Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai reaksi dari firqah sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah
golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipimpin oleh 2
orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hasan Al Asy’ari dan Syeikh
Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang
disebut sebagai Ahlussunnah saja atau sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari.
Asy’ariyah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan Al
Asy’ari. Aliran Al Asy’ariyah lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah.
Aliran Al Asy’ariyah berkembang di Basrah. Kota tempat aliran ini lahir merupakan
salah satu kawasan peradapan yang maju.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana riwayat hidup Al-Asy’ari?
2. Apa saja doktrin-dokrtin teologi Al-Asy’ari?
3. Siapa saja tokoh-tokoh besar Al-Asy’ari?
4. Mengapa aliran Al-Asy’ari identik dengan Ahlussunnah wal Jama’ah?
5. Apa saja teologi Ahlussunnah wal Jama’ah?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Asy’ari.
2. Untuk mengetahui doktrin-dokrtin teologi Al-Asy’ari.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh besar Al-Asy’ari.
4. Untuk mengetahui aliran Al-Asy’ari identik dengan Ahlussunnah wal
Jama’ah.
5. Untuk mengetahui teologi Ahlussunnah wal Jama’ah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq
bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari dilahirkan di kota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M
dan wafat pada tahun 324/935 M, keturunan Abu Musa Al-Asy’ari seorang sahabat
dan perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah dalam peristiwa tahkim.
Pada usia 40 tahun, ia berhijrah ke kota Badgdad. Ayahnya adalah seorang yang
berfaham Ahlussunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika al Asy’ari masih kecil. Sebelum
wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin
Yahya As-Saji agar mendidik al –Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu-‘Ali Al-Jubbaa’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung
Abu Hasyim Al- Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, al Asy’ari
kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering
menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan
banyak menulis buku yang membela alirannya.1
Al -Asy’ari menganut faham Mu’tazilah sampai pada usia 40 tahun. Setelah
itu, ia secara tiba-tiba meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Pada suatu malam Asy’ari
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada
malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya itu, rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang
telah diriwayatkan beliau.2 Kemudian sebab lainya adalah bahwa Asy’ari berdebat
dengan guru sekaligus ayah tirinya, Al-Jubba’i dan pada waktu itu Al-Jubba’i tidak
dapat menjawab tantangan dari muridnya. perdebatannya tersebut sebagai berikut :
Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir,
dan anak kecil di akhirat?
Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir
masuk neraka, dan yang anak kecil terlepas dari bahaya neraka.
Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?

1
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal. 146-147.
2
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 120.

2
Jubba’i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena
kepatuhan dengan Allah. Yang kecil belum mempunyai
kepatuhan yang serupa itu.
Asy’ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Allah: itu bukan salahku.
Jika sekiranya engkau membolehkan aku untuk hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Jubba’i : Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus
hidup, engkau akan melakukan banyak dosa dan oleh karena itu
akan kena hukuman. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut
nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.”
Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa
depanku sebagaimana engkau mengetahui masa depannya. Apa
sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?”
Disini Jubba’i terpaksa diam dan tidak bisa menjawab lagi. Terlepas dari fakta
historis di atas, Al-Asy’ari dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi
dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh
riwayat yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari mengasingkan diri dirumah selama lima
belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar dari
rumah, lalu pergi ke masjid, naik mimbar dan mengatakan:

“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berfikir tentang
keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan.
Dalil-dalil yang dimajukan dalam penelitian saya sama kuatnya. Oleh karena itu
saya meminta petunjuk Allah dan atas petunjuk- Nya, saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakianan baru yang saya tulis
dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lempar sebagai mana saya
melempar baju ini.”3

3
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013) hal. 148-149.

3
Ada beberara faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari sehingga ia dapat
mengalahkan aliran Mu’tazilah , antara lain:
1. Kaun muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan
perdebatan serta pertentangan sekitar Al-Qur’an khususnya dari golongan
Mu’tazilah yang berakibat ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut.
2. Al- Asy’ari sendiri merupakan seorang ulung dalam perdebatan dan mempunyai
ilmu yang mendalam, terkenal pula sebagai orang yang shaleh dan bertaqwa
sehingga banyak orang mempercayainya.
3. Sejak masa al- Mutawakkil (tahun 232 H), pemerintah telah meninggalkan aliran
Mu’tazilah . Kebanyakan orang dimanapun juga selalu mengikuti pemerintahnya
dan takut memeluk suatu faham yang yang tidak disukai pemerintah itu.
4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan
ajaran-ajaran serta memberi alasan. Karena kedudukannya yang besar di
masyarakat membuat masyarakat lebih tertarik dengan aliran Asy’ariyah.
5. Pemerintahan Bani Buwaihi yang bercorak Syi’ah dan menjadi tulang punggung
aliran Mu’tazilah telah digantikan dengan pemerintahan Saljuk Turki yang
bercorak Sunni dan menyokong Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mempunyai
seorang menteri yang kuat dan pandai, yaitu Nizam al-Mulk. 4
B. Doktrin- doktrin Teologi Al-Asy’ari
1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok
mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat
itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah
memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak
boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok
sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya
(haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-
Nya.

2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)


4
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hal. 150-151.

4
Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-
Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan
Mu’tazilah berlandaskan pada akal.
4. Qadimnya Al-Qur'an
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata,
huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan surat An-Nahl ayat: 405
          
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah
ia. (Q.S. An-Nahl:40)
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama
Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai
bahwa Allah bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
6. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus
menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa
Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi
manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah
pemilik mutlak.
5
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1992), hal. 69.

5
7. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-
Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.6
C. Tokoh-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah
a. Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H/935 M )
b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H /1013 M)
c. Imam Al-Haramain (478 H /1058 M)
d. Al-Ghazali (505 H /1111 M)
e. Al-Syahrastani (548 H /1153 M)
f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H/1209 M)
D. Aliran Asy’ariyah identik dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
Al- Asy’ariyah mendapat kedudukan tertinggi, mempunyai banyak pengikut
dan mendapatkan bantuan dari para penguasa pemerintahan. Lebih dari itu, pendapat-
pendapatnya disebut “ pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah “ atau “ Ahlussunnah”
(tanpa wal jama’ah) dan sebutan ini banyak dipakai atau sebutan “Madzahibus Salaf
Wa Ahlussunnah”.
Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak sebelum Al-Asy’ari, yaitu
terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya
dari bunyi Al-Qur’an dan Hadis, dan apabila tidak didapatinya maka mereka diam
saja, karena tidak berani melampauinya. Mereka terkenal dengan sebutan Ahlul Hadis
yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan sampai masa tabi’in.
Imam Al-Asy’ari yang setelah mengadakan perdebatan dengan gurunya dalam
soal shalah dan ashilah (baik dan terbaik), menyatakan penggabungan diri dengan
golongan salaf dan memperkuat paham-paham mereka dengan alasan-alasan ilmu
kalam dalam bentuk aliran yang nyata. Pikiran-pikiran Al-Asy’ari tersebut oleh
pengikut-pengikutnya disebut paham “Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Jadi sebenarnya beliau tidak bermaksud mengadakan aliran tersendiri yang
terlepas dari aliran yang telah ada sebelumnya dan boleh jadi sebutan “Ahlussunnah
wal Jama’ah” itu sendiri, sebagai aliran Asy’ariyah, belum dikenal pada masanya,
sebab sumber tertua tentang asal usul penyebutan itu, sepanjang pengetahuan kami,
6
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal. 147-150.

6
ialah buku at-Tabshir fid Din oleh Abu Mudhaffar al Isfarani (wafat 478 H),
meskipun dalam satu riwayat hadis “ Perpecahan Umat” sudah ada, tetapi belum jelas
penafsiran tentang siapa yang dimaksud.
Assunnah dapat berarti jalan atau cara (thariqah). Pertama-tama yang
dimaksudkan ialah jalan atau cara yang ditempuh oleh sahabat dan tabi’in dalam
menghadapi ayat mutasyabihat, yaitu menyerahkan artinya kepada Tuhan, tanpa
menanyakan lagi. Perkataan assunnah dapat juga diartikan Hadis Nabi dan yang
dimaksud dengan Ahlussunnah ialah orang yang mengakui serta mempercayai
kebenaran hadi Nabi tanpa menolak. Boleh jadi kedua arti assunnah tersebut
dipakaikan untuk perkataan Ahlussunnah.
Perkataan Jama’ah berarti Golongan kaum muslimin (atau mayoritas).
Perkataan Wal Jama’ah boleh jadi diambil dari perkataan Nabi Muhammad SAW,
ketika ditanya tentang golongan umatnya yang selamat. Maka jawabnya: Wal
Jama’ah.7
E. Teologi Ahlussunnah wal Jama’ah
Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah identik dengan aliran Asy’ariyah, maka
artinya kepercayaan aliran Asy’ariyah menjadi kepercayaan Ahlussunnah wal
Jama’ah. Karena kepercayaan-kepercayaan itu haraus dicari pertama-tama dari
karangan Al-Asy’ari sendiri seperti al- Luma dan al-Ibanah, kemudian dari karangan
pengikut-pengikutnya seperti al-Juwaini, al- Isfarani, al- Ghazali, al- Baghdadi dan
lain-lain yang pada umumnya selalu menyebutkan dirinya Ahlussunnah.
Kepercayaan Ahlussunnah antara lain:
1. Allah bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat;
2. Sifat-sifat Allah yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu kodrat, iradat, dan
kepercayaan seterusnya adalah sifaf-sifat lain dari zat Tuhan, tetapi bukan juga
lain dari zat;
3. Al-Qur’an adalah manifestasi Kalamullah yang qadim, sedangkan Al-Qur’an
berupa huruf dan suara adalah baru;
4. Allah menghendaki kebaikan dan keburukan;
5. Membuat yang baik dan terbaik;
6. Mengutus utusan (Rasul-rasul);

7
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal. 125-127

7
7. Memberi pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan siksa pada orang yang
durhaka;
8. Allah boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia;
9. Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui semata-mata oleh akal;
10. Pekerjaan manusia Allah-lah yang menentukan;
11. Ada syafa’at pada hari kiamat;
12. Utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW diperkuat dengan mukjizat-mukjizat-
Nya.;
13. Kebangkitan di akhirat, pengumpulan manusia di padang ‘mahsyar, pertanyaan
Munkar dan Nakir di kubur, timbangan amal perbuatan manusia, jembatan
shirotol mustaqim, semuanya adalah benar;
14. Surga dan neraka adalah makhluk (diciptakan);
15. Semua sahabat-sahabat Nabi baik dan adil;
16. Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima;
17. Orang-orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai
selesai menjalani siksa dan akhirnya akan masuk surga.8

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Asy’ari dilahirkan di kota Basrah (Irak), Ayahnya adalah seorang yang
berfaham Ahlussunnah. Ia wafat ketika al Asy’ari masih kecil. Al -Asy’ari menganut
faham Mu’tazilah sampai pada usia 40 tahun. Setelah itu, ia secara tiba-tiba
meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan berpindah ke aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya
sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain.

8
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hal. 162-163.

8
Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt barang kali dipengaruhi teologi
kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibnu Kullab).
Tokoh-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah
1. Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H/935 M )
2. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H /1013 M)
3. Imam Al-Haramain (478 H /1058 M)
4. Al-Ghazali (505 H /1111 M)
5. Al-Syahrastani (548 H /1153 M)
6. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H/1209 M)
Imam Al-Asy’ari yang setelah mengadakan perdebatan dengan gurunya dalam
soal shalah dan ashilah (baik dan terbaik), menyatakan penggabungan diri dengan
paham “Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah identik dengan aliran Asy’ariyah, maka
artinya kepercayaan aliran Asy’ariyah menjadi kepercayaan Ahlussunnah wal
Jama’ah.
B. SARAN
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, seperti halnya
keterbatasan dari segi materi beserta penyampaiannya. Semoga materi yang saya
sampaikan bisa bermanfaat untuk teman-teman dan jadi pedoman hidup untuk
kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Razak Abdur dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2014.
Razak Abdur dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2011.
Hanafi A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1992.
Nasution Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-
Press.1992.
Ardy Novan Wiyani. Ilmu Kalam. Bumiayu: Teras. 2013.

Anda mungkin juga menyukai