Anda di halaman 1dari 10

SAINTIFIKASI ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Pengantar Integrasi Ilmu

Dosen Pengampu: Khalilah Nur „Azmy, S.Ag., M.A

Oleh

Aulia Rahmi (210103020034)

Lilis Tiani (210103020110)

Siti Nor Aisyah (210103020088)

Marpuah (210103020098)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2022
PENDAHULUAN

Sains yang diartikan sebagai ilmu pengetahuan menjadi bagian penting dalam Islam.
Suatu keilmuan yang kita cari harus mampu menjadi perantara kita untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Allah menurunkan wahyu Al-Qur‟an sebagai petunjuk atau pedoman hidup
bagi manusia yang Allah ciptakan dengan segala kesempurnaannya yang meliputi akal untuk
berpikir. Apalagi bagi umat Islam yang telah mengetahui dan memahami isi Al-Qur‟an, ia akan
semakin meyakini bahwa Al-Qur‟an akan sangat membantu dalam kehidupannya.

Orang yang benar-benar mempelajari Al-Qur‟an akan menemukan berbagai petunjuk


meliputi segala ilmu pengetahuan atau sains. Dalam konteks pembicaraan ini, kita kembali
teringat kepada respon Islam dan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan. Sejak awal
kemunculannya, Islam adalah agama yang tegas mewajibkan pemeluknya agar mencari ilmu dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.

Saat ini, kondisi umat Islam sangat tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi. Hal
ini sudah lama disadari oleh pengamat sains dan Islam. Maka dalam saintifikasi Islam, sebagian
ajaran Islam diumpamakan sebagai sosok yang kusam dan ketinggalan zaman. Karenanya perlu
dipoles dengan kehadiran ilmu pengetahuan. Tanpa sains tidak ada perkembangan masa depan,
dan tanpa nilai-nilai Al-Qur‟an, maka sains pun cenderung bisa berantakan.

Pada makalah ini akan dibahas pengetahuan seputar saintifikasi Islam, yang mana itu
merupakan salah satu bentuk dari hubungan antara Islam dan sains. Sehingga diharapkan kita
dapat mengenal dan paham mengenai saintifikasi Islam, serta bisa berpikir kritis dalam
menghadapi suatu konstruksi ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saintifikasi Islam

Saintifikasi Islam adalah upaya menampilkan Islam menjadi ilmiah dan modern, tidak
ketinggalan zaman. Yaitu mengilmiahkan Islam, contohnya keutamaan shalat dijelaskan
secara medis; ketika rukuk kita melatih kandung kemih, iktidal melancarkan pencernaan,
sujud dan melancarkan oksigen.

Upaya saintifikasi Islam ini dapat berakibat pendangkalan pada pemahaman


terhadap makna ibadah yang diperintahkan Allah karena proses pengilmiahan tersebut
mengakibatkan kita terlalu menyederhanakan kompleksitas ilmu Allah yang ada
dibalik makna ibadah itu. Karena sejatinya sebagai seorang muslim, kita
melaksanakan segala perintah Allah dengan ketaatan dan yakin selalu ada maksud baik
Allah dalam perintah-Nya tersebut.1

B. Saintifikasi Islam

Dalam islamisasi sains, sains dapat diibaratkan sebagai masyarakat negara maju,
semisal Jepang atau Eropa yang berpakaian rapi, tidak membuang sampah sembarangan,
disiplin, dan mengamalkan nilai-nilai dasar Islam, tetapi orang tersebut secara syar’i
belum memeluk Islam karena belum membaca kalimat syahadatain, tidak menjalankan
shalat, dan seterusnya. Dalam saintifikasi Islam, sebagian ajaran Islam diumpamakan
sebagai sosok yang kumal dan ketinggalan zaman. Karenanya perlu dipoles dengan
dandanan mutakhir yaitu ilmu pengetahuan.2

Hal-hal yang harus dipercaya masuk dalam kategori akidah. Apabila sumbernya
adalah Quran atau Hadis mutawatir, kemudian dalalahnya tidak multi tafsir, maka ia
masuk dalam dalil qath’i, yang wajib dibenarkan secara pasti, misalnya adalah:
pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah mengutus banyak nabi di berbagai
tempat, masa, dan dengan berbagai mukjizatnya. Misalnya Nabi Adam sebagai manusia

1
Hermawan, “Interaksi Islam dan Sains,” Jurnal Studi Islam, Vol. 12, No. 2, 2017, 105.
2
Lihat Hermawan, Interaksi Islam dan Sains, 105.
pertama, Nabi Nuh disuruh membuat perahu, Nabi Musa pernah membelah laut merah,
Nabi Sulaiman pernah berbicara dengan binatang, Nabi Isa pernah menghidupkan orang
mati, dan sebagainya. Berdasarkan dalil qath’i tersebut maka dikembangkan penelitian
yang berbasis pada saintifikasi Islam, misalnya: mencari bekas 12 mata air Nabi Musa,
mencari fosil hewan yang pernah berbicara dengan Nabi Sulaiman, mencari gua Ashabul
Kahfi dan mempelajari efek terowong waktu, mencari fosil mayat yang konon pernah
dihidupkan Nabi Isa, mencari bekas bulan yang terbelah di masa Nabi Muhammad,
penelitian manuskrip-manuskrip kuno yang diklaim sebagai kitab Nabi Musa, Daud, Isa,
dan sebagainya.3

C. Perbedaan Sains Islam, Islamisasi Sains, dan Saintifikasi Islam

Pada dasarnya saintifiikasi Islam, sains Islam dan Islamisasi sains memiliki hubungan
yang saling keterkaitan, namun jika dalam secara pengertian maka akan tampak sedikit
perbedaan di antara saintifiikasi Islam, sains Islam dan Islamisasi sains. Adapun
perbedaan tersebut ialah:
a. Sains Islam
Sains Islam adalah sebuah usaha atau upaya dengan menjadikan Al-Qur'an dan As-
Sunnah sebagai sumber dari Ilmu Pengetahuan, sekaligus mengintegrasikan antara sains
modern yang berkembang sebelumnya dengan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Sains Islam
bisa terjadi jikalau para ilmuwan sadar dan mau menjadikan Al-Qur‟an dan As-Sunnah
sebagai rujukan utama dari penelitian mereka.
b. Islamisasi Sains
Pola Islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak
lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia. Islamisasi sains
adalah suatu usaha untuk menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang
mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat
Islam. Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin
di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di
dalam Al-Qur‟an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa

3
Anik Farida, “ Islamisasi Sains dan Saintifikasi Islam,” Jurnal Harmoni, Vol. 13, No. 1, Januari 2014, 40-41.
Al-Qur‟an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu. Inilah
hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun
Yahya. Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar
menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk),
karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini
belum berhasil mendorong kreativitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta
sains baru. Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud
ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model
analisis yang baru.

Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar


yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam. Misalnya mengganti “teori
kekekalan massa energi” di Fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi
sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang
dimaksud “kekekalan massa energi” dalam Fisika adalah “kekekalan pada skala
laboratorium”. Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat
nanti, karena tidak bisa diuji. Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum Fisika
yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagat raya dan kapanpun. Mengapa? Karena kita
tidak bisa mendapatkan hukum-hukum Fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita
hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana
keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang
ateis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di
dalam sains itu sendiri.4

c. Saintifikasi Islam

Muncul pada abad-20. Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat
dipahami secara ilmiah. Misalnya bahwa tata cara shalat memang akan menghasilkan
dampak positif secara fisiologis atau psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal
berupa dinar-emas atau dirham perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik.
Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof.

4
Fahmi Amhar, Anas Puri, dan Ardiansyah,” Peran Sains dan Teknologi dalam Membangun Peradaban Islam”
Jurnal Islam Kajian Peradaban, Vol. 1, No. 1, 2018, 20.
Dadang Hawari. Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut
jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan
menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan shalat (khususnya tahajud) dan
puasa. Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan
juga diakui sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan
menambah atau mengurangi norma perintah atau larangan yang diberikan oleh Islam.
Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak
diatur secara tegas) oleh agama.5

D. Peran Saintifikasi Islam

Para ustadz, mubalig, dan akademisi memiliki pemahaman akan ajaran Islam yang
kuat. Mereka terbiasa ceramah, menulis buku, atau meneliti amalan praktik ibadah
syariat, konsep iman dan tauhid, serta akhlak mulia, lalu memperkokoh fondasi ajaran
tersebut dengan hasil penelitian ilmiah di zaman modern. Contohnya praktik berwudhu
sebagai syarat sahnya shalat yang biasa dilakukan oleh umat Islam sebelum menjalankan
ibadah shalat. Berwudhu dapat membersihkan fisik atau jasmani pelaku dan menyucikan
rohaninya. Niat wudhu dan ketaatan kepada Allah dapat mendekatkan diri kepada Allah
secara ruhiyah, sedangkan menjalankan rukun dan sunah dalam mengalirkan air pada
anggota tubuh tertentu, memijat, mencuci, dan menggosok-gosokkanya secara ilmiah
dapat menjaga kebersihan badan dan kesehatan tubuh. Apalagi di tengah masa pandemi
COVID-19 mematikan yang muncul pertama kali di Wuhan, China pada akhir tahun
2019.

Mohammad Sholeh (2006) memperkokoh praktik shalat tahajud dapat meningkatkan


respon ketahanan tubuh manusia dan bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit
medis. Penelitian pengasuh klinik terapi shalat tahajud dan trainer pada pelatihan shalat
tahajud ini berawal dari penasaran dan rasa ingin tahu yang mendalam akan sabda

5
Lihat Fahmi Amhar, Anas Puri, dan Ardiansyah, Peran Sains dan Teknologi dalam Membangun Peradaban Islam,
20.
Rasulullah Saw, “Shalat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan
menghindarkan dari penyakit.” (HR. Tirmidzi)6

Menurutnya, pasti ada hubungan antara shalat tahajud dengan pembuktian sains
bahwa ketenangan jiwa dapat meningkatkan daya ketahanan tubuh imunologik,
mengurangi resiko penyakit serangan jantung, serta dapat meningkatkan usia harapan. Di
akhir penelitian yang sempat ditolak oleh pakar dokter pembimbing yang pertama, pakar
psikoneuroimunologi ini meyakinkan secara ilmiah bahwa shalat tahajud dapat
meningkatkan kekebalan tubuh manusia.Dalam beberapa kesempatan, Sholeh juga
mempertegas bahwa ibadah-ibadah lain memiliki manfaat] praktis yang sama dengan
sholat tahajud. Praktik ibadah yang ikhlas karena Allah menjanjikan pahala besar di
akhirat, sekaligus dapat dirasakan langsung manfaatnya sebagai obat beberapa penyakit
di dunia.

Ibadah menjadi media bertaubat kepada Allah dan berobat untuk kesehatan jiwa dan
raga. Gerakan-gerakan shalat yang sering umat Islam kerjakan sebagai penerapan rukun
dan sunah telah dibuktikan sangat bermanfaat untuk kesehatan jiwa dan raga. Sulaiman
Al-Kumayi (2007) dalam buku Shalat Penyembahan dan Penyembuhan menyatakan
bahwa keadaan sujud dapat memompa darah secara optimal ke dalam urat-urat nadi otak
di kepala. Hal ini dapat menghindarkan orang dari kematian mendadak akibat pecahnya
urat nadi otak karena hipertensi, emosi tinggi, atau amarah memuncak. Duduk iftirasy
dengan tumit menekan otot-otot dan saraf pangkal paha dapat mengobati penyakit saraf
pangkal paha yang terasa sakit, nyeri, hingga tidak dapat berjalan.7

Duduk iftirasy ini juga dapat mengobati penyakit „bawasir‟ dengan memperlancar
aliran darah ke arah jantung. Duduk tawarruk di akhir shalat berdampak pada pemijitan
beberapa anggota kelamin yang penting. Sehingga duduk tawarruk ini bagi laki-laki dapat
mengobati impotensi, penyakit kelenjar prostat, dan pegal linu. Bagi perempuan posisi ini
dapat mengatasi masalah haid dan frigiditas seksual (dingin dalam seks). Contoh lain,
iman yang sering dipahami sebagai pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan

6
Yiyin Isgandi, ” Model Integrasi Nilai Islam dan Sains beserta Implementasinya di Dunia Islam,” Jurnal Studi
Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 19, No. 1, Maret 2021, 36.
7
Lihat Yugi Isgandi, Model Integrasi Nilai Islam dan Sains beserta Implementasinya di Dunia Islam, 37.
serta diamalkan dengan seluruh anggota tubuh bisa dibuktikan kebermanfaatannya untuk
kesehatan tubuh dengan saintifikasi Islam.

Seorang dokter Mohammad Ali Toha Assegaf meyakinkan secara ilmiah bahwa iman
kuat akan berdampak pada tuntunan hidup, pengendalian diri, harapan hidup, dan
ketenangan jiwa yang membuat orang mukmin tidak akan melakukan bunuh diri jika
menghadapi jalan buntu. Iman dapat menjauhkan diri dari sifat galau, putus asa, dan
ketidakmampuan mengendalikan diri. Seperti ilmuwan Barat yang meyakini adanya
kekuatan pikiran (Mind Power) sebagai kekuatan yang bisa menjadi magnet yang dapat
menggerakkan pada hal-hal positif maupun negatif pada diri seseorang. Zikir mengingat
Allah secara terus menerus akan meningkatkan iman dan ketenangan jiwa. Secara ilmiah
mengingat Allah terus menerus menyebabkan otak manusia akan memancarkan
gelombang teta. Gelombang ini akan menimbulkan rasa tenang dan kebahagiaan
mendalam, yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Ketenangan mengakibatkan
perbaikan regulasi hormonal, sedangkan regulasi hormonal yang baik akan meningkatkan
kesehatan tubuh. Pakar smart healing ini juga menasehatkan bahwa kecintaan kita kepada
Rasulullah Saw, keluarganya, dan orang-orang shaleh akan menginspirasi jalan hidup
yang lebih tenang. Inilah penerapan saintifikasi Islam di zaman modern.8

8
Lihat Yugi Isgandi, Model Integrasi Nilai Islam dan Sains beserta Implementasinya di Dunia Islam, 37.
PENUTUP

Sudah seharusnya seorang muslim berupaya menampilkan Islam tampak modern dan
ilmiah tidak ketinggalan zaman, Agar Islam dijelaskan dengan menggunakan teori-teori ilmiah
dan dilihat dengan kacamata rasional sains. Salah satu bentuk relasi antara sains dan agama ialah
saintifikasi Islam. Saintifikasi Islam adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan
yang dianggap benar dalam Islam. Dan dapat juga diistilahkan sebagai upaya untuk
menampilkan Islam menjadi ilmiah dan modern, tidak ketinggalan zaman. Yaitu mengilmiahkan
Islam, contohnya keutamaan shalat dijelaskan secara medis diantaranya ketika rukuk melatih
kandung kemih seseorang, iktidal melancarkan pencernaan, sujud dapat melancarkan oksigen
dan lain-lain. Melalui saintifikasi sains inilah banyak sekali manfaat-manfaat baru yang
ditemukan dalam tubuh dan bahwasanya ibadah yang Allah perintahkan pastilah mendatangkan
manfaat baik secara batin maupun zahir.
DAFTAR PUSTAKA

Hermawan. ”Interaksi Islam dan Sains,” Jurnal Studi Islam, Vol. 12, No. 2, 2017.

Farida, Anik. “Islamisasi Sains dan Saintifikasi Islam,” Jurnal Harmoni, Vol. 13, No. 1, Januari 2014.

Amhar Fahmi, Anas Puri, dan Ardiansy. ” Peran Sains dan Teknologi dalam Membangun
Peradaban Islam” Jurnal Islam Kajian Peradaban, Vol. 1, No. 1, 2018.
Isgandi, Yiyin. ”Model Integrasi Nilai Islam dan Sains beserta Implementasinya di Dunia Islam,”
Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 19, No. 1, Maret 2021, 36.

Anda mungkin juga menyukai