Anda di halaman 1dari 3

Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar - review

Judul Buku : Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar


Judul Asli : Kaifa Nataammal maa As-Sunnah An-Nabawiyah
Penulis : Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit : Media Dakwah

Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar, sebuah buku yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-
Qardawhi yang dapat dijadikan tuntunan dalam memahami sunnah sebagai sumber hukum
setelah Al-Quran Al-Karim. Buku ini mengangkat beberapa metodologi dalam mempelajari
bahkan mentarjihkan sunnah an-nabawiyah dengan benar, sehingga diharapkan dapat
meminimalisir kesalahan umat muslim dalam memahami sunnah, dapat memahami antara
hadist rasul dengan baik dan tidak terlalu tektual ataupun kontekstual.

Buku ini dibagi dalam tiga pokok bahasan, bagian pertama membahas tentang kedudukan
sunnah dalam Islam serta prinsip-prinsip dasar yang harus dikuasai oleh seorang muslim
dalam mempelajari sunnah. Bagian kedua membahas tentang posisi sunnah rasul dalam
lapangan fiqh atau dalam wilayah hukum Islam, serta posisi sunnah dalam bidang dakwah
dan bimbingan sebagai panduan maupun syiar agama Islam. Setelah mengetahui kedudukan
sunnah, maka pada pembahasan selanjutnya pembaca akan dibawa untuk mempelajari
karasteristik serta metode-metode dalam memahami as-sunnah an-nabawiyah dengan benar.

Pada pembahasan pertama dikatakan bahwa as-sunnah adalah penafsiran penafsiran praktis
terhadap Al-Quran, implementasi realistis, dan juga implementasi ideal Islam. Berbicara
mengenai as-sunnah pasti akan merujuk kepada sosok Muhammad SAW, baik ucapannya
maupun budi pekertinya sebagai seorang Rasulullah. Dalam berdakwah, beliau
menyampaikan sunnah secara universal untuk kehidupan manusia seluruhnya dan
mencangkup seluruh aspek kehidupan. Sunnah yang disampaikan beliau juga berimbang,
baik antara ruh dan jasad, akal dan hati, ideal dan realita, kebebasan dan tanggung jawab, hak
dan kewajiban, gaib dan nyata, individu dan masyarakat, serta antara dunia dan akhirat.
Selain itu sunnah Rasul begitu mudah diterapkan serta toleran, hal ini semakin membuat
Islam dan sunnah an-nabawiyah pada khususnya dapat diterima dengan mudah oleh umat
manusia.

Oleh karena itu sebagai seorang muslim harus dapat menjaga dan memahami hadist dengan
baik dan benar, serta menghindari beberapa penyimpangan dan kesalahan. Beberapa bahaya
tersebut antara lain adalah:
1. Sikap berlebih-lebihan dan membabi buta dalam memahami sunnah.
2. Melakukan plagiat serta mencampur-adukan sunnah dengan rekaan sebagian orang untuk
tujuan tertentu yang bertentangan dengan akidah dan syariat.
3. Mengurangi dan merusak batasan-de ilmiah yang telah ditbatasan hadist sehingga
menghilangkan inti sesungguhnya dari hukum dan ajaran yang terdapat pada hadist tersebut.

Dalam memahami hadist, seorang muslim hendaknya berpegang pada prinsip-prinsip dasar
untuk berhubungan dengan as-sunnah, menurut Dr. Yusuf Al-Qardawi prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1. Menelusuri ketetapan dan kesasihan hadist baik secara sanad maupun matan dengan metode
yang telah ditetapkan oleh para pakar hadist.
2. Memahami teks hadist dengan baik, baik secara tektual, kontekstual, asbabul wurud, dalam
konteks Al-Quran dan tujuan universal dalam Islam.
3. Mentarjih apabila hadist tersebut bertentangan dengan konteks lain yang lebih kuat, seperti
Al-Quran atau hadist-hadist lain yang lebih kuat.
Kemudian dalam mengamalkan hadist, seorang muslim harus membedakan antara hadist
shahih, hasan, dan dhaif. Hadist yang dapat dijadikan dalil harus bersifat shahih atau hasan,
sementara menganai hadist dhaif para ulama berpendapat. Sebagian ulama berpendapat
bahwa hadist dhaif dapat dijadikan dalil, selama hanya dalam masalah anjuran dan himbauan
untuk melakukan dan tidak melakukan.

As-sunnah dalam Islam merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, oleh karena itu
para ahli fiqh harus memperdalam ilmu hadist dan segala bidangnya. Tetapi pada umumnya
para faqih tidak banyak menguasai ilmu hadist, sebaliknya para muhaddist tidak begitu
memperdalam tentang ilmu fiqh. Hal ini menyebabkan buku-buku hadist banyak mengutip
hadist lemah, sangat lemah, hadist palsu, bahkan hadist yang sama sekali tidak diketahui
sumbernya.

Disamping sebagai sumber hukum, sunnah pun merupakan para pendakwah dalam rangka
syiar Islam. Seorang pendajwah haruslah sangat berhati-hati dan teliti dalam memilah-
memilih hadist yang akan disampaikan dan dipakai sebagai dalil, banyak dari penceramah
yang karena terlalu terfokus pada bagaimana menggerakkan masyarakat awam, ia cenderung
memakai hadist-hadist dhaif bahkan hadist palsu. Hal ini mungkin karena adanya pandangan
bahwa para khatib dapat menggunakan hadist dhaif tentang keutamaan perbuatan dan tidak
ada hubungannya dengan hukum, tetapi hadist-hadist tersebut harus masuk akal dan dapat
dimengerti secara bahasa serta tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadist lain yang
lebih kuat.

Setelah mengetahui posisi as-sunnah dalam Islam, serta kedudukannya sebagai dalil dalam
fiqh dan dakwah, pada pembahasan selanjutnya Dr. Yusuf Al-Qardawi mengangkat metode-
metode yang benar untuk memahami hadist. Setidaknya ada delapan karasteristik dan
peraturan yang harus dilakukan untuk mencapai pemahaman as-sunnah yang benar.

Pertama, memahami as-sunnah dengan berpedoman pada Al-Quran Al-Karim. Al-Quran


merupakan konstitusi dan fondasi Islam yang menjadi rujukan bagi semua hukum dalam
Islam, sementara hadist merupakan penjelasan dan rincian dari kontisusi dasar tersebut dan
berfungsi sebgai penjelasan teoritis dan implementasi praktis. Oleh karena itu, seharusnya
hadist tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak melampaui kekuatan hukumnya.

Kedua, mengumpulkan hadist-hadist dalam satu objek. Sebelum mengambil sebuah hukum
berdasarkan hadist, seorang muslim harus mengelompokan hadist-hadist yang akan dijadikan
dalil dalam suatu objek. Ia harus mengembalikan hadist yang bersifat mutasyaabih kepada
yang bersifat muhkan, hadist yang mutlak kepada yang terikat dan hadist yang bersifat umum
ditafsirkan atas hadist yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadist akan
dipahami dengan jelas, tidak tumpang tindih dan tidak saling bertentangan.

Ketiga, menggabungkan atau mentarjih antara hadist-hadist yang kontradiktif. Dalam hal ini,
langkah yang sebaiknya diambil adalah memadukan antara hadist-hadist yang kontradiktif
sehingga hadist tersebut dapat saling menopang, saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Apabila hal diatas tidak mungkin dilakukan, maka langkah yang dilakukan adalah mentarjih
hadist yang bertentangan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari dan mencari
mana hadist yang naasikh dan mana hadist yang mansuukh.
Keempat, memahami hadist-hadist dengan berpedoman pada sebab, hubungan dan tujuannya.
Seperti ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai asbabu an-nuzul, beberapa hadist juga
mempunyai sebab-sebab khusus yang menjadi dasar dan alasan yang disebut dengan asbabul
wurud. Oleh karena itu untuk memahami hadist dengan benar dan mendalam, haruslah
berhubungan dengan konteks-konteks nash yang memberikan penjelasan mengenai situasi
dan kondisi agar maksud dari hadist tersebut dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini perlu
dilakukan karena hadist banyak membahas permasalahan yang objektif, partial, dan temporal,
sehingga dapat dibedakan antara yang temporal dan abadi sepanjang masa.

Kelima, membedakan antara sarana yang berubah-rubah dan tujuan permanen hadist. Hadist
rasul bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, tetapi sarana maupun alat yang
digunakan pada saat itu berkembang sepanjang masa. Seorang muslim harus benar-benar
memahami apa maksud dan hakikat dari sebuah hadist, serta memisahkan sarana-sarana
dalam mencapai maksud dan tujuan hadist tersebut pada zaman Rasulullah dan zaman
sekarang.

Keenam, membedakan antara hakekat dan majas dalam memahami hadist. Bahasa Arab
merupakan bahasa yang paling kaya dengan perumpamaan-perumpamaan sebagai pemanis
dalam berbicara. Oleh karena itu, seorang muhadist harus menguasai bahasa arab dengan
segala tata caranya agar dapat memahami dengan baik arti-arti majas yang digunakan dalam
matan hadist, sehingga maksud dan tujuannya selesai.

Ketujuh, membedakan antara yang ghaib dan yang nyata. Hadist-hadist rasul disamping
membahas mengenai urusan keduniaan, terdapat pula yang membahas tentang alam ghaib.
Pada konteks ini seorang muslim harus benar-benar membedakan mana hadist yang shahih,
dhaif dan palsu. Apabila hadist tersebut berpredikat shahih, kita tidak dapat menolaknya
karena bertentangan dengan akal dan nalar manusia. Dalil naqli merupakan dalil murni yang
berasal dari Allah dan rasulNya, sementara dalil aqli hanya merupakan penalaran manusia
biasa yang sangat terbatas sehingga tidak dapat menguak apa yang ghaib dan tidak dapat
merubah dalil naqli tersebut.

Kedelapan, mengkonfirmasi pengertian kata-kata hadist. Hal ini sangat penting dilakukan
karena pengertian kata-kata berkembang dari zaman ke zaman sesuai dengan situasi dan
kondisi, karena itu pencarian makna kata-kata dalam hadist untuk memahi as-sunnah dengan
benar dan menempatkan istilah-istilah di dalamnya pada konteks yang sesuai.

Dari buku ini dapat disimpulkan bahwa as-sunnah memegang peranan penting dalam Islam,
khususnya dalam bidang fiqh sebagai hukum dan dalam bidang dakwah sebagai sarana syiar
Islam. Tetapi hadist merupakan sesuatu yang besifat universal ataupun bersifat temporal yang
tidak lepas dari pengaruh-pengaruh zaman dan sekelompok orang yang ingin memanipulasi
maksud dan arti hadist untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, seorang muslim
harus benar-benar memahami hadist dengan metode-metode yang benar. Dalam memahami
hadist, haruslah memilah dan memilih sanad dan matan hadist. Disamping itu, haruslah
menggunakan nalar agar penerapan hadist tersebut tidak terlalu tekstual, tetapi disamping itu
dalam memahami hadist haruslah terus berpegang pada Al-Quran dan Hadist shahih/hasan
agar pengertian yang dipahami tetap murni dan terjaga sehingga tidak terlalu kontekstual dan
berdasarkan nalar semata.
http://tsalmans.blogspot.com/2012/02/metode-memahami-as-sunnah-dengan-benar.html

Anda mungkin juga menyukai