Anda di halaman 1dari 16

ANALISA BUKU AL-IBANAH

FI USHUL AD-DINIYAH
KARYA MUSA AL-ASY’ARI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Pemikiran Ilmu Kalam

Disusun oleh:
Elvira Purnamasari

Dosen Pembimbing:
Dr. Murkilim, M.Ag

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016

0
ANALISA BUKU AL-IBANAH FI USHUL AD-DINIYAH
KARYA MUSA AL-ASY’ARY

A. PENDAHULUAN
Abu Al-Hasan Al- Asy’ari merupakan teolog besar yang pernah
berkembang pada tahun 300 sampai pada 324 H. Beliau adalah salah satu sosok
ulama yang sangat berani yang secara terang-terangan menentang dan melawan
paham Negara yang berkembang pada masa Abasiah yang pada masa itu dipimpin
oleh Al-Ma’mun (813-833 M) yang memaksakan paham-paham teologi yang
kontroversial dikalangan umat Islam sehingga terjadilah peristiwa mihnah.
Walaupun Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengikuti paham tersebut sampai
umur 40 tahun ternyata ia merubah dan meninggalkan pahamnya dan beralih
kepada paham yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Perpindahannya dari
paham lama kepada paham yang baru adalah selain untuk membersihkan Islam
dari segala paham yang sebenarnya bukan dari semangat Islam dan juga untuk
menyeimbangkan pemikiran-pemikiran Islam yang terjadi. Beliau juga
menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam buku-bukunya yang terkenal yang
kemudian dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya.

B. BIOGRAFI ABU HASAN AL-ASY’ARI


Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burda bin
Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Hasan Al-Asy’ari
adalah keturunasn Abu Musa Al-Asy’ari ia adalah salah seorang sahabat
Rasulullah saw yang sangat dikenal dalam peristiwa perantara dalam sengketa
antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Abu Hasan Al-Asy’ari dilahirkan pada
tahun 260 H/873 M di Basra dan wafat di Baghdad dimakamkan pada tahun 324
H/935 M. Beliau dikenal dengan kecerdasannya, qana’ah dan kezuhudannya yang
luar biasa serta ketajaman pemahamannya terhadap agama sehingga ia dikenal
sebagai ahli hukum (Fiqih) dan teolog Islam sekaligus sebagai pendiri aliran
Asy’ariyah.

1
Sebagian besar hidupnya di Baghdad, Bapaknya telah meninggal dunia
ketika ia masih kecil lalu Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah
yang bernama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab Al-Jubbai, masa kecilnya Abu
Hasan Al-Asy’ari hidup bersama tokoh tersebut tentunya ia mendapatkan ajaran-
ajaran dan memperdalam ilmu kalam pada seorang tokoh Mu’tazilah. Abu
Hasan Al-Asy’arimempelajari ajaran-ajaran mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran
ini diikutinya terus sampai ia berumur 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya
digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. Di Baghdad ia belajar
hadist dengan Al-Hafizh Zakaria bin Yahya As-Saaj adalah salah seorang Imam
hadist dan fiqih. Ia juga mempelajari hadist dengan Abi Khalifah al-Jumahi, Sahl
bin Sarh, Muhammad bin Yaqub al-Muqry dan Abdur Rahman bin khalaf al-
Bashriyain.
Namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah,
dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah yang
dinisbahkan kepada dirinya.

C. BUKU AL-IBANAH FI USHUL AD-DINIYAH


Dalam bukunya al-Ibanah fi Ushul Ad-Diniyah, Abu Hasan al-Asy’ari
membahas tentang permasahan teologi Islam yang menjadi ajang perdebatan
aliran-aliran kalam yang terjadi masanya. Ia mengkritik dan membantah
pandangan aliran kalam yang menurutnya adalah ahli bid’ah dikarenakan mereka
telah menentang Sunnah Rasulullah saw. dan mengikuti tradisi nenek moyang
mereka yang mengikatnya dengan tradisi kepercayaannya, sehingga
kepercayaannya pun sama halnya dengan kepercayaan nenek moyang mereka itu
serta menakwilkan ayat al-Qur’an tanpa ilmu yang benar dengan mengikuti hawa
nafsu mereka saja.
Pertama-tama di dalam pendahuluannya al-Asy’ari memanjatkan puji
kepada Allah dan menghaturkan salawat kepada Nabi dengan mengutip ayat-ayat
al-Qur’an yang menunjukkan pentingnya posisi Nabi saw. sebagai penjelas isi
kandungan al-Qur’an dan penetap hukum-hukum yang belum tercantum
rinciannya dalam al-Qur’an. Kemudian ia menyinggung tentang adanya orang-

2
orang yang telah mengabaikan sunah Rasulullah saw. Dan mengakhiri
pendahuluannya dengan mengingatkan kepada kita bahwa hidup hanyalah
sementara maka beramallah untuk kehidupan yang kekal kelak. Yang terakhir ini
mungkin adalah cara beliau untuk mengingatkan agar kita tidak tersesat dan
mengikuti jalan para ahli bid’ah yang telah terlena dengan pandangan-pandangan
mereka yang menyesatkan dan senantiasa selalu berhati-hati dalam menggunakan
logika dan akal karena hal ini mungkn saja malah dapat menjauhkan kita dari
kebenaran.
Dalam penjelasannya mengenai bantahan terhadap pandangan yang
menurutnya sesat ini, al-Asy’ari pertama-tama menunjukkan ayat yang menjadi
masalah perdebatan di kalangan para teolog, kemudian ia mengartikan kata kunci
yang menjadi permasalahan itu berdasarkan kaidah kebahasaannya selanjutnya
diiringi dengan ayat lain yang menjadi penjelas bagi ayat tersebut. Setelah itu,
menjabarkan hadis-hadis yang mendukung bantahannya tersebut dan
memasukkan pandangan ijma’ ulama mengenai hal itu. Dan terakhir al-Asy’ari
akan menjelaskannya secara logika dengan format tanya jawab mengenai apa
yang diperdebatkan tersebut. Seperti inilah ia membangun argumen bantahannya
terhadap pandangan para ahli bid’ah.
Al-Asy’ari selalu menekankan betapa pentingnya untuk tidak
menakwilkan ayat al-Qur’an dan cukup memahaminya secara zhahirnya terutama
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, dzat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Pandangan
al-Asy’ari ini adalah termasuk pada kelompok teolog tradisional yang mengikuti
pandangan Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang dikatakan al-Asy’ari sendiri
pada bab kedua bukunya ketika ia menjelaskan tentang pandangan orang-orang
yang benar dan ahli sunnah.

D. PEMBAHASAN DALAM BUKU AL-IBANAH FI USHUL AD-


DINIYAH
1. Bab Pandangan Orang Sesat serta Ahli Bid’ah
Pada bab ini al-Asy’ari menjelaskan tentang siapa ahli bid’ah yang
dimaksudnya. Mereka ialah sebagian besar dari pengikut Mu’tazilah dan

3
Qadariyah yang mengikuti tradisi para pemimpinnya dan nenek moyangnya
hingga mereka berani menakwilkan ayat al-Qur’an berdasarkan kehendaknya
sendiri, tanpa alasan-alasan yang berlandaskan Kitabullah ataupun Sunnah Rasul
juga tidak berdasarkan pendapat ulama-ulama salaf terdahulu. Selain itu dalam
bab selanjutnya juga dikatakan bahwa al-Asy’ari telah mengingkari pandangan
kaum Jahamiyyah, Haruriyyah, Rafidhah dan Murji’ah. Pandangan Jahamiyyah
ini adalah yang paling banyak dibantah oleh Asy’ari dalam bab-bab selanjutnya.

2. Bab Pandangan Orang Benar serta Ahli Sunnah


Dalam bab ini al-Asy’ari mengatakan bahwa ia berpegang teguh pada
ketetapan Allah swt., para malaikat-Nya, semua kitab-Nya, seluruh rasul-nya,
serta hamba-hamba pengikut Allah dan rasul-Nya dan ia tidak akan mengikari
pada apa yang bersumber dari semua itu.
Kemudian al-Asy’ari menjelaskan secara singkat pandangan-pandangan
yang diyakininya, yakni:
a) Allah bersemayam di atas Arasy. (QS. Thaha [20]: 5)
b) Allah memiliki tangan, wajah dan mata. (QS. Ar-Rahman [55]: 27, Shad [38]:
75, al-Maidah [5]: 64, dan al-Qamar [54]: 14)
c) Allah memiliki ilmu (QS. Hud [11]: 14, Fathir [35]: 11, Fushilat [41]: 15)
d) Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk.
e) Segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah dan terbatas pada takdir-Nya.
Begitu juga perbuatan baik dan jahat terjadi atas kehendak Allah. (QS. Yasin
[36]: 82, ash-Shaffat [37]: 96)
f) Melihat Allah (Ru’yatullah ) di akhirat. (QS. Al-Muthaffifin [83]: 15)
g) Orang yang berbuat dosa besar tidaklah termasuk kafir kecuali bila ia
menghalalkan dosa tersebut dan mengkingkari keharamannya.
h) Meyakini adanya Dajjal
i) Surga dan Neraka adalah ciptaan Allah, dan setiap manusia akan
mendapatkan balasan berdasarkan ketentuan yang pasti.

4
Demikianlah pandangan-pandangan yang diyakini oleh al-Asy’ari, ia
senantiasa berpegang teguh pada ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul tanpa
memberikan penakwilan yang lain terhadapnya.

3. Bab Penisbatan Ru’yatullah di Akhirat


Allah swt. berfirman, “Pada hari itu wajah-wajah mereka berseri-seri,
kepada Tuhan-nya mereka melihat (al-Qiyamah [75]: 22-23). Menurut al-Asy’ari,
melihat dalam ayat ini hanya dapat diartikan dengan kedua mata yang terdapat
pada wajah. Bukan dalam arti menunggu sebagaimana yang dikatakan oleh kaum
Mu’tazilah karena ini tidak mungkin secara tata bahasa. Untuk mengaskan
pandangannya Al-Asy’ari membandingkannya dengan surat al-Baqarah [2]: 144.
Kemudian ia juga mengutip surat al-A’raf [7]: 143 tentang permintaan Nabi Musa
a.s. untuk melihat Tuhan yang menjadi bukti bahwa Tuhan memang dapat dilihat
dengan kedua mata meski hal ini baru terjadi di akhirat nanti bukan di dunia fana
ini. Argumen lainnya berdasarkan surat Yunus [10]: 26, dimana para ahli takwil
menyatakan bahwa tambahan nikmat bagi orang yang beriman di akhirat kelak
adalah dapat melihat Allah, diperkuat dengan surat al-Ahzab [33]: 44 dan al-
Muthaffifin [83]: 15 yang menyatakan bahwa penglihatan orang kafir itu nantinya
akan tertutup dari Allah, maka berarti di akhirat nant tentu orang mukmin dengan
nikmat-Nya dapat melihat Allah.
Selain itu juga terdapat banyak riwayat hadis Rasulullah yang menyatakan
bahwa, “kamu sekalian akan melihat Tuhanmu dengan nyata, bagaikan melihat
bulan di malam purnama. Kemudian secara logika sudah semestinya sesuatu yang
maujud mengandung kepastian dapat dilihat.
Adapun mengenai argumen Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah
tidak bisa dilhat berdasarkan surat al-An’am [6]: 103 ini dapat dibantah, karena
yang dimaksudkan tidak dapat dilihat disini adalah ketidakmampuan manusia
melihat Allah di dunia dengan mata kepalanya. Sedangkan yang menjadi
perdebatan di sini adalah apakah Allah dapat dilihat di akhirat? Maka jawabnya ya
karena seperti itulah yang dimaksudkan dalam ayat yang dipersoalkan tersebut

5
secara lahiriyahnya. Dalam hal ini tidak diperlukan penakwilan yang berbeda dari
lahirnya.

4. Bab Perbincangan al-Qur’an itu Kalamullah bukan Makhluk


Hal ini didasarkan firman Allah surat ar-Rum [30]: 25, al-A’raf [7]: 54,
perintah-Nya yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut, menurut al-Asy’ari adalah
Kalamullah. Kalamullah itu bukanlah makhluk karena ia telah ada sebelum dan
sesudah diciptanya makhluk. Kemudian orang yang beranggapan bahwa
Kalamullah adalah makhluk berarti ia telah beranggapan bahwa Allah tidak
memiliki sifat “berfirman” (mutakallim). Argumen lain untuk memperkuatnya
adalah surat al-Kahf [18]: 109 yang mengatakan bahwa bila laut dijadikan sebagai
tinta maka tidak akan cukup untuk menulis firman Allah (kalamullah). Ini
menunjukkan bahwa Allah benar-benar memiliki sifat “berfirman”, jika tidak
maka segala sesuatu yang ada ini bukan karena kehendak-Nya karena Allah
berfirman: kun (jadilah) fayakun (maka jadilah).
Kaum Jahamiyyah mengatakan bahwa Kalamullah adalah makhluk. Jika
dikatakan seperti ini maka mereka berarti telah menyamakan Allah dengan
patung-patung yang tidak bisa berpikir dan tidak pula bisa berbicara. Dan Maha
Suci Allah dari penyamaan yang seperti itu, maka Allah pasti memiliki sifat
“berfirman”. Selanjutnya dikatakan al-Asy’ari bahwa makhluk itu mencakup
tubuh, diri dan juga sifat, maka tidak mungkin Kalamullah itu diri (syakhshah) itu
memiliki kebutuhan-kebutuhan yang keadaan seperti itu tidak akan mungkin
terdapat dalam Kalamullah.
Selain itu banyak riwayat yang mengatakan bahwa orang-orang yang
menganggap bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk telah jatuh pada kekufuran dan
harus bertobat kepada Allah. Al-Asy’ari mengemukakan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memohon perlindungan-Nya dengan
Kalamullah yang sempurna, padahal Allah telah melarang untuk memohon
perlindungan kepada makhluk, sementara berlindung dengan Kalamullah itu
diperintahkan maka sudah jelas bahwasanya al-Qur’an yang merupakan
Kalamullah ini bukanlah makhluk. Cukuplah dikatakan bahwa al-Qur’an itu

6
adalah Kalamullah (firman Allah) tidak lain selain itu sebagaimana pendapat yang
dipegang teguh oleh Ahmad bin Hanbal dengan menanggung penderitaan tanpa
bergeming sedikitpun.

5. Bab Persemayaman Tuhan di atas ‘Arasy


Allah swt benar-benar bersemayam di atas ‘Arasy sebagaimana firman-
Nya: Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy. (QS. Thaha
[20]: 5). Dipertegas dengan ayat-ayat lain yang mengungkapkan bahwa Allah
bersemayam di atas ‘Arasy atau di atas langit terdapat dalam surat Fathir: 10, an-
Nisa: 158, aas-Sajdah: 5, al-Mu’min: 36-37.al-Mulk: 16.
Namun kaum Jahamiyyah, Haruriyyah, dan Mu’tazilah berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan bersemayam di atas ‘Arasy dalam ayat tersebut
adalah bahwa Allah berkuasa di mana-mana. Menurut mereka yang dimaksud
dengan istawa itu adalah berkuasa. Hal ini dikarenakan menurut pandangan
mereka, Allah tidak mempunyai sifat dan hanya memiliki esensi sehingga ayat-
ayat Alquran yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
harus ditakwilkan termasuk bersemayam dalam ayat di atas. Al-Asy’ari
membantah pandangan mereka ini dan mengatakan bahwa mereka menakwilkan
dengan keliru tanpa memiliki bukti kuat untuk mendukung pandangan mereka
tersebut sedangkan terdapat banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang
menerangkan sebaliknya sebagai bukti bahwa Allah benar-benar bersemayam di
atas ‘Arasy. Dan seperti inilah yang disepakati oleh ulama salaf terdahulu.

6. Bab Perbincangan Wajah, Mata dan Tangan Tuhan


Ayat-ayat yang menyangkut tentang wajah Tuhan adalah dalam surat al-
Qashash [28]: 88 dan ar-Rahman [55]: 27. Adapun tentang Mata atau Penglihatan
Tuhan adalah surat al-Qamir [54]: 14, Hud [11]: 37, ath-Thur [52]: 48 dan Thaha
[20]: 39, 46. Tentang tangan Tuhan terdapat dalam surat al-Fath [48]: 10, Shad
[38]: 75, al-Maidah [5]: 64, al-Haqqah [69]: 45 dan adz-Dzariyat [51]: 47.
Al-Asy’ari memahami yang dimaksud dengan Wajah, Mata dan Tangan
Tuhan dalam ayat-ayat tersebut sebagaimana zhahir ayatnya tanpa adanya

7
penakwilan dari kata-kata tersebut. Namun, kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang
menolak sifat-sifat Allah menakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut. Sehingga
melihat yang dimaksud ayat berarti mengetahui dan tangan diartikan sebagai
nikmat Tuhan. Mereka beranggapan bahwa siapa saja yang mengatakannya (yaitu
membawa makna sifat Alah sesuai dengan hakekatnya) berarti telah
menyerupakan-Nya dengan makhluk. Al-Asy’ari membantah pandangan mereka
ini dengan mengemukakan berbagai argumen yang didukung dengan banyaknya
ayat al-Qur’an tentang hal ini sebagaimana yang tercantum di atas.

7. Bab Penolakan atas Kaum Jahamiyyah yang Menafikan Ilmu, Qudrat


serta Segenap Sifat Allah
Penolakan kaum Jahamiyyah yang juga diikuti oleh Mu’tazilah dan
Haruriyah menafikan ilmu, Qudrat dan sifat-sifat Allah ini tidaklah memiliki
landasan yang kuat. Karena dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat
mengenai hal ini yaitu tentang ilmu Allah terdapat dalam surat an-Nisa [4]: 166,
Fushilat [41]: 47, Hud [11]: 14 dan al-Baqarah [2]: 255. Dalam ayat ini jelas
tertera perihal ilmu Allah. Allah itu mestilah berilmu karena bila ia tidak berilmu
bagaimana Ia dapat menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya yang mencakup seluruh
ilmu di dalamnnya. Kemudian bukankah orang yang tidak berilmu adalah orang
yang bodoh lalu bagaimana mungkin Allah dikatakan tidak berilmu hingga
melekat pada-Nya sifat yang tidak layak tersebut.
Kemudian ayat-ayat yang terdapat penjelasan mengenai Qudrat Allah di
dalamnya adalah surat Fushilat [41]: 15 dan adz-Dzariyat [51]: 58. Kaum
jahamiyyah berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat, ilmu, qudrat, hayat,
sama’ dan bashar. Mereka bermaksud menafikan kenyataan bahwa Allah itu
Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Oleh karena itu, mereka menakwilkan ayat-ayat tentang hal itu dengan dalih
mencari makna yang sebenarnya. Sehingga penakwilan mereka ini tidak
berlandaskan baik dari al-Qur’an, hadis, ijma ulama bahkan tidak dapat diterima
logika karena lemahnya pendapat tersebut. Misal mereka mengatakan bahwa
sama’ dan bashar adalah Maha Mengetahui. Padahal dalam ayat al-Qur’an dua

8
sifat Allah tersebut seringkali digandengkan sehingga bila menurut mereka begitu
jadi artinya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengetahui. Hal ini akan tampak
sangat janggal. Sehingga sama’ dan bashar haruslah diartikan secara terpisah
sebagaimana seharusnya tanpa menakwilkannya dengan yang lain. Penafikan
terhadap sifat-sifat Allah ini akan mematikan tauhid. Padahal dalam al-Qur’an
penyebutan sifat-sifat Allah ini selalu diulang-ulang guna menguatkan Keesaan
dan Kemahakuasaan Allah.

8. Bab Perbincangan tentang Kehendak Allah


Kaum Mu’tazilah manafikan tentang kehendak mutlak. Menurut mereka
kehendak Tuhan itu dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia
dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Al-Asy’ari membantah pandangan
ini, menurutnya kehendak Tuhan itu mutlak dan meliputi segala sesuatu. Setiap
yang terjadi pada manusia tidak terlepas dari kehendak Tuhan. Kemutlakan
kehendak Tuhan ini berkaitan dengan Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya.
Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu sehingga tidak ada yang terlepas dari
kuasa dan kehendak Tuhan karena tidak mungkin Tuhan itu Kuasa atas yang tidak
dikehendaki-Nya. Jadi kehendak Tuhan itu adalah Mutlak. Baik kebaikan maupun
kekufuran itu adalah atas kehendak Tuhan sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah [2]: 253 dan as-Sajdah [32]: 13. Dalam ayat-ayat ini
terlihat bahkan keburukanpun itu terjadi atas kehendak Tuhan, dan kehendak ini
tidak terbatas oleh apapun karena Tuhan itu Maha Kuasa dan tidak ada Kuasa
yang lebih tinggi dari-Nya.
Pendapat al-Asy’ari dalam hal ini kemudian disempurnakan oleh
pengikutnya yakni al-Baqillani, yang mengemukakan Allahlah yang menciptakan
daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya
tersebut. Hal ini dikemukakan al-Baqillani agar tidak terjatuh pada paham
Jabariyyah, karena menurutnya meski al-Asy’ari begitu kukuh menyampaikan
mengenai kehendak Mutlak Tuhan ia tidak bermaksud untuk menjatuhkan
seseorang pada paham Jabariyyah tetapi ini dikemukakannya untuk menanggapi

9
argumen-argumen menyimpang pada saat itu yang dapat merusak keyakinan
terhadap Keesaan Tuhan.

9. Bab Pembolehan atau Pembatalan Takdir dalam Batas Kemampuan


Seorang Hamba
Dalam bab ini, al-Asy’ari mengajukan beberapa poin masalah yang
dijadikannya argumen untuk membantah pandangan kaum Qadariyah yang
mengatakan bahwa seorang hamba memiliki kemampuan untuk membatalkan
takdirnya. Landasan yang digunakannya adalah firman Allah dalm surat an-Nisa
[4]: 83, an-Nur [24]: 21 dan ash-Shaffat [37]: 55-57. Dalam ayat-ayat tersebut
dijelaskan bahwa seorang hamba dapat terhindar dari kekufuran itu tidak lain
adalah berkat Rahmat dan karunia-Nya sehingga bukanlah atas kemampuannya
hamba dapat membatalkan takdir. Takdir adalah ketetapan yang telah Allah
tentukan dan tidak ada yang bisa mengubah-Nya. Kemudian al-Asy-ari membahas
tiga poin masalah untuk mendukung bantahannya tersebut. Pertama, masalah
ketaatan. Yang dimaksud disini adalah bahwa ketaatan seorang hamba adalah
nikmat yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin. Kedua,
masalah beban kewajiban. Yang dimaksud disini adalah bahkan ketika seorang
hamba diberikan beban kewajiban tetapi Allah tidak menghendaki ia dapat
melakukannya maka ia tidak akan dapat melakukannya meskipun Allah
mewajibkannya. Seperti yang terjadi pada orang kafir yang dijelaskan dalam surat
Hud [11]: 20 dan al-Kahf [18]: 101. Ketiga, masalah kesakitan anak-anak. Yang
dimaksud disini adalah dengan mengumpakan kesakitan yang menimpa anak-
anak, ini menunjukkan Allah memiliki kuasa untuk menimpakan apapun pada
siapapun bahkan di akhirat kelak sebagaimana dalam surat al-Lahab [111]: 1-3
dijelaskan mengenai apa yang akan menimpa Abu Lahab di akhirat kelak.
Dari berbagai poin yang dikemukakan oleh al-Asy’ari ini tujuannya adalah
untuk membantah argumen orang yang mengatakan bahwa seorang hamba
memiliki kemampuan untuk membolehkan ataupu membatalkan takdir. Padahal
tidak ada satupun yang dapat terlepas dari pengawasan Allah begitu pula takdir
manusia yang telah ditetapkannya tidak ada yang bisa menolak kehendak Allah.

10
10. Bab Penolakan Terhadap Kaum Mu’tazilah
Meskipun judul bab ini adalah penolakan terhadap kaum Mu’tazilaj, tetapi
isi yang terdapat di dalamnya adalah penolakan terhadap kaum Qadariyah. Dalam
bab ini al-Asy’ari membantah perkataan kaum Qadariyah yang menyamakan
pandangan mereka tentang Qudrat dengan apa yang diyakini al-Asy’ari
dikarenakan menurut mereka beranggapan orang yang meyakini bahwa Allah
Kuasa menciptakan kebaikan dan keburukan dapat pula disebut dengan
Qadariyah. Namun, hal ini sangat berbeda dalam pandangan al-Asy’ari.
Qadariyah menurutnya adalah kelompok orang yang menatapkan sifat kuasa (al-
Qadr) pada dirinya sendiri. Selanjutnya al-Asy’ari menyoroti beberapa poin
masalah dalam pandangan Qadariyah yang akan dibantahnya. Qadariyah ini
disebut sebagai Majusi-nya orang Islam karena pandangannya yang menyerupai
mereka.
Pertama, masalah ketertutupan. Ketertutupan yang dimaksud di sini adalah
bahwa Allah dengan Kuasa-Nya mampu menutup atau mengunci hati orang-orang
kafir dari iman dan kebenaran. Sehingga mereka tidak akan pernah beriman.
Sebagaimana dalam surat al-Baqarah [2]: 7, al-An’am [6]: 125 dan Muhammad
[47]: 24.
Kedua, masalah pengecualian. Pengecualian yang dimaksud disini adalah
apabila seseorang berjanji demi Allah kemudian dia tidak menepatinya maka
orang itu termasuk orang yang khianat. Ketiga, masalah ajal. Yang dimaksud
disini adalah bahwa Allah telah menentukan ajal seseorang dan tidak ada yang
dapat menundanya sebagaimana firman-Nya dalam surat al-A’raf [7]: 34,
sehingga orang yang bunuh diri itu tidaklah mendahului ajalnya karena semua itu
sudah merupakan kehendak Tuhan. Keempat, masalah rezeki. Yang dimaksud
disini adalah setiap rezeki itu berasal dari Allah bahkan rezeki orang yang
merampok harta orang lain meski itu termasuk rezeki yang haram itu tetaplah
berasal dari Allah dan atas kehendaknya.
Keenam, masalah petunjuk. Yang dimaksud disini adalah sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 1-2 dan Fushilat
[41]: 44. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa petunjuk Allah itu diberikan kepada

11
orang yang beriman dan bertaqwa. Adapun orang kafir tidak akan dapat melihat
petunjuk itu. Semua itu terjadi atas kehendak Allah semata. Bila Allah
menginginkan untuk memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia, maka ia
Kuasa untuk melakukannya. Namun, petunjuk itu hanya diberikan-Nya kepada
hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa dan itulah yang dikehendaki-Nya.
Ketujuh, masalah kesesatan. Yang dimaksud disini adalah mengenai orang-orang
kafir yang Allah memang menghendaki mereka untuk sesat sebagaimana firman-
Nya dalam surat Ibrahim [14]: 27, al-Kahf [18]: 17 dan al-Baqarah [2]: 6.
Berbagai masalah yang dibahas oleh al-Asy’ari ini pada intinya adalah
untuk membantah pandangan kaum Qadariyah yang mengatakan bahwa ada hal
yang berada di luar kehendak Tuhan, yakni kejahatan dan kekufuran. Padahal
segala sesuatu itu jahat ataupun baik, iman ataupun kufur semuanya adalah
kehendak Allah.

11. Bab Riwayat-riwayat tentang Ketentuan Allah


Dalam bab ini, al-Asy’ari menjelaskan mengenai ketentuan Allah
mengenai takdir manusia. Dengan berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis
Nabi, ia menjelaskan bahwa takdir manusia itu telah ditentukan sejak sebelum
dilahirkan bahkan sejak ia masih dala tulang rusuk bapaknya, apakah ia adalah
penghuni surga atau neraka. Ayat yang dijadikannya landasan antara lain adalah
surat al-A’raf [7]: 30, 179, asy-Syura [42]: 7 dan Hud [11]: 105.

12. Bab Perbincangan tentang Syafa’at dan Keluar dari Neraka


Menurut al-Asy’ari, syafa’at itu nantinya akan diberikan kepada orang
mukmin yang karena dosanya di dunia mendapatkan azab di neraka dan dengan
syafa’at yang diberikan oleh Rasulullah kelak mereka akan dapat keluar dari
Neraka. Sehingga tidaklah benar dikatakan bahwa syafa’at itu diberikan kepada
orang mukmin yang telah dijanjikan surga oleh Allah.

12
13. Bab Perbincangan tentang Adanya Telaga
Kaum Mu’tazilah menafikan adanya telaga (Kautsar). Namun, menurut
pandangan al-Asy’ari telaga ini benar adanya karena terdapat riwayat-riwayat
yang menyebutkan hal ini.

14. Bab Perbincangan tentang Adanya Azab Kubur


Kaum Mu’tazilah juga menafikan mengenai adanya azab kubur ini
sebagaimana ia telah banyak menafikan apa yang terdapat dalam hadis Nabi dan
menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an. Perihal azab kubur ini telah dijelaskan dalan
hadis Nabi yang menyuruh umatnya untuk berlindung dari azab kubur yang
membuktikan bahwa azab kubur itu benar-benar ada. Kemudian dalam surat al-
Mu’min [40]: 46 yang menjelaskan tentang azab keras yang akan diterima oleh
Fir’aun dan kaumnya. Menurut al-Asy’ari mereka akan mendapat azab di dunia
ini berupa azab kubur kemudian akan dilemparkan lagi ke azab yang keras di
neraka kelak. Dan surat Ali Imran [3]: 169-170 yang menceritakan tentang nikmat
yang akan didapatkan orang yang mati syahid. Menurut al-Asy’ari, nikmat itu
akan didapatkan oleh mereka yang mati syahid di dunia ini sejak mereka masih di
alam kubur. Demikianlah pandangan al-Asy’ari yang menyatakan bahwasanya
pembalasan di alam kubur itu benar adanya, orang yang berdosa akan mendapat
azab begitu pula sebaliknya orang-orang mukmin yang bertaqwa akan mendapat
nikmat atas pahala-pahala mereka.

15. Perbincangan tentang Kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq


Untuk menutup pembicaraan mengenai bantahan-bantahan terhadap
pandangan yang menyimpang dalam aliran kalam ini. Al-Asy’ari menjelaskan
mengenai penolakan sebagian aliran kalam terhadap kepemimpinan khalifah
setelah Nabi saw. Menurut al-Asy’ari, kekhalifahan mereka adalah benar karena
mereka adalah para sahabat Nabi yang telah dijanjikan masuk surga sudah
seharusnya kita menghormati mereka dan kepemimpinan mereka.

13
E. KESIMPULAN
Buku al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah ini membahas mengenai pokok-
pokok pandangan kalam al-Asy’ari serta bantahannya terhadap pemikiran kalam
sebelumnya yang dinilainya sebagai pemikiran yang bid’ah. Bahkan al-Asy’ari
menggolongkan mereka sebagai ahli bid’ah. Setelah menyatakan dirinya keluar
dari aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, al-Asy’ari malah berbalik
arah melawan pandangan Mu’tazilah. Pandangan-pandangan Mu’tazilah yang
rasional dan cenderung tidak mengindahkan Hadis dan lebih mengutamakan akal
dinilai al-Asy’ari sebagai penafsiran yang fasik dan tidak berlandasan. Sehingga
dalam pandangan teologinya yang baru, al-Asy’ari sangat berpegang teguh pada
ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak menakwilkannya tetapi menerimanya secara
zahirnya saja kecuali ada hujah yang menjadikannya perlu untuk ditakwilkan.
Kemudian al-Asy’ari juga banyak melandaskan pemikirannya pada hadis-hadis
nabi dan cenderung menerima seluruhnya. Bahkan riwayat-riwayat yang tidak
populer sekalipun. Kemudian dalam pembahasannya ia juga seringkali
menggunakan metode tanya-jawab maksudnya ia mengemukakan pandangan
yang akan dibantahnya kemudian mengemukakan argumennya lalu ia
mengandaikan jawaban orang tentang argumennya dan kembali menjawabnya
sehingga pada akhirnya ia memberikan kesimpulan dari bantahannya yang
menurutnya tidak terbantahkan lagi.
Perpindahan paham teologi al-Asy’ari ini terjadi pada saat paham
Mu’tazilah telah melemah pengaruhnya setelah tidak lagi menjadi mazhab negara
pada masa al-Mutawakil. Pada masa ini adalah titik balik bagi pandangan kalam
tradisionalis. Pandangan Al-Asy’ari yang kemudian menjadi ajaran pokok aliran
al-Asy’ariyyah menjadi simbol dari pandangan kalam tradisionalis. Kepopuleran
pemikiran kaum tradisionalis ini tidak hanya semakin melemahkan aliran
Mu’tazilah tetapi di kemudian hari juga berhasil menyudutkan pemikiran-
pemikiran filsafat. Mengingat bahwa kaum Mu’tazilah yang berpikiran rasional
ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani. Pergeseran pemikiran kalam ini
menjadikan pemikiran-pemikiran kalam setelahnya hanya berpusat pada kajian-
kajian kalam klasik. Baru kemudian pada masa modern mulai berhembus

14
pembaharuan-pembaharuan dalam dunia Islam yang kembali membuka ranah
pemikiran rasional. Sehingga pada saat ini meski aliran Mu’tazilah sudah hilang,
namun cara berpikir dan metodelogisnya- masih terus berkembang dan dirasakan
seiring dengan perkembangan pendidikan yang diperoleh oleh cendekiawan
muslim yang mendapat pendidikan-pendidikan modern. Maka tidaklah aneh
apabila pemikiran kalam modern dan kontemporer pada saat ini lebih cenderung
bersifat rasionalis sebagaimana aliran Mu’tazilah seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman dan lain-lain.

NB:
Pemikiran al-Asy’ari tentang al-Qur’an sebagai kalamullah, yang dimaksud
dengan al-Qur’an yang merupakan kalamullah. Al-qur’an disini adalah
firman Allah yang melekat pada Zat-Nya. Sedangkan al-Qur’an yang
berlafadz ini adalah karena al-Qur’an ini merupakan pedoman/ tuntunan
hidup bagi manusia yang harus dapat dibaca dan dipahami oleh manusia
maka al-Qur’an ini diturunkan dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa
nabi-Nya.

15

Anda mungkin juga menyukai