FI USHUL AD-DINIYAH
KARYA MUSA AL-ASY’ARI
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Pemikiran Ilmu Kalam
Disusun oleh:
Elvira Purnamasari
Dosen Pembimbing:
Dr. Murkilim, M.Ag
0
ANALISA BUKU AL-IBANAH FI USHUL AD-DINIYAH
KARYA MUSA AL-ASY’ARY
A. PENDAHULUAN
Abu Al-Hasan Al- Asy’ari merupakan teolog besar yang pernah
berkembang pada tahun 300 sampai pada 324 H. Beliau adalah salah satu sosok
ulama yang sangat berani yang secara terang-terangan menentang dan melawan
paham Negara yang berkembang pada masa Abasiah yang pada masa itu dipimpin
oleh Al-Ma’mun (813-833 M) yang memaksakan paham-paham teologi yang
kontroversial dikalangan umat Islam sehingga terjadilah peristiwa mihnah.
Walaupun Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengikuti paham tersebut sampai
umur 40 tahun ternyata ia merubah dan meninggalkan pahamnya dan beralih
kepada paham yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Perpindahannya dari
paham lama kepada paham yang baru adalah selain untuk membersihkan Islam
dari segala paham yang sebenarnya bukan dari semangat Islam dan juga untuk
menyeimbangkan pemikiran-pemikiran Islam yang terjadi. Beliau juga
menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam buku-bukunya yang terkenal yang
kemudian dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya.
1
Sebagian besar hidupnya di Baghdad, Bapaknya telah meninggal dunia
ketika ia masih kecil lalu Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah
yang bernama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab Al-Jubbai, masa kecilnya Abu
Hasan Al-Asy’ari hidup bersama tokoh tersebut tentunya ia mendapatkan ajaran-
ajaran dan memperdalam ilmu kalam pada seorang tokoh Mu’tazilah. Abu
Hasan Al-Asy’arimempelajari ajaran-ajaran mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran
ini diikutinya terus sampai ia berumur 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya
digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. Di Baghdad ia belajar
hadist dengan Al-Hafizh Zakaria bin Yahya As-Saaj adalah salah seorang Imam
hadist dan fiqih. Ia juga mempelajari hadist dengan Abi Khalifah al-Jumahi, Sahl
bin Sarh, Muhammad bin Yaqub al-Muqry dan Abdur Rahman bin khalaf al-
Bashriyain.
Namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah,
dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah yang
dinisbahkan kepada dirinya.
2
orang yang telah mengabaikan sunah Rasulullah saw. Dan mengakhiri
pendahuluannya dengan mengingatkan kepada kita bahwa hidup hanyalah
sementara maka beramallah untuk kehidupan yang kekal kelak. Yang terakhir ini
mungkin adalah cara beliau untuk mengingatkan agar kita tidak tersesat dan
mengikuti jalan para ahli bid’ah yang telah terlena dengan pandangan-pandangan
mereka yang menyesatkan dan senantiasa selalu berhati-hati dalam menggunakan
logika dan akal karena hal ini mungkn saja malah dapat menjauhkan kita dari
kebenaran.
Dalam penjelasannya mengenai bantahan terhadap pandangan yang
menurutnya sesat ini, al-Asy’ari pertama-tama menunjukkan ayat yang menjadi
masalah perdebatan di kalangan para teolog, kemudian ia mengartikan kata kunci
yang menjadi permasalahan itu berdasarkan kaidah kebahasaannya selanjutnya
diiringi dengan ayat lain yang menjadi penjelas bagi ayat tersebut. Setelah itu,
menjabarkan hadis-hadis yang mendukung bantahannya tersebut dan
memasukkan pandangan ijma’ ulama mengenai hal itu. Dan terakhir al-Asy’ari
akan menjelaskannya secara logika dengan format tanya jawab mengenai apa
yang diperdebatkan tersebut. Seperti inilah ia membangun argumen bantahannya
terhadap pandangan para ahli bid’ah.
Al-Asy’ari selalu menekankan betapa pentingnya untuk tidak
menakwilkan ayat al-Qur’an dan cukup memahaminya secara zhahirnya terutama
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, dzat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Pandangan
al-Asy’ari ini adalah termasuk pada kelompok teolog tradisional yang mengikuti
pandangan Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang dikatakan al-Asy’ari sendiri
pada bab kedua bukunya ketika ia menjelaskan tentang pandangan orang-orang
yang benar dan ahli sunnah.
3
Qadariyah yang mengikuti tradisi para pemimpinnya dan nenek moyangnya
hingga mereka berani menakwilkan ayat al-Qur’an berdasarkan kehendaknya
sendiri, tanpa alasan-alasan yang berlandaskan Kitabullah ataupun Sunnah Rasul
juga tidak berdasarkan pendapat ulama-ulama salaf terdahulu. Selain itu dalam
bab selanjutnya juga dikatakan bahwa al-Asy’ari telah mengingkari pandangan
kaum Jahamiyyah, Haruriyyah, Rafidhah dan Murji’ah. Pandangan Jahamiyyah
ini adalah yang paling banyak dibantah oleh Asy’ari dalam bab-bab selanjutnya.
4
Demikianlah pandangan-pandangan yang diyakini oleh al-Asy’ari, ia
senantiasa berpegang teguh pada ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul tanpa
memberikan penakwilan yang lain terhadapnya.
5
secara lahiriyahnya. Dalam hal ini tidak diperlukan penakwilan yang berbeda dari
lahirnya.
6
adalah Kalamullah (firman Allah) tidak lain selain itu sebagaimana pendapat yang
dipegang teguh oleh Ahmad bin Hanbal dengan menanggung penderitaan tanpa
bergeming sedikitpun.
7
penakwilan dari kata-kata tersebut. Namun, kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang
menolak sifat-sifat Allah menakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut. Sehingga
melihat yang dimaksud ayat berarti mengetahui dan tangan diartikan sebagai
nikmat Tuhan. Mereka beranggapan bahwa siapa saja yang mengatakannya (yaitu
membawa makna sifat Alah sesuai dengan hakekatnya) berarti telah
menyerupakan-Nya dengan makhluk. Al-Asy’ari membantah pandangan mereka
ini dengan mengemukakan berbagai argumen yang didukung dengan banyaknya
ayat al-Qur’an tentang hal ini sebagaimana yang tercantum di atas.
8
sifat Allah tersebut seringkali digandengkan sehingga bila menurut mereka begitu
jadi artinya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengetahui. Hal ini akan tampak
sangat janggal. Sehingga sama’ dan bashar haruslah diartikan secara terpisah
sebagaimana seharusnya tanpa menakwilkannya dengan yang lain. Penafikan
terhadap sifat-sifat Allah ini akan mematikan tauhid. Padahal dalam al-Qur’an
penyebutan sifat-sifat Allah ini selalu diulang-ulang guna menguatkan Keesaan
dan Kemahakuasaan Allah.
9
argumen-argumen menyimpang pada saat itu yang dapat merusak keyakinan
terhadap Keesaan Tuhan.
10
10. Bab Penolakan Terhadap Kaum Mu’tazilah
Meskipun judul bab ini adalah penolakan terhadap kaum Mu’tazilaj, tetapi
isi yang terdapat di dalamnya adalah penolakan terhadap kaum Qadariyah. Dalam
bab ini al-Asy’ari membantah perkataan kaum Qadariyah yang menyamakan
pandangan mereka tentang Qudrat dengan apa yang diyakini al-Asy’ari
dikarenakan menurut mereka beranggapan orang yang meyakini bahwa Allah
Kuasa menciptakan kebaikan dan keburukan dapat pula disebut dengan
Qadariyah. Namun, hal ini sangat berbeda dalam pandangan al-Asy’ari.
Qadariyah menurutnya adalah kelompok orang yang menatapkan sifat kuasa (al-
Qadr) pada dirinya sendiri. Selanjutnya al-Asy’ari menyoroti beberapa poin
masalah dalam pandangan Qadariyah yang akan dibantahnya. Qadariyah ini
disebut sebagai Majusi-nya orang Islam karena pandangannya yang menyerupai
mereka.
Pertama, masalah ketertutupan. Ketertutupan yang dimaksud di sini adalah
bahwa Allah dengan Kuasa-Nya mampu menutup atau mengunci hati orang-orang
kafir dari iman dan kebenaran. Sehingga mereka tidak akan pernah beriman.
Sebagaimana dalam surat al-Baqarah [2]: 7, al-An’am [6]: 125 dan Muhammad
[47]: 24.
Kedua, masalah pengecualian. Pengecualian yang dimaksud disini adalah
apabila seseorang berjanji demi Allah kemudian dia tidak menepatinya maka
orang itu termasuk orang yang khianat. Ketiga, masalah ajal. Yang dimaksud
disini adalah bahwa Allah telah menentukan ajal seseorang dan tidak ada yang
dapat menundanya sebagaimana firman-Nya dalam surat al-A’raf [7]: 34,
sehingga orang yang bunuh diri itu tidaklah mendahului ajalnya karena semua itu
sudah merupakan kehendak Tuhan. Keempat, masalah rezeki. Yang dimaksud
disini adalah setiap rezeki itu berasal dari Allah bahkan rezeki orang yang
merampok harta orang lain meski itu termasuk rezeki yang haram itu tetaplah
berasal dari Allah dan atas kehendaknya.
Keenam, masalah petunjuk. Yang dimaksud disini adalah sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 1-2 dan Fushilat
[41]: 44. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa petunjuk Allah itu diberikan kepada
11
orang yang beriman dan bertaqwa. Adapun orang kafir tidak akan dapat melihat
petunjuk itu. Semua itu terjadi atas kehendak Allah semata. Bila Allah
menginginkan untuk memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia, maka ia
Kuasa untuk melakukannya. Namun, petunjuk itu hanya diberikan-Nya kepada
hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa dan itulah yang dikehendaki-Nya.
Ketujuh, masalah kesesatan. Yang dimaksud disini adalah mengenai orang-orang
kafir yang Allah memang menghendaki mereka untuk sesat sebagaimana firman-
Nya dalam surat Ibrahim [14]: 27, al-Kahf [18]: 17 dan al-Baqarah [2]: 6.
Berbagai masalah yang dibahas oleh al-Asy’ari ini pada intinya adalah
untuk membantah pandangan kaum Qadariyah yang mengatakan bahwa ada hal
yang berada di luar kehendak Tuhan, yakni kejahatan dan kekufuran. Padahal
segala sesuatu itu jahat ataupun baik, iman ataupun kufur semuanya adalah
kehendak Allah.
12
13. Bab Perbincangan tentang Adanya Telaga
Kaum Mu’tazilah menafikan adanya telaga (Kautsar). Namun, menurut
pandangan al-Asy’ari telaga ini benar adanya karena terdapat riwayat-riwayat
yang menyebutkan hal ini.
13
E. KESIMPULAN
Buku al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah ini membahas mengenai pokok-
pokok pandangan kalam al-Asy’ari serta bantahannya terhadap pemikiran kalam
sebelumnya yang dinilainya sebagai pemikiran yang bid’ah. Bahkan al-Asy’ari
menggolongkan mereka sebagai ahli bid’ah. Setelah menyatakan dirinya keluar
dari aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, al-Asy’ari malah berbalik
arah melawan pandangan Mu’tazilah. Pandangan-pandangan Mu’tazilah yang
rasional dan cenderung tidak mengindahkan Hadis dan lebih mengutamakan akal
dinilai al-Asy’ari sebagai penafsiran yang fasik dan tidak berlandasan. Sehingga
dalam pandangan teologinya yang baru, al-Asy’ari sangat berpegang teguh pada
ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak menakwilkannya tetapi menerimanya secara
zahirnya saja kecuali ada hujah yang menjadikannya perlu untuk ditakwilkan.
Kemudian al-Asy’ari juga banyak melandaskan pemikirannya pada hadis-hadis
nabi dan cenderung menerima seluruhnya. Bahkan riwayat-riwayat yang tidak
populer sekalipun. Kemudian dalam pembahasannya ia juga seringkali
menggunakan metode tanya-jawab maksudnya ia mengemukakan pandangan
yang akan dibantahnya kemudian mengemukakan argumennya lalu ia
mengandaikan jawaban orang tentang argumennya dan kembali menjawabnya
sehingga pada akhirnya ia memberikan kesimpulan dari bantahannya yang
menurutnya tidak terbantahkan lagi.
Perpindahan paham teologi al-Asy’ari ini terjadi pada saat paham
Mu’tazilah telah melemah pengaruhnya setelah tidak lagi menjadi mazhab negara
pada masa al-Mutawakil. Pada masa ini adalah titik balik bagi pandangan kalam
tradisionalis. Pandangan Al-Asy’ari yang kemudian menjadi ajaran pokok aliran
al-Asy’ariyyah menjadi simbol dari pandangan kalam tradisionalis. Kepopuleran
pemikiran kaum tradisionalis ini tidak hanya semakin melemahkan aliran
Mu’tazilah tetapi di kemudian hari juga berhasil menyudutkan pemikiran-
pemikiran filsafat. Mengingat bahwa kaum Mu’tazilah yang berpikiran rasional
ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani. Pergeseran pemikiran kalam ini
menjadikan pemikiran-pemikiran kalam setelahnya hanya berpusat pada kajian-
kajian kalam klasik. Baru kemudian pada masa modern mulai berhembus
14
pembaharuan-pembaharuan dalam dunia Islam yang kembali membuka ranah
pemikiran rasional. Sehingga pada saat ini meski aliran Mu’tazilah sudah hilang,
namun cara berpikir dan metodelogisnya- masih terus berkembang dan dirasakan
seiring dengan perkembangan pendidikan yang diperoleh oleh cendekiawan
muslim yang mendapat pendidikan-pendidikan modern. Maka tidaklah aneh
apabila pemikiran kalam modern dan kontemporer pada saat ini lebih cenderung
bersifat rasionalis sebagaimana aliran Mu’tazilah seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman dan lain-lain.
NB:
Pemikiran al-Asy’ari tentang al-Qur’an sebagai kalamullah, yang dimaksud
dengan al-Qur’an yang merupakan kalamullah. Al-qur’an disini adalah
firman Allah yang melekat pada Zat-Nya. Sedangkan al-Qur’an yang
berlafadz ini adalah karena al-Qur’an ini merupakan pedoman/ tuntunan
hidup bagi manusia yang harus dapat dibaca dan dipahami oleh manusia
maka al-Qur’an ini diturunkan dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa
nabi-Nya.
15