Anda di halaman 1dari 2

LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT CINA

A. Prolog
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok
dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah
dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Namun, sebenarnya filsafat timur ini tidak hanya di
pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat
dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping
filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh
kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan.
Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan
sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam
keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapatpendapat pribadi,
suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang
agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India
dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani
masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"),
dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi
yang terusmenerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan
nasibnya dan tujuannya.

B. Perkembangan Awal Filsafat Cina


Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM)
baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat
pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah
budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat
penyembahan. Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan
Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh
alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam
sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk
penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade[1].
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti
Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar
dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus
yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda
kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan
dan perang berkecamuk di antara rajaraja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda.
Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan
peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat
yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum
terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata
kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik.
Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada
saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil
kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan
mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah
terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama
berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur
dengan melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali
sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang,
dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang
dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan
dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou
untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Dalam perkembangan selanjutnya
ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan.
Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga
yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba
memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para
bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan,
menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari
lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa
yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan
politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang
berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam. Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno
memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa
pdireduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang
mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan,
becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas
dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India. Bagi para filsuf
Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia
yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya
perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.

Anda mungkin juga menyukai