Anda di halaman 1dari 12

INTEGRASI ISLAM SAINS DALAM SEJARAH ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Keterpaduan IPTEK dan Islam
Dosen Pengampu : Edi Daenuri Anwar, M.Si.

Disusun Oleh:
Zilda Chostiana Nufus

(133611007)

Antika Permata Hati

(133611021)

Dzakki Robbani

(133611025)

Yessi Gustari Maharani(133611035)

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
1

BAB I
PENDAHULUAN
A; Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, manusia banyak dihadapakan dengan


berbagai macam tantangan, diantaranya dalam hal ilmu pengetahuan. Sains merupakan
salah satu dari ilmu pengetahuan yang banyak dikaji dikalangan masyarakat untuk
menghadapi perkembangan zaman, karena pada dasarnya sains sangat diperlukan dalam
bidang kehidupan.
Salah satu ciri yang membedakan islam dengan yang lain adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains). Al-Quran dan Al-Sunnah mengajak kaum Muslim untuk
mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Sebagian dari ayat-ayat Al-Quran dan AlSunnah yang relevan akan disebutkan di dalam pembahasan masalah ini.
Di dalam Al-Quran, kata al-ilm dan kata-kata jadiannyadigunakan lebih dari 780
kali. Beberapa ayat pertama, yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw., menyebutkan
pentingnya membaca, pena, dan ajaran untuk manusia:1

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-Alaq: 1-5)
Oleh sebab itu, kita kaum muslimin berusaha mengkaji lebih dalam tentang sains
dan tentunya tidak mengesampingkan Al-Quran sebagai kitab suci umat islam karena
sains dan berbagai ilmu lainnya juga telah terkandung dalam Al-Quran. Ada beberapa
tokoh-tokoh sebagai bahan kajian kita, diantaranya yaitu sayyed Hossein Nasr, Syed
Naquib Al-attas, Ziauddin sardar, Ismail Faruqi.
Dari sinilah kami menyusun makalah yang membahas tentang Integrasi Islam
Sains dalam Sejarah Islam.
B; Rumusan Masalah
1; Apa itu integrasi keilmuan ?
2; Bagaimana model integrasi sains dan islam ?
3; Bagaimana urgensi integrasi sains dan islam ?
1Mehdi Golshani, Filsafat-Sains Menurut al-Quran, (Bandung: Mizan, 2003), hlm.1.
2

4; Bagaimana integrasi islam sains dalam sejarah islam ?

BAB II
PEMBAHASAN
A; Integrasi Keilmuan

Lima ayat pertama surah al-Alaq, menunjukkan perintah Allah terkait dengan
sains, perintah membaca, menelaah, menghimpun pengetahuan dengan kalimat iqra
bismirabbik, menunjukkan bahwa al-Quran tidak sekedar memerintahkan untuk
membaca, tetapi membaca adalah lambang dari segala yang dilakukan oleh manusia
baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Bisa aktif mengkaji sifat-sifat Allah, sifat Allah
yang disebut dalam kitab suci merupakan sumber otentik pengetahuan tentang Allah.
Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Quran ialah al-Alim, yang berarti yang
memiliki sains. Karena memiliki sains yang membedakan dari malaikat dan dari semua
makhluk lainnya, dan melalui sains orang dapat menggapai kebenaran, dan kebenaran
adalah nama lain dari Yang Riil dan al-Haqq.
Dari dimensi al-Haqq, di sini dapat dimengerti mempunyai hubungan yang erat,
antara filsafat Islam dan metafisika. Di dunia Barat filsafat yang nomor satu, baru
menyusul metafisika, filsafat mencakup begitu banyak cabang ilmu, diantaranya
metafisika. Di Timur, metafisikalah yang nomor satu, baru menyusul filsafat. Dalam
sistem pemikiran Islam, realitas metafisika mendahului konseptualisasinya, dalam Islam
dikenal ada beberapa mazhab pemikiran, yang semuanya pada tingkat terakhir,
didasarkan atas konsepsi tentang Realitas metafisis dan Realitas yang paling hakiki
Allah, sebagai al-Haqq sebagai sumber semua kebenaran. Sudah barang tentu alQuran sebagai mediumnya, filsafat Islam berupaya menjelaskan cara Allah
menyampaikan kebenaran hakiki, dengan bahasa pemikiran yang intelektual dan
rasional. Tujuan seorang filsuf, menurut al-Kindi ialah mendapatkan kebenaran dan
mengamalkannya, sedangkan bagian paling luhur dari filsafat adalah filsafat pertama,
yakni mengetahui kebenaran pertama (Tuhan) dinamakan filsafat pertama karena dalam
pengetahuan tentang sebab pertama itu terkandung pengetahuan tentang semua bagian
lainnya dari filsafat. Dengan demikian The Unity of Knowledge atau kesatuan ayat
Quraniyyah dengan ayat Kawniyyah, merupakan integrasi keilmuan yang dapat menjadi
sarana penting meningkatkan keimanan dan haqqa tuqatib (taqwa yang sebenarbenarnya).2
B; Model Integrasi Sains dan Islam

Berbagai disiplin ilmu yang menyarankan adanya perspektif al-Quran dan sunnah
menyarankan untuk dikuatkan dengan metodologi tafsir saintifik yang memadai,
2Marpuji Ali, dkk, Buku Kultum Integritas Iman, Ilmu dan Amal, (Magelang: PWM Jateng, 2010), hlm.50-51.
4

sehingga tidak terkesanasal temple melainkan ia menjadi ciri khas dan nilai yang
berharga bagi adanya suatu konsep ilmu (mata pelajaran). Karena itu, maka hal-hal yang
perlu dielaborasi dari ayat-ayat al-Quran dan sunah adalah soal konsep (dari realitas)
dan bukan pada rumus-rumus sains yang bersifat matematik. Untuk itu, para guru
pemegang mata pelajaran sains sungguh berkepentigan untuk menyusun langkah-langkah
konseptual yang berkaitan dengan disiplin masing-masing.
Ada beberapa langkah yang dapat dijadikan acuan kearah penegembangan
kurikulum diatas. Pertama, memetakan konsep keilmuan dan keislaman. Pada bagian ini
para guru pegampu mata pelajaran sains berusaha diajak bertamasya bersama al-Quran
ke alam ilmu penegetahuan, dengan cara memetakan konsep dan mengklarifikasikan
sains seacra sistematis kedalam berbagai disiplin ilmu(mata pelajaran), atau tema-tema
yang dikehendaki. Disini, guru atau pendidik perlu diperkaya dengan konsep-konsep atau
isyarat-isyarat sains yang bertaburan didalam al-Quran. Atau dengan kata lain, guru atau
pendidik disarankan terlebih dahulu bersafari melalui dzikir dan pikir dengan
menjelajahi semesta konsep-konsep atau tema-tema sains yang ada didalam al-Quran.
Kedua, memadukan konsep keilmuan dan keislaman (al-Quran). Secara filosofis,
istilah integrasi islam dan sains baik agama maupun sains masing-masing memilik
kerangka normatif dan sosial-historis. Secara normatif, agama maupun sains
mengajarkan kepada manusia apa dan bagaimana mengelola dunia dengan baik.
Sedangkan sosial-historis, agama maupun sains mengintruksikan terjadinya transformasi
dan eksploitasi dunia dengan penuh semangat, radikal dan ambisius. Dengan kata lain,
agama dan sains adalah sabda tuhan yang ditebarkan kepada manusia agar ia
senantiasa memanfaatkan sumber-sumber dunia secara serius dan dinamis (Imal li
dunyaka kaannaka taisyu Abadan, wabud rabbaka kaannaka tamutu ghadan-hadist).
Kerja memadukan atau mengintegrasikan konsep, dan bukan rumus-rumus, adalah
mencari titik kesamaan atau perpaduan antara sains dan Islam (atau konsep yang ada
pada al-Quran dan hadis). Tegasnya, antara al-Quran atau hadis dan sains dicoba
diintegrasikan sehingga satu sama lain saling memerkokoh dalam membuka tabir
kegaiban akan realitas kongkret yang disabdakan Allah swt dalam ayat-ayat-Nya, baik
yang qauliyah maupun kauniyah.
Ketiga, mengolaborasi ayat-ayat al-Quran yang relevan secara saintifik. Konsep
integrasi sains dan Islam menyarankan ditatingnya Islam sebagai paradigma dalam
berbagai kajian ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah paradigma dalam berbagai kajian
ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah paradigma, Islam (dengan al-Quran dan Sunnah)
adalah sumber rujukan bagi setiap kerja ilmu. Tentu, melalui pemahaman seperti ini
ayat-ayat al-Quran dan hadis yang berkaitan dengan ilmu meniscayakan untuk
dielaborasi secara saintifik sesuai kebutuhan kerja ilmiah sesuai tema-tema atau konsepkonsep ilmu pada masing-masing mata pelajaran. Di sini, berarti Islam (dalam al-Quran
5

dan hadis) tidak sekedar menjadi perspektif, atau sebagai pelengkap dari kajian ilmiah
yang ada dan apalagi kajian yang terpisah dari sains dengan ayat-ayat yang
ditempelkan, melainkan ia harus menjadi pengawal (pembuka bahasa ilmiah) dari setiap
karja sains, sebagaimana dimaksud.3
C; Urgensi Integrasi Sains dan Islam

Nilai urgensi pengembangan studi sains dan agama, khususnya Islam, di banyak
perguruan tinggi, sampai sekarang masih terasa parsial dan sepotong-potong. Agama dan
islam sebagai paradigma keilmuan, masih ditempatkan sebagai pelengkap bahasanbahasan sains yang artifisial. Keberadaannya hanya tak lebih dari sekedar penjustifikasi
konsep-konsep sains dan belum menjadi sebuah paradigma keilmuan yang holistik di
dalamnya mensyaratkan elaborasi-elaborasi saintifik sesuai konsep ilmu yang ada.4
Wawasan tentang Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang telah dihilangkahkan
dari konsepsi barat tentang sains merupakan kritik fokus utama dalam teori Islami. Tak
ada yang meragukan bahwa benda-benda alam seperti tumbuhan, hewan dan manusia
memiliki kompleksitas yang berlipat ganda dibandingkan sebuah jam, yang telah
menjadi ilustrasi cerita retoris William Paley, seorang teolog pada wal abad ke-19 dalam
natural-theology. Ambil contoh mata manusia atau sayap burung. Seuanya tampak
dirancang dengan amat teiti dan efisien, kalau jam saja yang tidak terlalu komplek
mempunyai pencipta, apalagi alam semesta jauh lebih kompleks, sudah barang tentu ada
pencipta.
Sesungguhnya, faktor pembeda cara berpikir islami dari cara barat, ialah perihal
keyakinan yang fundamental dari cara berpikir yang pertama, bahwa semua filsuf
muslim, baik dari dunia islam di Timur yang berpusat di Baghdad, Irak. Seperti, al-Kindi
(w. 260 H/873 M), ar-Razi (w. 313 H/925 M), al-Farabi (w. 339H/950M), para tokoh
Ikhwan as Safa (abad ke-4 H), Ibnu Maskawih (w. 421 H/1030 M), dan Ibnu Sina (w.
428 H/1036 M), maupun dari dunia Islam belahan Barat yang berpusat di Cordova,
Spanyol. Seperti Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), Ibnu Tufail (w. 581 H/1185 M), dan
Ibnu Rusyd (w. 595 H/1198M). meyakini bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan
bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang
tidak lain, adalah Allah.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30-34:









3Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UINMaliki Press, 2011), hlm.262-263.
4Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UINMaliki Press, 2011), hlm.258.


















Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"(30) Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!
(31)Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"(32)Allah berfirman: "Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
"Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang
kamu sembunyikan?(33)Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis;
ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir(34). (Q.S. Al-Baqarah : 30-34)
Ayat 30-34 surat Al-Baqarah, memberi gambaran tentang awal penciptaan, Allah
mengajarkan kepada Adam nama benda-benda . balada penciptaan manusia ini berlanjut
dengan simbolisasi Adam sebagai manusia, nama-nama benda berarti sains, padahal
malaikat sendiri tidak tahu nama-nama benda itu. Karena posisi malaikat lebih rendah,
maka Allah memerintahkan semua malaikat agar memberi hormat kepada Adam, dan
mereka melakukan pula, kecuali syaitan yang ingkar dan oleh karenanya mendapat
7

kutukan. member hormat merupakan symbol pengakuan atas keunggulan sains yang
dimiliki manusia, tapi dalam hal kesalehan, karena malaikat memuji Allah siang-malam
bisa jadi mereka jauh lebih baik dari pada Adam.5
Memahami arti penting dari konsep integralisme monistik/holistik Islam,
menyarankan ditatingnya Islam sebagai paradigma bagi setiap kerja ilmu. Tentu melalui
pemahaman seperti ini ayat-ayat al-quran dan Sunnah yang berkaitan dengan ilmu
meniscayakan untuk dielaborasi secara saintifik sesuai kebutuhan kerja ilmiah yang
dibangunnya.
Di sini berarti Islam tidak sekedar menjadi perspektif, atau sebagai pelengkap dari
kajian ilmiah yang ada dan apalagi kajian yang terpisah dari sains. Tetapi, justru Islam
harus menjadi pengawal dari setiap kerja sains oleh setiap para ilmuan (guru
matapelajaran).6

D; Integrasi Islam Sains dalam Sejarah Islam

Menurut Mehdi Ghuslami, masuknya sains modern ke dalam Islam pada


permulaan abad ke-19 diiringi dengan bermacam-macam reaksi dari kalangan intelektual
Muslim. Namun demikian, hal itu terjadi lebih didominasi oleh kerena kandungan
filosofinya, bukan sains modern itu sendiri yang mempengaruhi pandangan-pandangan
kaum intelektual Muslim.7
Upaya untuk melakukan islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, kali pertama
diangkat Sayyid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu,
Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keislaman dengan
ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa
yang dimaksud ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan scientia dalam istilah Latin;
yang membedakan di antara keduanya adalah metode yang dipakai. Ilmu-ilmu keislaman
tidak hanya menggunakan metodologi rasional dan cenderung positivistik, tetapi juga
menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, dan bahkan instuitif, sesuai dengan
objek yang dikaji.
Beberapa tahun kemudian, gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai
proyek islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tahun 1977. Ia menulis
makalah tentang itu dengan judul Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and
the Definition and Aims of Education, yang disampaikan di First World Conference on
Mosleem Education di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Azis. Ide ini
5Marpuji Ali, dkk, Buku Kultum Integritas Iman, Ilmu dan Amal, (Magelang: PWM Jateng, 2010), hlm.49-50.
6Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UINMaliki Press, 2011), hlm.261.
7Dakir & Sardini, Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya Menuju Stadium Insan Kamil,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm.126.

selanjutnya lebih disempurnakan oleh Naquib sendiri, lewat bukunya yang berjudul The
Concepts of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education
(Kuala Lumpur, ABIM, 1978).
Karena itu, berbeda dengan Nasr yang baru sekedar berusaha menyandingkan atau
mempertemukan ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu keislaman, Naquib telah berbicara
tentang persoalan ontologis sekaligus epistemologi ilmu. Menurutnya, islamisasi itu
tidak bisa dilakukan hanya dengan mempertemukan di antara keduanya, tetapi juga perlu
adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sisi inilah sebuah keilmuan
lahir. Adapun jalan untuk mengubah cara pandanga dunia Barat yang sekuler adalah
lewat apa yang disebut islamisasi bahasa, sebab semua bermula dari pikiran dan
perubahan pikiran paralel dengan perubahan bahasa.
Gagasan islamisasi ilmu ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para
intelektual Muslim dunia. Karena itu, pada 1977 ini juga diadakan konferensi
internasional pertama di Swiss, untuk membahas lebih lanjut ide islamisasi ilmu tersebut.
Konferensi yang dihadiri 30 partisan ini berusaha menelusuri penyebab terjadinya krisis
di kalangan umat Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati adalah mencari
pendekatan secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk membangun
sistem pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam.
Konferensi I tersebut ternyata memberi pengaruh besar bagi para ilmuwan Muslim
dunia. Di Amerika, gerakan islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismael Raji AlFaruqi (1921-1986 M) sehingga didirikan sebuah perguruan tinggi The International
Institute of Islamic Thought (IIIT), tahun 1981 di Washington. Secara terperinci IIIT
bertujuan: (1) meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan
memperjelas permasalahan global Islam; (2) mengembalikan jati diri intelektual dan
kultural umat Islam lewat usaha islamisasi ilmu, kemanusiaan dan sosial, dan meneliti
serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk
kemudian mencari kemungkianan solusinya; (3) mengembangkan suatu pendekatan
komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi cita-cita islam dan manusia; (4)
menghidupkan
pemikiran
Islam,
mengembangkan
metodologinya
dan
menghubungkannya dengan tujuan syariah; (5) mengembangkan, mengoordinasi, dan
mengadakan penelitian langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu
memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi
disiplin ilmu Islam dan ilmu-ilmu tentang kemanusiaan; (6) mengembangkan SDM yang
mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Kemudian, tahun 1983 diadakan konferensi II di islamabad, Pakistan, untuk
menindak lanjuti konferensi I. Konferensi II ini mempunyai tujuan: (1) mengekspos
hasil-hasil konferensi I dan rumusan yang telah dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi
9

krisis dikalangan umat; (2) mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi
krisistersebut, dan juga mencari penyebab dan gejalanya.
Menurut hasil penelitian IIIT, ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya krisis
pemikiran di kalangan umat Islam.
1; Serangan budaya Barat, termasuk pendidikan, terutama bidang ilmu-ilmu sosial dan
ilmu-ilmu humaniora. Banyak sarjana Muslim yang mempelajari bahwa ilmu-ilmu
ini dikembangkan atas dasar ontologis (dan epistemologis) sekuler, yang tidak
mengakui wahyu sebagai sumber keilmuan.
2; Adanya gap (pemisah) antara seorang intelektual Muslim dengan warisan khazanah
Islam sendiri, karena mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru secara buta pola
pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada literatur-literatur tradisional
islam yang sangat berharga.
Setelah konferensi II menyusul konferensi III yang diadakan tahun 1984, di Kuala
Lumpur, disponsori Kantor Menteri Olah Raga dan Budaya Malaysia. Tujuannya,
mengembangkan rencana reformasi landasan berpikir umat Islam dengan mengacu
secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan, serta mengembangkan
skema islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Karena itu, makalah-makalah yang
disajikan, yang meliputi disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ilmu
Politik, Hubungan Internasional, dan Filasafat, dikupas secara kritis dan dievaluasi
prestasinya bagi kesejahteraan manusia, kemudian diberi saran-saran untuk proyek
islamisasi.
Tiga tahun kemudian, tahun 1987, diadakan konferensi VI di Khortum, Sudan.
Konferensi yang mengambil tema Metodologi Pemikiran Islam dalam Islamisasi IlmuIlmu Etika dan Pendidikan ini membahas persoalan metodologi yang merupakan
tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program islamisasi ilmu. Sebab para
pakar Muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu
menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri
sehingga mereka tidak siap memberikan kontribusi positif bagi pemikiran di bidang etika
dan pendidikan.8

8A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm.294-298.

10

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami susun dapat di simpulkan bahwa, The Unity of
Knowledge atau kesatuan ayat Quraniyyah dengan ayat Kawniyyah, merupakan integrasi
keilmuan yang dapat menjadi sarana penting meningkatkan keimanan dan haqqa tuqatib
(taqwa yang sebenar-benarnya).
Model Integrasi Sains dan Islam. Pertama, memetakan konsep keilmuan dan
keislaman. Kedua, memadukan konsep keilmuan dan keislaman (al-Quran). Dan ketiga,
mengolaborasi ayat-ayat al-Quran yang relevan secara saintifik.
Nilai urgensi pengembangan studi sains dan agama, khususnya Islam, di banyak
perguruan tinggi, sampai sekarang masih terasa parsial dan sepotong-potong. Wawasan
tentang Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang telah dihilangkahkan dari konsepsi barat
tentang sains merupakan kritik fokus utama dalam teori Islami. Oleh karena itu, islam harus
menjadi pengawal dari setiap kerja sains oleh setiap para ilmuan.
Islamisai ilmu pengetehuan muncul akibat krisis yang dialami masyarakat modern
yang mendapat respon dari masing-masing tokoh pendidikan Islam didunia. Menurut Mehdi
Guslami masuknya sains modern dalam islam pada permulaan abad ke 19. Menurut beberapa
sumber, upaya untuk melakukan Islamisai ilmu kali pertama diangkat Sayyid Husein Nasr
dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Lalu dikembangkan oleh Syed Muhammad
Naquid al-Attas pada tahun 1977, pada tahun itu juga diadakan konverensi internasional yang
pertama untuk membahas lebih lanjut ide islamisasi ilmu tersebut, dilanjutkan konverensi ke
II pada tahun 1983, konverensi ke III pada tahun 1984 dan konverensi ke IV pada tahun
1987.

11

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Marpuji dkk. 2010. Buku Kultum Integritas Iman, Ilmu dan Amal. Magelang: PWM Jateng.
Barizi, Ahmad. 2011. Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam.
Malang: UIN-Maliki Press.
Dakir & Sardini. 2011. Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya Menuju Stadium
Insan Kamil. Semarang: RaSAIL Media Group.
Golshani, Mehdi. 2003. Filsafat-Sains Menurut al-Quran. Bandung: Mizan.
Sholeh, A. Khudori. 2014. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.

12

Anda mungkin juga menyukai