Anda di halaman 1dari 4

Nama :1.

Febrizhia Afifatuzzahro’
2. Novimaturrohmah Lutfia Afnani
Dosen pengampu : Faby Toriqirrama,S.H.,M.Ag.

TEOLOGI ASY’ARIYAH
A. Tokoh Utama Aliran Al-Asy’ariah dan Ajaran Pokoknya
1. Abu Hasan Al-Asy’ari
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan
aliran Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak
Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah
Bin Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau adalah putra Abu Musa Al-Asy’ari,
salah seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa
antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260
H (873 M) dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil
ia berguru kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-
Jubba’i, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus
sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah,
maka ia pergi ke kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan
meneruskan belajar disana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham
Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang
tangguh. Jadi Abu Al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar
dari masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah.
Kehidupan Al-Asy’ari kecil tidak seberuntung masa kanak-kanak
pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah
kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian dinikahi oleh Abu Ali al-
Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah
tiri inilah Al-Asy’ari dididik dan dibesarkan. Bisa dikatakan lingkungan
yang dibawah ayah tirinya membuatnya belajar tentang Mu’tazilah.
2. Pemikiran Al-Asy’ari
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan aliran moderat yang
berusaha mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql,
antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Asy’ariah bercorak perpaduan antara
pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya
sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan. Awal mula proses
pemikiran ajaran Al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya Al-
Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk
mencoba membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan
Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka menjawab pemikiran kaum
Mu’tazilah.
Perkembangan selanjutnya Al-Asy`ari keluar menemui
masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada
hari Jum’at di Bashrah. Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah Makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra
penglihatan kelak pada hari qiamat. Dan perbuatan-perbuatan saya yang
tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukannya, kini saya bertobat
dengan pendapat itu dan menolak ajaran tersebut (Mu’tazilah). Jadi
setelah mendapatkan kemantapan hati maka al-Asy`ari mengumumkan
bahwa dia bertobat.
3. Pokok-pokok ajaran Al-Asy’ari, yaitu:
a. Sifat Tuhan
Dalam ajaran Al-Asy’ari dikenal doktrin wajib al-
wujub, yaitu setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan
yang mempunyai sifat-sifat yang qadim, menganut
paham shifatiyah seperti halnya kaum Salaf,
b. Keadilan Tuhan
Menurut al-Asy’ari, keadilan adalah menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Misalnya, seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta benda yang dimilikinya,
sehingga ia dapat melakukan apa saja terhadap harta bendanya
itu.
al-Asy’ari menganalogikan bahwa Tuhan adalah pemilik
mutlak. Ia dapat berbuat sesuai kehendak-Nya atas milik-Nya.
Karenanya, tidak bisa dikatakan salah, jika seandainya Tuhan
memasukkan orang kafir ke dalam surga, atau sebaliknya.
c. Akal dan Wahyu
Mengenai akal dan wahyu, al-Asy’ari berpendapat bahwa
akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui
Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui
wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada
manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia
harus menerima kebenaran itu. Jadi, pada dasarnya al-Asy’ari
memberikan porsi besar kepada wahyu dari pada akal. Akal
digunakan untuk memahami wahyu tersebut.
d. Konsep Iman
Iman bagi al-Asy’ari adalah tashdiq dan ikrar. Amal
bukanlah katagori iman, tetapi perwujudkan dari tahdiq. Al-
Asy’ari berpendirian bahwa iman adalah keyakinan batin (inniver
belief), baik secara lisan atau secara praktis (perbuatan);
keduanya merupakan cabang iman. Dengan demikian, siapa saja
yang memiliki iman dalam hatinya (mengakui keesaan Tuhan dan
Rasul-Nya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang
mereka terima dari-Nya), maka iman orang sepeti itu adalah sah.
Kalau ia mati, ia akan selamat dari neraka. Tak ada sesuatu yang
membuat orang tidak beriman, kecuali kalau ia menolak salah
satu dari kebenaran yang dua itu.
e. Melihat Tuhan di Hari Kiamat
Pandangan al-Asy’ari tentang melihat Tuhan, ia
mengatakan bahwa setiap yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh
karena Tuhan ada, maka Ia dapat dilihat. Ini dapat diketahui dari
wahyunya bahwa orang-orang mukmin akan melihat-Nya di hari
kiamat nanti, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
‫ إلى ربها ناظرة‬. ‫ ناضرة‬P‫وجوه يومئذ‬
Di hari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri.
Kepada Tuhan, mereka melihat” (QS al-Qiyamah/75: 22).
Menurut al-Asy’ari, kata nazhirah dalam ayat di atas,
tidak berarti memikirkan atau menunggu, sebagaimana pendapat
al-Muktazilah. Alam akhirat bukan tempat berpikir. Demikian
pula, wajah tidak dapat menunggu.
f. Teori Kasb
Al-Asy’ari juga dikenal memiliki doktrin kasb, dalam
kaitannya dengan perbuatan manusia. Kasb adalah sesuatu yang
timbul dari al-maktasib, dengan perantaraan daya yang
diciptakan. Al-maktasib, artinya yang memperoleh dan
menciptakan terhadap penyatuan antara kelemahan dan
kekuasaan. Kelemahan yang dimaksud adalah kelemahan
manusia, sedangkan kekuasaan adalah qudrah Tuhan.
Konsep kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi
Jabariyah dan Qadariyah. Qadariyah sangat getol dengan konsep
kehidupan manusia yang tergantung kepada manusianya.
Kemampuan (qudrah) dan usaha manusia itu adalah sangat
efektif. Berbeda dengan Jabariyah, justru sebaliknya, yakni
berpendapat bahwa kehidupan manusia tergantung kepada Tuhan.
Segala kemampuan (qudrah) dan usaha manusia ditentukan oleh
Tuhan, serta hal itu sangat efektif. Mengambil jalan tengah dari
jabariyah dan qadariyah.
g. Pelaku Dosa Besar
Aliran al-Muktazilah mengatakan bahwa apabila pelaku
dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meski ia mempunyai
iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka.
Sebaliknya, aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang beriman
kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka
bagaimana pun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan
mempengaruhi imannya.
Al-Asy’ari memadukan kedua konsep di atas dan
mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan
namun fasik, terserah kepada Tuhan. Tuhan bisa saja
mengampuninya dan langsung memasukannya ke surga, atau
Tuhan akan menjatuhkan siksa karena kefasikannya. Tergantung
pada kehendak tuhan.
h. Al-Quran
Pandangan al-Asy’ari tentang Al-Quran, sangat
bertentangan dengan pandangan al-Muktazilah. Kalau al-
Muktazilah mengatakan bahwa Al-Quran adalah hawadits (baru)
karena ia makhluk, maka Al-Asy’ari mengatakannya qadim.
Pandangan al-Asy’ari di atas berdasar pada firman Allah
yang berbunyi:
‫إنما قولنا لشئ إذا أرادنه أن نقول له كن فيكون‬
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila
Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:
“Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (Q.S an-Nahl: 40)

Anda mungkin juga menyukai