Anda di halaman 1dari 43

ANALISA BUKU SEJARAH FILSAFAF ISLAM

KARYA MAJID FAKHRY

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Filsafat Islam

Disusun oleh:
Elvira Purnamasari

Dosen Pembimbing:
Dr. Murkilim, M.Ag

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016
ANALISA BUKU SEJARAH FILSAFAF ISLAM
KARYA MAJID FAKHRY

A. BIOGRAFI MAJID FAKHRY


Majid Fakhry adalah seorang warga Amerika yang lahir
pada 6 Januari tahun 1923 di Zerarieh, Lebanon. Dengan latar
pendidikan di American University of Beirut dan Edinburgh
University. Ia adalah pensiunan Profesor (Professor Emeritus)
American University of Beirut, dan sebelumnya merupakan
Dosen di SOAS, University of London, Profesor di UCLA, dan
Associate Professor of Philosophy, di Georgetown University dan
juga pernah menjadi dosen undangan di Princeton, Kuwait dan
University of California, Los Angeles. Dalam interpretasi filsafat
Islam dia dipengaruhi oleh tren kontemporer dalam filsafat
analitis.
Karya-karyanya antara lain: Islamic Occasionalism and its
Critique by Averroes and Aquinas, London (1958), A History of
Islamic Philosophy (1970), New York and London, Arabic Ethical
Thought (1978), Ethical Theorities in Islam, London (1991),
Ethical Theories in Islam (1991), Philosophy, Dogma, and the
Impact of Greek Thought in Islam (1994), Islamic Philosophy,
Theology, and Mysticism (1997), Averroes: His Life, Work and
Influence (2001), Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis
(2001),

Al-Farabi: Founder

of

Islamic

Neoplatonism

(2002),

Islamic Philosophy: A Beginner's Guide (2009), Etika dalam Islam,


Islamic Occasionalism: and Its Critique by Averroes and Aquinas
(2013).
Majid

Fakhry

banyak

memberikan

konstribusi

dalam

pengembangan kajian filsafat Islam baik di dunia Islam dan di


Barat. Ia berusaha mengklarifikasi pandangan yang berkembang
di kalangan sarjana barat yang berpendapat bahwasanya filsafat
Islam hanya merupakan terjemahan dari filsafat Yunani dan tidak
memiliki autentisitas sama sekali.
Usaha yang dilakukannya adalah dengan menguraikan ideide dari filosof utama Islam yang membawa perspektif baru ke
area pemikiran filsafat. Dan dikarenakan pemahaman sejarahnya
yang luas, memungkinkan Majid Fakhry untuk mempresentasikan
ide mereka dalam konteks yang sesuai. Banyak buku-bukunya
mengenai para filosof Islam yang memberikan konstribusi
penting dalam memahami pemikiran para filosof tersebut dan ia
memasukkan kriteria yang ketat secara singkat, padat dan
akurat pada lapangan yang sampai saat itu kadang-kadang
memiliki kriteria agak longgar.
Karyanya yang paling penting adalah History of Islamic
Philosophy (1970), yang merupakan buku yang pertama kali
dapat sama-sama menyatukan pemikiran yang sangat beragam
di dunia Islam dan menghubungkannya dengan filsafat Yunani di
satu sisi dan teologi Islam di sisi lain. Dia telah memberikan
konstribusi penting untuk pemahaman banyak aspek filsafat
Islam, tapi mungkin yang paling terkonsentrasi adalah dalam
bidang etika. Penguasaannya terhadap filsafat Yunani dan teologi
Islam telah memungkinkan dia untuk menyajikan ide-ide dari
beberapa filsuf etika utama dengan cara yang tidak disadari
sebelumnya. Banyak kontribusi pemikirannya dalam konferensi

dan jurnal, namun yang paling penting adalah pengaruhnya pada


cara mengkaji sejarah filsafat Islam. [(Oliver Leaman) dalam
buku

Biographycal

Dictionary

of

Twentieth-Century

Philosophers, London: Routlegde, 1997 halaman 223]

B. TUJUAN PENULISAN BUKU SEJARAH FILSAFAT ISLAM


Judul asli buku ini adalah A Short: Introduction of Islamic
Philosophy, Theology and Mysticism. Yang kemudian diterjemahkan oleh Zaimul
Am dan disunting oleh Musa Kazhim ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis.
Tujuan Majid Fakhry menulis buku Sejarah Filsafat Islam ini
adalah untuk mengantarkan para pembaca pada filsafat, teologi
dan

mistisisme

yang

berkembang

dan

berinteraksi

dalam

konteks sejarah. Melalui pembahasan dalam buku ini Majid


Fakhry berusaha menunjukkan hubungan filsafat Islam dengan
asal-usul Yunani dan Hellenistiknya kemudian penyebarannya ke
Eropa Barat. Hal ini diperlukan untuk membuktikan adanya
kesinambungan dan keterkaitan dengan gerakan intelektual
besar dalam sejarah dunia, dan letak pentingnya pemikiran yang
dikembangkan para filosof Islam sebagai unsur pembentuk
kebudayaan dunia.
Di dalam bukunya ini, Majid Fakhry akan membahas
berbagai konsep filsafat, teologi, tasawuf dan persoalan yang
timbul akibat sangkut-paut antara semua itu yang disoroti secara
ringkas, tetapi mamadai tanpa aneka uraian dan referensi yang
menjemukan. Adapun bila ingin mengetahui lebih jelas mengenai
beberapa aliran atau konsep dasar yang disinggung dalam bukunya ini, dapat
dibaca pada bukunya yang lain yakni

History of Islamic

Philosophy dan Philosophy Dogma and Impact of Greek Thought


in Islam.

C. SISTEMATIKA PENULISAN BUKU SEJARAH FILSAFAT


ISLAM
Sistematika penulisan bab pada buku Sejarah Filsafat Islam
karya Majid Fakhry ini sangat berbeda dengan buku-buku filsafat
Islam lainnya. Dalam buku ini Fakhry membagi bab dengan
mengkategorikan para filosof sesuai dengan pola kronologis
pemikiran

umum

setiap

tahapnya.

Yakni

dimulai

dengan

penyebaran Filsafat ke dunia Islam kemudian terlebih dahulu ia


menyoroti awal munculnya ilmu Kalam baru merambat pada
pemikiran para filosof Islam yang awalnya tidak terlepas dari
pola pemikiran filsafat Yunani seperti Plato, Phytagoras dan
lainnya dan akhirnya mulai menemukan pemikiran uniknya
sendiri yang berkaitan erat dengan mistisisme hingga pemikiran
filosof modern dan kontemporer saat ini. Dan dalam menuliskan
subbab itu Fakhry membuatnya dalam bentuk prosa yang
panjang tanpa membaginya dalam poin-poin lagi termasuk
dalam menjelaskan pemikiran filosof Islam. Kemudian pada
bagian akhir Fakhry mencantumkan berbagai litratur yang
digunakan dalam pembahasan bukunya ini baik sumber dari
bahasa Arab maupun Inggris. Untuk lebih jelasnya pembagian
babnya tersebut akan dijelaskan secara rinci pada bagian
selanjutnya.
D. PEMBAHASAN DALAM BUKU SEJARAH FILSAFAT ISLAM
BAB 1. Penyebaran Filsafat dan Sains Kuno
Pada bab ini Fakhry membaginya menjadi dua subbab
yakni (1) Warisan-warisan Yunani dan Suryani, dan (2) Warisan
Budaya Persia dan India. Pembagian bab ini dikarenakan akar
pemikiran filsafat yang memberikan pengaruh pada filsafat Islam
yang masuk melalui penerjemahan buku-buku filsafat adalah dari

Yunani, Suryani, Persia dan India. Pembagian ke dalam dua


subbab dikarenakan filsafat Yunani dan Suryani berkaitan erat
bahkan karya-karya filosof Yunani banyak yang merupakan
bahasa Suryani sehingga subbabnya digabungkan sedangkan
Persia dan India digabung dikarenakan karena memang tidak
banyak penjelasan mengenai pemikiran-pemikiran filsafat yang
berasal

dari

wilayah

tersebut

sehingga

tidak

diperlukan

pembahasan satu per satu dari wilayah tersebut.


1. Warisan yang dimaksud di sini adalah warisan pemikiran
filsafat para filosof Yunani dan Suryani yang masuk ke dunia
Islam melalui penerjemahan buku-buku para tokoh-tokoh
filsafat mereka pada Abad ke-8 atas dukungan Pangeran
Khalid Ibn Yazid (w. 704 M) dari Dinasti Umayah. Warisan
pemikiran filsafat yang sangat menonjol adalah filsafat
Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Plotinus (w. 270 M)
dan muridnya Porphyry (w. 330 M) yang hidup pada zaman
Iskandar

agung.

Filsafat

ini

sangat

menarik

perhatian

cendekiawan muslim dikarenakan ia berhasil memadukan


semua arus besar filsafat Yunani Klasik, seperti Platonisme,
Aristotelianisme,

Pythagoreanisme

dan

Stoisisme

dalam

suatu tesis yang mempesona. Melalui ajaran Plato tentang


Idea, Plotinus telah memberi warna baru pada filsafat
Yunani dengan mamasukkan unsur Mistis yakni penyatuan
diri dengan To Hen (Yang Esa), pemikiran ini didapatkan
Plotinus akibat pengaruh agama-agama Timur. Beberapa
filosof

Islam

yang

banyak

terpengaruh

oleh

filsafat

Neoplatonisme adalah al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina.


2. Adapun warisan budaya Persia dan India kurang dapat
ditemukan sumber rujukannya ataupun pengaruhnya yang
jelas pada masa awal perkembangan filsafat Islam. Salah
datu rujukan yang didapatkan oleh Fakhry adalah tulisan al-

Biruni (w.1048 M), seorang sejarawan dan astronom Muslim


terkemuka. Ia menuliskan tentang kepercayaan religius dan
filosofis orang-orang India (Hindu) dan dalam tulisannya ini ia
juga

menyebutkan

tentang

Abu

al-Abbas

al-Iransyahri,

seorang pakar dokrin-dokrin keagamaan India yang memiliki


pengaruh terhadap pemikiran pemikir filosof dan tabib
terkemuka Abu Bakr al-Razi (w. 925 M). Sedangkan warisan
Persia adalah terbatas pada pengetahuan sastra (dalam buku
Kalilah wa Dimnah) dan ajaran-ajaran moral (dalam buku
Jawidan Khirad/ Kebijaksaan abadi). Fakhry juga menyebutkan
bahwa pengaruh Persia yang paling kuat bersumber dari
dokrin Manichaenisme yang merasuki pemikiran para filosof
dan politisi Muslim bahkan pula para khalifah.
Pada pembahasan dalam bab ini Fakhry lebih terfokus pada
pemetaan kronologis perkembangan awal masuknya filsafat ke
dalam Islam dan pengaruh pemikiran filsafat yang berkembang
di Yunani, Suryani, India dan Persia tanpa memberikan rincian
yang panjang lebar. Beliau hanya menyebutkan secara ringkas
tokoh-tokoh yang berpengaruh dan karyanya kemudian para
filosof Islam yang mengikuti pemikiran mereka. Dalam hal ini
beliau juga sama sekali tidak memberikan penjelasan mengenai
bagaimana pemikiran filsafat tersebut tetapi hanya disebutkan
nama ajaran atau pemikirannya kemudian tokohnya.
BAB 2. Konflik-konflik Agama dan Politik pada Awal
Era Islam
Pada bab ini Fakhry membaginya menjadi tiga subbab
yakni (1) Fenomena Politik Abad ke-7, (2) Munculnya Teologi
Sistematik [Kalam], dan (3) Lima Prinsip Dasar Mutazilah. Pada
awal subbabnya Fakhry menjelaskan secara ringkas fenomena

politik yang memicu terjadinya perdebatan masalah keimanan


oleh beberapa kelompok dan menjadi bibit-bibit aliran kalam
selanjutnya dijelaskan aliran-aliran kalam yang berkembang dan
sangkut pautnya satu sama lain tanpa memberikan rincian
pemikiran kalam mereka, tetapi hanya fokus pada ajarannya
yang paling pokok kemudian pada subbab terakhir dibahas
mengenai aliran Mutazilah dengan cukup panjang. Hal ini
mungkin karena aliran ini merupakan aliran yang sangat kukuh
mengagungkan peran akal dan juga pernah menjadi mazhab
negara yang menjadi sebab peristiwa Mihnah yang sangat
terkenal.
1. Penerjemahan

karya-karya

filsafat

sebelumnya

memicu

perkembangan pemikiran filosofis dan teologis di kalangan


masyarakat Muslim. Dan menguat pada abad ke-7 yang
kemudian diawali dengan konflik kekhalifahan yang terjadi
pada masa Ali bin Abi Thalib tumbuhlah bibit-bibit aliran
kalam atau teologi di kalangan umat Islam. Kalam ini adalah
bentuk autentik keilmuwan Islam dari masuknya pemikiran
filsafat yang dipadukan dalam kajian teologi dalam Islam.
Dari masalah politik ini muncullah aliran Khawarij yang
menentang kekhalifahan Ali dan Syiah yang memihak Ali. Hal
yang diperdebatkan adalah masalah keimanan dan kekufuran
seorang Muslim dan sebagai dampak dari perselisihan ini
muncul pula aliran Murjiah sebagai aliran yang netral dan
tidak berpihak dengan dua aliran lain yang berseteru dengan
saling mengkafirkan pada saat itu.
2. Perbedaan pemikiran kalam yang mendorongnya menjadi
aliran-aliran teologi yang sistematik dan mandiri terilhami
oleh Q.S. Ali Imran ayat 5-6 yang menjelaskan bahwa di
dalam al-Quran selain ayat-ayat Muhkamat juga terdapat
ayat-ayat

Mutasyabihat

yang

memungkinkan

terjadinya

beragam penafsiran tentangnya. Bahkan di dalam Hadis Nabi


pun disebutkan bahwa umat Islam akan terpecah hingga 73
golongan namun hanya satu yang selamat. Aliran-aliran
kalam yang berkembang setelah Khawarij, Syiah dan Murjiah
adalah

Qadariyah

dan

Jabariyah

yang

muncul

akibat

perdebatan mengenai soal qadar atau swakarsa manusia


sebagai

pelaku

yang

bebas

melaksanakan

rencananya.

Dalam hal ini terdapat dugaan bahwa kontraversi mengenai


qadar ini adalah karena para penganut kehendak bebas
(Qadariyah) telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan teologi
Kristen. Dari aliran ini kemudian muncul pula aliran Mutazilah
yang salah satu ajarannya yang paling terkenal adalah almanzilah bain al-manzilatain.
3. Aliran Mutazilah adalah aliran yang paling mengagungkan
peran akal dibanding aliran kalam lainnya sehingga aliran ini
menjadi lambang aliran kalam rasional. Aliran Mutazilah
memiliki lima prinsip dasar, yaitu: a) Keadilan Tuhan, (b)
Keesaan Ilahi sehingga aliran ini juga sering disebut sebagai
ahl al-adh wa al-tauhid (kelompok pembela Keadilan dan
Keesaan Ilahi), (c) Al-manzilah bain al-manzilatain, (d) Siksa
dan pahala Tuhan, dan (e) Amar maruf nahi munkar.
Kemudian

didasarkan

mengukuhkan
pandangan

Keesaan

keterciptaan

dari

keinginan

mereka

Ilahi,

Mutazilah

mengemukakan

al-Quran

yang

untuk

mengakibatkan

disebutnya al-Quran sebagai makhluk. Paham ini pada masa


khalifah Abbasiyah, al-Mamun dijadikan sebagai kebijakan
resmi negara (mazhab negara) yang menjadi penyebab
terjadinya persitiwa Mihnah dan dipenjarakannya Ahmad bin
Hanbal yang bersikukuh menolak paham tersebut. Namun,
pada

masa

al-Mutawakkil

yakni

generasi

ke-3

setelah

kepemimpinan al-Mamun dimana pengaruh Mutazilah telah

melemah, Ibn Hanbal dibebaskan dan diberi ganti rugi.


Setelah itu, ranah pemikiran kalam dikuasai oleh kaum
tradisionalis.
Dari penjelasan mengenai kalam ini dapat disimpulkan
bahwa

meskipun

meminjam

dalil-dalil

al-Quran

sebagai

rujukannya, aliran-aliran kalam ini tetap tidak terlepas dari


kepentingan-kepentingan politik pada saat itu. Nampaknya
konflik politik tidak hanya memicu awal munculnya pemikiran
kalam akan tetapi pada perkembangannya pun aliran-aliran
kalam ini selalu berhubungan dengan konflik politik. Hal ini
mungkin karena aliran kalam bersifat reaksioner terhadap
masalah sosial-politik yang berkembang dalam masyarakat
sehingga ia senantiasa tetap terkait dengan gejolak atau konflik
politik yang sedang terjadi.
BAB 3. Fajar Filsafat Sistematik dan Pemikiran Bebas
Abad ke-9
Pada bab ketiga, Fakhry membaginya menjadi tiga subbab
yakni (1) al-Kindi, (2) Abu Bakar al-Razi dan (3) Perkembangan
Pemikiran Bebas. Pembagian subbab dalam bab ini diawali oleh
filosof Islam pertama yakni al-Kindi kemudian al-Razi yang
merupakan salah satu filosof yang mendapat kecaman karena
kerasionalannya yang berlebihan dalam mengagungkan posisi
akal

sehingga

mengklaim

tidak

diperlukannya

Nabi

dan

kemudian ditutup dengan pembahasan perkembangan pemikir


bebas

yang

banyak

terpengaruh

oleh

pemikiran

rasional

Mutazilah yang sejalan dengan al-Razi.


1. Penulisan filsafat Islam yang sistematis baru dimulai pada
abad ke-9 M oleh Abu Yusuf Yaqub al-Kindi (w. 866 M). AlKindi memiliki 242 karya yang meliputi berbagai macam

keilmuwan. Mulai dari masalah metafisika, pembahasan


tentang benda-benda langit, psikologi, tema tentang aql
hingga hal-ihwal etika.
Tulisan al-Kindi

mengenai

filsafat

yang

dapat

ditemukan adalah dalam buku Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang


Filsafat Pertama). Dalam tulisan ini al-Kindi memuji filsafat
sebagai kriya (shinaah) manusia yang paling tinggi dan
luhur serta menyampaikan betapa pentingnya filsafat dalam
mendampingi agama, karena menurutnya kebenaran yang
dicari oleh para filosof tidak ada bedanya dengan kebenaran
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Berdasarkan
pendapatnya

ini

al-Kindi

menerapkan

filsafat

dalam

menafsirkan al-Quran sehingga dia dianggap sebagai pelopor


dikembangkannya penafsiran hermeneutik atau dalam Islam
lebih dikenal dengan Tawil. Di sini al-Kindi juga mengecam
orang-orang

picik

yang

menghalangi

manusia

mencari

kebenaran atas nama agama.


Sama seperti Plato, al-Kindi juga yang membagi
cabang filsafat menjadi fisika (yang terindra/materiil) dan
metafasika

(immateriel),

namun

yang

berbeda

ia

juga

menegaskan adanya ilmu Ilahi yang tidak bisa diperoleh


melalui

upaya

atau

wacana

manusiawi

saja,

tetapi

memerlukan penyucian diri dan rahmat Ilahi. Ilmu ini adalah


anugrah Ilahi yang diberikan kepada Nabi berupa wahyu
kebenaran yang berada jauh di luar jangkauan nalar manusia.
Berkaitan
Aristoteles,

dengan
al-Kindi

teori

ketuhanannya

mengatakan

bahwa

sama

seperti

Allah

adalah

penyebab bagi semua yang ada (Sebab Utama), dan dalam


membuktikan pendapatnya ini al-Kindi mengambil konsep
penciptaan dari ketiadaan (creation ex nihilo). Hal ini sangat
berbeda dengan Aristoteles maupun Plotinus. Menurutnya

10

mustahil

ada

benda-benda

alam

yang

bersifat

abadi,

semuanya pasti bermula dan tercipta dalam waktu dari


ketiadaan (ex nihilo), maka tentunya ia memiliki Pencipta.
Setelah itu pembahasan al-Kindi beralih pada bendabenda langit yang dalam pandangannya pasti mempunyai
gerakan dan persepsi dan memilki indra pendengaran dan
penglihatan.

Benda-benda

langit

ini

juga

memiliki

kemampuan penangkapan (intelligence) atau kemampuan


berpikir yang lebih kuat daripada penghuninya (manusia)
karena

menurutnya

manusia

merupakan

akibat-akibat

(causal) tindakan benda-benda langit tersebut. Dalam hal ini


al-Kindi

mengajukan

lima

premis

yang

mendukung

pendapatnya tersebut. Pandangan al-Kindi mengenai bendabenda langit membuatnya percaya bahwa ilmu astrologi dan
ramalan-ramalannya

adalah

benar

dan

mempengaruhi psikologi manusia.


Menyambung dari pemikirannya
langit,

al-Kindi

membahas

bidang

memang

mengenai
psikologi

benda
dengan

pembahasan yang cukup kompleks menyangkut masalah jiwa


secara

Platonik

dan

Neoplatonik.

Persis

seperti

yang

dikatakan Plato, al-Kindi menjelaskan bahwa begitu jiwa


manusia

terlepas

mengetahui
pengetahuan

dari

segala
yang

dunia

misteri

(fisiknya),
sehingga

tersembunyi

maka
tidak

darinya.

ia

akan

ada

lagi

Al-Kindi

juga

menganut teori tritunggal Plato yang menyatakan bahwa jiwa


terdiri

atas

(1)

rasio

dengan

kebijaksanaan

sebagai

kesempurnaannya, (2) marah dengan keberanian sebagai


kesempurnaannya,

dan (3) syahwat dengan pengendalian

diri sebagai kesempurnaannya.


Terakhir dalam risalah yang berjudul Maqalah fi al-Aql
(Pembahasan tentang Akal) yang banyak menjadi sumber

11

inspirasi bagi karya al-Farabi, Ibn Rusyd, dan filosof lainnya.


Al-

Kindi

mengembangkan

tema

intelek

(aql),

ia

membedakan intelek dalam empat bagian, yaitu (1) intelek


yang selalu dalam aksi, (2) intelek yang masih potensial, (3)
intelek yang telah melewati keadaan potensial menuju
keadaan aktualnya atau intelek capaian [aql mustafad], dan
(4)

intelek

manifest

yang

berfungsi

mengabstraksikan

bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil.


Mengenai masalah etika dalam bukunya al-Hilal li Daf
al-Ahzan (Kiat Menghindari Kesedihan) yang masalah ini
sangat

berkaitan

dengan

gagasan-gagasan

psikologi.

Menurutnya sudah merupakan watak dunia itu bersifat fana,


sehingga

bahkan

kesenanganpun

tidak

akan

dapat

dipertahankan selamanya di dunia, ada kalanya kesedihan


akan melanda, sebagaimana bersamanya dengan kehidupan,
kematian tidak dapat dihindari. Hal ini pasti terjadi, menolak
kematian sama saja menolak kemanusiaan. Maka meski
bersedih jalan terbaik adalah terus maju tanpa menyianyiakan diri karena nasib akan selalu terus berputar.
2. Penerus terkemuka al-Kindi adalah filosof dan tabib Persia
bernama Abu Bakr al-Razi (w. 925/ 935 M), ia adalah tabib
paling terkemuka baik di Barat maupun di Timur pada
masanya. Namun, sebagai filosof ia menerima banyak
tuduhan-tuduhan tidak berdasar, seperti kemurtadan dan
kesesatan dari agama. Al-Razi adalah seorang Platonis Islam
terbesar dan pemikir rasional murni. Ia mengarang tidak
kurang dari 200 buku dan membahas semua bahasan filosofis
dan saintik, kecuali matematika. Al-Razi sudah berprofesi
sebagai dokter bahkan sebelum mempelajari filsafat, dari
profesinya sebagai dokterlah kemudian al-Razi justri tertarik
mempelajari filsafat. Sebagai seorang Platonis, dalam kajian

12

metafisika

dan

etikanya

terlihat

jelas

kecenderungan

Platoniknya melalui teori lima prinsip kekal (Pencipta, jiwa,


materi,

ruang

sebagaimana

dan
Plato,

waktu)
al-Razi

yang

dipegangnya.

menganggap

bahwa

Dan
pada

dasarnya jiwa itu terpisah dari materi, kemudian Tuhan


memberikan akal kepada manusia untuk dapat mengingatkan
jiwa kepada asalnya melalui kegiatan berfilsafat.
Pemikiran
filsafat
al-Razi
tentang

kenabian,

menurutnya akal dengan sendirinya telah mampu untuk


membimbing

manusia

pada

kebenaran

sehingga

ia

menganggap Nabi tidak diperlukan dan terlalu berlebihan.


Dan bila dilihat dari sejarahnya seringkali Nabi dan ajarannya
menjadi

pemicu

terjadinya

pertumpahan

darah

dan

peperangan, ini terdapat dalam bukunya Naqd al-Adyan au fil


al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau Kenabian).
Adapun pemikiran filsafat etisnya dalam karya al-Thibb
al-Ruhani

(Pengobatan

menyembuhkan

jiwa

Ruhani),

sebagaimana

al-Razi

berupaya

penyembuhan

fisik.

Sebagaimana Plato dan Socrates, menurut al-Razi jiwa itu


terbagi dalam 3 bagian, yaitu jiwa rasional (Ilahi), jiwa marah
(binatang), dan jiwa hasrat (tumbuhan) dengan tujuan utama
jiwa itu adalah memahami watak aslinya sebagai substansi
yang

immaterial

dan

berjuang

kembali

untuk

bersatu

dengannya. Jika tidak jiwa tidak akan pernah tenang. Bagi alRazi, langkah awal mengobati atau menyembuhkan jiwa
adalah

dengan

menganalisis

tabiat-tabiat

jahat

yang

melalaikan jiwa. Tabiat-tabiat jahat itu adalah kesombongan,


iri hati, marah, dusta, rakus, mabuk, duka, cinta dunia dan
takut mati. Yang terakhir inilah yang paling berbahaya karena
membawa

pada

keputusasaan

berlebihan.

13

dan

kecemasan

yang

3. Setelah al-Razi, sampai abad ke-10 dan 11 M di Persia banyak


muncul para pemikir bebas yang beraliran rasional murni
yang bermuara pada filsafat Yunani dan pengaruh Mutazilah.
Mereka sangat mengagungkan akal hingga menolak kenabian
sebagaimana

al-Razi.

Bahkan

lebih

jauh

mereka

juga

menganggap bahwa al-Quran yang merupakan bukti bagi


kenabian

Nabi

saw.

tidak

dapat

dipertahankan

secara

rasional. Para pemikir itu antara lain adalah Abu Isa alWarraq, al-Rawandi yang menyerang seluruh agama wahyu,
Abu al-Ala al-Maarri penganut pandangan agnostik yang
menganggap akal satu-satunya guru yang paling bijak bagi
manusia sehingga ia berpandangan bahwa semua ajaran
agama pada masanya sebagai rancu dan konyol, dan Umar
al-Khayyam yang sependapat dengan al-Maarri dan banyak
menuliskan syair yang mengungkapkan keputusasaannya
pada nasib buruk manusia dan kehidupan.
Pada bab ketiga ini Fakhry menuliskan dua tokoh filsafat
Islam awal dan kemudian bagaimana pengaruh rasional Yunani
dan pengagungan akal aliran Mutazilah berkembang dalam
pemikiran para filosof Islam dari Persia yang menganutnya
secara berlebihan sehingga mereka bahkan sampai menolak
kenabian dan menganggap kemukjizatan al-Quran tidaklah
rasional. Sikap yang rasional yang

cukup ekstrim ini mungkin

dikarenakan oleh terlenanya mereka pada pemikiran filsafat


Yunani dan juga kondisi sosial mereka pada saat itu dimana para
pemeluk agama wahyu (Yahudi, Nasrani/ Kristen dan Islam) terus
saling berperang sehingga menimbulkan sikap pesimistis mereka
terhadap agama.

14

BAB 4. Neoplatonisme dan Neopythagoreanisme Abad


ke- 10
Pada bab keempat ini, Fakhry membaginya menjadi empat
subbab yakni (1) al-Farabi, (2) Ibn Sina, (3) Ikhwan al-Shafa
[Persaudaraan Suci], dan (4) penyebaran Kultur Filsafat Abad ke10.
1. Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhah ibn Uzlagh al-Farabi
(w. 950 M) adalah filosof Islam pertama yang sangat sitematis
dalam membangun dasar-dasar Neoplatonisme Islam. Posisi
unik al-Farabi dalam sejarah filsafat Islam terlihat dari risalah
metodologis-nya seperti Philosophy of Plato and Aristotle dan
Reconciliation of Plato and Aristotle yang kemudian buku ini
menjadi landasan pengembangannya dalam studi filsafat
dalam bukunya Ihsha al-Ulum (Enumerasi Sanis). Karyanya
ini terbagi menjadi tiga bagian utama yakni, (1) ontologi, (2)
epistemologi

atau

metafisika

pengetahuan,

dan

(3)

penelaahan substansi-substansi mujarad (immaterial) yang


berpuncak pada Wujud yang Sempurna. Kemudian dalam
buku ini beliau juga membahas masalah politik, yurisprudensi
(fiqh),

dan

teologi

(kalam).

Dalam

tiga

bahasan

ini

perumusan makna yang diberikan al-Farabi menunjukkan


pemikiran etikanya yang bercorak Stoisisme. Yakni politik
diartikan sebagai etika dan swakarsa yang terkait erat
dengan

kebahagiaan

dan

kesejahteraan

manusia.

Yurisprudensi sebagai disiplin yang merumuskan aturan


main dari firman-firman Allah saat rincian rumusannya
belum ada. Dan teologi sebagai seni memperteguh keyakinan

15

dan

kebenaran

Ilahi,

sekaligus

mematahkan

argumen-

argumen para penentangnya.


Kemudian pemikiran filsafat al-Farabi yang paling
terkenal adalah dalam karyanya Mabadi Ara ahl al-Madinah
al-Fadhilah (Dasar-dasar Penduduk Kota Utama). Dalam
karyanya ini ia menguraikan tentang Wujud Pertama yang
tertuang dalam teori emanasinya. Selanjutnya ia mengaupas
secara teliti problem klasik warisan Aristoteles mengenai
nalar (reason) dalam risalah yang berjudul Risalah fi al-Aql
(Risalah tentang Nalar), dimana al-Farabi memuat enam
istilah seputar nalar atau akal termasuk nalar yang dibahas
Aristoteles dalam De anima yang mencakup empat bagian
nalar. Namun berbeda dengan pandangan Aristoteles, alFarabi menambahkan proses ittishal / persentuhan akal/
intelek capaian pada tahap tertinggi kognisi manusia dengan
Intelek Aktif. Pandangannya inilah yang kemudian banyak
diambil oleh filosof Neoplatonis Muslim. Dan yang terakhir
adalah pemikirannya mengenai Kesempurnaan Manusia,
yang membawanya pada pembahasan kota utama yang
memadukan utopianisme Platonik dengan dokrin politik
Islam.
2. Setelah al-Farabi, muncullah filosof Muslim kedua yang juga
merupakan seorang tokoh Neoplatonis Islam yakni Abu Ali alHusein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali Sina atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibn Sina (w. 1037 M). Berbeda
dengan al-Farabi yang memiliki karya besar dalam bidang
filsafat politik dan etika, pemikiran filsafat Ibn Sina lebih
terpusat pada bidang metafisika dan logika termasuk saintik,
kedokteran

dan

kebahasaan.

Sebagaimana

bahasan

metafisika al-Farabi, Ibn Sina membahas teori emanasi yang


di dalamnya membicarakan tentang sifat wujudiyah dengan

16

membagi sifatnya ke dalam wajib al-wujud dan mumkin alwujud yang bangunan teoriya didorong oleh permasalahan
esensi dan eksistensi. Kemudian dari bahasan mengenai
wujud ini, Ibn Sina membahas tentang jiwa yang melalui
proses-proses

tertentu

akan

dapat

menjalin

hubungan

dengan Intelek Aktif yang disebut dengan ittsihal. Rangkaian


hierarki yang dijelaskan Ibn Sina ini menunjukkan bahwa ia
lebih

sependapat

mistisisme

dengan

filosofis

al-Farabi

dan

rasional

dengan

pemikiran

dibanding

dengan

pemikiran mistisisme flamboyan milik al-Hallaj dan alBusthami dengan konsep hulul mereka.
3. Neopythagoreanisme Islam dipopulerkan dan dikembangkan
oleh sekelompok karakter religius dan mistis bermazhab
Ismailiyah

yang

(Persaudaraan

disebut

Suci).

dengan

Karya-karya

Ikhwan

al-Shafa

pemikiran

filsafat

terangkum dalam Rasail Ikhwan al-Shafa yang terdiri dari


empat bidang yaitu, (1) empat belas risalah matematis
tentang angka, (2) tujuh belas risalah yang membahas
persoalan fisik-materiil, (3) sepuluh risalah psikologirasional, dan (4) sebelas risalah yang membahas cara
mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup, sifat hukum
Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan
malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan
aji-aji.
Dalam

pandangan

Ikhwan

al-Shafa

setiap

angka

memiliki ciri-ciri fisik dan metafisik yang berfungsi sebagai


petunjuk-petunjuk untuk memahami alam dan mengantarkan
peneliti yang tekun untuk menegenali jiwa, alam spiritual,
dan pada akhirnya Tuhan semesta alam. Dan nalar manusia
itu tidak akan mampu untuk mencapai realitas tertinggi juga
persoalan

filsafat

seperti

asal-usul

17

dan

sebab-musabab

kemunculan alam sehingga jalan yang mungkin ditempuh


untuk mengetahuinya ialah merujuk pada ajaran-ajaran para
Nabi yang menerima wahyu. Bagi Ikhwan al-Shafa nilai utama
filsafat terletak pada upayanya mengungkap pengertian
tersembunyi (batin) dari wahyu.
4. Penyebaran kultur filsafat pada abad ke-10, diwarnai dengan
nama-nama filosof kenamaan seperti al-Sijistani yang sering
dikaitkan

dengan

Ikhwan

al-Shafa,

al-Tauhidi

seorang

sastrawan terkemuka yang memuja budaya kefilsafatan,


Yahya Ibn Adi seorang ahli logika terkemuka yang pertama
kali menulis naskah tentang etika secara sistematis dengan
judul Tahzib al-Akhlaq (Pendidikan Moral) serta Ibn Adi juga
banyak

memberikan

argumen-argumen
berikutnya

adalah

para

tanggapan-tanggapan
filosof

Abu

Ali

sebelumnya

Ahmad

terhadap
dan

al-Miskawaih

filosof
yang

merupakan filosof moral terbesar dalam Islam, dan juga


memiliki banyak konstribusi pada pemikiran filsafat lainnya
seperti sejarah dalam buku Tajarib al-Uman (Pengalaman
Bangsa-bangsa), peribahasa Persia, Yunani, India, dan Islam
dalam Jawidan Khirad (Filsafat Keabadian dan Parenialisme)
dan sejumlah karya lain tentang psikologi dan etika.
Demikianlah pembahasan Fakhry dalam bab keempatnya
ini, beliau menutupnya dengan penggambaran merasuknya
pengaruh filsafat pada kalangan intelektual dan sastrawan pada
abab ke-10 dan 11 sehingga terjadi perselisihan antara kelompok
yang pro filsafat dan anti filsafat yang kemudian memuncak pada
masa selanjutnya akibat perubahan arus teologis-politis yaitu
teologi Asy-ary dan tradisionalisme melawan filsafat yang
tergerak akibat karya al-Ghazali yang membahas kerancuan
filsafat

(Tahafut

al-Falasifah)

dan

di

sisi

lain

perselisihan

penggunaan metode dialektik-deduktif dalam berwacana.

18

BAB 5. Interaksi Filsafat dan Dogma


Pada bab ini, Fakhry membaginya menjadi dua subbab
yakni (1) Pudarnya Rasionalisme Teologis, dan (2) Serangan Islam
terhadap Neoplatonisme.
1. Akibat diberlakukannya Mutazilah sebagai mazhab negara
dan terjadinya peristiwa Mihnah pada abad ke-9, membentuk
opini keagamaan terutama di kalangan tradisionalis tentang
bahaya dibalik aliansi kotor agama dan politik dan ikut
memperkuat kecurigaan masyarakat terhadap filsafat sebagai
barang impor yang cenderung membahayakan akidah
Islam.

Sehingga

terjadilah

pergeseran

pemikiran

kalam

dengan memudarnya rasionalisme teologis kembali berpihak


pada pemikiran yang bersifat tradisionalis yang diawali oleh
Abu Hasan al-Asyari yang merupakan mantan Mutazilah
dengan

mendirikan

aliran

Asyariyah.

Oleh

karena

itu,

tidaklah mengherankan apabila wacana yang dibahas dalam


teologi ini merupakan jawaban dari ajaran Mutazilah baik itu
bertolak belakang ataupun sekedar mengambil jalan tengah
antara rasionalisme Mutazilah dan pemikiran- pemikiran
tradisionalis. Namun tetap terlihat dalam hal ini bahwasanya
meski digolongkan sebagai kaum tradisionalis, Asy-ariyah
tidak mengabaikan peran akal begitu saja tetapi juga tidak
mengagungkan akal sebagaimana kaum Mutazilah, mereka
lebih

cenderung

mengambil

jalan

tengah

dengan

memberikan batasan-batasan tertentu tentang peran akal


tersebut. Inti dari semua penjabaran ini adalah bagaimana
pemikiran rasional yang sangat kental pada abad sebelumnya
telah mulai memudar. Dimulai dengan kajian ilmu kalam dan
seterusnya

menyebar

pada

19

keilmuwan

lainnya

yang

kemudian berimbas pada redupnya pemikiran filsafat Islam di


Arab.
2. Gaung serangkaian presepsi antifilsafat (neoplatonisme) ini
bisa dijumpai nyaris pada semua karya teolog Asyariyah
terutama pada Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosof)
karya Abu Hamid al-Ghazali (1111 M). Pada kata pengatar
atas serangannya kepada pemikiran para filosof, al-Ghazali
mengatakan bahwa tujuan ditulisnya buku pertamanya Miyar
alilm dan Maqashid al-Falasifah ialah membangun pijakan
guna menolak Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Dalam
bukunya ini ia menyoroti pemikiran Neoplatonis al-Farabi dan
Ibn Sina serta pemikiran para filosof Islam sebelumnya secara
umum. sebagai penganut dan penyebar Neoplatonis Islam.
Al-Ghazali merinci kerancuan pemikiran para filosof tersebut
ke dalam dua puluh isu dan tiga di dalamnya adalah isu
paling penting yang berakibat pada dikafirkannya para filosof
yang menganut ketiganya secara bersamaan. Ketiga isu
tersebut adalah, (1) masalah keabadian alam, (2) masalah
pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang universal saja dan
bukan yang parsial, dan (3) masalah kebangkitan manusia
setelah mati secara jasmani. Namun terlepas dari ketiga isu
penting tersebut, menurut Fakhry persoalan ketujuhbelas,
soal kemestian hubungan sebab-akibat perlu diperhatikan
karena merupakan pemicu utama terjadinya konfrontasi
antara para teolog Asyariyah dan para filosof.
Pada

bab

dibahas

penjelasan

mengenai

bagaimana

terjadinya pergolakan atau dapat juga perseteruan yang terjadi


antara filsafat dan kaum tradisionalis yang sangat memegang
teguh dogma agama, sehingga pemikiran para filosof yang terus
menerus berkembang pada kajian metafisikanya yang semakin
lama semakin rasional membuat para teolog ini merasa bahwa

20

filsafat pada tahapan tertentu justru akan membahayakan Islam


karena bahkan para orang Kristen dan Majusi yang memiliki
sejarah

panjang

dalam

berfilsafat

tidak

pernah

bisa

mendamaikan filsafat dan agama sehingga bagaimana mungkin


filsafat ini digunakan untuk mengkaji masalah ketuhanan yang
merupakan ranah penting dalam dokrin keagamaan.
BAB 6. Filsafat dan Mistisisme
Pada bab ini, Fakhry membaginya menjadi tiga subbab
yakni 1) Awal Mula Asketisme, (2) Mistisisme Panteistik atau
Wahdah

al-Wujud,

dan

(3)

Interaksi

Mistisisme

dengan

Neoplatonisme.
1. Tahap pertama dimulainya mistisisme dalam Islam terjadi
pada awal abad ke-7 diawali dengan kemunculan sufi-sufi
yang bersikap wara, khusyu, dan cenderung menjauhi
kemegahan duniawi. Tokoh-tokohnya antara lain adalah
Hassan al-Basri dan kemudian diikuti oleh para zahid (ascetic)
lainnya hingga Rabiah al-Adawiyah yang pertama kali
memperkenalkan konsep tentang cinta Ilahi (Mahabbah
Ilahiyah) yang sangat terkenal hingga saat ini. Kemudian
berlanjut pada ke abad berikutnya, pandangan hidup sufistik
ini menyebar ke Basrah dan mencetak para zahid yang
terkenal seperti al-Muhasibi (w. 857 M) dengan muhasabahnya, Ibn Abi al-Duniya (w. 894 M), Maruf al-Kharkhi (w. 815
M), dan Abu al-Qasim al-Junaid (w. 911 M). Diantara ajaranajaran sufistik al-Junaid adalah peniadaan diri (fana) yang
kemudian menjadi salah satu pemicu munculnya mistisisme
panteistik atau uniter yang dalam Islam lebih dikenal
dengan nama wahdah al-wujud.
2. Konsep peniadaan diri (fana) yang telah dibahas oleh para
sufi

sebelumnya,

selanjutnya

21

dikembangkan

menjadi

mistisisme panteistik atau wahdah al- wujud yang berpuncak


pada kesatuan menyeluruh antara Tuhan dan makhluk
(ittihad) oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 947 M) dan al-Hallaj
(w. 909 M) dengan konsep hulul-nya. Konsep ittihad ini tidak
dapat diterima kalangan umum saat itu sehingga ketika alHallaj mengaku bahwa ia telah menyatu dengan Tuhan maka
ia dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan telah menuhankan
diri atas persetujuan khalifah oleh perdana menteri Ibn alFurat.
3. Pemikiran para sufi selanjutnya, adalah bentuk interaksi
antara mistisisme dan Neoplatonisme dengan tokohnya yaitu
al-Ghazali (w. 1111 M) dan Ibn Arabi (w. 1240 M). Belajar dari
hukuman mati yang menimpa al-Hallaj, para sufi selanjutnya
betatapun aneh dan uniknya tidak akan pernah mencapai
klaim penyatuan diri dengan Tuhan (ittihad). Seperti alGhazali dan gurunya al-Junaid yang berpandangan bahwa
hakikat mistisisme hanyalah sebatas ikrar tentang keesaan
Tuhan (Tauhid) yang terkadang diekspresikan al-Ghazali
sebagai pemusnahan (diri) dalam tauhid. Meskipun alGhazali telah melontarkan kritikan terhadap Neoplatonisme,
namun sebagai seorang sufi yang pernah menekuni filsafat
al-Ghazali

tidak

sepenuhnya

terlepas

dari

pemikiran-

pemikiran Neoplatonisme terlihat dalam karyanya Misykat alAnwar

yang

digunakan

menunjukkan

al-Ghazali

dalam

bahwa

epistemologi

menjelaskan

Wujud

yang
Tuhan

bertumpu pada kosmologis Neoplatonik yang dekat dengan


konsep Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud.
Sufi selanjutnya adalah Ibn Arabi dengan konsep
kesatuan wujud (Wahdah al-Wujud) yang berpijak pada halhal yang filosofis pada apa yang disebutnya Logos (kalimah)
atau Firman. Sehingga Ibn Arabi ini seringkali digolongkan

22

sebagai salah satu tokoh tasawuf falsafi. Menurut Ibn Arabi,


semua Nabi dalam kedudukannya sebagai simbol kebenaran
religius dan spiritual yang tertinggi, mempunyai esensi atau
realitas yang sempurna. Dan itulah yang disebut Firman atau
Logos sebagai manifestasi dari Realitas Tuhan. Kemudian
dalam

menggambarkan

penciptaan

Ibn

Arabi

banyak

menggunakan istilah-istilah yang sangat emanasionis atau


Neoplatonik.

Namun,

dalam

menjelaskan

motif

Tuhan

mencipta, berbeda dengan yang dipahami oleh al-Farabi dan


kaum

Neoplatonik

yang

mengatakannya

sebagai

keniscahayaan alam. Ibn Arabi berpendapat bahwa motif


Tuhan itu tidak lain adalah cinta. Manusia itu merupakan citra
Tuhan sehingga ia merupakan satu-satunya maujud yang
secara utuh merefleksikan semua sifat Ilahi dan mampu
mengenal Tuhan dengan cara yang paling sempurna. Maka
tidak mustahil bila dikatakan bahwa tahap tertinggi yang bisa
dicapai oleh jiwa manusia adalah pengalaman langsung
(dzauq),

dimana

jiwa

manusia

mampu

secara

visual

menyaksikan kesatuan segala sesuatu, kesatuan antara yang


Mencipta dan yang dicipta, yang tampak dan tak tampak,
yang abadi dan yang binasa karena ia telah berada pada
kondisi peniadaan diri (fana).
Setelah Ibn Arabi ini pemikiran tasawuf lebih bersifat
praktis dalam bentuk persaudaraan kolektif yang disebut
dengan Tarekat yang berkembang di Turki dan Persia. Seperti
tarekat yang didirikan oleh Abu al-Qadr al-Jili atau al-Jilani (w.
1166 M), Ahmad al-Rifai (w. 1175), Maulana Jalal al-Din alRumi (w. 1273 M), Ali al-Syadzili (w. 1258 M) dan Ahmad alBadawi (w. 1276).
Pada bab ini, awal setiap subbabnya Fakhry terlebih dahulu
menjelaskan titik persamaan landasan pemikiran para sufi yang

23

dipengaruhi Neoplatonisme, namun pada akhirnya ia selalu


menunjuk perbedaan dari pemikiran sufi tersebut dengan
pemikiran Neoplatonik milik filsafat di luar Islam, sehingga
tampak adanya pengembangan ajaran Neoplatonisme ini dalam
Islam yang benar-benar dilandasi oleh ajaran Islam yang
menunjukkan bahwa para pemikir jauh dari tudingan mencontek
pemikiran filsafat Yunani meski benar adanya tidak terlepas dari
pengaruh filsafat tersebut. Karena memang sudah merupakan
keniscahayaan bahwa yang terkahir akan selalu terpengaruh
pada apa yang mendahuluinya, tapi tidak serta merta dikatakan
bahwa ia hanya sekedar menyalin saja.
BAB 7. Kebangkitan Filsafat Paripatetik di Andalusia
Pada bab ketujuh ini, Fakhry membaginya menjadi empat
subbab yakni (1) Benih-benih Pemikiran Filsafat di Andalusia, (2)
Ibn Bajjah, (3) Ibn Thufail, dan (4) Ibn Rusyd.
1. Penolakan masyarakat Muslim di bagian Timur wilayah
kekuasaan Islam yang dikuasai kaum Asyariyah, Hanbaliyah,
dan pemikir tradisional lainnya yang bersikap antifilsafat
tidak begitu saja dapat menghilangkan pemikiran filsafat di
kalangan umat Islam. Filsafat kemudian menunjukkan benihbenih pemikirannya di Andalusia yang berada di bawah
kekuasaan Bani Umayyah II. Menurut Said al-Andalusi (w.
1070 M), pada masa pemerintahan al-Hakam II terjadi
pemborongan buku-buku ilmiah dan filsafat besar-besaran
sehingga pada masa itu Kordoba bisa menyaingi Baghdad
dalam hal infrastruktur universitas dan perpustakaannya.
Beberapa nama ilmuwan pada masa ini adalah Ibn Massarah
(w. 931 M), al-Majrithi (w. 1008 M) dan Abu al-Hakam alKirmani (w. 1066 M).

24

2. Perkembangan filsafat di Andalusia kemudian mencapai awal


momentumnya yang paling hangat pada abad ke-11 dengan
munculnya para ilmuwan yang meletakkan dasar bagi sebuah
revolusi ilmiah dan filosofis yang genuine atau original. Hal ini
dipelopori oleh Abu Bakar al-Sayigh yang lebih dikenal
dengan Ibn Bajjah (w. 1138 M). Ibn Bajjah memiliki perhatian
yang

sangat

besar

pada

masalah

etika

dan

politik

sebagaimana al-Farabi sehingga tidak mengherankan bahwa


karya utama Ibn Bajjah berisikan masalah pemerintah dengan
judul Tadbir al-Mutawahhid (Pemerintahan Soliter) , buku ini
bertitik tolak pada bagaimana membentuk sebuah rezim
politik yang sesuai dengan cita-cita kehidupan soliter para
filosof yang sejati. Mengenai hubungan manusia dengan
Allah, Ibn Bajjah menilai manusia berada pada tataran
spiritual yang tinggi apabila ia mampu menyatukan diri
dengan bentuk-bentuk spiritual, terutama dengan Akal Aktif.
Penyatuan ini atau lebih tepatnya pertalian (conjunction) ini
sepenuhnya bersifat intelektual, bukan musyahadah seperti
yang banyak dikatakan oleh kaum Sufi. Bahkan para filosof
harus hidup dalam kesendirian (solitude) sebaik mungkin jika
diperlukan. Bagi Ibn Bajjah, ini tidak bertentangan dengan
ajaran Aristoteles bahwa manusia pada dasarnya adalah
makhluk politik atau sosial karena hal itu hanya dilakukan
dalam kondisi memaksa.
3. Filosof selanjutnya adalah Ibn Thufail (w. 1184 M) yang
dengan gigih berusaha menserasikan sains Yunani dengan
Hikmah Timur (kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis),
atau antara filsafat dengan agama. Ini terlihat dalam
karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (Kehidupan Anak Kesadaran)
yang dalam bukunya ini ia menyimpulkan bahwa kebenaran
memiliki dua wajah yaitu internal dan eksternal yang

25

sebenarnya pada hakikatnya tidaklah berbeda. Internal yang


dimaksudnya ini mungkin adalah apa yang diraih manusia
melalui pemahaman filsafat ataupun jalan mistis dan yang
eksternal adalah apa yang didapat berdasarkan yang harfiahlahiriyahnya saja.
4. Tokoh terbesar dalam filsafat Andalusia adalah Abu Al-Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (w. 1198 M) atau lebih
dikenal dengan Ibn Rusyd. Ia termasyur dengan karyakaryanya

yaitu

Tahafut

Al-Tahafut

(Kerancuan

Buku

Kerancuan karya Al-Ghazali), Fashl Al-Maqal (Pernyataan


yang Jelas-Lugas), dan Al-Kasyf `an Manahij Al-Adillah (Uraian
tentang Metode-Metode Pembuktian). Dua karya terakhir
membahas hal ihwal hubungan antara agama dan falsafah.
Bagi

Ibn

Rusyd,

didamaikan

jika

mempunyai

perbedaan
kita

agama

memahami

ayat-ayat

dan

bahwa

muhkamat

falsafah

bisa

Al-Quran

juga

dan

ayat-ayat

mutasyabihat. Kontroversi antara teolog dan filosof terjadi


pada ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan lebih dari itu, Ibn
Rusyd berpendapat bahwa sebenarnya filsafat itu tidak hanya
dianjurkan namun diwajibkan oleh al-Quran sebagai bagian
dari merenungkan tanda-tanda sang Pencipta.
Ibn Rusyd menulis buku yang berjudul Tahafut AlTahafut

untuk

menjawab

serangan

al-Ghazali

terhadap

pemikiran para filosof dalam Tahafut al-Falasifah yakni tiga


masalah terpenting di dalamnya yaitu tentang keabadian
alam, kemustahilan Allah mengetahui hal-hal yang partikular,
dan kebangkitan jasmani. Tentang keabadian alam, bagi Ibn
Rusyd, kekekalan alam tidak dalam arti sesungguhnya
sebagaimana Tuhan dalam arti tidak mempunyai sebab.
Namun di sisi lain alam juga tidak bisa disebut temporal
(muhdats) dalam arti sesungguhnya yaitu bisa rusak binasa

26

(fasid). Karena itu, Allah tidak mencipta dari tiada karena


penciptaan adalah tindakan penggabungan materi dengan
bentuk, atau mengaktualisasikan potensi. Namun semuanya
sepakat pada hal Allah adalah Pencipta alam semesta. Hanya
berbeda pada hal bagaimana penciptaan itu terjadi.
Tentang pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang
partikular, Ibn Rusyd menegaskan bahwa pengetahuan (ilm)
kita dengan Allah itu berbeda. Pengetahuan Allah adalah
sebab bagi keberadaan objek-objek, sedangkan pengetahuan
manusia adalah akibat keberadaan objek-objek atau bahkan
pengetahuan kita ditentukan oleh keberadaan objek-objek
itu.
Adapun kontroversi kebangkitan jasmani berawal dari
perbedaan pendapat pada apa yang dibangkitkan. Bagi Ibn
Rusyd, kebangkitan itu adalah kebangkitan ruhani (maad
ruhani), sedangkan para teolog berpihak pada kebangkitan
jasmani.
Selain itu Ibn Rusyd juga menolak argumen kaum
Asyariyah yang mengikuti pandangan Ibn Sina tentang
kebermulaan atau penciptaan alam dan tentang kebisa-adaan
(jawaz) alam. Untuk
mengembangkan

menolak

argumen

argumen ini, Ibn Rusyd

pemberian

(inayah)

dengan

mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam telah


diciptakan untuk mengabdi pada kepentingan manusia dan
demi kelanggengan eksistensi manusia. Dan argumen karya
(ikhtira) Ilahi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang
ada atau diciptakan merupakan kreasi Tuhan.
Sebagai filosof terbesar pada zamannya, pengaruh Ibn
Rusyd terus berkembang pada masa-masa setelahnya tidak
hanya diikuti oleh umat Muslim tetapi juga non Muslim yang

27

pengikut pemikirannya ini disebut Averroisme. Averroisme ini


juga dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya reinansence
di Barat karena melalui karya-karya Ibn Rusyd secara khusus dan
filosof Islam lainnya secara umum yang menjabarkan dan
mengembangkan pemikiran para filosof Yunanilah, Barat kembali
dapat mempelajari filsafat yang pernah lenyap disana karena
sikap antifilsafat pihak Gereja. Sebagaimana pernah disinggung
oleh Fakhry sebelumnya bahwa dalam tradisi Kristen meskipun
telah lama berdampingan dengan sejarah filsafat tetapi tidak
pernah

dapat

menyatukan

pendapat

di

antara

keduanya

sehingga ketika pihak gereja mendapatkan kekuasaan yang


besar, tradisi filsafat inipun segera dilenyapkan bahkan hingga
saat pemikiran Ibn Rusyd ini masuk ke Barat (wilayah non Islam),
pihak gereja terus mengecam dan mengkritisinya.
BAB 8. Perkembangan Antirasionalisme dan
Keruntuhannya
Pada bab kedelapan ini, Fakhry membaginya menjadi tiga
subbab yakni (1) Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah, (2) Fakhr al-Din alRazi dan Para Filosof Sesudahnya, dan (3) Ibn Khaldun dan
Filsafat

Sejarah

Baru.

Pada

bab

ini

Fakhry

menjelaskan

bagaimana gerakan antirasionalisme atau dapat disebut pula


antifilsafat semakin gencar menyerang filsafat bahkan lebih jauh
dibanding apa yang telah dilakukan al-Ghazali. Jika sebelumnya
yang diserang adalah pemikiran neoplatonisme berkaitan dengan
ranah-ranah metafisika, maka pada tahap ini pemikiran filsafat
ditolak secara keseluruhan. Mereka ini disebut sebagai NeoHanbali.
1. Ibn Hazm (w. 1065 M) dan Ibn Taimiyah (w. 1328 M)
merupakan representatif dari Neo-Hanbali. Ibn Hazm dalam
bukunya al-Ibthal (Pembatilan), menolak keras segala bentuk
28

deduksi, analogi, dan semua bentuk diskursus teologis, baik


yang dikembangkan oleh Mutazilah maupun Asyariyah
dalam membahas sifat-sifat Tuhan, aksiden, kehendak bebas
dan takdir (predestination), Keadilan Tuhan dan sebagainya.
Adapun Ibn Taimiyah juga sangat gigih menyerang filsafat
ataupun teologi (kalam), ia terus mengumandangkan untuk
kembali pada ajaran para pendahulu yang saleh (al-salaf alshaleh). Kritiknya yang paling tajam pada filsafat terdapat
dalam karyanya al-Radd ala al-Manthiqiyin (Bantahan untuk
Para Ahli Logika) yang menyerang seluruh dasar-dasar logika
Aristoteles. Ia mengatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan
yang didapatkan dari logika ini bersifat konyol dan tidak
memadai

untuk

menambah

pengetahuan.

Kebangkitan

Hanbalisme, yang dipicu oleh kedua tokoh ini kemudian


mencapai

puncaknya

dengan

munculnya

gerakan

Wahhabiyah pada abad ke-18 dan berhasil menjadi mazhab


resmi dinasti Saudi.
2. Ternyata tidak semua tokoh pada abad ke-12 ini yang
menentang filsafat habis-habisan, ada pula yang berusaha
untuk memoderasinya atau dapat dikatakan pula menengahi
serangan-serangan terhadap filsafat ini. Salah satunya adalah
Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) yang mempelajari metodemetode filsafat untuk membantah proposisi-proposisi yang
menentang ajaran Islam, seperti emanasionis Ibn Sina yang
ditentangnya.

Akan

berkembangnya

tetapi,

sikap

setelah

al-Razi

antirasionalisme

ini

akibat
abad

dari
ke-13

menandai awal periode kemunduran saat karya teologis


hanya dibatasi untuk menulis ulasan atau komentar berteletele atas karya-karya pengarang klasik. Para teolog yang
terkenal pada masa-masa selanjutnya adalah Hafizh al-Din alNasafi (w. 1310 M), Adhud al-Din al-Iji (w. 1355 M), al-

29

Taftazani (w. 1390 M), al-Syarif al-Jurjani (w. 1413 M), alSanusi (w. 1490 M), al-Dawwani (w. 1501 M), al-Birqili (w.
1570 M), al-Laqani (w. 1621 M), al-Sialkuni (w. 1657 M), alBajuri (w. 1860 M), dan Muhammad Abduh (w.1905).
3. Ibn Khaldun (w. 1406 M) adalah salah seorang tokoh besar
dalam

sejarah

pemikiran

Islam

yang

selain

sebagai

perangkum ilmu-ilmu keislaman ataupun filsafat dan tasawuf


dalam

karyanya

yang

terkenal

Muqaddimah,

ia

juga

merupakan satu-satunya penulis filsafat sejarah Islam pada


masanya.

Namun,

akibat

gencarnya

pandangan

antirasionalisme yang masih terjadi pada masanya, meski Ibn


Khaldun

tidak

bersikap

ektrem

sebagaimana

sikap

antirasionalisme terhadap filsafat sehingga walaupun ia


sendiri mempelajarinya Ibn Khaldun tetap bersikap kritis
terhadap filsafat mengingat daya rusaknya yang besar
terhadap agama seseorang. Satu nilai positif yang dimilki
filsafat adalah kemampuannya untuk mempertajam pikiran
dan membuat kita mampu menyusun argumen-argumen
sesuai hukum logika, sehingga sebenarnya tidak masalah
seseorang mempelajari filsafat apabila ia terlebih dahulu
memperkuat dirinya dengan ilmu tafsir dan fiqh guna
membentengi

diri

dari

pemikiran-pemikiran

menyimpang dari ajaran Islam.


Seperti yang dikatakan

sebelumnya

yang

bahwa

Ibn

Khaldun merupakan seorang pakar filsafat sejarah Islam yang


bisa

dikatakan

juga

sebagai

pelopor

pemikiran

filsafat

sejarah. Tidak hanya di dunia Islam tetapi dunia secara


umum. Filsafat sejarahnya ini ia bangun atas dasar dialektika
perkembangan atau perubahan sosial dengan teori lingkaran
transisi tak terhindarkan dari suatu kehidupan nomadik
menuju kehidupan menetap atau kehidupan kota yang

30

dikatakannya sebagai dua garis paralel determinisme, yaitu


determenisme yang beremanasi dari takdir Tuhan dan
determenisme dari tekanan kekuatan geografis dan ekologis.
Demikianlah dalam bab ini Fakhry menjelaskan sikap-sikap
para pemikir Islam pasca serangan al-Ghazali terhadap filsafat
yang

terus

semakin

gencar

dilakukan

oleh

gerakan

antirasionalisme. Namun, pada akhirnya tetap saja terdapat para


intelektual Islam yang berusaha mengambil jalan tengah meski
tetap kritis seperti Fakhr al-Razi dan Ibn Khaldun. Karena
bagaimanapun sependapat dengan argumen Aristoteles yang
dipakai oleh al-Kindi bahwasanya belajar filsafat itu memang
tidak harus, tetapi juga tidak sia-sia.

BAB 9. Iluminasionisme (Isyraqiyah) dan Rekonsiliasi


Neoplatonisme-Sufisme
Pada bab kesembilan ini, Fakhry membaginya menjadi dua
subbab yakni (1) al-Surahwardi, dan (2) al-Syirazi [Mulla Shadra]
dan Para

Filosof Sesudahnya. Ajaran Neoplatonisme Islam

sebelumnya telah dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibn Sina


dengan konsep emanasi mereka atau yang disebut oleh Ibn Sina
dengan paripatetisme (masysyaiyah) konvensional, kemudian di
tangan

filosof

selanjutnya

yakni

al-Suhrawardi

dengan

berlandaskan paripatetisme tersebut terbentuklah konsep teori


iluminasionisme (Isyraqiyah) oleh al-Suhrawardi dan diteruskan
oleh Mulla Shadra di Persia yang memang telah lama memilliki
tradisi isyraqi dalam pemikiran filsafat mereka. Di tangan Mulla
Shadra dengan mazhab al-Hikmah Mutaaliyahnya telah berhasil
mensinergikan antara perenungan filosofis, penyucian jiwa dan
praktek keagamaan.

31

1. Syihab al-Din al-Suhrawardi (w. 1191 M) adalah pelopor


filsafat

iluminasionisme/

Isyraqiyah

yang

isyraq

berarti

cahaya awal pada pagi hari dari arah Timur. Sesuai dengan
penamaannya

tersebut

konsep

pemikiran

filsafat

al-

Suhrawardi adalah dualisme cahaya dan kegelapan yang


menurutnya pemikiran ini merupakan warisan mistis Persia.
Melalui konsepnya ini al-Suhrawardi ingin menyempurnakan
konsep paripatetisme Ibn Sina yang menurutnya meski
konsep ini merupakan metode diskursif yang baik, namun
tidak

memadai

untuk

mencapai

tujuan

pencari

Tuhan

(mutaallih) yang ingin tiba pada tingkat pengalaman


kebijaksanaan ataupun hikmah atau yang ingin memadukan
metode diskursif dan pengalaman batin sekaligus. Konsepnya
ini ia jelaskan dalam karyanya yang paling terkenal yaitu alhikmah al-Isyraq.
Al-Suhrawardi

mengakui

semua

pencapaian

ini

bersumber dari Plato, Guru Hikmah dan penghulunya. Dari


Plato, hikmah ini mengalir kepada Hermes dan guru mistis
lainnya, seperti Empedocles dan Pythagoras. Dalam Islam
diwariskan oleh Dzunnun al-Mishri, Sahl al-Tustari, Abu Yazid
Al-Bisthami, Kharaqani, dan al-Hallaj dan puncaknya ada pada
diri Al-Suhrawardi sendiri.
Bagi Al-Suhrawardi, inti hikmah iluminasi adalah
ilmu

cahaya.

Cahaya

ini,

menurutnya,

tidak

dapat

didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata.


Juga karena ia merupakan realitas yang menampakkan (to
manifest) segala sesuatu. Puncak urutan wujud terdapat
cahaya-cahaya murni, yang membentuk anak tangga menaik.
Bagian tertingginya adalah Cahaya di atas Cahaya yang
menjadi sumber semua cahaya yang berada di bawahnya.

32

Kemudian bentuk paling sempurna dari perpaduan sifat-sifat


yang berlawanan (cahaya dan kegelapan) yang elemen
utamanya adalah cahaya yang disebut Isfandar Mood dengan
tanah atau debu sebagai inti kekuatannya adalah manusia
yang menerima kesempurnaan dari Malaikat Jibril. Di dalam
diri manusia selain terdapat hembusan ruh manusiawi dari
Ruh suci atau yang disebut dengan Isfahbad kemanusian/
cahaya manusiawi, terdapat dua daya lain dalam diri
manusia yakni daya marah yang mewujud lewat penaklukan
dan birahi yang mewujud lewat cinta.
2. Pada abad ke-16, selama masa reses filsafat di daerah Timur
Islam. Syah Ismail (1500-1524 M) mengambil kebijakan
untuk menyebarluaskan keyakinan Syiah ke seluruh Persia
yang mengakibatkan bangkitnya studi filsafat dan teologi di
seluruh

Persia.

Yang

menghasilkan

filosof

besar

yang

bernama Shadr Al-Din Al-Syirazi (w. 1641) dan lebih terkenal


dengan Mulla Shadra. Dia adalah pengulas paling utama
terhadap atas karya-karya Al-Suhrawardi. Karyanya yang
paling

terkenal

adalah

Al-Asfar

Al-Arbaah

(Empat

Pengembaraan Jiwa). Keempat perjalanan jiwa itu adalah: (1)


perjalanan dari makhluk (khalq) menuju Tuhan; (2) perjalanan
menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan; (3) perjalanan dari
Tuhan menunju makhluk melalui bimbingan Tuhan; dan (4)
perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Dalam

karyanya

ini,

Mulla

Shadra

menyuarakan

keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat


dan agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan
kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam,
kebenaran itu diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para
filsuf Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya para filsuf pada

33

umumnya.

Orang

Yunani,

tulisnya,

semula

menjadi

penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya,


mereka mengambil falsafah dan teologi dari Ibrahim. Semua
yang disebut di atas menerima cahaya Hikmah dari
mercusuar kenabian. Inilah sebabnya para filosof itu secara
keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam persoalanpersoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan
hari kebangkitan.
Terkait dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd, Mulla Shadra
berbeda dengan mereka dalam hal keabadian alam dan
kebangkitan jasmani. Baginya, para filosof dan guru kuno,
dari Hermes hingga Thales, Pythagoras hingga Aristoteles,
sebenarnya menyatakan bahwa alam diciptakan dalam waktu
(muhdats).

Para

menangkapnya.

pengikut
Menurut

merekalah
Mulla

yang

Shadra,

keliru
mustahil

membuktikan keabadian waktu dan gerak untuk menyatakan


keabadian alam. Satu-satunya wujud yang eksistensinya
mendahului

waktu

dan

gerak

adalah

Tuhanyang

menciptakan alam dengan memerintahkannya menjadi. Dan


karena waktu merupakan bagian alam, mustahil waktu bisa
mendahului perintah kreatif Tuhan (amr) yang mendahului
keberadaannya. Sedangkan tentang kebangkitan jasmani,
Mulla Shadra meyakini kebangkitan jasmani, namun jasmani
yang mengikuti bentuk esensinya atau ruhani-nya dalam
bahasa Ibn Rusyd. Memang Mulla Shadra tidak menyebutkan
bahwa yang bangkit nanti adalah jasmani sebagaimana yang
kita pakai sekarang ini, namun akan mengikuti bentuk
kebiasaan dan perangai yang dijalani selama hidup di alam
yang lebih rendah.
Dalam bab ini Fakhry menjelaskan perkembangan filsafat
Islam yang mengalami titik baliknya sejak munculnya pemikiran

34

Iluminasionisme al-Suhrawardi yang selanjutnya dikembangkan


oleh Mulla Shadra yang di tangannya tercapai rekonsiliasi
Neoplatonisme-sufisme. Hal ini merupakan gembrakan besar
pemikiran filsafat Islam yang telah melampaui filsafat Yunani
karena di sini Islam telah berhasil membentuk konsep pemikiran
sistematis yang menyatukan filsafat dan agama tidak hanya
teologi tetapi juga fiqh dalam konsep al-hikmah al-Mutaaliyahnya.

BAB 10.

Tren Modern dan Kontemporer.

Pada bab ini, Fakhry membaginya menjadi tiga subbab


yakni (1) Pemikiran Islam di India-Pakistan dan Asia Tenggara, (2)
Kontinuitas

Tradisi

Isyraqi

di

Persia,

(3)

Mordenisme

dan

Fundamentalisme di Dunia Islam Dewasa Ini.


1. Ilmuwan Islam terbesar di India muncul pada abad ke-18
bernama Quthb al-Din Ahmad yang terkenal dengan nama
Syah Waliyullah (w. 1762 M). Karyanya yang paling menonjol
adalah Syifa al-Qulub (Terapi Hati) dan al-Tafhimat al-Ilahiyah
(uraian-uraian Ilahiyah) yang mambahas masalah filsafat dan
teologi. Adapun dalam bidang tasawuf Waliyullah berusaha
menyelaraskan konsepsi Ibn Arabi tentang wahdah al-wujud
(kesatuan wujud) dan konsepsi Sirhindi tentang wahdah alsyuhud (kesatuan penyaksian). Selain itu, dia juga mencoba
mendamaikan empat mazhab fiqh, juga Sunni dan Syiah.
Kemudian semenjak dunia Islam bersentuhan dengan
peradaban

Barat

modern

pada

abad

ke-19

melalui

kolonialisasi yang gencar dilakukan Barat ke dunia-dunia


Timur, memicu lahirnya para ilmuwan Islam modern di India
seperti Sayyid Ahmad Khan yang berlandaskan paham
naturalis, dilanjutkan oleh Sayyid Amir Ali yang merupakan

35

pembela Islam dan berpandangan bahwa islam merupakan


agama yang bertindak, berpikir dan berbicara benar yang
didirikan atas cinta Ilahi, kebijakan universal, dan kesamaan
derajat manusia di hadapan Tuhan. Dari sini ia berpandangan
bahwa Islam akan selalu selaras dengan kemajuan zaman.
Selanjutnya muncul tokoh India-Pakistan yang paling
serius dalam menafsirkan al-Quran dengan menggunakan
term-term filsfat modern adalah Muhammad Iqbal (w. 1938
M) dengan mengembangkan konsep dinamisme Islam guna
memberantas kebekuan ijtihad di kalangan umat Islam India
pada saat itu yang pemikirannya ini membawa perubahan
besar di India dengan didirikannya negara Islam di India yaitu
Pakistan. Dalam pandangan Iqbal filsafat dan agama tidaklah
bertentangan

justru

agamalah

yang

menjadi

inti

dari

keseluruhan pengalaman filosofis.


Adapun di Asia Tenggara, pengaruh ajaran Islam
masuk pada abad ke-13 dan pada abad ke-16 dan 17
mulailah bermunculan ilmuwan-ilmuwan Muslim di Melayu
yang menulis permasalahan fiqh, teologi dan tasawuf. Di
antaranya adalah Hamzah Fansuri (w. 1600 M), Nur al-Din alRaniri (w. 1666 M), Syams al-Din al-Sumathrani (w. 1630 M),
dan Abd al-Rauf al-Singkili (w. 1693 M) yang cenderung
memperlihatkan besarnya pengaruh tasawuf di Melayu.
Selanjutnya pada kurun abad ke-18 dan 19 perhatian pada
tasawuf ini mulai menyurut yang kemudian pada abad ke-20
muncullah para pemikir Melayu kontemporer seperti Naquib
al-Aththas. Ia merupakan seorang fundamentalis yang banyak
menyoroti

permasalahan

Kontemporer

yang

yang

diakibatkan

abnormalitas sekularisme di Barat.

36

dihadapi

Kristiani

Barat

dengan

berkembangnya

2. Sedangkan

di

Persia,

tradisi

Isyraqi

yang

mencapai

puncaknya di tangan Mulla Shadra terus dipelajari. Di mana


kemudian tradisi ini berkembang di Iran, dengan tokohnya
Muhammad Qazhim Ashshar, Sayyid Abu al-Hasan al-Qazwini,
dan Muhammad Hussein Thabathabai yang tidak hanya
mengulas karya-karya Mulla Shadra tetapi juga karya-karya
Ibn Sina, Ibn Arabi dan filosof klasik Islam lain. Selain itu juga
ada Murtadha Muthahhari yang selain mengulas karya filosof
juga berusaha menghadirkan idiom-idiom modern di tengahtengah para pemuda. Dan diantara sekian banyak filosof
kontemporer di Iran, yang paling terkenal adalah Sayyed
Hussein

Nasr

yang

pencapaian

terbesarnya

adalah

keintimannya dengan pemikiran modern dalam kapasitasnya


sebagai filosof Islam.
3. Jamal al-Din al-Afgani
modernisme
Pemikiran

atau

(w.

1897

reformisme

filosofis

dan

M)

Islam

teologisnya

merupakan
di

Timur

hampir

tokoh

Tengah.

tercantum

seluruhnya dalam karyanya yang berbahasa persia, yakni alRadd ala al-Dahriyin (Bantahan terhadap kaum Materialis)
yang panjang lebar berbicara tentan peran yang dimainkan
agama dalam kemajuan moral dan spiritual umat manusia
serta bagaimana kerajaan-kerajaan besar seringkali hancur
dikarenakan gerakan ateistis dan materialistis yang menolak
segala bentuk keyakinan agama. Pemikir selanjutnya adalah
Muhammad Abduh (w. 1905 M), murid al-Afgani. Pandanganpandangan

teologis

Abduh

tercantum

dalam

karyanya,

Risalah al-Tauhid. Tanpa berpraduga, secara tradisional, ia


memulai pembahasan tentang eksistensi Tuhan, sifat-sifatNya dan realitias kenabian. Ia mengupas argumen-argumen
kalam klasik kemudian mengomentarinya dan mengambil
titik

persamaan

kelompok-kelompok

37

tersebut

karena

menurutnya perbedaan kelompok-kelompok kalam ini hanya


bersifat verbal saja. Adapun berkaitan posisi akal dan wahyu
Abduh menjelaskan bahwa fungsi utama dari wahyu adalah
memperbaiki akhlak atau mengkonfirmasikan prinsip-prinsip
ataupun ketetapan-ketetapan akal. Di sini dapat terlihat
bahwa

Abduh

memihak

pandangan

Mutazilah

yang

mengagungkan akal, bahkan ia juga berpendapat bahwa


manusia wajib tunduk kepada hukum Tuhan dan hanya
menerima

kebenaran-kebenaran

yang

didukung

dan

dibenarkan akal. Selanjutnya pemikiran Abduh ini diteruskan


oleh muridnya yang paling terkenal yakni Rasyid Ridha (w.
1935 M). Ia mendirikan majalah al-Manar pada tahun 1898 M,
yang

membawa

berkewajiban

pesan

kembali

krusial

pada

bahwa

jalan

setiap

hidup

Muslim

orang-orang

terdahulu yang saleh atau al-salaf al-saleh. ini kemudian


menjadi pemicu kebangkitan fundamentalisme Islam pada
pertengahan abad ke-20 dan menjadi garis depan pembela
Islam dari para pencela dan pengkritiknya.
Gerakan fundamentalis ini terus berkembang di tangan
Sayyd Quthb (w. 1966 M) yang menyerang peradaban Barat
dengan mengatakan bahwa Barat telah gagal memecahkan
problem dunia modern dengan komitmennya pada cita-cira
spiritual palsu yang disebarkan oleh agama Kristen. Hal ini
mungkin merupakan sindirin Sayyid Quthb atas gerakan
misionaris besar-besaran yang dilakukan Kristen pada masa
kolonial yang sebenarnya lebih banyak ditunggangi oleh
kepentingan ekonomi dan politik. Selanjutnya muncul namanama

tokoh

fundamentalis

terkenal

lainnya

seperti

Muhammad al-Bahi dan Abu ala al-Maududi (w. 1979 M) yang


juga mengikuti garis anti-Barat. Serangan al-Bahi ini tidak
hanya tertuju pada peradaban Barat tetapi juga pada

38

intelektual Muslim yang dianggapnya tertalu patuh kepada


Barat

seperti

tuduhannya

kepada

Thaha

Hussein

dan

Muhammad Iqbal yang berusaha menginterpretasikan Islam


ke dalam idiom-idiom Barat serta Ali Abdul al-Raziq dan
Khalid Muhammad Khalid yang memperjuangkan pemisahan
antara dunia dan akhirat (sekularasasi) yang dinilainya telah
merusak Islam. Lebih jauh pandangannya ini dipertegas oleh
al-Maududi yang mengatakan bahwa umat Muslim yang
berkeinginan untuk mendukung nasionalisme, demokrasi,
atau sekularisme Barat pada hakikatnya telah mengabaikan
agamanya sendiri, megkhianati nabinya, dan melakukan
pemberontakan terhadap Tuhannya sendiri.
Adapun
pada
tataran
politik
praktis,

ideologi

fundamentalis ini dipraktikkan oleh Ikhwan al-Muslimin yang


didirikan Hasan al-Banna pada tahun 1928 M. Namun gerakan
ini dianggap dapat mengacaukan stabilitas politik sehingga
al-Banna kemudian dibunuh. Akan tetapi ini tidak mematikan
gerakan tersebut, gerakan ini terus berlanjut di Suriah dan
Yordania baik secara tertutup maupun terbuka.
Pada bab terakhir ini, setelah menjelaskan berbagai
pemikiran para filosof Islam sebelumnya dengan membaginya
berdasarkan kronologis pola pemikiran filsafat yang berkembang
setiap tahapnya dari masuknya pemikiran filsafat Yunani ke
dalam Islam hingga puncak pemikiran filsafat Islam yang berhasil
menyatukan Neoplatonisme warisan Yunani dengan sufisme khas
Islam di tangan para Israqiyah. Fakhry menutup bukunya ini
dengan membahas tren modern dan Kontemporer di dunia Islam
dewasa ini yang pada intinya berjuang melawan mordenisme
Barat dengan pemikiran-pemikiran sekulernya hingga memicu
lahirnya gerakan fundamentalis di tanah Arab sebagai bentuk

39

pertahanan

dan

pembelaan

ajaran

Islam

dari

gempuran

pemikiran Barat.
E. KESIMPULAN
Pembahasan dalam buku ini diawali dengan penjelasan
ringkas masuknya kebudayaan filsafat ke dunia Islam pada abad
ke-8 M pada masa pemerintahan Dinasti Umayah. Kemudian
Fakhry menyorot hubungan konstan yang terus terjadi antara
filsafat, teologi dan mistis dalam perkembangan pemikiran
filsafat

Islam.

Kemudian

bagaimana

filosot

Islam

telah

memberikan konstribusi terhadap perkembangan pemikiran dan


peradaban Barat melalui pengikut Avveroisme yang mempelajari
filsafat Yunani melalui karya-karya Ibn Rusyd dan para filosof lain
seperti al-Ghazali dan Ibn Sina yang juga memberikan sumbangsi
besar pada ilmu kedokteran.
Pembagian

bab

dengan

judul

yang

berbeda

dari

kebanyakan buku filsafat Islam lainnya oleh Majid Fakhry ini


merupakan salah satu kelebihan dan keunikan buku ini. Dapat
dilhat dari sistematika penulisannya dalam membahas pemikiran
para filosof Muslim, Fakhry menggolongkan mereka sesuai
dengan perkembangan pola pemikiran yang terjadi dalam filsafat
Islam, seperti terbentuknya awal pemikiran sistematis filsafat
Islam yang dipelopori oleh al-Kindi, Abu Abar al-Razi dan ditutup
dengan pemikiran bebas akibat pengaruh Mutazilah pada akhir
masa awal dibangunnya pemikiran filsafat Islam sehingga pada
masa setelahnya memicu sikap antifilsafat oleh kaum tradisional
yang

menganggap

filsafat

sebagai

produk

impor

yang

berbahaya. Namun sebelum itu, di tangan al-Farabi, Ibn Sina dan


Ikhwan al-Shafa berkembanglah mazhab Neoplatonisme dan
Neopythagoreanisme Islam yang pada masa ini menghasilkan
banyak filosof-filosof besar lainnya dalam bidang kefilsafatan
40

yang berbeda-beda. Dapat dikatakan ini sebagai awal keemasan


filsafat Islam yang sayangnya meredup akibat konfrontasi/
serangan para antifilsafat yang sebenarnya bibi-bibit ini telah
ada sejak peristiwa Mihnah dan mendapat hembusan segar
setelah ditulisnya karya Tahafut al-Falasifah oleh al-Ghazali.
Semenjak itu selalu timbul kesan seakan-akan filsafat itu
bertentangan

dengan

agama

di

mata

kaum

tradisionalis

sehingga filsafat dapat dikatakan mengalami reses di dunia


Timur Islam, tetapi tidak begitu dengan daerah Barat kekuasaan
Islam di bawah Bani Umayah II. Di Andalusia, filsafat kembali
mendapatkan lahan subur untuk berkembang di tangan filosof
kenamaan seperti Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd. Dan
kemudian tetap berhasil bertahan meskipun mendapat rintangan
dari antirasionalisme dengan bentuk Israqi-nya di Persia. Di sini
filsafat terus diajarkan oleh para murid Mulla Shadra, dimana
Shadra telah berhasil merekonsiliasikan Neoplatonisme-sufisme
ke dalam bentuknya yang sistematis dengan konsep al-Hikmah
al-Mutaaliyah-nya.
Kemudian baru pada abad ke-18, pengajaran filsafat
berhasil digalakkan kembali oleh al-Afgani dan Muhammad
Abduh di Mesir dan sampai saat ini menjadi bagian dari
kurikulum pendidikan di kebanyakan negara di Timur Tengah dan
Arab. Termasuk Suriah, Lebanon, Mesir, Yordania, Kuwait dan
Irak.

Pemikiran

filsafat

Islam

memang

sangat

perlu

dikembangkan untuk menjadi benteng pertahanan umat Islam


dalam membendung pemikiran modernisme Barat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Demikianlah pembahasan dalam buku ini yang merupakan
salah satu bahan bacaan yang cukup penting, untuk menambah
wawasan kita mengenai filsafat Islam dengan sudut pandang

41

yang berbeda. Karena titik-titik fokus penjelasan dari buku ini


cukup banyak berbeda dengan apa yang terdapat dalam buku
filsafat Islam lain, baik dalam pembagian subbab yang unik
maupun dalam substansi penjelasan pemikiran para filosof yang
dibahas dalam buku ini. Pemikiran mereka disajikan secara
ringkas dan terfokus pada bahasan yang sesuai dengan masingmasing tema babnya. Sehingga banyak bagian pemikiran mereka
yang sebelumnya tidak ditemukan dalam buku lain dapat dilihat
dalam buku ini.
Namun kelemahannya, buku ini terlalu ringkas dan tidak
memberikan penjelasan yang memadai mengenai konsep-konsep
yang

disinggungnya.

Sehingga

untuk

dapat

benar-benar

memahami konsep dari pemikiran filosof-filosof Islam di sini


dibutuhkan referensi lain yang memuat detail penjelasan konsepkonsep tersebut.

42

Anda mungkin juga menyukai