DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
2020
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr wb
Syukur alhamdulillah, kata yang pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT,
karena bimbingan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
tepat waktu.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan yang lebih
luas bagi para mahasiswa, mahasiswi, umum dan khususnya pada diri penulis
sendiri serta semua para pembaca makalah ini. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penyusun menerima saran dan kritik yang dapat
membangun kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr wb
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
b) Rumusan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
a) Kesimpulan 9
b) Daftar Pustaka 9
1
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh sebab itu, makalah ini berusaha kami buat untuk dapat mengetahui
proses yang dapat membentuk kebudayaan di nusantara. Sehingga makalah
ini kami beri Judul “Tiga Pola Pembentukan Budaya Yang Terikat Dalam
Proses Pembentukan Negara: Aceh, Sulawesi Selatan, Dan Jawa.”
2
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
1
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 224
4
Dalam rentang waktu sejak akhir abad ke-13, ketika Samudera Pasai
berdiri, sampai abad ke-17, di saat istana Gowa-Tallo resmi menganut Islam,
menurut Taufik Abdullah, setidaknya tiga pola “pembentukan budaya”. Yang
memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukan Negara telah terjadi.
Ketiga pola itu adalah:
Pola ini adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat
keluasaan. Dalam sejarah islam di Asia tenggara, pola ini didahului oleh
berdirinya Kerajaan Islam Malaka.proses islamisasi berlangsung dalam suatu
struktur Negara yang telah memiliki basis legitimasi genoelogis. Konversi
agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan
rakyatnya dalam masalah kenegaraan.2
Pola islamisasi melalui konversi Keraton atau pusat kekuasaan seperti itu,
di Indonesia terjadi juga di Sulawesi Selatan, Maluku Dan Banjarmasin. Tidak
seperti Samudera Pasai, Islamisasi di Gowa-Tallo, Ternate, Banjarmasin, dan
sebagainya yang mempunyai pola yang sama, tidak member landasan
pembentukan Negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru
dari organisasi kekuasaan, seperti yang terjadi di Samudera Pasai. Konversi
agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
2
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 225
6
Pola Jawa
Mereka kemudian tidak hanya masuk islam tetapi juga membangun pusat-
pusat politik yang independen. Setelah keraton menjadi goyah, keraton-
keraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan kedudukannya, demak
akhirnya berhasil menggantikan majapahit.
Dengan posisi baru ini, demak itdak hanya menjadi pemegang hegemoni
politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” islam yang paling
penting di jawa. Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi
politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Dilema kultural dari
dominasi politik islam didalam suasana tradisi Siwa-Budhistik telah jauh
menukik ke dalam kesadaran tidak seperti pola Samudera Pasai, islam
mendorng pembentukan Negara yang supra desa, juga tidak seperti Gowa-
Tallo, keraton yang diislamkan.
Menurut Taufik Abdullah, pola pertama dan kedua, yaitu pola Samudera
Pasai dan pola Sulawesi Selatan menunjukkan cara yang berbeda, suatu
kecenderungan kearah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Ini lah
tradisi, di mana islam mengalami proses pempribumian secara konseptual
dan struktural. Islam menjadi intrinsik dari system kebudayaan secara
keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan
unsur dominan dalam komunitas kognitif yang baru maupun dalam paradigma
7
politik, yang dipakai sebagai pengukuran apa yang bias dianggap wajar dan
bukan.3
Pada masa itu pula, dirumuskannya “hukum dan adat adalah ibarat kuku
dan daging”. Di kerajaan Bone, kerajaan Bugis paling besar yang masuk islam
tahun 1610, rajanya ke-13 La Maddaremmeng (1631-1644M),
menggabungkan hukum islam kedalam lembaga tradisional Bone.ia juga
merencanakan “gerakan pembaharuan keagamaan” dengan memerintahkan
kaulanya untuk memenuhi ajaran islam secara total. Di kerajaan Gowa-Tallo,
kalau sebelum islam hanya terdapat empat unsur yang mengawasi Negara,
yaitu ade, yang mengawasi rakyat, rappang, yang memperkuat Negara, wari,
yang memperkuat ikat keluarga, dan bicara, yang mengawasi masyarakat
sewenang-wenang, setelah islam, unsur itu ditambah satu lagi yaitu sara’,
kewajiban agama. Untuk itu dibentuk lembaga yang dinamakan dengan
parewa sara’, pejabat agama, sebagai pendamping parewa ade, pejabat adat.
Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan aturan-aturan sosial yang tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama yang di ajukan oleh parewa sara’.
3
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), h. 226
8
Dengan ini raja menjadi pusat alam semesta dan sumber kekuasaan. Atas
dasar itulah, raja jawa juga bergelar susuhanan, gelar yang biasanya
digunakan oleh para pemimpin agama dan panatagama, pellindung dan
pengatur agama. Tradisi jawa ini memperlihatkan wujudnya setelah hegemoni
politik jawa bergeser dari pesisir ke pedalaman .
Dalam proses itu, muncul suatu tipe tradisi tertentu, “tradisi dialog”. Tradisi
ini adalah arena tempat pengertian kontinuitas dan dorongan kearah
perubahan sosial budaya yang harus menemukan lapangan bersama. Dalam
perspektif politik, dialog ini merupakan suatu susunan yang salah satu
kelompok pesantren dan keraton menganggap yang laim sebagai penantang
atau susunan dialog antara kedunya. Secara antropologis, tradisi dialog itu
merrupakan ranah tempat usur abangan harus menghadapi penetrasi terus-
menerus dari pemikiran yang diajukan oleh unsur santri.5
4
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 227-228
5
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 229
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga pola yang ditemukan dalam pembentukan budaya, yakni antara
lain: Pola Samudera Pasai, Pola Sulawesi Selatan & Pola Jawa.
Menurut Taufik Abdullah, pola pertama dan kedua, yaitu pola samudera
pasai dan pola Sulawesi selatan menunjukkan cara yang berbeda, suatu
kecenderungan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Inilah
tradisi, di mana islam mengalami proses pempribumian secara konseptual
dan stuktural. Islam menjadi bagian insrinsik dari sistem kebudayaan secara
keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan
kehidupan pribadi.
B. Daftar Pustaka
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010