Anda di halaman 1dari 20

AL – ASY’ARIYAH

Di susun oleh :

NASTAIN
Pendahuluan
Asy’ariah adalah aliran pemikiran yang sudah sangat besar di
suluruh penjuru dunia yang dianut oleh para ulama – ulama
terkemuka dan para cendekiawan muslim demi menyebarkan
agama islam dan menjaga kemurnian keimanan , yang pada
mulanya perdebatan, perpecahan dan pertikaian karena masalah
politik kini menjadi masalah akhidah sehingga dasar – dasar
pemikiran Asy’ariah sudah masuk dalam berbagai displin ilmu,baik
tafsir,Hadist, bahasa, terutama aqidah dan ilmu kalam yang
berkemabang menjadi ilmu filsafat, maka sangat wajar bila banyak
kalangan yang mengklaim Asy’ari berada pada pihak mereka dan
menganggap mereka ahlu sunnah wal jama’ah
AL – ASY’ARIYAH
Latar belakang Kemunculannya
Aliran Asy’ariah didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 H.

1 Jawaban yang tidak memuaskan dari gurunya

2 Mimpi bertemu Nabi Muhammad


3 Bermadzhab Syafi’I
4 Menjaga kemurnian pemahaman Al – Qur’an
Setelah Al mutawakkil menjadi khalifah yang melawan pemahan mu’tazilah yang di
dukung oleh Al makmun maka Aliran Asy’ariah mulai berkembang dengan beberapa
faktor diantaranya
1. Mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang dapat mengkonstruksikan ajaran-ajarannya
atas dasar filsafat metafisika

2. Kaum muslimin pada waktu itu telah bosan menghadapi dan mendengar diskusi atau
perdebatan-perdebatan pada perbedaan pendapat pertentangan persoalan al-Qur’an
khususnya yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga menyebabkan tidak
simpatinya terhadap aliran tersebut

3. Al-Asy’ari doktrin-doktrinnya yang dikeluarkan mengambil jalan tengah antara


golongan rasional dan golongan tekstualis, dan ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum muslimin.

4. Sejak masa khalifah Al-Mutawakkil (Bani Abassiyah) pada tahun 848 M, khalifah
membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara, sehingga kaum
muslimin pun tidak mau menganut aliran yang telah dibatalkan (ditinggalkan) oleh
khalifah, beralih kepada aliran Asy’ariyah yang didukung oleh khalifah.
ABUL HASAN AL-ASY’ARI
Abul hasan Al – asy’ari yang bernama lengkap , Abu hasan
Ali bin Ismail bin Abu basyar ishaq bin salim bin Ismail bin
Abdillah bin musa bin abu burdah amir bin abu musa al –
asy’ari
Lahir di Basrah tahun 260 H bertepatan pada tahun 875 M
Ketiaka usianya lebih 40 tahun dia hijrah ke bagdad dan
meninggal disana pada usia 60 tahu yaitu tahun 342 H /
935 M
POKOK AJARAN ABUL HASAN AL- ASY’ARI
Adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu sifat Tuhan, keadilan Tuhan, akal dan wahyu,
konsep iman, melihat Tuhan di hari kiamat, teori Kasb, pelaku dosa besar, dan al-Quran
Sifat Tuhan
Dalam ajaran Al-Asy’ari dikenal doktrin wajib al-wujub, yaitusetiap orang Islam wajib
beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang qadim, menganut paham
shifatiyah seperti halnya kaum Salaf
Keadilan Tuhan
Menurut al-Asy’ari, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang
sebenarnya. Misalnya, seseorang mempunyai kekuasaan mutlak atas harta benda yang
dimilikinya, sehingga ia dapat melakukan apa saja terhadap harta bendanya itu.
al-Asy’ari menganalogikan bahwa Tuhan adalah pemilik mutlak. Ia dapat berbuat
sesuai kehendak-Nya atas milik-Nya. Karenanya, tidak bisa dikatakan salah, jika
seandainya Tuhan memasukkan orang kafir ke dalam surga, atau sebaliknya.
Akal dan Wahyu
Mengenai akal dan wahyu, al-Asy’ari berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat
sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajibannya
hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia
bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu.
Jadi, pada dasarnya al-Asy’ari memberikan porsi besar kepada wahyu daripada akal
Konsep Iman
Iman bagi al-Asy’ari adalah tashdiq dan ikrar. Amal bukanlah katagori iman, tetapi
perwujudkan dari tashdiq. Al-Asy’ari berpendirian bahwa iman adalah keyakinan batin
(inniver belief), baik secara lisan atau secara praktis (perbuatan); keduanya merupakan
cabang iman. Dengan demikian, siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya (mengakui
keesaan Tuhan dan Rasul-Nya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka
terima dari-Nya), maka iman orang sepeti itu adalah sah. Kalau ia mati, ia akan selamat
dari neraka. Tak ada sesuatu yang membuat orang tidak beriman, kecuali kalau ia
menolak salah satu dari kebenaran yang dua itu.
Melihat Tuhan di Hari Kiamat
Pandangan al-Asy’ari tentang melihat Tuhan, ia mengatakan bahwa setiap yang ada,
pasti dapat dilihat. Oleh karena Tuhan ada, maka Ia dapat dilihat. Ini dapat diketahui
dari wahyunya bahwa orang-orang mukmin akan melihat-Nya di hari kiamat nanti,
sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
‫ إلى ربها ناظرة‬. ‫وجوه يومئذ ناضرة‬
Di hari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri. Kepada Tuhan, mereka
melihat” (QS al-Qiyamah/75: 22).
Menurut al-Asy’ari, kata nazhirah dalam ayat di atas, tidak berarti memikirkan atau
menunggu, sebagaimana pendapat al-Muktazilah. Alam akhirat bukan tempat berpikir.
Demikian pula, wajah tidak dapat menunggu
Pelaku Dosa Besar
Aliran al-Muktazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa
besar tidak bertaubat dari dosanya, meski ia mempunyai iman
dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya, aliran
Murji’ah mengatakan, siapa yang beriman kepada Tuhan dan
mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimana pun besar
dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Al-Asy’ari memadukan kedua konsep di atas dan mengatakan
bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan namun fasik,
terserah kepada Tuhan. Tuhan bisa saja mengampuninya dan
langsung memasukannya ke surga, atau Tuhan akan
menjatuhkan siksa karena kefasikannya
Teori Kasb
Al-Asy’ari juga dikenal memiliki doktrin kasb, dalam kaitannya
dengan perbuatan manusia. Kasb adalah sesuatu yang timbul dari
al-maktasib, dengan perantaraan daya yang diciptakan. Al-
maktasib, artinya yang memperoleh dan menciptakan terhadap
penyatuan antara kelemahan dan kekuasaan. Kelemahan yang
dimaksud adalah kelemahan manusia, sedangkan kekuasaan
adalah qudrah Tuhan.
Konsep kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi Jabariyah
dan Qadariyah. Qadariyah sangat getol dengan konsep kehidupan
manusia yang tergantung kepada manusianya. Kemampuan
(qudrah) dan usaha manusia itu adalah sangat efektif. Berbeda
dengan Jabariyah, justru sebaliknya, yakni berpendapat bahwa
kehidupan manusia tergantung kepada Tuhan. Segala kemampuan
(qudrah) dan usaha manusia ditentukan oleh Tuhan, serta hal itu
Al-Quran
Pandangan al-Asy’ari tentang Al-Quran, sangat bertentangan
dengan pandangan al-Muktazilah. Kalau al-Muktazilah
mengatakan bahwa Al-Quran adalah hawadits (baru) karena ia
makhluk, maka Al-Asy’ari mengatakannya qadim.
Pandangan al-Asy’ari di atas berdasar pada firman Allah yang
berbunyi:
‫إنما قولنا لشئ إذا أرادناه أن نقول له كن فيكون‬
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun
(jadilah)", maka jadilah ia (QS al-Nahl/16: 40) .
Qadha dan Qadar
Menurut Asy’ariyah, seluruh perbuatan manusia itu terjadi di
bawah hukum dan kehendak Allah. Yang terjadi di alam ini, yang
baik dan buruk, semua berasal dari Allah. Tidak ada kemungkinan
pada terjadinya pertentangan kehendak manusia dengan
kehendak Allah. Tidak ada pertentangan dalam kehendak manusia
yang gagal dengan kehendak Allah. Allah berkehendak atas
kemauan dan kegagalan manusia secara bersamaan. Tidak ada
satupun di alam ini yang keluar dari kekuasaan kehendak Allah.
Kehendak Allah itu meliputi seluruh perbuatan opsional manusia
berdasarkan pada QS Al-Insan 76:30 “Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”[18]
Tafwid (Ta’wil Ijmali).
Menurut Asy’ariyah, kalangan Salafus Salih yakni generasi Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’it tabi’in, berpendapat bahwa mayoritas dari
mereka menyikapi ayat dan hadits mutasyabihat dengan cara
tafwid atau takwil ijmali. Takwil ijmali adalah memalingkan nash
yang mengandung sifat Allah yang menyerupai (mutasyabihat)
dengan makhluknya pada makna lain secara ringkas (tidak detail).
Misalnya, “Allah bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Al-Araf 7:54)
dimaknai “Allah berkuasa atas Arasy.”[15] Tafwid menurut Al-Izz
bin Abdissalam adalah perilaku generasi Salaf. Sedangkan
kalangan pasca-Salaf, lebih cenderung mentakwil karena adanya
tuntutan melakukan hal itu sebagai respons pada kalangan ahli
bid’ah.[16]
Ta’wil Tafshili
Pada dasarnya Asy’ariyah berpegang pada makna zhahir atas suatu nash
Quran dan hadits. Namun juga membolehkan memalingkan kata dari
makna zhahirnya yang rajih (unggul) pada makna marjuh (makna kedua)
apabila ada dalil (qarinah) yang menyertai kata tersebut sehingga
dipalingkan dari makna zhahirnya. Sebagai contoh, dalam firman “Mereka
telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka” (QS Taubat 9:67).
Kata “Allah melupakan mereka” dialihkan maknanya menjadi “Allah
meninggalkan mereka”. Pengalihan arti “lupa” ke arti “meninggalkan”
karena ada dalil yakni mustahilnya sifat lupa bagi Allah. Dalam hal
bolehnya ta’wil, Imam Syafi’i sendiri menyatakan: “Sebagian nash Al-
Quran mengandung makna yang dari susunan kalimatnya bisa diketahui
mengandung arti yang tidak sesuai dengan arti zhahirnya.”[17] Adapun
mengalihkan kata dari makna zhahirnya tanpa adanya dalil, maka
hukumnya tidak boleh.
Qadha dan Qadar
Perbedaan Fase kehidupan Al – asy’ari

Fase al ‘itizal : masa hidul Asy’ari sebagai mu’tazilah sampai umur 40 tahun

Fase Ahli sunnah : membatalkan seluruh pemahaman Mu’tazilahnya hingga meninggal


dunia
AL BAQILLANI
Nama asli al-Baqillani adalah al-Qadi Abu Bakar
Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn
al-Qasim Abu Bakar al-Baqillani. Ia lahir di Basrah

Al-Baqillani wafat pada hari Sabtu, 21 Dzulkaidah 403 H,


bertepatan tanggal 6 Juni 1913 M
Al Baqillani mengembangkan metode premis – premis logika yang menjadi dasar
pijakan dalil – dalil dan teori – teori seperti menetapkan subtansi primer (aljauhar al
fard ) dan Void (al –khala) dan Accident (al-’ardh)
Teori Al ahwal dan Teori Al kasab
Teori al-ahwal yang diajukan oleh al-Baqillani merupakan kritik beliau terhadap pemikiran
tokoh Mu’tazilah Abu Hasyim tentang al-hal, bahwa Allah Alim bagi zat-Nya, yang
berarti bahwa dia mempunyai keadaan yaitu sifat yang diketahui di balik Dia sebagai zat
yang ada, tapi sifat dapat diketahui tidak berdiri sendiri, maka ahwal adalah sifat-sifat
yang tidak terwujud dan tidak berwujud, diketahui dan tidak diketahui. Adapun menurut
al-Baqillani bahwa al-hal tidak bersifat kontradiksi
Adapun dalam teori al-kasab yang dikemukakan oleh al-Baqillani merupakan
pengembangan yang sedikit berbeda dari Pendapat al-Asy’ari bahwa kuasa manusia
tidak mempunyai pengaruh untuk mewujudkan perbuatannya, karena kuasa dan
kehendaknya adalah ciptaan Allah swt
Tentang Wujud Allah, al-Baqillani berpandangan sama dengan al-Asy’ari. al-Baqillani
berangkat dari penetapan akan kebaharuan alam, alam yang terdiri dari al-jauhar atau al-
'ardh, keduanya adalah sesuatu yang baru dan yang baru pasti ada yang mengadakannya
dan yang mengadakannya itu adalah Allah. Dalil al-Baqillani antara lain dengan
menetapkan bahwa Allah adalah qadim dan alam adalah baru, dan sesuatu yang baru
pasti ada yang mengadakannya, dan yang mengadakannya tidak mungkin dari sesama
jenisnya yang baru, tetapi pasti adalah yang qadim, yaitu Allah sw

Sedangkan Al-Baqillani menetapkan sifat-sifat bagi Allah swt., seperti apa yang telah
disebutkan dalam al-Qur’an. Beliau membagi sifat-sifat tersebut atas dua bagian, yaitu:
sifat-sifat al-zat dan sifat-sifat al-af'al. Sifat zat adalah sifat yang tidak mungkin
berpisah dengan zat, sifat al-'Ilm misalnya tidak mungkin berpisah dengan zat Allah
yang al-'Alim setiap saat sejak azali dan selama-lamanya. Berbeda dengan sifat al-
af'al yaitu sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan perbuatannya, karena Allah swt.
ada sebelum perbuatannya itu ada.
AL JUWAINI
Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Imam al-Haramaen,
mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abu Muhammad
Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah al-
Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih, beliau bermazhab Syafi'i. Namun, al-
Juwaini dinisbahkan pada satu tempat yang ada di Naisabur, beliau
bergelar Dhiya al-Dindan disebut Imam al-Haramen karena beliau pernah
menetap di Mekah dan Medinah selama empat tahun untuk belajar,
berfatwa dan mengumpulkan metode-metode mazbab. Beliau dilahirkan
pada tanggal 18 Muharram 419 H
AL GAZALI
Nama lengkap Al Gazali adalah Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad al-Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain
al-Din al-Syarif, Thusiy dan dipanggil dengan Abu Hamid,
beliau lahir di Thus tahun 450 H

Anda mungkin juga menyukai