Anda di halaman 1dari 12

TIGA POLA PEMBENTUKAN BUDAYA YANG TERIKAT DALAM

PROSES PEMBENTUKAN NEGARA ACEH, SULAWESI SELATAN


DAN JAWA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

MUHAMMAD IQBAL 30400119058

SURYADI SUHERMAN 30400119054

ARIS KURNIAWAN 30400119056

PRODI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2020
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Syukur alhamdulillah, kata yang pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT,
karena bimbingan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
tepat waktu.

Sholawat salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad


SAW, yang telah memberikan cahaya terang dari gelapnya peradaban masa
Jahiliyah.

Berikut ini penulis mempersembahkan makalah dengan judul “Tiga Pola


Pembentukan Budaya Yang Terikat Dalam Proses Pembentukan Negara
Aceh, Sulawesi Selatan Dan Jawa” Mengenai pentingnya pembahasan kali
ini, penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kami maupun
sahabat-sahabat seperjuangan.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan yang lebih
luas bagi para mahasiswa, mahasiswi, umum dan khususnya pada diri penulis
sendiri serta semua para pembaca makalah ini. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penyusun menerima saran dan kritik yang dapat
membangun kesempurnaan makalah ini.

Akhirul kalam, wallahu muwafiq ilaa aqwamit thoriq

Wassalamu’alaikum wr wb

Samata, Maret 2020

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

a) Latar Belakang Masalah 1

b) Rumusan Masalah 2

c) Tujuan & Kegunaan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

a) Hubungan Politik Dan Keagamaan Antara Kerajaan-Kerajaan Islam 3

b) Tiga Pola “Pembentuk Budaya” Yang Terikat Dalam Proses


Pembentukan Negara : Aceh, Sulawesi Selatan, Dan Jawa 4

BAB III PENUTUP 9

a) Kesimpulan 9

b) Daftar Pustaka 9
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelaskan wajah kebudayaan Islam dibelahan bumi ini, maka akan


muncul format kebudayaan Islam yang sangat beragam. Salah satunya
adalah kebudayaan islam nusantara. Penyebaran Islam yang lebih
menggunakan jalur Kultural, damai dan anti kekerasan telah memberi warna
dikemudian hari terhadap format kebudayaan Islam di Nusantara ini, yang
selanjutnya menjadi pola tradisi dan perilaku bagi kehidupan sosial budaya
masyarakat nusantara. Akan tetapi, derasnya arus globalisasi yang ditandai
oleh dominasi pasar, media dan modal belakangan ini tidak bisa dipungkiri
memberikan dampak terhadap pola kebudayaan Islam Nusantara ketika awal
masuk Islam, kini sekarang mengalami perubahan-perubahan tertentu.

Pada taraf permulaan, islamisasi yang masuk ke indonesia melalui jalur


perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan datang pada abad ke 7
hingga 16 M. Kebanyakan mereka para pedagang muslim dari Arab, Persia,
dan India. Oleh karena itu, bercampurlah kultur mereka dengan masyarakat
pribumi yang di manfaatkan mereka mendakwahkan ajaran islam di dalam
kebudayaan.

Oleh sebab itu, makalah ini berusaha kami buat untuk dapat mengetahui
proses yang dapat membentuk kebudayaan di nusantara. Sehingga makalah
ini kami beri Judul “Tiga Pola Pembentukan Budaya Yang Terikat Dalam
Proses Pembentukan Negara: Aceh, Sulawesi Selatan, Dan Jawa.”
2

B. Rumusan Masalah

1. Hubungan Politik Dan Keagamaan Antara Kerajaan-Kerajaan Islam

2. Tiga Pola “Pembentuk Budaya” Yang Terlihat Dalam Proses

Pembentukan Negara : Aceh, Sulawesi Selatan, Dan Jawa

C. Tujuan & Kegunaan

Tujuan dan kegunaaan disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui


pola-pola pembentukan budaya dalam proses pembentukan negara.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Politik Dan Keagamaan Antara Kerajaan-Kerajaan Islam

Hubungan antara satu kerajaan islam dengan kerajaan islam lainnya


pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada
mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah
kerajaan-kerajaan islam berdiri.

Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk


memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang
buka islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi.
Persekutuan antara demak dengan cirebon dalam menaklukkan banten dan
sunda kelapa dapat diambil.

Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan islam dalam


menghadapi portugis dan kompeni belanda yang berusaha memonopoli
pelayaran dan perdagangan.

Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar


kerajaankerajaan islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak
menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan dikalangan kerajaan-
kerajaan islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang Dan Demak,
Ternate Dan Tidore, Gowa-Tallo Dan Bone.

Hubungan antar kerajaan-kerajaan islam lebih banyak terletak dalam


bidang budaya dan keagamaan. Samudra Pasai dan kemudian aceh yang
dikenal dengan serambi makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran
islam.1

Dari sini ajaran-ajaran islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara


melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu disana.

1
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 224
4

Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di


kerajaan-kerajaan islam. tema dan isi karya-karya itu sering mirip antara satu
dengan yang lain. Kerajaan islam itu telah merintis terwujudnya idiom cultural
yang sama, yaitu islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya
yang makin erat.

B. Tiga Pola “Pembentuk Budaya” Yang Terikat Dalam Proses


Pembentukan Negara : Aceh, Sulawesi Selatan, Dan Jawa

Dalam rentang waktu sejak akhir abad ke-13, ketika Samudera Pasai
berdiri, sampai abad ke-17, di saat istana Gowa-Tallo resmi menganut Islam,
menurut Taufik Abdullah, setidaknya tiga pola “pembentukan budaya”. Yang
memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukan Negara telah terjadi.
Ketiga pola itu adalah:

 Pola Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan merupakan kerajaan Islam


pertama diIndonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat
dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, sebagai hasil dari
proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-
pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya. Berdasarkan berita dari
Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam,
yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan
makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.

Lahirnya kerajaan samudera pasai berlangsung melalui perubahan dari


Negara yang segmenter ke Negara yang terpusat. Sejak awal
perkembangannya, Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari
pembentukan suatu Negara baru. Dalam proses perkembangannya menjadi
Negara terpusat, samudera pasai juga menjadi pusat pengajaran agama.
Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian
kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.
5

Dengan pola tersebut, samudera pasai memilki “kebebasan budaya” untuk


memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan
gambaran dirinya. Pola yang sama dapat pula disaksikan pada proses
terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.

 Pola Sulawesi Selatan

Pola ini adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat
keluasaan. Dalam sejarah islam di Asia tenggara, pola ini didahului oleh
berdirinya Kerajaan Islam Malaka.proses islamisasi berlangsung dalam suatu
struktur Negara yang telah memiliki basis legitimasi genoelogis. Konversi
agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan
rakyatnya dalam masalah kenegaraan.2

Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat


strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan
daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang
berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia
bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar
berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan
Nusantara.

Pola islamisasi melalui konversi Keraton atau pusat kekuasaan seperti itu,
di Indonesia terjadi juga di Sulawesi Selatan, Maluku Dan Banjarmasin. Tidak
seperti Samudera Pasai, Islamisasi di Gowa-Tallo, Ternate, Banjarmasin, dan
sebagainya yang mempunyai pola yang sama, tidak member landasan
pembentukan Negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru
dari organisasi kekuasaan, seperti yang terjadi di Samudera Pasai. Konversi
agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.

2
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 225
6

 Pola Jawa

Di jawa, islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan


yang telah lama mapan, berpusat di keraton pusat Majapahit. Sebenarnya
komunis pedagang mendapat tempat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-
14. Ketika posisi raja melemah, para saudagar kaya di berbagai kadipaten
diwilayah pesisir mendapat peluang besar untuk mejauhkan diri dari
kekuasaan raja.

Mereka kemudian tidak hanya masuk islam tetapi juga membangun pusat-
pusat politik yang independen. Setelah keraton menjadi goyah, keraton-
keraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan kedudukannya, demak
akhirnya berhasil menggantikan majapahit.

Dengan posisi baru ini, demak itdak hanya menjadi pemegang hegemoni
politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” islam yang paling
penting di jawa. Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi
politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Dilema kultural dari
dominasi politik islam didalam suasana tradisi Siwa-Budhistik telah jauh
menukik ke dalam kesadaran tidak seperti pola Samudera Pasai, islam
mendorng pembentukan Negara yang supra desa, juga tidak seperti Gowa-
Tallo, keraton yang diislamkan.

Menurut Taufik Abdullah, pola pertama dan kedua, yaitu pola Samudera
Pasai dan pola Sulawesi Selatan menunjukkan cara yang berbeda, suatu
kecenderungan kearah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Ini lah
tradisi, di mana islam mengalami proses pempribumian secara konseptual
dan struktural. Islam menjadi intrinsik dari system kebudayaan secara
keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan
unsur dominan dalam komunitas kognitif yang baru maupun dalam paradigma
7

politik, yang dipakai sebagai pengukuran apa yang bias dianggap wajar dan
bukan.3

Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, disamping


membangun masjid Baitur Rahman, dan beberapa masjid didaerah lain, juga
memerintahkan rakyat sembahyang lima waktu, puasa ramadhan, dan puasa
sunnah, serta menjauhkan diri dari minuman arak dan bermain judi. Aceh di
zaman Sultan Iskandar Muda mengkonsolidasikan dirinya sebagai “Serambi
Makkah”.

Pada masa itu pula, dirumuskannya “hukum dan adat adalah ibarat kuku
dan daging”. Di kerajaan Bone, kerajaan Bugis paling besar yang masuk islam
tahun 1610, rajanya ke-13 La Maddaremmeng (1631-1644M),
menggabungkan hukum islam kedalam lembaga tradisional Bone.ia juga
merencanakan “gerakan pembaharuan keagamaan” dengan memerintahkan
kaulanya untuk memenuhi ajaran islam secara total. Di kerajaan Gowa-Tallo,
kalau sebelum islam hanya terdapat empat unsur yang mengawasi Negara,
yaitu ade, yang mengawasi rakyat, rappang, yang memperkuat Negara, wari,
yang memperkuat ikat keluarga, dan bicara, yang mengawasi masyarakat
sewenang-wenang, setelah islam, unsur itu ditambah satu lagi yaitu sara’,
kewajiban agama. Untuk itu dibentuk lembaga yang dinamakan dengan
parewa sara’, pejabat agama, sebagai pendamping parewa ade, pejabat adat.
Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan aturan-aturan sosial yang tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama yang di ajukan oleh parewa sara’.

Dalam tradisi integrasi ini, tidak semua budaya pra-islam otomatis


ditinggalkan. Sisa-sisa pra-islam masih terdapat dalam kehidupan
masyarakat., tetapi sudah dijadikan sebagai bagian dari apa yang sudah
dianggap dalam tahap perkembangan sejarah sebagai bagian “dunia islam”.
Makna dari signifikansi unsur-unsur itu, bila bukan substansinya, mengalami
proses “islamisasi”.

3
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), h. 226
8

Di jawa Demak tidak harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi


juga, panggilan kultural untuk kontinuitas, Tanpa itu, ia tidak akan pernah
diakui sebagai keraton pusat. Konsep kekuasaan yang lama, sebagai sesuatu
yang jatuh pada orang terpilih, harus tetap berlaku.4

Dengan ini raja menjadi pusat alam semesta dan sumber kekuasaan. Atas
dasar itulah, raja jawa juga bergelar susuhanan, gelar yang biasanya
digunakan oleh para pemimpin agama dan panatagama, pellindung dan
pengatur agama. Tradisi jawa ini memperlihatkan wujudnya setelah hegemoni
politik jawa bergeser dari pesisir ke pedalaman .

Perpindahan keraton itu menyebabkan tiga lembaga utama keraton


sebagai pusat kekuasaan, pasar, dan pesantren sebagai pusat keagamaan
terpisah. Untuk menetapkan diri sebagai pemegang hegemoni politik, pasar
dan pesantren di perangi. Akan tetapi, pesantren tidak lenyap, bahkan ia
berkembang menjadi saingan keraton, karena ia juga berperan sebagai
perumus realitas. Sebagai pesaing, pesantren menjadi tempat pengasingan
bagi bagi kerabat raja yang tidak disukai dan tempat perlindungan bagi para
bangsawan yang kecewa.

Dalam proses itu, muncul suatu tipe tradisi tertentu, “tradisi dialog”. Tradisi
ini adalah arena tempat pengertian kontinuitas dan dorongan kearah
perubahan sosial budaya yang harus menemukan lapangan bersama. Dalam
perspektif politik, dialog ini merupakan suatu susunan yang salah satu
kelompok pesantren dan keraton menganggap yang laim sebagai penantang
atau susunan dialog antara kedunya. Secara antropologis, tradisi dialog itu
merrupakan ranah tempat usur abangan harus menghadapi penetrasi terus-
menerus dari pemikiran yang diajukan oleh unsur santri.5

4
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 227-228
5
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 229
9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada tiga pola yang ditemukan dalam pembentukan budaya, yakni antara
lain: Pola Samudera Pasai, Pola Sulawesi Selatan & Pola Jawa.

Lahirnya kerajaan samudera pasai berlangsung melalui perubahan dari


negara segmenter ke negara terpusat. Pola sulawesi selatan adalah pola
islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan. Hal ini di indonesia
terjadi juga di sulawesi selatan, maluku, dan banjarmasin.di jawa islam tampil
sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada.
Tidak seperti pola samudera pasai, islam mendorong pembentukan negara
yang supra desa, juga tidak seperti gowa-tallo, keraton yang diislamkan.

Menurut Taufik Abdullah, pola pertama dan kedua, yaitu pola samudera
pasai dan pola Sulawesi selatan menunjukkan cara yang berbeda, suatu
kecenderungan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Inilah
tradisi, di mana islam mengalami proses pempribumian secara konseptual
dan stuktural. Islam menjadi bagian insrinsik dari sistem kebudayaan secara
keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan
kehidupan pribadi.

Dikerajaan gowa-tallo, kalau sebelum islam hanya terdapat empat unsur


yang mengawasi negara, yaitu ade, yang mengawasi rakyat, rappang, yang
memperkuat negara, wari, yang memperkuat ikatan keluarga, dan bicara,
yang mengawasi perbuatan sewenang-wenang, setelah islam, unsur itu
ditambah satu lagi yaitu sara’, yaitu kewajiban agama. Untuk itu dibentuk
lembaga yang dinamakan dengan parewa sara’, pejabat agama, sebagai
pendamping parewa ade, pejabat adat.

B. Daftar Pustaka
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010

Anda mungkin juga menyukai