Dian Wicaksono (211221138) Shela Puspita Rini (211221143) Sejarah Pemikiran Asy’ariah Al-Asy’ariah adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist. Sejarah Pemikiran Asy’ariah Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariah adalah sebagai berikut: 1. Mereka berpikir sesuai dengan undang-undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu. 2. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar. 3. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariah terletak pada kehendak mutlak-Nya. Tokoh Asy’ariah Ada 3 (tiga) orang tokoh aliran Asy’ariah secara sederhana, antara lain: Pertama, Al-Baqillani. Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Bashrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al- Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Al-Baqillani menngambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran Mu’tazilah sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh. Dan menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Di sinilah terjadi mu’jizat itu karena mu’jizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan. Tokoh Asy’ariah Kedua, Al-Juwaini. Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Baghdad, kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi Islam. Empat hal yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan alam yang dapat disaksikan, yaitu: a. Illat : seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (alim) b. Syarat : sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui c. Hakikat : hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu” d. Akal pikiran : seperti pencipataan menunjukkan adanya zat yang menciptakan. Pengaruh dan Penyebaran Aliran Asy’ariah di Masyarakat Paham Asy’ariah sangat kental sekali dalam tubuh umat Islam dan akidah tersebut terus menyebar di tengah kaum muslimin. Mereka tidak menyadari bahwa paham yang mereka anut adalah paham yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, paham yang baru ada setelah berakhirnya generasi utama umat ini: sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in. Pengaruh dan Penyebaran Aliran Asy’ariah di Masyarakat Berkembangnya paham Asy’ariah di berbagai negeri disebabkan beberapa faktor, di antaranya: a. Anggapan bahwa paham Asy’ariah adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Padahal telah kita ketahui betapa banyak penyimpangan Asy’ariah dalam masalah akidah, sehingga para ulama menyatakan Asy’ariah bukanlah Ahlu Sunnah. b. Di sejumlah negara, paham ini didukung oleh para penguasa. Di kawasan Asia, aliran Asy’ariah dijadikan aliran resmi Dinasti Gaznawi. Berkat jasa Mahmud Gaznawi itulah, aliran ini menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga Indonesia. Aliran Asy’ariah berkembang sangat pesat pada abad ke-11 M, tepatnya pada masa kekuasaan Aip Arsalan dan Dinasti Seljuk (abad 11-14 M). Menurut sejarah, sang khalifah dibantu oleh perdana menteri yang begitu setia mendukung aliran Asy’ariah, yakni Nizam al-Mulk. Pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariah mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk. Pengaruh dan Penyebaran Aliran Asy’ariah di Masyarakat c. Paham Asy’ariah juga tersebut seiring menyebarnya Shufiyah (sufi). d. Paham ini banyak dianut tokoh-tokoh di mazhab fikih. Sebagai contoh, al- Baqilani, adalah tokoh Asy’ariah yang merupakan tokoh mazhab Maliki. e. Tersebarnya buku-buku Asy’ariah, bahkan dijadikan kurikulum standar di lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan lainnya. f. Kedustaan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. g. Adanya sebagian orang yang masih memasukkan Asy’ariah dalam kelompok Ahlu Sunnah. h. Difigurkannya sebagian tokoh Asy’ariah. i. Menyebarkannya kelompok dakwah yang membawa fikrah Asy’ariah, seperti Jamaah Tabligh dan thariqat-thariqat (tarekat-tarekat) shufiyah. j. Banyak lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun lainnya memasukkan akidah Asy’ariah dalam kurikulum mereka. Sejarah Pemikiran Maturidiyah Nama aliran dari dalam teologi Islam ini diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, ia lahir di Samarkand pada pertengahan kedua abad 9 Masehi dan meninggal pada 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham- paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahl al- sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah. Sumber Usul al- Dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al Qur’an dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu. Al-Maturidiyah didirikan dalam rangka mengkonter golongan yang lain (seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah), akan tetapi tidak disebut al-Maturidiyah hingga setelah kematiannya Sejarah Pemikiran Maturidiyah Asy’ari adalah pengikut Syafi’i dan Maturidi pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ari adalah orang- orang Syafi’iyah, sedangkan pengikut Maturidi adalah orang-orang Hanafiah. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara kedua pihak tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Syafi’i dan Abu Hanifah sendiri. Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya al-Fikh al-Akbar dan al-Fikh al-Absat dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. al- Maturidi meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu tauhid. Pemikiran-Pemikiran Maturidiyah a. Kewajiban mengetahui Tuhan Menurut al-Maturidi, akal bisa mengetahi kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Quran untuk menyelidiki (memperkaitkan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. Pendapat al-Maturidi tersebut mirip dengan aliran Mu’tazilah. Hanya perbedaannya ialah aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban dapat mengetahui Tuhan dapat diketahui akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan. Pemikiran-Pemikiran Maturidiyah b. Kebaikan dan keburukan Menurut akal Al-Maturidi (juga golongan Maturidiyah) mengakui adanya keburukan objektif (yang terdapat pada suatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian sesuatu perbuatan. Seolah- olah mereka membagi sesuatu (perbuatan-perbuatan) kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang tidak dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’. Aliran Mu’tazilah juga mempunyai aliran yang sama seperti yang dikutip oleh al-Jubbai, dimana ia mengatakan bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal, harus dikerjakan berdasarkan perintah akal dan yang diketahui keburukannya harus ditinggalkan menurut keharusan akal. Pemikiran-Pemikiran Maturidiyah c. Sifat-sifat Allah sebagaimana telah dijelaskan Mu’tazilah menafikan sifat-sifat Allah, sedangkan Asy’ariyah menetapkannya. Al-Maturidi dekat dengan Mu’tazilah, atau lebih tegas lagi, ia hampir sependapat dengan mereka. Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin bahwa Allah maha mengetahui, maha melihat, maha berkehendak, maha kuasa dan maha mendengar. Perbedaan pendapat di antara mereka hanya berkisar pada : apakah semua itu merupakan sesuatu yang bereksistensi di luar Dzat-Nya ataukah tidak? Mu’tazilah menafikan semua itu sebagai sesuatu diluar Dzat, sedangkan Asy’ariyah menetapkan bahwa sifat- sifat itu merupakan sesuatu di luar Dzat-nya, sekalipun tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan Dzat itu, sementara Maturidiyah ketika mengakui bahwa ia bukanlah sesuatu yang berlainan dengan Dzat-nya, nyaris sama dengan Mu’tazilah. Al-Maturidi kemudian muncul dan menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat- Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pulah terpisah dari Dzat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya yang qadim (kekal). Pemikiran-Pemikiran Maturidiyah d. Melihat Allah SWT Ada beberapa nash al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah dapat dilihat, seperti firman allah : “Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari kiamat berseri- seri. Kepada tuhannya mereka melihat.”(Q.s. al-Qiyamah, 75:22-23). Al- Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan khusus hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita tak mengetahui tentang hari kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya, tanpa mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Lebih dari itu, Mu’tazilah menganalogikan melihat Allah dengan melihat yang bersifat materi, yang berarti menganalogikan yang bersifat immateri dengan yang materi. Cara analogi seperti ini merupakan analogi yang tidak memenuhi kriteria keabsahan. Menganalogikan yang gaib dengan sesuatu yang nyata boleh saja, apabila yang gaib itu termasuk jenis nyata. Pemikiran-Pemikiran Maturidiyah e. Pelaku dosa besar Sesungguhnya orang mukmin tidak akan kekal di neraka. Ini telah disepakati oleh ulama. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai : siapa orang mukmin yang tidak akan kekal di neraka itu. Khawarij menganggap orang yang mengerjakan dosa besar dan dosa kecil sebagai orang kafir. Dalam pandangan mereka, ia tidak diakui sebagai seorang muslim maupun mukmin. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang mukmin, sekalipun ia masih diakui sebagai orang muslim. Hanya saja, ia akan kekal dalam neraka selama ia belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksannya lebih ringan dibandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kelihatannya, Khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman. Sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Pengaruh Aliran Maturidiyah Aliran al-Maturidi memiliki pengaruh dan dampak yang sangat besar terhadap pemahaman teologi dalam bidang ilmu kalam, walaupun pada dasarnya pengikut kedua madzhab tersebut dari kaum muslimin tidak mengatakan langsung bahwa mereka penganut dari salah satu aliran teologi tersebut, akan tetapi penerapan paham teologi mereka khususnya dalam bidang ilmu kalam dapat diketahui. Walaupun teologi al-Asy’ariyyah lebih dikenal dikalangan ummat islam, namun ajaran-ajaran al-Maturidiyyah cukup populer. Ajaran- ajaran al-Maturidiyyah bukan hanya dalam bidang ilmu kalam, akan tepai juga dalam bidang al-Tafsir, Fikih dan Ushul Fiqh dsb.