Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Kindi merupakan filosof muslim pertama yang menyusun pemikiran Filsafat Islam
dengan sistematika yang jelas. Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin
yang diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo Platonis yang
dipadukan dengan keyakinan agama Islam. Al-Kindi membuka ruang pembicaraan sebagai
upaya pemaduan antara doktrin filsafat dan agama. Pengetahuan tentang Tuhan oleh Al-Kindi
disebut sebagai filsafat awal atau filsafat pertama; filsafat yang mewacanakan al-haqq sebagai
telos yang akan mengakhiri keseluruhan kerja filsafat. Al-Kindi membagi akal berdasarkan
tiap tahapan sebagai berikut; akal yang selalu aktif (merupakan inti semua akal dan semua
objek pengetahuan), akal potensial (akal yang menjamin kesiapan manusia untuk memahami
hal-hal yang mungkin rasional dan membutuhkan rangsangan dari luar), akal aktual (akal
potensial yang telah keluar dari batas potensial ketika jiwa mulai memahami hal-hal yang
rasional dan abstrak) dan akal lahir (akal yang telah serius dalam memahami hal-hal yang
rasional dan mengubah sesuatu yang potensial menjadi aktual).

Andalusia, salah satu daerah di Eropa yang diabadikan sejarah sebagai wilayah yang
merasakan keindahan peradaban Islam. Andalusia yang sekarang dikenal masyarakat dunia
dengan sebutan Spanyol merupakan salah satu wilayah kekuasaan Islam pada kekhalifahan
Bani Umayyah. Kecemerlangan peradaban salah satunya diwujudkan dengan sikap
penghargaan penguasa Andalusia terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Penguasa
Andalusia mendirikan lembaga secara mandiri yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan keilmuan seperti penerjemahan literatur, pengiriman cendekiawan ke pusat
peradaban yakni Baghdad dan kota-kota lain, serta pengembangan kajian-kajian berbagai
cabang ilmu seperti ilmu kalam, filsafat, tafsir, fikh dan bahasa.

B. Rumusan Masalah
I. Bagaimana filsafat menurut Al kindi ?
II. Bagaimana Filsafat menurut Ibnu Rusyd ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui Pemikiran Filsafat Menurut Al Kindi dan Ibnu Rusyd

1
BAB II

PEMBAHASAN

I. Al-Kindi
A. Biografi Al-Kindi
Memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’cub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu ‘Imran
ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Al-‘Asy’as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah, pada siapa
nama al-kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang
dari bani Kahlan yang menetap di Yaman.

Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan
terhormat. Al-Kindi mengalami 5 khalifah di bani Abbas. Ia menetap di Baghdad yaitu kota
sebagai jantung intelektual dikala itu, maka tidak heran jika Al-Kindi menguasai ilmu
astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorology, optika,
kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.

Dengan banyaknya ilmu pengetahuan yang beliau kuasai, juga dengan keahliannya
dibidang filsafat, Al-Kindi dinobatkan sebagai orang islam pertama yang berkebangsaan Arab
dalam jajaran para filosof terkemuka. Dan ia menyandang gelar failasuf al-‘arab (filosof
berkebangsaan arab). (Sirajuddin Zar, 2019 : 39)

Al-Kindi melewati masa kecilnya di Kufah dengan menghafal al-Qur’an, mempelajari


tata bahasa Arab, kesusastraan Arab dan ilmu hitung. Keseluruhan yang dipelajarinya di masa
itu merupakan kurikulum pelajaran wajib bagi semua anak-anak zamannya di wilaah Kufah.
Selanjutnya Al-Kindi mendalami pelajaran Fiqh dan kajian keilmuan baru yang disebut
Kalam. Akan tetapi, kecenderungan Al-Kindi lebih mengarah pada ilmu pengetahuan dan
filsafat, khususnya ketika Al-Kindi meninggalkan Kufah dan berdomisili di Bagdad (Basri,
2013). Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini, Al-Kindi mencurahkan perhatiannya untuk
menerjemah dan mengkaji filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat
itu. Menurut Al-Qifti (1171-1248 M), Al-Kindi banyak menerjemahkan buku filsafat,
menjelaskan hal-hal yang pelik, dan meringkaskan secara canggih teori-teorinya. Hal itu dapat
dilakukan karena Al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahasa
induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu juga, Al-Kindi mampu
memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na’ima
AlHimsi, seorang penerjemah Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku
Enneads inilah yang di kalangan pemikir Arab kemudian disalahpahami sebagai buku
Theologi karya Aristoteles.(Soleh,2013:89)

2
Para sejarawan memberi julukan kepada Al-Kindi sebagai “Filosof Arab” disebabkan
dia adalah satu-satunya filosof muslim keturunan Arab asli yang bermoyang kepada Ya’qub
ibn Qahthan yang bermukim di kawasan Arab Selatan. Al-Kindi termasuk filosof Islam yang
sangat produktif. Dia telah menulis banyak karyayang meliputi berbagai macam bidang ilmu.
Ibnu Nadhim mengatakan bahwa Al-Kindi telah merilis 260 judul karya seperti, Filsafat,
Logika ,Kosmologi. Akan tetapi, sedikit saja jumlah karya Al-Kindi yang sampai ke tangan
orang-orang setelahnya. Sebagian riwayat mengklaim bahwa karya-karya Al-Kindi hilang
semasa kepemimpinan Khalifah Al-Mutawakkil. (Basri, 2013)

B. Karya tulis Al-Kindi


 Fi al-falsafat al-Ula
 Kitab al hassi ‘ala Ta’allum al falsafat
 Risalat ila al-ma’mun fi al-‘Illat wa Ma’lul
 Risalat fi Ta’lif al A’dad
 Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-mu’tashah
wa ma fauqo al-Thabi’iyyat
 Kammiyat kutub aristoteles
 Fi al-nafs (Sirajuddin Zar, 2019 :39)

C. Pemaduan filsafat dan agama


Salah satu usaha Al-Kindi ketika memperkenalkan filsafat supaya masuk ke dunia
islam adalah dengan mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun darimana
sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja.

Dia adalah orang pertama yang jalan mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara
filsafat dan agama, atau akal dan wahyu. Menurutnya keduanya tidaklah bertentangan karena
masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah
satu (tidak banyak).

Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaan Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain
yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan
dari apa-apa yang mudharat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga
mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.

Ada beberapa usaha yang dilakukan oleh Al-Kindi:


1. Membicarakan kebeneran. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita
wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya,
walaupun itu berasal dari orang asing.
2. Ia mulai memasukkan filsafat. Setelah dipaparkan bahwa filsafat itu memiliki tujuan yang
sama dengan ajaran yang dibawakan rasul. Dan juga Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat
Al-qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-

3
Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena
di alam semesta ini.
Diantara ayat-ayat itu adalah:
 Surat Al-Hasyr [59] 2
‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ‫فَا ْعتَبِرُوا يأُولى األَ ْب‬
“maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”
 Surat Al-A’raf [7] 185
‫ق هللاُ ِم ْن َش ْي ٍء‬ َ َ‫ض َو َما َخل‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ت ال َّس َمآوا‬ِ ‫أَ َولَ ْم يَ ْنظُرُوا فِى َملَ ُكو‬
“dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang
diciptakan Allah”
 Surat al-Ghasyiyat [88] : 17-20
‫ت‬ْ ‫ُط َح‬ ِ ْ‫ت * َوإلَى األَر‬
ِ ‫ض َك ْيفَ ص‬ ْ َ‫صب‬
ِ ُ‫ت * َوإِلَى ال ِجبَا ِل َك ْيفَ ن‬ ْ ‫ت* َوإلَى ال َّس َما ِء َك ْيفَ ُرفِ َع‬ ْ َ‫*أَفَالَ يَ ْنظُرُونَ إلَى ا ِإلبِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬
“maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi,
bagaimana ia dihamparkan.

Dasar pemaduan antara filsafat dengan agama didasarkan pada tiga alasan berikut:
1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama

Perbedaan-perbedaan antara filsafat dengan agama (kammiyat kutub aristoteles) sebagai


berikut :

1. Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berfikir, belajar, dan
usaha-usaha manusiawi. Sedangkan Agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat
tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berfikir,dan usaha manusiawi, melainkan
hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan
memberinya wahyu.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau
perenungan. Sedangkan Agama (al-Qur’an) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak
benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan.
3. Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan Agama menggunakan metode keimanan
Maka dapat disimpulkan Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan
antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu ia melempangkan jalan bagi Al-Farabi,
Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang datang kemudian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Al-
Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di “pentas” filsafat islam. (Sirajuddin Zar,
2019 :45)

4
D. Filsafat ketuhanan
Diantara tulisan-tulisan al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain fi al-falsafat
al-ula dan fi wahdaniyyat Allah wa tanahi jirm al-‘Alam.
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran islam dan bertentangan dengan
pendapat aristoteles, plato, dan Plotinus. Dalam pandangannya ia mengatakan Allah adalah
wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan
selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului
wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia
adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya
dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.’
Sesuai paham yang ada dalam islam, Allah, bagi Al-Kindi, adalah pencipta alam semesta
dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda’. Pendapatnya ini berbeda dengan pandangan
Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai penggerak pertama yang tidak bergerak.
Adapun alam, menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturanNya
(sunnatullah) tidak kadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada
menjadi ada (creation ex nihilo) atau menurut istilah yang digunakannya izh-ha al-syai’ ‘an
laisa. Pengertian kadim, menurut Al-Kindi adalah tanpa permulaan.
Untuk membuktikan adanya Allah al-Kindi memajukan 3 argumen:
1. Baharunya alam
Ia berpendapat bahwa alam itu memiliki permulaan waktu dan yang setiap memiliki
permulaan pastilah memiliki akhir. Oleh karena itu setiap benda pasti ada yang
menyyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Ini
berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya
yakni Allah.

2. Keanekaragaman dalam wujud


Kata al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa
keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan
secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya yaitu Allah

3. Kerapian alam
Al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu
saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu
yang berada diluar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat
diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini. Zat itulah
yang disebut dengan Allah Swt. (Sirajuddin Zar, 2019 :51)

5
E. Filsafat Jiwa
Didalam filsafat jiwa ini al-Kindi juga merujuk kepada filsafat jiwa yunani, dia
mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam,
dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna,dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal
dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan.
Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Al-Kindi dalam tulisannya, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat 3 daya:
1. Daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut
2. Daya marah (al-quwwat al-ghadabiyyat) yang terdapat di dada
3. Daya fikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang berpusat di kepala

Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. Ia gambarkan akal sebagai suatu potensi
sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal,
menurutnya, terbagi menjadi empat macam: satu berada diluar jiwa manusia dan yang tiga
lagi berada didalamnya.

1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql allazi bi al-fi’l abada). Akal pertama ini
berada diluar jiwa manusia, bersifat ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Oleh karena itu
akal ini lah yang membuat potensi dalam jiwa manusia menjadi actual. Sifat-sifat akal
adalah sebagai berikut:
a. Ia adalah akal pertama
b. Ia selamanya dalam aktualitas
c. Ia merupakan species dan genus
d. Ia membuat akal potensial menjadi actual berfikir
e. Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.
2. Akal yang bersifat potensial (al-‘aql bi al-quwwat), yakni akal murni yang ada dalam diri
manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan
yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect) adalah akal yang telah keluar dari
potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya.
4. Akal yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia actual, maka ia disebut akal “yang
kedua”.

Harus diakui bahwa al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap. Ia telah berusaha
mempertemukan filsafat dengan agama atau akal dengan wahyu, serta lebih jauh lagi,
mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat yunani. Pemikiran filsafat al-Kindi
merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof muslim sesudahnya. (Sirajuddin Zar, 2019 :
60)

6
II. Ibnu Rusyd
A. Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu
Rusyd, ia dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/ 1126M. orang barat menyebutnya
dengan Averrois. Dia berasal dari keluarga yang terpandang dan juga iya memiliki ketajaman
berfikir dan kegeniusan otak karena itulah ia mewariskan intelektualitas keluarganya dan
berhasil menjadi sarjana yang all-around yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti
hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dll.
Ibnu Rusyd juga memiliki keahlian ketika ia menjelaskan tentang filsafat milik aristoteles
sehingga orang-orang yang mendengarkan penjelasan itu seolah-olah mereka sedang
membaca teks asli tulisan aristoteles. Untuk keahliannya ini, ia diberi gelar The famous
commentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante Alagieri , pengarang
buku Divine Comedy. (Sirajuddin Zar, 2019 :227)

B. Karya-karya Ibnu Rusyd


Banyak kejadian-kejadian yang menyebabkan buku-buku karangan Ibnu Rusyd ini
menjadi hilang dan tidak dapat ditemukan kembali, kendati demikian kita masih dapat melihat
beberapa buku-buku Ibnu Rusyd yaitu:
 Fashl al-maqal fi ma bain al-hikmat wa al-syari’ah min al-ittishal,berisikan korelasi antara
agama dan filsafat
 Al-kasyf ‘an manahij al-adillat fi ‘aqa’id al-millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli
ilmu kalam dan sufi
 Tahafut al-tahafut. Berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul tahafut al-
falasifat
 Bidayat al-mujtahid wa nihayat al-muqtashid,yang berisikan uraian-uraian di bidang fiqh
(Sirajuddin Zar, 2019 :227)

C. Jawabannya terhadap sanggahan Al - Ghazali


Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof
Muslim, tiga butir di antaranya para filosof Muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah
tidak mengetahui yang rincian di alam, dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada - Ibnu
Rusyd sebagai filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula
kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof
Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al-Ghazali sendiri. "

1. Alam Kadim

Menurut Al-Ghazali : Sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim, alam diciptakan
Allah dari tiada menjadi ada ( al-ijad min al-adam, creatio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah
yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru

7
itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof
Muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah
ada.

Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang
filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah,
tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.
Karena penciptaan dari tiada (al-adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil
dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. oleh
karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.

Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah menciptakan alam, yang
ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatu pun selain-Nya. Sementara itu, menurut
pemikiran para Filosof Muslim, di kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain
Allah. Dari sesuatu yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.

Untuk mendukung pendalatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat Al-Qur'an :


QS Al-Anbiya (21):30, QS Hud (11):7, QS Fushshilat (41) :11, QS Al-Mu'minun (23):12-14

Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini di ciptakan
sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma'(air), dan dukhan (uap). Dengan demikian, kata Ibnu
Rusyd, pendapat para filosof Muslim lah yang sesuai dengan bunyi ayat, sedangkan
pendapat kaum teolog Muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti
mereka (teolog Muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir
ayat dan sebaliknya filosof Muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang seharusnya
mengambil arti metaforik.

Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini di sebabkan
perbedaan antara kaum teolog muslim dan kaum filosof muslim dalam memberikan arti kata
al-ihdats, dan qadim.

Dalam Fash al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka
tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Dikatakannya
mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis.

1) Jenis pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti
wujudnya ada Pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman.
2) Jenis kedua wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului
oleh zaman.
3) Wujud yang ketiga ini adalah wujud ditengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu
wujud yang tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetap terjadi karena
sesuatu (diciptakan).

8
2. Allah Tidak Mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam

Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui
yang parsial di alam. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada
filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof Muslim adalah
pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni sejak azali. Sedangkan pengetahuan manusia bersifat
baharu. Pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk
akibat.

Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu
Allah. Al-Ghazali terkesan menyamanakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para
filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia.

3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka
berbeda interpretasi mengenai bentuknnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang
akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang
jelas, kehidupan diakhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadist
: ‘Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak
pernah terlintas dalam pikiran”, dan ucapan Ibnu Abbas: “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal
yang bersifat keduniaan kecuali nama saja. Hidup diakhirat tentu saja lebih tinggi dari pada
hidup didunia. (Sirajuddin Zar, 2019 : 232-236)

D. Hukum Sebab Akibat (Kausalitas) dan Hubungannya dengan


Mukjizat
1. Terdapat Hubungan yang Dharuriy (Pasti) antara Sebab dan Akibat

Pengingkaran akan adanya sebab, yang melahirkan adanya musabab atau akibat, merupakan
pernyataan yang tidak logis. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd, para mutakalimin termasuk Al-
Ghazali sebenarnya mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hati nurani mereka.

2. Hubungan Sebab Akibat dengan Adat atau Kebiasaan

Telah disebutkan bahwa Al-Ghazali memandang hubungan sebab-akibat sebagai adat atau
kebbiasaan. Ternyata Ibnu Rusyd mempertannyakan apa sebenarnya yang di maksud Al-
Ghazali sebagai adat tersebut. Apakah adat fa’il (Allah), atau adat mawjud, atau adat bagi kita
dalam menetapkan sesuatu sifat atau predikat terhadap mawjud ini. Kalau yang dimaksud adat
bagi Allah, hal ini mustahil karna apa yang disebut sebagai adat adalah suatu kemampuan atau
potensi yang diusahakan fa’il yang mengakibatkan berulang-ulangnya perhatian fa’il.

9
3. Hubungan Sebab Akibat dengan Akal

Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa adanya akibat atau musabab yang lahir dari sebab hanya
terjadi dalam tiga bentuk, yaitu :

 Pertama keterpaksaan
 Kedua agar musabab dalam keadaan lebih baik dan lebih sempurna
 Ketiga tidak karena keterpaksaan dan juga tidak karena adanya maksud untuk
kebaikan atau kesempurnaan.

4. Hubungan Sebab Akibat dengan Mukjizat

Ibnu Rusyd membedakan antara dua mukjizat, yaitu:

 Mukjizat Al-Barraniy, ialah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak
sesuai dengan risalah kenabiannya,
 Mukjizat Al-Jawwaniy, ialah mukjizat yang diberikan kepada seseorang nabi yang
sesuai dengan risalah kenabiannya. (Sirajuddin Zar, 2019 : 238-243)

E. Pengaruh Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd di Eropa


Ibn Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di Eropa sebagai intelek yang
menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara orisinil
setelah lama terkubur di abad pertengahan. Aufklarung (renaissanse) setelah lama terjadi
kemandekan dan pergulatan. Dalam konteks ini, Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar karya
Aristoteles banyak berperan.

Pengaruh besar Ibn Rusyd tidak lepas dari metode dan pendekatan yang dipakai dalam
pemikiran filosofisnya. Ibn Rusyd yang datang di tengah-tengah penguasaan dogma agama
dan pertentangan besar agama (wahyu) dan filsafat (akal) merekonsiliasikan antara agama dan
wahyu atau mempertemukan pertentangan tersebut dengan mengemukakan argument-
argumen yang dapat diterima akal dan kaum agamawan. Persamaan tujuan dalam pencarian
kebenaran menjadi senjata dalam menemukan benang merah pertentangan agama dan filsafat.
Sebagai seorang Muslim, Ibn Rusyd dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi al-Quran
(agama) terhadap filsafat yang sebelumnya ditolak. Lewat penyatuan akal dan wahyu ini lah
pengaruh Ibn Rusyd terus membesar.

Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menyebabkan perhatian Barat
terhadap filsafat Ibn Rusyd demikian besar. Ketertarikan Frederick II sebagai pecinta ilmu
pengetahuan dan filsafat terhadap komentar-komentar Ibn Rusyd akan filsafat Aristoteles dan
bagaimana dia dapat menjaga kemurniannya setelah tercampur dengan Platonisme.
Ketertarikan ini mendorongnya untuk menerjemahkan dan menyebar luaskan pemikiran Ibn
Rusyd di Eropa. Banyak pula orang Yahudi penganut filsafat Ibn Rusyd juga menerjemahkan

10
pemikiran-pemikirannya. Sebagai komentator besar Arestoteles, banyak para pengkaji filsafat
membaca karya Ibn Rusyd demi mendapatkan orisinialitas pemikiran Aristoteles. (Sirajuddin Zar,
2019 : 255)

Pengaruh besar Ibn Rusyd di Eropa ditandai dengan lahirnya gerakan Averroisme yang
menghidupkan dan mengembangkan pemikiran filosofis Ibn Rusyd. Meskipun apa yang
mereka kembangkan pada akhirnya jauh berbeda dengan pemikiran asli Ibn Rusyd. Hal ini
tidak lebih dikarenakan perbedaan latar belakang saja yang mempengaruhi pemikiran.
Kelahiran aliran ini telah membuktikan pengaruh besar Ibn Rusyd di Eropa. Meskipun banyak
juga yang menentang pemikiran Ibn Rusyd, seperti Thomas Aquinas, Raymond Lull, Albert
the Great dan lainnya. Bahkan para gerejawan berusaha membendung pengaruh pemikiran
rasional Averroisme dengan berbagai cara. Salah satu ancaman yang paling tragis adalah
ancaman pembunuhan dan penjara.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan
filsafat. Ia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua
pandangan berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan memfilsafatkan agama. Kedua,
memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu
ilahiah ini diketahui lewat jalur nabi. Oleh karena itu, melalui penafsiran filosofis, agama
menjadi selaras dengan filsafat. Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan
kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi, bertujuan untuk
memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.

Ibnu Rusyd memiliki nama lengkap Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Rusyd. Ibnu Rusyd dilahirkan di kota Cordova pada tahun pada tahun 520 H/
1126 M. Menimba ilmu antara lain ilmu fikh Maliki, hadis, filsafat, kedokteran dan lain
sebagainya. Karirnya dimulai ketika ia diperkenalkan dengan Abu Ya‟kub Yusuf, seorang
khalifah dinasti Muwahhidun yang memiliki kegemaran terhadap dunia keilmuan. Ia sempat
menjadi Qadhi selama dua tahun di Sevilla dan menjadi Hakim Agung di Cordoba. Karyanya
yang hingga kini masih dapat dinikmati mencakup beberapa bidang ilmu antara lain filsafat,
kedokteran dan fikh. Pemikirannya dalam bidang filsafat terstruktur dan berlandaskan pada
metode pembuktian dalil-dalil burhani (demonstratif) dan berasaskan pada kesadaran akan
universalitas dan historisitas pengetahuan. Pemikirannya antara lain tentang hubungan filsafat
dengan agama, keqadiman alam, metode penerimaan kebenaran, pengetahuan Allah dan
kebangkitan manusia.

12
DAFTAR PUSTAKA

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004),

H.A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013

Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013

13

Anda mungkin juga menyukai