PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai seorang calon pendidik, hendaknya mengetahui cara pandang dari berbagai
aliran yang telah disebutkan di atas. Hal ini berguna untuk membuka wawasan yang
lebih luas dan membuka paradigma dari berbagai sudut pandang khususnya dari
golongan Al-Asyari dan Al-Maturidi yang akan dibahas pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya aliran Al-Asyari?
2. Bagaimanakah doktrin teologi Al-Asyari?
3. Bagaimanakah latar belakang munculnya aliran Al-Maturidi?
4. Bagaimanakah doktrin teologi Al-Maturidi?
II. PEMBAHASAN
A. Latar belakang munculnya aliran Al-Asyari
Aliran ini didirikan oleh Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asyary, keturunan dari
Abu Musa Al-Asyari. Al-Asyari lahir tahun 260 H/875 M dan wafat pada tahun
324 H/935 M. Ia mendirikan aliran ini karena tidak sepaham dengan Mutazilah
walapun ia awalnya berguru pada seorang mutazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai. Ia
mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran mutazilah sampai berusia 40 tahun dan
tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemutazilahan.
Setelah berumur 40 tahun, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah
Masjid Basrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mutazilah. Menurut ibn
Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asyari meninggalkan paham mutazilah
adalah pengakuan Al-Asyari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW
sebanyak tiga kali dan diperingatkan agar segera meninggalkan paham Mutazilah
dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau. 1 Selain itu,
penyebab berdirinya aliran Al-Asyari yaitu sebagai jalan tengah antara aliran
konservatif (Hanabilah, Karramiyah) dan aliran rasionalis seperti Mutazilah.
Al-Asyari menjadi pelopor peletak dasar ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah dan
meletakkannya sejalan dengan metodologi rasional yang dikembangkan oleh
Mutazilah.2 Hal ini membuktikan bahwa Al-Asyari tidak menjauhkan diri dari
pemakaian akal tetapi ia menentang keras jika menggunakan akal pikiran secara
berlebihan. Al-Asyari menganggap akal pikiran tugasnya tidak lebih dari
memperkuat dan memperjelas pemahaman nash-nash agama.
Apa yang dilakukan Al-AsyAri menjadi kebutuhan masyarakat pada masa itu
bahkan hingga sekarang yang mana pada aliran ini melahirkan para ulama besar
seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrudin Ar-Razi, Asy-Syahrastani,
dan As-Sunusi.3
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi revisi, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 147
2
Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asyari, Surabaya: Khalisti, 2009, hlm. 10-11
3
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan perkembangannya, Jakarta:
Rajawali Press, 2012, hlm. 211-212
Sebagai penentang mutazilah, sudah tentu al=Asyari berpendapat bahwa
Allah mempunyai sifat. Menurut Al-Asyari, Allah bukan pengetahuan (ilm)
tetapi yang mengetahui (alim). Allah mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuanNya bukanlah zatNya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti
hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2. Kebebasan dalam Berkehendak
Al-Asyari memakai istilah kasb (acquisition, perolehan) untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan
Allah. Arti kasb itu sendiri menurutnya adalah bahwa sesuatu itu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan yang dengan demikian menjadi perolehan
bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu terjadi. Dengan kata lain, sesuatu
itu timbul dari al-muktasib (manusia yang mengupayakan) dengan perantara
daya yang diciptakan. Pendapat ini berdasarkan QS. Ash-Shaaffat: 96
3. Qadimnya Al-Quran
QS. An-Nahl: 40
Untuk penciptaan itu perlu pula kata kun yang lain, begitulah seterusnya
sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang berkesudahan. Dan ini tak
mungkin, oleh karena itu Al-Quran tidsk mungkin diciptakan.
4. Akal dan wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asyari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan mutazilah berdasarkan pada akal.
5. Melihat Allah
Al-Asyari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak bias
digambarkan. Kemungkinan ruyat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau jika Allah sendiri yang menciptakan
kemampuan peglihatan manusia untuk melihatNya.
6. Keadilan
Pada dasarnya Al-asyari atau Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang keadilan. Al-Asyari tidak sependapat
dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus
menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik.
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Allah adalah
Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa Mutazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asyari dari
visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.
Aliran muturudiyah ini diambil dari nama tokoh pertama yang tampil mengajukan
pemikiran-pemikiran sendiri. Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn
Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di Samarkand pada pertengahan kedua abad
kesembilan masehi dan meninggal tahun 994 M. Al-Maturidi, sebagai mana juga al-
Asyari, tampil sebagai reaksi paham teologi Muktazilah. Namun jalan pikiran yang
4
Novan Ardy wiyani, Ilmu kalam, Yogyakarta: Teras, 2013, hlm. 155-159
dikembangkan oleh Maturidi agak dekat dengan jalan pikiran yang dimajukan oleh
muktazilah sendiri. Al-Maturidi menjelaskan pemikiran teologi yang dianutnya.
Sebagai pengikut Abu Hanifah, yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaan, membuat Al-Maturidi banyak menggunakan akal dalam pemikiran
teologinya.
D. Teologi Al-Maturidi
5
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Tkt: Kencana, 2014, hlm. 99-102