Anda di halaman 1dari 5

PEMIKIRAN KALAM

ALIRAN AHLUSSUNNAH WA AL-JAMA’AH


ABU MANSUR AL MATURIDI
Oleh: Hesti Eka Setianingsih (185221184)

Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah


Samarqand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut
Uzbekiztan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya perkiraan
sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Beliau wafat pada tahun 333H/944 M.
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.
Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun
232-274 H/847-861 M.
Dalam bidang fiqih, Al-Maturidi mengikuti madzab Hanafi dan beliau
sendiri banyak mendalam teologi Islam dan menganut pula kepada aliran fuqoha
dan muhaditsin, seperti juga yang diperbuat oleh Al-Asy’ari. Menurut ulama’-
ulama’ Hanafiah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang akidah sama benar
dengan pendapat-pendapat iamam Abu Hanifah. Abu Hanifah sebelum
menceburkan dirinya dalam bidang fiqih dan menjadi tokohnya, telah lama
berkecimpung dalam bidang akidah serta banyak pula mengadakan tukar pendapat
dan perdebatan-perdebatan seperti yang dikehendaki oleh suasana zamannya.
Salah satu karyanya di bidang akidah adalah Al-Fiqihul Akbar. Buku ini
meskipun kecil isinya, namun memiliki nilai historis yang besar, sebab dengan
buku tersebut kita dapat mengadakan perbandingan antara pikiran Abu Hanifah
yang hidup antara abad pertama dan kedua Hijriyah dengan pikiran-pikiran Al-
Maturidi yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Buku tersebut
merupakan sebuah artefak yang sangat berharga bagi umat Islam di masa kini.
Tak bisa dibayangkan, buku yang sudah berusia lebih dari ratusan tahun bisa tetap
bertahan hingga kini melalui tradisi pesantren di Indonesia yang sangat kuat
dalam mengkaji kitab kuning.
Dari perbandingan antara Abu Hanifah dan Al-Maturidi dapat diperoleh
informasi bahwa ternyata pemikiran Al-Maturidi sebenarnya berintikan pemikiran
Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Hubungan antar
kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan Al-Maturidi sendiri bahwa ia
mempelajari buku-buku Abu Hanifah.
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasar pada Al-Qur’an dan
akal. Dalam hal ini, beliau sama dengan Al-Asy’ari namun porsi yang
diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Ini dikarenakan semua pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam
pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banya juga memakai akal dalam sistem
teologinya.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah
dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia agar
menggunakan akalnya dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanan
kepada Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang segala
ciptaannya.
Jika akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut,
tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan
orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan
ayat-ayat tersebut. Kemudian belau juga menyatakan bahwa akal tidak selalu
mampu mengetahui antara baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Kemudian tentang pernyataan fundamen, apakah manusia dapat melihat
Allah di akhirat, Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Allah.
Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an dalam QS. Al-Qiyamah : 22-23.
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah : 22-23)
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Allah kelak di akhirat dapat
dilihat dengan mata karena Allah mempunyai wujud walaupun immaterial.
Namun melihat Allah di akhirat kelak tidak dalam bentuk (bila kaifa) karena
keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Mengenai soal dosa besar, Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asy’ari bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa besar akan
ditentukan Allah di akhirat kelak. Tetapi dalam soal wa’d wal wa’id, pengutusan
Rosul dan soal antrophomorfisme, Al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah.
Kemudian Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya
atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan dalam
kalam yang tersusun dari hukuf dan suara adalah baharu (Hadits). Al-Qur’an
dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (Hadits).
Kalam nafsi tidap dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat
dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang
tersusun dari huruh-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya
dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-
Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda tuhan bukan sifat,
tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini
diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah
Hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini,
pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi,
karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain
dalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Allah.
Dalam soal perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan
Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Dengan demikian, beliau mempunyai faham Qodariyah dan bukan
faham Jabariyah atau kasb Al-Asy’ari.
Al-Maturidi berlainan dengan Al-Asy’ari dan tidak membawa faham yang
seluruhnya berlawanan dengan pendapat-pendapat Mu’tazilah. Dengan demikian
sistem teologi Al-Maturidi terletak di antara aliran Asy’ariyah dan aliran
Mu’tazilah. Dari sini kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa ternyata
selain Al-Asy’ari yang ingin bersikap moderat di antara Jabariyah dan Qodariyah
serta Mu’tazilah dan ahli Hadits, ternyata muncul juga aliran Maturidiah dengan
penggagasnya yaitu Abu Mansul Al-Maturidi yang ingin menempatkan alirannya
pada posisi yang lebih moderat lagi, yang berdiri antara aliran Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
Berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya, aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah masih ada dan inilah yang dianut oleh pengikut madzah Abu
Hanifah. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, kedua aliran inilah
yang disebut ahlussunnah wal Jama’ah. Tetapi dalam pada itu, faham rasional
yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah mulai timbul kembali dengan pesatnya di abad
ke-21 ini, terutama di kalangan kaum terpelajar Islam. Tetapi bagaimanapun,
pengikut Asy’ariyah jauh lebih banyak daripada pengikut aliran-aliran lainnya.
Gagasan rasionalisasi kaum Mu’tazilah, pemikiran Al-Asy’ari yang moderat
dengan semangat mempertahankan tradisinya, serta pemikirannya Al-Maturidi
yang ingin berada pada posisi yang moderat telah memberikan pelajaran ayng
sangat berharga bagi umat Islam untuk membangun peradaban Islam masa kini
dan di masa yan akan datang. Sejarah kemajuan dan kemunduran tiap-tiap aliran
yang digagas oleh para pemikir klasik merupakan modal bagi kita sebagai subuah
cermin (refleksi/ibrah) untuk membangun kehidupan umat Islam lebih baik di
tengah ancaman arus globalisasi yang telah membuat agama kehilangan etika dan
juga yang membuat pendidikan kehilangan karakternya.
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-
Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal
pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah
karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya
adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku
al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak
pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran
Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa
dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang
mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti
paham-paham Al-Badzawi.
Aliran Maturidiyah merupakan salah satu aliran yang termasuk didalam
Ahlus sunnah dan Jama’ah. Menurut Maulana Abu Said Al Kadimy bahwa Ahlus
Sunnah adalah orang – orang yang mengikuti sunnah rasulullah, artinya
berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-Jama’ah
adalah jama’ah Rasulullah dan mereka adalah para sahabat dan tabi’in. Namun
dalam perkembanngannya aliran ini terbagi menjadi dua golongan yaitu
Maturudiyah Samarkand (Al-Maturidi) dipimpin oleh Imam Maturidi dan
Maturudiyah Bukhara (Al-Bazdawi) dipimpin oleh Imam Al-Bazdawi.
Al-Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang
kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan
mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui
wahyu. Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban
mengerjakan yang baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui
baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk
adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang
membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami
bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk
memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal
yang buruk. Sebagaimana dikatakan Al-Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh
petunjuk bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak
dapat memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-
perbuatan jahat.
Al-Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun
qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat
Tuhan, maka Al-Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu
melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke-qadim-an
sifat-sifat itu sendiri
Al-Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan,
sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari
manusia itu sendiri.
Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk
mewujudkan dan daya untuk melakukan, walaupun sebagai aliran Maturidiyah,
Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya
banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-
pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan
umat Islam.
Dari uraian – uraian diatas tersebut jelaslah Imam Al-Maturidi menaruh
banyak porsi akal fikiran dalam hal makrifat kepada Allah dan penemuan apakah
sesuatu itu baik atau buruk.Tetapi juga disadari bahwa akal fikiran semata-mata
belumlah cukup untuk mengetahui hukum–hukum taklifiyah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Imam Abu Hanifah.

Referensi
Wiyani, Novan Ardy. 2004. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Teras.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Abu_Mansur_Al_Maturidi diakses pada tanggal
26 September 2019 pukul 08.57 WIB
http://repository.uin-suska.ac.id diakses pada tanggal 27 September 2019 pukul
15.45 WIB

Anda mungkin juga menyukai