Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Segala puji dan syukur sepantasnya dipanjatkan kepada Allah Swt. yang

menciptakan sekaligus memelihara semesta alam, Yang Maha mengatur dan tidak

pernah tidur. Berkat rahmat iman dan Islam. Allah Swt. telah menyempurnakan

agama ini, sebagaimana firman-Nya:

‫يت لَ ُك ُم اإلسْال َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَ ْو َم أَ ْك َم ْل‬

Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-
Ma’idah [5]: 3)

A. Latar Belakang Masalah

Umat manusia diberikan petunjuk oleh Allah SWT. berupa

kemukjizatan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Qur’an.

Untuk memahmai petunjuk-petunjuk yang Allah SWT berikan kita harus

mampu mempelajari ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an yaitu

diantaranya Munasabah dan Ijaz.

Munasabah dalam pengertian singkat merupakan keterkaitan antara ayat

yang satu dengan yang lainnya. Jadi dalam ayat Al-Qur’an terdapat korelasi

anatara ayat satu dengan yang lainnya dan hal ini bisa dijadikan oleh para

mujtahid untuk dijadikan suatu ijtihad.Sementara ijaz bisa diartikan suatu tidak

1
keberdayaan atau kelemahan. Disebut kelemahan karena ijaz atau mukzizat ini

dapat melemahkan pihak lain sehingga mampu membungkam lawan. Al-Qur’an

sendiri merupakan termasuk mukzizat yang paling besar yang di turunkan kepada

Muhammad. Dalam makalah ini akan di jelaskan secara terperinci mengenai

Munasabah dan Ijaz Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian I’jaz dan Munasabah Al-Qur’an ?

2. Bagaimana Sejarah I’jaz dan Munasabah Al-Qur’an ?

3. Apa saja tujuan dan fungsi I’jaz Al-Qur’an?

C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelasakan pengertian I’jaz dan Munasabah Al-Qur’an
2. Menjelaskan Sejarah I’jaz dan Munasabah Al-Qur’an
3. Menjelaskan tujuan dan fungsi I’jaz Al-Qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Munasabah
Munasabah dalam pengertian bahasa adalah cocok, patut atau sesuai,
mendekati. Dikatakan A munasabah dengan B, berarti A mendekati atau
menyerupai .
Dalam pengertian istilah ada beberapa pendapat. Menurut Manna’
Al Qaththan, munasabah adalah segi-segi hubungan antara satu kata
dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain,
atau antara satu surat dengan surat dengan surat lain. M. Hasbi Ash
Shiddieqy membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar
ayat saja. Az Zarkasyi dan As Suyuthi merumuskan yang dimaksud
dengan munasabah ialah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun
antar surat.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang
membahas hikmah kolerasi urutan ayat Al Qur’an atau dengan kata lain
,munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia
hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal1.
1. Sejarah Timbul dan Perkembangan pengetahuan munasabah
Menurut Asy syahbani, seperti dikutip Az Zakasyi dalam Al
Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabah dalam
menafsirkan Al Qur’an ialah Abu Bakar An Naisaburi (wafat tahun 324
H). Namun kitab tafsir An Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai
sekarang, sebagai mana dinyatakan Adz Dzahabi2, besarnya perhatian An

1
Drs. Muhammad Chirzin,Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa,1998),h.50
2
Adz Dzahabi, At Tafsir Wal Muafassirun,Juz 1 (Baghdad : Al Mutsanna t.th),h.141

3
Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuthi sebagai
berikut :”Setiap kali ia (An Naisaburi) duduk di atas kursi,apabila
dibacakan Al Qur’an kepadanya,beliau berkata, “mengapa ayat ini
diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini di
samping surat ini?” Beliau mengkritik ulama Baghdad lantaran mereka
tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru
dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk
menyingkap penyesuaian, baik antar ayat ataupun antar surat, terlepas dari
segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan
beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu
Munasabah. Dalam perkembangannya munasabah meningkat menjadi
salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al Qur’an. Ulama-ulama yang datang
kemudian menyusun pembahasan munasabah secara khusus. Di antara
kitab yang khusus membicarakan munasabah ialah Al Burhan fi
Munasabati Tartibil Quran susunan Ahmad Ibn Ibrahim Al andalusi
(wafat 807 H). Menurut pengarang Tafsir An Nur, penulis yang
membahas dengan baik masalah munasabah ialah Burhanuddin Al Biqa’i
dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati wa Suwar.
Ada beberapa istilah yang digunakan oleh para mufassir mengenai
munasabah. Ar Razi menggunakan istilah ta’alluq sebagai sinonim
munasabah. Ketika menafsirkan ayat 16-17 Surat Hud,beliau menulis:
ketahuilah bahwa pertalian (ta’alluq) antara ayat ini dengan ayat
sebelumnya jelas,yaitu apakah orang-orangkafir itu sama dengan orang
yang mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya; sama dengan orang-
orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang-
orang itu tidaklah memperoleh di akhirat kecuali neraka.3
Sayyid Rasyid Ridla menggunakan dua istilah, yaitu al ittishal dan
at ta’lil. Hal ini terlihat ketika menafsirkan QS.4:30 sebagai

3
Fakhruddin Ar Razy,Tafsir Mafatihul Ghaib,Juz V (Cairo: Al Khairiyyah,1308 H), h. 45.

4
berikut :”Hubungan penyesuaian (ittishal) antara ayat ini dengan ayat
sebelumnya sangat nyata...”.4
2. Macam-macam Munasabah
Di antara hal pokok mengenai munasabah, pertama, bahwa
hubungan antar kata atau ayat kadang nyata, karena keduanya saling
berkaitan. Ketiadaan salah satunya menghilangkan kesempurnaan. Kedua
antara kata dengan kata atau ayat dengan ayat kadang tidak terlihat adanya
hubungan, seakan akan setiap ayat itu bebas dari ayat lain. Ini tampak
dalam dua model. Pertama, hubungan itu ditandai dengan huruf athaf (kata
penghubung),seperti dalam ayat;

ِ ْ‫يَ ْعلَ ُم َمايَلِ ُج فِى ااْل َ ر‬


‫ َوا‬ccُ‫ض َو َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو َما يَ ْن ِز ُل ِمنَ ا ل َّس َما ِء َو َما يَ ْع ُر ُج فِهَا َو ه‬
)2: ‫ل َّر ِح ْي ُم ال َغفُوْ ُر (سبا‬
Artinya : Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa
yang keluar darinya ;apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dialah Yang Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui.
(QS. 34 : 2)
Dalam firman Allah yang lain:
ُ ‫َو هّللا ُ يَ ْقبِضُ َو يَ ْب‬
....)245: ‫صطُ َواِلَ ْي ِه تُرْ َجعُوْ نَ (ا لبقرة‬
Artinya :”Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki dan
kepadaNyalah kamu dikembalikan (Q.S. 2 : 245).

Huruf athaf pada ayat pertama (wawu) menunjukkan keserasian


yang mencerminkan perbandingan. Sedangkan pada ayat kedua
menunjukkan keserasian yang mencerminkan kesatuan.5
Hubungan yang tidak menggunakan huruf athaf membutuhkan
penyokong yang menjadi buku keterkaitan kalam (ayat-ayat), berupa
pertalian secara maknawi. Hal ini ada tiga jenis. Pertama tanzhir, yakni
hubungan yang mencerminkan perbandingan. Misalnya, ayat,”Kama
akhrajaka rabbuka min baitika bilhaqq” (Q.S 8:6), mengiringi ayat
4
M.Rasyid Ridla,Tafsir Al Manar, Juz V (Cairo:Darul Manar,1373 H),h.63.
5
BaruddinMuhammad bin Abdullah Az Zakasyi,Al Burhan Fi Ulumil Quran (kairo:Dar ihya al kutub
al Arabiyah, t.th). h.40.

5
sebelumnya,”Lahum darajatun ‘inda rabbihim wa maghfiratun wa rizqun
karim”(Q.S. 8 : 4).
Kedua mudhaddah yakni hubungan yang mencerminkan
pertentangan. Misalnya.”...Ula’ika ‘ala hudan mirrabbihim waula ‘ika
humul-muflihun.” (Q.S. 2:5), dengan ayat berikutnya, “innalladzina kafaru
sawa’un ‘alaihim a’andzartahum amlam tundzirhum la
yu’minun”(Q.S.2:6).
Ketiga istithrad yakni hubungan yang mencerminkan kaitan suatu
persoalan dengan persoalan lain. Misalnya dalam ayat “ya bani adama
qad anzalna ‘alaikum libasan yuwari sau ‘atikum wa risyan
walibasuttaqwa dzalika khairun dzalika min ayatillahi la’allahum
yatadzakkarum”(Q.S 7:2).
Manna’ Al Qaththan mengkategorikan musabah dalam tiga bentuk.
Pertama munasabah terletak pada pehatian terhadap lawan biacara ,seperti
firman Allah,
َّ ‫ َوإِلَى‬5 ‫ت‬
َ‫ف‬c‫ َما ِء َك ْي‬c‫اس‬ ْ ‫فَ ُرفِ َع‬c‫ َما ِء َك ْي‬c‫لس‬
َّ ‫ َوإِلَى‬5 ‫ت‬ ْ َ‫فَ ُخلِق‬c‫ل َك ْي‬c ِ ِ‫أَ فَاَل يَ ْبظُ ُر و نَ إِلَى ااْل ِ ب‬
)30-17: ‫ت (لغاشية‬ ْ ‫ُط َح‬
ِ ‫ض َك ْيفَ س‬ِ َ ‫ َوإِلَى آْل‬5 ‫ت‬ ْ َ‫صب‬ِ ُ‫ َوإِ لَى ْال ِجبَا ِل َك ْيفَ ن‬5 ‫ت‬ ْ ‫ُرفِ َع‬

Artinya:”maka apakah mereka memperhatikan unta bagaimana ia


diciptakan; langit bagaimana ia ditinggikan dam gunung-
gunung,bagaimana di tegakkan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”
Pemakaian kata unta,langit, dan gunung-gunung ini berkaitan
dengan kebiasaan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, yang
kehidupan mereka sangat bergantung pada unta sehingga mereka sangat
memperhatikannya.
Kedua, terdapat munasabah antara satu surah dengan surah lain.
Seperti pembukaan surat Al An’am dengan “alhamdu”,sesuai dengan
penutup surat Al Maidah yang menerangkan tentang keputusan sikap
hamba kepada Tuhan. Dapat ditambahkan, bahwa surat Ali Imran (3)
ditutup dengan seruan kepada orang-orang beriman untuk bertaqwa

6
kepada Allah (ayat 200) dan surat sesudahnya,An Nisa’ (4) diawali dengan
seruan untuk bertaqwa kepada Tuhan pula.
Ketiga, terdapat munasabah antara awal surat dengan akhir surat.
Seperti dalam surat Al Qashash. Surat ini diawali dengan menceritakan
Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya,
perlakuan ketika ia mendpatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi.
Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Rasulullah Muhammad
SAW. Bahwa ia akan keluar dari Makkah dan dijanjikan akan kembali lagi
ke Makkah serta larangan menjadi penolong bagi orang kafir (Q.S.
28:8,17:85-86)
3. Kedudukan Munasabah dalam Penafsiran Al Qur’an
Pendapat para mufassir dalam menghadapi masalah munasabah
pada garis besarnya terbagi dua. Sebagian mereka menampung dan
mengembangkan munasabah dalam menafsirkan ayat. Sebagian yang lain
tidak memperhatikan munasabah dalam menafsirkan ayat. Ar Razi adalah
orang yang sangat menaruh perhatian kepada munasabah,baik antar ayat
atau antar surat. Sedangkan Nizamuddin An Naisaburri dan Abu Hayyan
Al Andalusi hanya menaruh perhatian besar kepada munasabah antar ayat
saja.
Az Zarqani, seorang ulama dan ilmu Al Qur’an yang hidup pada
abad XIV, menilai bahwa kitab-kitab tafsir yang beliau jumpai penuh
dengan pembahasan munasabah.
Mufassir yang kurang setuju pada analisis munasabah di antarnya
Mahmud Syaltut, mantan rekor Al Azhar yang memiliki karya tulis dalam
berbagai cabang ilmu, termasuk tafsir Al Qur’an. Beliau kurang setuju
terhadap mufassir yang membawa kotak munasabah dalam menafsirkan Al
Qur’an.
Tokoh yang paling tajam menentang penggunaan munasabah
adalah Ma’ruf Dualibi. Ia menyatakan :”maka termasuk usaha yang
percuma untuk mencari hubungan apa di antara ayat-ayat dalam satu hal
saja dalam topik tentang aqaid,atau kewajiban-kewajiban atau urusan

7
budi pekerti ataupun mengenai hak-hak. Sebenarnya kita mencari
hubungannya atas dasar satu atau beberapa prinsip “.
Menurut Ma’ruf Dualibi, Al Qur’an dalam berbagai ayat hanya
mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabda’) dan norma
umumnya (qaidah)saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila
orang bersikeras harus ada kaitan antar ayat-ayat yang bersifat tafsil.
Pendapat beliau ditampung oleh (As-Syatibi) dalam kitab Al Muwafaqat.
4. Urgensi Munasabah dalam Penafsiran Al Qur’an
Ahli tafsir biasanya memulai penafsirannya dengan
mengemukakan lebih dulu Asbabun-nuzul ayat. Sebagian dari mereka
sesungguhnya bertanya-tanya yang manakah yang lebih baik, memulai
penafsiran dengan menadahulukan penguraian tentang Asbabun-nuzul atau
mendahulukan penjelasan tentang munasabah ayat-ayat. Pertanyaan itu
mengandung pernyataan yang tegas mengenai kaitan ayat-ayat Al Qur’an
dan hubungannya dalam rangkaian yang serasi.
Pengetahuan tentang kolerasi atau munasabah antara ayat-ayat itu
bukanlah taufiqi (sesuatu yang ditetapkan Rasul), melainkan hasil ijtihad
mufassir, buah penghayatannya terhadap kemu’jizatan Al Qur’an, rahasia
retorika dan segi keterangannya mandiri. Apabila kolerasi itu halus maka
maknanya, keharmonisan konteksnya,sesuai asas-asas kebahasaan dalan
bahasa Arab. Kolerasi itu dapat diterima. Ini bukan berarti bahwa para
mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al Qur’an
turun secara bertahap, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi .
seorang mufassir terkadang dapat membuktikan munasabah antara ayat-
ayat dan terkadang tidak. Oleh sebab itu tidak perlu memaksakan diri
untuk menemukan kesesuaian itu. Jika demikian maka kesesuaian itu
hanyalah sesuatu yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai.
Secara global ada dua arti penting munasabah sebagai salah satu
metode untuk memahami Al Qur’an. Pertama dari sisi balaghah, kolerasi
antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata
bahasa Al Qur’an ,dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan dan

8
keindahan ayat akan hilang. Untuk ini Imam Ar Razi berkata :”
kebanyakan kehalusan dan tertib hubungan dan susunannya
(almunasabat)”.

B. Pengertian I’jaz Al Qur’an


Menurut bahasa, kata mu’jizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah). I’jaz
dapat diartikan sebagai kemu’jizatan, hal yang melemahkan, yang
menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. Pada dasarnya Al Mu’jiz
(yang melemahkan) itu adalah Allah SWT. Yang menyebabkan selainnnya
lemah sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita mengenai
betapa lemahnya orang-orang yang datangi Rasul untuk menentang mu’jiz
tersebut. Huruf ta’ marbuthah ditambahkan pada kata mu’jiz sehingga
menjadi mu’jizat.
I’jaz kemu’jizatan dalam bahasa Arab adalah menisbatkan lemah
kepada orang lain. Allah berfirman,
) 31 ‫ارى َسوْ َء اَ ِخى (الما ؤدة‬ ِ ‫ت اَ ْن اَ ُكوْ نَ ِم ْث َل هَا َذ ْال ُغ َرا‬
ِ ‫ب فَا َ َو‬ ُ ‫يَا َو ْيلَتَى أَ َع َج ْز‬
Artinya :”Aduhai celaka aku,mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini untuk menguburkan mayat saudaraku ini. (Q.S. 5
:31).
Sesuatu yang dinamakan mu’jizat (melemahakan) karena manusia
lemah untuk mendatangkan yang sama dengannya atau saingannya,sebab
mu’jizat memang datang berupa hal-hal yang bertentangan dengan
adat,keluar batas-batas faktor yang telah diketahui atau diapahami oleh
manusia. Hal-hal luar biasa itu hanya bisa ditunjukan oleh Allah.
Secara etimologi, yang dimaksud dengan i’jaz adalah tanda-tanda
kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul dengan menampakkan
kelemahan orang-orang untuk menghadapi mu’jizatnya.
Menurut manna Khalil Al-Qaththan ijaz adalah menampakkan
kebenaran Nabi Saw dalam pengakuan orang lain sebagai rasul utusan
Allah SWT dengan menmpakan kelemahan – kelemahan orang Arab

9
untuk menandinginya atau menghadapi mu’jizat yang abadi , yaitu Al-
Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka.6
Adapun pengertian mujizat secara theology adalah munculnya
suatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di dunia (khariqun
adah) untuk menunjukan kebenaran kenabian (nubuwwah) para ulama7
I’jazul Al Qur’an (kemu’jizatann Al Qur’an) ialah
kekuatan,keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al Qur’an yang
menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun
berkelompok-kelompok,untuk bisa mendatangkan sesuatu yang serupa
atau menyamainya. Yang dimaksud dengan kemu’jizatan Al Qur’an bukan
berarti melemahakan manusia dengan pengertian melemahkan yang
sebenarnya. Artinya memberi pengertian kepada mereka tentang
kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan Al
Qur’an ; menjelaskan bahwa kitab Al Qur’an ini haq dan Rasul yang
membawanya adalah Rasul yang benar.
Al Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diberikan Allah
kepada Nabi SAW. Ini dapat disaksikan oleh seluruh umat manusia
sepanjang masa dan memang beliau diutus oleh Allah menjamin
keselamatan dan kemurnian Al Qur’an sesuai dengan firmanNya,
“sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan kami pula yang
menjaganya” (Q.S 15:9).
Kemu’jizatan Al Quran antara lain terletak pada segi fashahah dan
balaghahnya, susunan dan gaya bahasanya, serta isinya tiada
bandingannya. Al Qur’an dalam beberapa ayatnya sengaja menantang
seluruh manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an .
Allah Berfirman
‫ت ا اْل ِ ْنسُ َو ْال ِج ُّن َعلَى اَ ْن يَاْ تُوْ ابِ ِم ْث ِل هَا َذ ْالقُرْ ا‬
ِ ‫قُلْ َل ِء ِن ا جْ تَ َم َع‬
Artinya :” Katakanlah, sesungguhnya bila manusia dan jin
berkumpul untuk membuat (sesuatu) yang serupa dengan Al Qur’an,
6
Manna Khalil Al Qattan, Study Ilmu-ilmu Al-Qur’an ,(Jakarta; Pustaka Litera Antar
Nusa,2004),hal.371
7
Suhadi, Ulumul Qur’an, (Kudus: Nora Media Enterprise,2011),hlm.250-251

10
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia
sekalipun sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. (Q.S.
17:88 ).
Al Qur’an adalah mu’jizat dan Allah menujukkan kelemahan orang
arab untuk menandingi Al Qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor
dan potensi untuk itu. Ini adalah merupakan bukti tersendiri bagi
kelemahan bahasa Arab di masa bahasa ini berada pada puncak
kejayaannya.
Mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan kepada
Nabi-Nabi yang lain ada dua jenis: hissi dan maknawi. Yang Hissi yaitu
mu’jizat yang dapat dilihat oleh mata,didengar,dirasa dan ditangkap oleh
panca indera. Ia sengaja di tunjukkan kepada manusia yang tak mampu
menggunakan akal pikiran dan kecerdasannya untuk menangkap
keluarbiasaan Allah. Yang Ma’nawi ialah mu’jizat yang tidak dapat
dicapai dengan kekuatan panca indera semata, tapi harus dicapai dengan
kekuatan dan kecerdasan akal pikiran. Hanya orang-orang yang
mempunyai akal sehat dan kecerdasan yang tinggi, mempunyai hati nurani
serta berbudi luhur sajalah yang mampu menangkap dan memahami
kebesaran mu’jizat model ini.
Kedua jenis mu’jizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad dan Al
Qur’an mengandung keduanya. Bahkan yang ma’nawi lebih besar
porsinya dibandingkan dengan yang hissi.
1. Sejarah Perkembangan Ijazul Qur’an
Menurut Dr. Subhu Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi ulumil Qur’an,
bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul qur’an adalah imam
Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an, hal ini
seperti diisyaratkan dalam kitabnya yang lain, Al-Hayyam. Lalu disusul
Muhammad bin Zaid Al-Washity (wafat 306 H). Lalu disusul oleh Al-
Qadhy Abu bakal Al-baqillany (wafat 403 H) dalam kitab ijazu Qur’an
yang isinya mengupas segi – segi kebalagohan Al-Qur’an, kemudian
disusul Abdul Qohir Al-jurjany dalam kitab Dala’alul I’jaz dan Asranul

11
Balaghah. Para pujannga modern seperti Musthofa Shodiq Ar-Rofi’y
menulis tentang ilmu ini dalam kitab Tarikhul Adabil Arabid an Prof Dr.
Sayyid Quthub dalam buku At-tashwirul fanni fil Qur’an dan At-ta’birul
fanni fil Qur’an8
2. Tujuan dan Fungsi I’jazul Qur’an
Tujuan I’jazul Qur’an
a. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa
mu’jizal Al-Qur’an itu benar-benar seorang Nabi atau Rasul Allah.
b. Membuktikan bahawa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah
SWT bukan buatan Malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad
SAW.
c. Menunjukan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang
tidak sebanding dengan keangkuhannya.9
Fungsi I’jazul Qur’an
a. Mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW
b. Pedoman hidup bagi seluruh manusia
c. Penyempurna terhadap kitab-kitab Allah sebelumnya
3. Kadar kemu’jizatan Al Qur’an
Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mu’jizat itu,
maka jika seorang peneliti yang objektif mencari kebenaran Al Qur’an dari
aspek manapun yang ia sukai,ia akan temukan kemu’jizatan itu dengan
jelas dan terang. Kadar kemu’jizatan itu meliputi tiga macam aspek,yaitu
aspek bahasa,aspek ilmiah dan aspek tasyri (penetapan hukum).
Kemu’jizatan ilmiah Al Quran bukan terletak pada cakupannya
pada teori-teori ilmiah yang selalu ingin baru dan berubah sebagai hasil
usaha manusia melalui pengamatan dan penelitian,tetapi terletak pada
semangatnya memberi dorongan pada manusia untuk berpikir
menggunakan otaknya .

8
Abdul Djalal,Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu,2012),hlm.271
9
Ibid,hlm.270

12
4. Aspek-aspek i’jaz Al Qur’an
Pendapat dan pandangan ulama kalam tentang aspek kemu’jizatan
Al Quran berbeda beda. Satu golongan ulama berpendapat, Al Qur’an itu
mu’jizat dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada
bandingannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan
Al Qur’an itu ialah kandungan badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan
apa yang telah dikenal dalam perkataan orang arab.
1. Kemukjizatan Bahasa
Sejarah menyaksikan, ahli-ahli Bahasa telah terjun kedalam
medan festifal Bahasa dan mereka memperoleh kemenangan.
Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang berani
memplokramirkan dirinya menantang Qur’an melainkan ia
hanya mendapat kehinaan dan kekalahan. Kelemahan Bahasa ini
terjadi justru pada masa kejayaan dan kemajuannya ketika
Qur’an diturunkan. Saat itu Bahasa arab telah mencapai
puncaknya dan memiliki unsur-unsur kesempurnaan, tidak
seorang pun dari mereka sanggup menandingi atau
mengimbanginya, padahal mereka adalah orang-orang yang
sombong, tinggi hati dan pantang dikalahkan, denagn demikian
kita yakin Qur’an adalah suatu hal diluar kemampuan manusia.
2. Kemukjizatan Ilmiah
Orang yang menafsirkan Qur’an dengan hal-hal yang sesuai
dengan masalah ilmu pengetahuan dan berusaha keras
menyimpulkan daripadanya segala persoalan yang muncul
dalam kehidupan ilmiah, sebenarnya mereka telah berbuat jahat
pada Qur’an meskipun mereka sendiri mengiranya telah berbuat
kebaikan, sebab masalah ilmu pengetahuan itu tunduk pada
hokum kemajuan yang senantiasa berubah. Bahkan terkadang
runtuh dari asas-asasnya, jika kita menafsirkan Qur’an dengan
ilmu pengetahuan maka kita menghadapkan penafsirannya

13
kepada kebatilan jika kaidah-kaidah ilmu itu berubah dan
penemuan-penemuan baru membatalkan hasil penemuan lama.
Kemukjizatan ilmiah Qur’an bukanlah terletak pada
pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan
berubah, serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian
dan pengamatan, tetapi ia terletk pada dorongannya untuk
berpikir dan menggunakan akal Qur’an mendorong manusia
agar memperhatikan dan memikirkan alam semesta, atau
menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat
dicapainya. Dan tidak ada satu pun dari kitab-kitab terdahulu
memberikan jaminan demikian, seperti yang diberikan oleh Al-
Qur,an
3. Kemukjizatan Tasyri
Allah meletakkan dalam diri manusia banyak garizah
(naluri,instinc) yang bekerja di dalam jiwa dan memengaruhi
kecenderungan-kecenderungan hidupnya. Jika akal sehat dapat
menjaga pemiliknya dari ketergelinciran,maka arus kejiwaan
yang menyimpang, akan mengalahkan kekuasaaan
akal,sehingga akal bagaimanapun tidak akan sanggup menahan
luapannya, oleh karena itu untuk meluruskan manusia
diperlukan pendidikan khusus bagi garizah-garizahnya, yang
dapat mendidik, mengembangkan serta membimbingnya kea
rah kebaikan dan keberuntungan.
Qur’an menyucikan jiwa seorang muslim dengan akidah tauhid
yang menyelamatkannya dari kekuasaan khurafat dan waham
dan memecahkan belenggu perbudakan hawa nafsu dan
syahwat, agar ia menjadi hamba Allah yang ikhlas yang hanya
tunduk kepada Tuhan Pencipta yang disembah. Qur’an juga
menanamkan rasa tinggi hati kepada selain Dia., sehingga tidak
membutuhkan makhluk,melainkan kholik yang mempunyai
kesempurnaaan mutlak dan telah memberikan kebaikan kepada

14
seluruh makhluk-Nya, Dialah Khalik yang tunggal,Maha Esa,
Maha tau dan Meliputi segalanya, serta tidak ada sesuatupun
serupa dengan-Nya .
Al-Qur’an menngunakan du acara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum:
a. Secara Global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan
perinciannya diserahkan para ulama melalui ijtihad
b. Hokum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan
utang-piutang, makanan yang halal dan haram, memelihara kehormatan
wanita dan masalah perkawinan.

Imam Al-Qurthuby dalam tafsir Al-Jami’u ahkamil qur’an mengatakan segi-segi


kemukjizatan yaitu:
1. Susunannya yang indah
2. Uslubnya berbeda dengan seluruh uslub Bahasa arab
3. Isi aturan halal dan haram
4. Pengaturan Bahasa yang utuh
5. Adanya berita mengenai peristiwa kejadian-kejadian dunia yang belum
terdengar.10
Quraish Shihab berpendapat bahwa pada garis besarnya mu’jizat Al
Qur’an itu tampak dalam tiga hal pokok. Pertama susunan redaksinya yang
mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab. Kedua kandungan ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Ketiga ramalan-ramalan
yang diungkapkan yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Al Qur’an menawarkan ajaran-ajaran operatif mengenai alam
ghaib,kebenaran-kebenaran spritual dalam masalah-masalah lain umat
manusia pada umumnya. Karena alasan-alasan ini tak seorang pun akan
berhasil menciptakan sesuatu yang serupa dengan Al Qur’an. Fungsi Al
Qur’an adalah untuk memberikan jawaban bagi berbagai persoalan dan

10
Abdul Djalal,Op.cit,hlm.281

15
memberi jalan keluar bagi setiap permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh
umat manusia.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munasabah dalam pengertian singkat merupakan keterkaitan antara ayat
yang satu dengan yang lainnya. Jadi dalam ayat al-qur’an terdapat korelasi
anatara ayat satu dengan yang lainnya dan hal ini bisa dijadikan oleh para
mujtahid untuk dijadikan suatu ijtihad.Sementara ijaz bisa diartikan suatu
tidak keberdayaan atau kelemahan. Disebut kelemahan karena ijaz atau
mukzizat ini dapat melemahkan pihak lain sehingga mampu membungkam
lawan. Al-Qur’an sendiri merupakan termasuk mukzizat yang paling besar
yang di turunkan kepada Muhammad.

17
DAFTAR PUSTAKA
Buchori,Didin Saefudin, Pedoman memahami Kandungan Al-Qur’an(Bogor:
Granada Sarana Pustaka,2005)
Djalal,Abdul, Ulumul Qur’an,(Surabaya: Dunia Ilmu,2012)
Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’Al-Azhim, Dar Al-Urubah, Mesir, 1974, hal. 159.
Muhammad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil Al’irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid 1, hlm. 351.

18

Anda mungkin juga menyukai