berhukum pada Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, maka jika
mereka tidak mendapatkannya maka mereka mengambil jalan ijtihad dengan hati-
hati dan cermat.
Maka bagi penulis, di masa modern ini tidak zaman lagi yang namanya fanatik
buta terhadap madzhab, apalagi sampai menolak pendapat yang asalnya dari syar‟i
ditolak sebab bertentangan dengan madzhabnya.
7
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
8
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
9
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
10
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
11
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
PENUTUP
Paradigma atau konsep pola pikir dalam menentukan hukum bagi era modern
ini sering kali terdengar secara taashub madzhabi (fanatik madzhab), karena
kebanyakan masyarakat di era ini jika mendengar satu hukum dari narasi yang
berpatok pada satu madzhab, padahal para imam madzhab sendiri menentukan
dan menetapkan hukum sesuai dengan informasi yang mereka dengar, dengan
nada jika memungkinkan ada dalil yang menentang atau lebih kuat dari
madzhabnya, para imam madzhab dengan suka rela menerima hujjah yang lebih
kuat dibandingkan harus fanatik dan membenarkan juga mempertahankan
pendapat dirinya..
Maka sedemikian apapun dunia ini berubah, Islam adalah agama yang
memiliki dua sumber hukum yang muttafaq yaitu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, dan
memiliki manhaj yang teratur dalam menentukan hukum tertentu yang tidak ada
dalam Al-Qur‟an atau Al-Sunnah. Maka para Ulama menggunakan manhaj takhrij
ahkam dengan menelusuri dalil-dalil, disertai dengan penjelasan ma‟aniy al-huruf,
makna lafadz dan maksud khitab syar‟inya, kemudian jika hal itu terjadi pada
12
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
suatu hadits, para Ulama pun menelusuri hadits tersebut dengan men-takhrij
hadits tersebut untuk mencari apakah riwayat tersebut shahih ataupun dha‟if,
andaikan dha‟if apakah kedha‟ifannya bisa naik derajat menjadi hadits hasan
dengan I‟tibar mencari muttabi‟ maupun syahid. Hal ini belum selesai sebelum
dilihat apakah riwayat tersebut bertentangan dengan hadits yang lebih shahih atau
ada satu hal yang tersembunyi, dengannya membawa hadits itu mempunyai
penyakit (illat). Jika hadits tersebut andaikata bisa dijadikan hujjah apakah
makna-makna huruf, kalimat, lafadz yang digunakan antara mutlaq dan muqayyad
atau melihat dari segi am dan khas. Apakah riwayat tersebut menunjukan dzahir,
nas,muhkam, atau mufassar diantara dilalah yang wadhih. Atau sebaliknya (ghair
wadhih) diantarnya apakah lafal tersebut khafi, musykil, mujmal, atau mutasyabih.
Hal ini akan terus digali karena baru 4 ilmu yang penulis jelaskan(Ulum Al-
Qur‟an, Ulum Al-Hadits, Ulum Al-Nahwu, Ulum Al-Ma‟aniy) belum kepada ilmu
yang menjadi inti dari penetapan hukum yaitu Ushul Al-Fiqh.
Maka metode takhrij ahkam adalah metode kaum mujtahidin baik itu dari
mutaqaddimin maupun sampai kontemporer, karena kita tidak bisa menetapkan
hukum dengan hukum yang dialami oleh Imam Abu Hanifah, ataupun dari Imam-
imam yang lain. Sebab mereka dengan kita berbeda kondisi, lingkungan,
masyarakat dan informasi. Semoga kajian yang penulis sampaikan bisa menjadi
pegangan bagi penulis sendiri dan rekan-rekan seperjuangan sebagai upaya
menjaga simpul Islam dari rongrongan kejumudan ijtihad.
Daftar Pustaka
Al-Syaibaniy, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Hanbal.
2001. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal. t.kp: Muassasah Al-Risalah.
Al-Thabaraniy, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub. 1994. Al-Mu‟jam Al-Kabir. Al-
Qahirah: Maktabah Ibnu Taimiyyah.
13
Takhrij Al-Ahkam sebagai Paradigma dalam Metodologi Ijtihad
Al-„Absiy, Abu Bakar bin Abi Syaibah. 1409 H. Al-Kitab Al-Mushannaf Fi Al-
Ahaaditsi Wa Al-Atsar. t.kp: Maktabah Al-Rusyd.
14