Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar belakang Munculnya Aliran Al – Asy’ariyah


Nama asli Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ialah Ali Ibnu Isma’il, keluarga Abu
Musa Al-Asy’ary. Secara lengkap nama itu adalah Abi Al-Hasan Ali bin Isma’il bin
Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
Musa Al-Asy’ari. Ia dilahirkan di kota Bashrah tahun 260 H dan wafat pada tahun
330 H. Kapasitas dan kapabilitas intelektual Al-Asy’ari dapat di ketahui dengan
sikap Al-juba’i yang sering mempercayakan kepadanya untuk mengajarkan paham
Mu’tazilah manakala sang guru Al-Juba’i berhalangan. Barangkali karena itu pula
mengapa Al-Asy’ari sering disebut-sebut bakal menjadi pengganti Al-Juba’i dalam
melanjutkan missi Mu’tazilah, walaupun sebenarnya Al-Juba’i sendiri mempunyai
anak kandung bernama “Abu Hasyimi”.1
Tentang motif teologis yang mendorong Al-Asy’ari berubah haluan dari
Mu’tazilah ke aliran salaf, para ahli terdapat banyak versi yang dapat dipaparkan
sebagai berikut: Pertama, ketidakpuasan Al-Asy’ari atas jawaban Al-Juba’i berkaitan
dengan keadilan Tuhan yang diukur dengan menggunakan batas - batas akal manusia.
Suatu ketika Al-Asy’ari bertanya kepada sang guru, Al-Juba’i tentang nasib seorang
anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk surga karena imannya. Sesuai
dengan keadilan Tuhan menurut persepsi Mu’tazilah, orang dewasa akan menempati
surga yang lebih tinggi dibanding kedudukan si anak. Mengapa harus begitu tanya Al-
Asy’ari, yang dijawab oleh sang guru karena yang dewasa telah melakukan amal
kebaikan. Kenapa si anak tidak diberi usia lebih panjang supaya ada kesempatan
melakukan amal baik, kejar Al-Asy’ari. Tuhan tahu jika si anak dibiarkan hidup lebih
panjang usianya, ia akan tumbuh menjadi anak yang durhaka, kilah Al-Juba’i, padahal
Tuhan harus berbuat yang terbaik buat manusia. Kalau begitu, kejar Al-Asy’ari lebih
lanjut, bagaimana jika orang-orang yang telah dijeblosken dalam neraka berteriak
menuntut, mengapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih kecil, sehingga tidak
tumbuh menjadi orang yang durhaka. Al-Juba’i terdiam tak menjawab.2

1
Fathul Mufid, Menimbang Pokok – Pokok Pikiran Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, (tk:
Stain Kudus,tt) Email: fathulmufid2@gmail.com, Lihat, Jurnal Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013. Hal
207.
2
Lihat pula perdebatan tersebut dalam redaksi yang berbeda menurut al-Subki, seperti dalam bukunya Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hal 66-67.
Kedua, karena memperoleh petunjuk dari Nabi Muhammad SAW lewat
mimpi, di mana intinya Nabi memerintahkan kepada Al-Asy’ari meninggalkan teologi
rasionalistik dan kembali berpegang pada ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul. Bahkan
menurut Ibn Asakir, Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW
sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke 10, ke 20, dan ke 30 bulan Ramadhan. 3
Setelah itu Al-Asy’ari mengurung diri di dalam rumah selama 15 hari merenungkan
apa saja yang telah diajarkan guru-guru Mu’tazilah, kemudian setelah menemukan
kemantapan jawabannya, Dia ke Masjid dan mengumumkan bahwa dirinya telah
meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan sebaliknya akan membela faham salaf yang
berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah.4 Pada hari jumat di Bashrah ia naik mimbar
dan berkata: “Barang siapa yang telah mengenalku, maka sebenarnya dia telah
mengenalku. Dan barang siapa yang belum mengenalku, maka kini saya
memperkenalkan diri. Saya adalah fulan ibnu fulan. Saya pernah mengatakan bahwa
Alquran adalah makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak
pada hari kiamat, dan bahwa perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, saya
sendirilah yang melakukannya. Kini saya bertobat dari pendapat seperti itu, serta
siap sedia untuk menolak pendapat Mu’tazilah, dan mengungkap kelemahan mereka.
Selama beberapa hari ini saya telah menghilang dari hadapan anda sekalian, karena
saya sedang berpikir. Menurut pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok itu
seimbang. Kemudian saya memohon petunjuk kepada Allah, maka Allah memberikan
petunjuk kepada saya untuk meyakini apa yang tertera dalam kitab-kitab saya. Saya
akan melepaskan apa yang pernah saya percayai, sebagaimana saya menanggalkan
baju ini”.5
Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis, mungkin saja Al-
Asy’ari kecewa dengan posisi kaum Mu’tazilah yang sudah tidak lagi sesuai dengan
situasi baru. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan keputusan Al-Ma’mun tentang
penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu’tazilah
mulai menurun. Apalagi setelah Al-Mutawakkil memberikan penghargaan dan
penghormatan kepada Ibnu Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dengan
demikian leluasalah orang-orang yang dikecewakan dan disakiti Mu’tazilah untuk
melakukan kritik dan serangan kepada Mu’tazilah. Apalagi akibat ”mihnah” yang
3
Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung, Pustaka Setia : 2001), hal 120.
4
Ibid, Menimbang Pokok – Pokok Pikiran… hal 209.
5
Supriadin, AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’aridan Doktrin-doktrin Teologinya), Lihat jurnal
Sulesana Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014. Hal 64.
sangat tak terlupakan oleh mayoritas masyarakat muslim, menjadi salah satu faktor
tersisihnya paham mu’tazilah di kalangan ummat. Bahkan dalam situasi semacam di
atas, di kalangan Mu’tazilah terjadi perpecahan dan sebagian tokoh-tokohnya
meninggalkan barisan Mu’tazilah, seperti Isa Al-Warraq, Ahmad Ibnu Rawandi.
Itulah sebabnya menurut Harun Nasution mengapa Al-Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah. Kebetulan pada saat yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat
dijadikan pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan yang ada dalam diri Al-
Asy’ari, maka lengkaplah sudah dorongan untuk menyusun teologi baru, yang
kemudian terkenal dengan Teologi (mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu nama yang
dinisbatkan kepada sang pendiri, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.6
Mirip dengan kekecewaan di atas (walaupun latar belakangnya berbeda), Al-
Asy’ari melihat bahwa fungsi mu’tazilah yang merupakan suatu upaya kompromi
antara golongan sunni dan Syi’ah, sudah tidak sesuai lagi dengan situasi yang sedang
dihadapi. Kebijaksanaan Al-Mutawakkil tampak cenderung kepada golongan sunni.
Hal ini berakibat terjadinya konsolidasi di kalangan sunni. Pada saat yang sama,
ketidakjelasan konsep golongan Rafidloh, telah digantikan oleh bentuk ”imamah”
yang lebih jelas. Dengan demikian telah terjadi pengentalan baik pada faham Sunni
maupun Syi’ah. Maka masa depan Mu’tazilah dengan segala komprominya akan
menjadi kurang begitu penting.7
B. Pemikiran Teologi Al-Asy’ariyah
Inti pokok teologi Al-Asy’ari adalah Sunnisme. Hal ini dikatakan sendiri
dalam bukunya, misalnya dalam al-Ibanah. Bahwa pedoman yang dianutnya adalah
berpegang teguh kepada kitab al-Qur’an, sunnah Rasul dan riwayat (shahih) dari para
sahabat, tabi’in dan pemuka hadist. Di samping itu, ia juga akan mengikuti fatwa Abu
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal (Al-Asy’ari). Selanjutnya pokok-pokok
pandangan al-Asy’ari secara rinci disimpulkan berikut :
1. Al – Qur’an sebagai kalam Allah
Sebagai reaksi atau teologi Mu’tazilah, Al-Asy’ari mengecam pendapat yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan Allah, dan karenanya maka ia adalah
“mahluq”. Golongan yang berpandangan semacam ini dikecam oleh Al-Asy’ari
sebagai pendapat yang mengadopsi pendirian orang kafir yang menganggap Al-
Qur’an sebagai ucapan manusia (In huwa illa qaul al-basyar). Bahkan lebih jauh

6
Ibid, Menimbang Pokok – Pokok Pikiran… hal 210.
7
Ibid, Menimbang Pokok – Pokok Pikiran… hal 211.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa orang yang meyakini Al-Qur’an sebagai mahluq
adalah, kafir. Bagi Al-Asy’ari menentukan apakah Al-Qur’an itu sebagai kalam
Allah yang qadim atau sebagai mahluq yang hadis (baru) adalah amat penting.
Sebab di sinilah letaknya apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas pendapat
manusia atau tidak. Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah sumber otoritas yang harus
dipedomani. Karena itu ia mesti qodim dan bukan mahluk (seperti manusia). Sebab
memahlukkan al-Qur’an secara tidak langsung sebenarnya telah berketetapan
bahwa al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia.
Pandangan sangat berbahaya bagi keutuhan doktrin. Karena itu maka paham
keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Berangkat dari asumsi di atas, maka Al-
Asy’ari berpendirian bahwa memahami al-Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan
akal tetapi harus mengikuti petunjuk Sunnah dan riwayat salaf al-Mutaqadimin.
Penalaran akal bisa digunakan selama dapat memperjelas al-Qur’an.
Di sinilah Al-Asy’ari dinilai berhasil menjaga hak-hak penafsiran, tanpa
mengurangi hak-hak wahyu. Bahkan lebih jauh ia juga dinilai telah berhasil
mendefinisikan al-Qur’an secara benar sebagai sumber otoritas doktrin. Bertitik
tolak dari pandangan di atas, Al-Asy’ari dalam memahami nash lebih bersifat
leteral dan skriptural. Fungsi akal diletakkan di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia (akal) bukanlah hakim yang mengadili. Spikulasi
apapun terhadap sesuatu yang sakral dianggap suatu bid’ah.8
2. Tuhan Memiliki Sifat
Dari beberapa ayat al-Qur’an, jelas disebut bahwa Tuhan itu ALIM, mengetahui
dengan pengetahuannya. Bukan dengan Zat-Nya, dan mustahil Tuhan itu
merupakan pengetahuan. Di sini terlihat Al-Asy’ari menetapkan sifat sama dengan
kalangan salaf, namun cara penafsirannya berbeda. Kaum salaf hanya menetapkan
sifat kepada Tuhan sebagaimana dalam teks ayat, tanpa melakukan pembahasan.
Bagi Al-Asy’ari, arti sifat berbeda dengan makna zat tetapi bukan pula lain dari
zat. Pemaknaan semacam ini seperti tidak jauh berbeda dengan ungkapan
Mu’tazilah. Bagi mereka sifat sama dengan zat. Jika dikatakan bahwa Tuhan
mengetahui (Alim), maka ini artinya menetapkan pengetahuan bagi Allah, dan
yang mengetahui itu adalah zatNya. Dan penetapan ini hanya digunakan untuk
menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) itu tidak jahil. Dari paham tentang adanya sifat-
sifat bagi Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat.
8
Ibid, hal 212.
Untuk mendukung pendirian ini ia mengutip dalil naql dan resio. “Wajah-wajah
ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya” (al-Qiyamah 22).9
3. Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb
Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang
terbaik untuk manusia, Al Asy’ari berpendapat sebaliknya. Bagi Asy’ari Tuhan
tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan kekuasaam-Nya
yang mutlak. Tuhan bisa saja, memberikan petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang mukmin
atau menyesatkan orang-orang kafir. Bahkan lebilh dari itu, semua. Ia berkuasa
menyantuni orang-orang kafir. Semua yang terjadi dialam ini atas kehendak dan
ketetapan Tuhan.10
Sebenarnya Al-Asy’ary sepakat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan itu Maha Adil,
tetapi ia tidak sepakat bahwa Tuhan harus adil. Tuhan mustahil tidak adil kata
Al-Asy’ari sebab ketidakadilan itu berarti merampas hak orang lain. Akan tetapi di
alam semesta ini tidak ada yang bukan milik Tuhan. Karena itu jika Tuhan
bertindak seperti yang tidak adil dengan alasan apapun, Dia tetap tidak bisa
dikatakan tidak adil. Berdasar prinsip ke-Maha Kuaasaan Tuhan, Al-Asy’ary
berpendirian bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan daya untuk melakukan
sebuah pekerjaan. Apa yang dikerjakan manusia adalah merupakan kehendak dan
ciptaan Tuhan. Tidak ada seorangpun yang mampu melakukan suatu perbuatan
sebelum perbuatan itu dikehendaki dan dicipta oleh Tuhan. Dasar yang dipedomani
Al-Asy’ary ialah ayat ”Wa Allahu Khalaqakum wa ma ta’malun”, dan ayat : ”Hal
min khaliqin ghairu Allah” serta ayat lain yang jumlahnya cukup banyak. Untuk
menjelaskan hubungan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia, Al-
Asy’ari menetapkan teori ”kasb”.11
4. Konsep Tentang Iman

9
Ibid, hal 213.
10
Bertitik tolak dari paham kekuasaan mutlak tak terbatas yang dimiliki Tuhan, Al-Asy’ary berpendapat bahwa
Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil. Seperti dikatakan dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutip zainun Kamal,
bagi Al-Asy’ari tidak dikatakan salah kalau Tuhan memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam surga,
termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia
memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam neraka. Lihat, Fathul Mufid, Menimbang Pokok – Pokok
Pikiran Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, (tk: Stain Kudus,tt) Email:
fathulmufid2@gmail.com, Lihat, Jurnal Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013. Hal 214.
11
Dalam AlLuma’, sebagaimana dikutib Dr. Harun Nasution, arti kasb ialah sesuatu yang timbul dari yang
berbuat (al-Muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Atau perbuatan manusi diciptakan Tuhan.
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hal 71.
Dalam Al-Ibanah ’An Usul Al-Diyahah, Al-Asy’ary mengatakan bahwa iman
itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa bertambah dan
berkurang. Memperhatikan pandangan ini maka Al-Asy’ari sebenarnya mengakui
bahwa amal itu penting bagi pembinaan kualitas iman seseorang, dan iman itu akan
mencapai kesempurnaannya bila didukung oleh amal shalih. Akan tetapi ketika Al-
Asy’ary dihadapkan pada persoalan pendosa besar, seperti para pelaku zina,
pencuri dan peminum arak, maka Ia berpendapat bahwa mereka itu tetap tidak
dapat dikatakan kafir, selama masih berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan itu
merupakan perbuatan yang diharamkan.12
Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa iman, bagi Al-Asy’ary merupakan
perbuatan hati, jadi selama dalam diri seseorang masih terdapat kepercayaan
(tasdiq bi Al-Qalb), maka masih dapat disebut sebagai mu’min (beriman),
walaupun perbuatannya tidak sesuai dengan keimanannya. Hanya saja yang
tersebut terakhir ini, menurut Asy’ary disebut fasiq karena perbuatannya
bertentangan dengan keimanannya. Bagi Al-Asy’ary, predikat mukmin fasiq itu
bisa dikumpulkan dalam diri seseorang. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah
“almanzilu baina al-manzilataini”.
C. Penelusuran Tokoh dalam Al-Asy’ariyah
Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia
berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan
Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki
dengan sokongan Utsmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga
didokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -Qafal, al-Jarjani dan lain-lain
sehingga sekarang.
Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’ari adalah dengan
mengemukakan hujah logis yang disertakan hujah teks Alquran dan hadis Nabi
Muhammad saw. Hujah- hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal
Jama'ah untuk menghadapi hujah golongan Mu'tazilah yang pesat berkembang dan
mendapat sokongan daripada pemerintah- pemerintah kerajaan Abbasiyah. Akhirnya,
golongan Mu'tazilah bukan saja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang

12
Ibid, Menimbang Pokok – Pokok Pikiran.. hal 217.
ditumbuh kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan
dan mengembangkan faham Asya’ irah.13
Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran faham ini
seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al
Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad al-Juwaini,
Abu Mazfir alAsfaraini, Imam al-Haramain al-Juwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali,
dan Imam Fakruddin al-Razi.
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang
dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min
Uslul Diniyati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam
Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiyah yang
menyokong Mu'tazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku Al-Luma‘ Fi al-
Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid‘i beliau menbedahkan hujah logik dan teks. Buku
Maqalatul Islamiyiin menbedahkan faham-faham yang timbul dalam ilmu Kalam dan
menjadi rujukan penting dalam pengajian faham-faham akidah. Buku Istihsan al-
Khaudhi Fil Ilmu Kalam juga adalah risalah kecil bagi yang menolak hujah mereka
yang mengharamkan ilmu Kalam.
Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun 324 H dengan
meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku karangan beliau serta
murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia meninggalkan aliran
pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat Islam hari ini dalam
melanda tantangan-tantangan baru yang tidak ada pada zamannya. Seterusnya aliran
ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah kontemporer
guna mempertahankan akidah yang sebenarnya. Di sini penulis akan menguraikan 3
(tiga) orang tokoh aliran Asy'ariyah secara sederhana, antara lain:
Pertama, Al-Baqillani. Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga
kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas
otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Al-Baqillani
mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran Mu’tazillah sebagai dasar
penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin,
artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh. dan menurutnya tiap-tiap
aradh mempunyai lawan aradh pula. Di sinilah terjadi mu'jizat itu karena mu'jizat
tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.
13
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hal 37.
Kedua, Al-Juwaini. Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di
Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal
di kota Bagdad. kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi Islam. Empat hal
yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan
alam yang dapat disaksikan, yaitu:
• Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan
“mengetahui” (alim).
• Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui
• Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
• Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.
Ketiga, Al-Ghazali. Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-
Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran).
Al-Ghazali adalah ahli pikir Islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi
Islam, Hukum Islam, dan lain sebagainya. Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam
bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah Bain al-Islam wa al-Zandaqah dan Al-
Iqtishad. Menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian
dengan soal – soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilafiah
yang sudah disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk
mengkafirkan orang.14
D. Latar Belakang Munculnya Aliran Al – Maturidiyah
Nama lengkapnya adalah lmam Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidi. Al-Maturidi adalah teolog terkemuka yang menggolongkan
dirinya dalam barisan kaum ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Paham Teologis yang
dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan nama
Maturidiyah. Beliau lahir di Maturidi dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah kira-
kira pada tahun 852 M/238 H) yang sebenarnya tanggal kelahirannya tidak dapat
diketahui secara pasti hanya merupakan suatu perkiraan berdasarkan bahwa ketiga
gurunya Muhammad bin Muqatil al-Razi wafat pada tahun 862 M atau 248, beliau
sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti mempunyai usia
yang sangat panjang karena diketahui beliau wafat di Samarkand pada tahun 944 M
atau 333 H. Adapun nama al-Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya
yaitu Maturidi.

14
Hadi Rafitra Hasibuan, ALIRAN ASY'ARIYAH (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam Asy’ariyah),
jurnal, Volume II No 02 Edisi Januari-Juni 2017. Hal 438.
Al-Maturidi menerima pendidikan yang cukup baik dalam berbagai ilmu
pengetahuan keislaman di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masa itu,
yaitu: Syaikh Abu Bakar Ahmad ibn Ishaq, Abu Nashr Ahmad ibn al-Abbas ibn al-
Husain al-Ayadi al-Ansari alFaqih al-Samarqandi, Nusair ibn Yahya al-Balkhi
(w.268/881), dan Muhammad ibn Muqatil al-Razi (w.248/862). Mereka adalah murid
- murid Abu Hanifah.
Lahirnya aliran Al – Maturidiyah menurut beberapa hasil karya al Maturidi
serta situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat dikemukakan faktor-
faktor yang melatarbelakangi munculnya pemikiran teologinya yang pada
perkembangan berikutnya melahirkan aliran Maturidiyah:
1. Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu’tazilah yang terlalu berlebihan dalam
memberikan otoritas pada akal.15
2. Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi’ah terutama aliran Qaramithah yang
dengan keras menentang ulama-ulama salaf.16
E. Pokok-Pokok Pikiran Al-Maturidi
Kendatipun ia sama-sama menentang faham Mu’tazilah dengan Imam Al-
Asy’ari ternyata banyak fahamnya yang kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika
itu ia justru sependapat dengan Mu’tazilah. Demikian juga sebaliknya ketika ia
sependapat dengan Asy’ari, secara tidak langsung AlMaturidi pun bersikap
konfrontatif dengan Mu’tazilah. Khusus pertentangannya dengan Al-Asy’ari, Syekh
Muhamnad Abduh menjelaskan hal itu tak lebih dari sepuluh masalah saja
Di antara pemikiran-pemikirannya dalam masalah teologi adalah :
1. Mengenai al-Qur’an
Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari demikian juga dengan Abi Hanifah
bahwa Kalam Allah adalah qadim. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam
Allah yang qadir, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak ada
permulaannya. Adapun huruf-huruf muqaththa’ah bentuk-bentuk, warna-warna,

15
Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul tulisannya yang secara eksplisit menggambarkan penolakannya
terhadap Mu’tazilah, seperti Kitab Radd Awa’il al-Adillah li al-Ka’bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka’bi
dan Kitab Bayan Wahm al-Mu’tazilah (Al-Syahrastani, t.th.,: 76-77). Dan pada saat yang sama al-Maturidi juga
tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang mengabaikan penggunaan akal. Lihat, Hamka, Maturidiyah:
kelahiran dan perkembangannya, (tk: tp, STAIN Datokarama Palu), Jurnal, Hunafa Vol. 4, No. 3 September
2007:257-270. Hal 261.
16
Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak dipengaruhi oleh paham Mazdakism, sebuah aliran komunis
yang dicetuskan oleh Mazdak bin Bambadh seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa kekuasaan
Sasania. Ajaran aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan percampuran antara
ajaran Kristen dengan Zoroaster dan ajaran-ajaran. Kitab al-Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh al-Maturidi
merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran ini pada masyarakat. Lihat, Ibid.
suara-suara dan segala sesuatu yang tertentu dan segala sesuatu yang ada di alam
dari al-Mukaffayat, adalah makhluk yang berpermulaan dan diciptakan. Dan
sesungguhnya Kalam Allah SWT adalah sifat yang ada dengan dzat Allah Ta’ala,
yang tidak tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara.
2. Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya
ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat
tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham
Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
3. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini
diberitakan dalam Al-Qur’an:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan
mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda
dengan dunia.
4. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal
di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan
amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau
mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
5. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah:
‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-
Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”"(Al-Hujurat: 14)
Ada dua golongan dalam Aliran Al – Maturidiyah, yaitu :
a) Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri.
Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya
tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan
perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-
kewajiban tertentu.
b) Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang
dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al- Bazdawi dalam
aliram Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-
Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh
umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-
Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.17
F. Persamaan dan Perbedaan Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah
Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan
Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun
hanyalah perbedaan kata-kata. Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran
Asy’ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan- perbedaan tersebut semakin terlihat
wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah
berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan
logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al-
Qur’an dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah
wajib dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa
akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh
perbedaan keduanya. Berikut persamaan dan perbedaannya :
17
Ibid, hal 275.
1. Persamaan

a) Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
b) Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan
pengetahuan-Nya.
c) Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim.
d) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah
pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana
keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada
Tuhannya mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 23)
e) Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah
ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa
madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an
Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah
adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika
dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah
dan Maturidiyah.”                       
2. Perbedaan
a) Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-
Maturidi menganut paham Qadariyah.
b) Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
c) Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja
menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan
Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala
sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah
karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.18

18
Ibid, hal 280.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jalan pemikiran Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-Asy’ari
sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya, sehingga kendatipun ia banyak
menyerang konstitusi Mu’tazilah namun ia lebih dekat kepadanya ketimbang
Asy’ariah. Bila demikian keadaannya, maka posisi Al-Maturidi berada di antara
dua kutub yang senantiasa kontroversial yaitu, antara kutub Al-Asy’ariah yang
sangat ortodok karena lebih setia kepada sumber-sumber Islam secara literal
dengan kutub Al-Mu’tazilah yang sangat rasional dan dipengaruhi oleh filsafat
Yunani. Apalagi aliran Al-Maturidi lebih mengikuti doktrin dari Abu Hanifah.
Walaupun begitu, kedua paham ini sama – sama mencoba mencari kebenaran
berdasarkan syariat yang berada dalam Al – Qur’an dan As Sunnah. Sebagai
reaksi dari adanya paham Mu’tazilah maka muncullah aliran Al – Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
B. Saran
Berakhirnya kekhalifahan Ustman Bin Affan membawa dampak pada
bermunculannya aliran – aliran dalam dunia islam, seperti aliran Khawrij, Syiah,
Murji’ah, Mu’tazilah. Hingga dampak dari adanya aliran Mu’tazilah ialah lahirnya
aliran Al – Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sebagaimana kita sebagai orang yang
berilmu harus pintar – pintar menyaring informasi dari berbagai sumber
terpercaya. Salah satunya dengan membaca buku teologi dari berbagai referensi
agar kita bisa memahami dan mengambi keputusan yang tepat.
Mengenai materi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu diperlukan
kritik dan saran oleh para pembaca. Diharapkan kedepannya penulis bisa menulis
makalah dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2013.


Hamka. Maturidiyah: kelahiran dan perkembangannya. (tk: tp, STAIN Datokarama
Palu). Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 3 September 2007:257-270.
Mufid Fathul. Menimbang Pokok – Pokok Pikiran Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi. (tk: Stain Kudus,tt) Email: fathulmufid2@gmail.com. Jurnal
Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013.
Anwar Rosihon. Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
Supriadin. Al – Asy’ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’aridan Doktrin-doktrin
Teologinya). Jurnal Sulesana Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014.
Hanafi. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 2003.
Hasibuan Rafitra Hadi. Al – Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam
Asy’ariyah). jurnal Volume II No 02 Edisi Januari-Juni 2017.

Anda mungkin juga menyukai