Anda di halaman 1dari 4

PRESENTASI UMMAH

Kata “ummah” (dalam Bahasa Indonesia menjadi umat) adalah sebuah konsep yang telah
akrab dalam masyarakat kita, akan tetapi sering dipahami secara keliru. Karena begitu dekatnya
dalam kehidupan kita sehari-hari, tak jarang istilah ini terabaikan dan tidak dianggap sebagai
pengertian ilmiah. Padahal, tidak kurang orientalis W. Montgomery Watt dan Bernard Lewis,
membahas konsep ini secara serius dalam karangan mereka.1 Sedangkan dari kalangan Islam,
pembahasan konsep ummah ini antara lain dilakukan oleh Ali Syari‘ati dalam bukunya al-Ummah
wa al-Imâmah dan M. Quraish Shihab dalam bagian karya tafsir tematiknya Wawasan Al-Qur’an.
Dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah “umat” mengandung empat macam pengertian,
yaitu:
(1) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan
(2) penganut suatu agama atau pengikut Nabi
(3) khalayak ramai
(4) umum, seluruh, umat manusia.2
Dalam terminologi Islam, istilah “ummah” adalah sebuah konsep yang unik dan tidak ada
padanannya dalam bahasa-bahasa Barat. Pada mulanya, kalangan pemikir politik dan orientalis
Barat mencoba memadankan kata ummah dengan kata nation (bangsa) atau nation-state
(negara kebangsaan). Namun padanan ini dianggap tidak tepat dan akhirnya dipadankan pula
dengan kata community (komunitas). Meskipun demikian, terminologi “komunitas” juga tidak
terlalu tepat untuk disamakan dengan pengertian ummah.

Menurut Abdur Rasyid Moten, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Internasional,
Malaysia, terlalu menyederhanakan pengertian kalau kita membuat persamaan antara kata
ummah dan community ini.3 Ada perbedaan prinsip antara kedua pengertian ini. Komunitas
merupakan suatu kelompok masyarakat yang mempunyai perasaan bersama dan memiliki
identitas komunal. Kesamaan budaya, kesamaan wilayah, darah, suku atau kebangsaan, atau dari
gabungan semua ini.4 Adapun basis ummah tidak didasarkan pada ras, bahasa, sejarah atau

1
Bernard Lewis, Political Language of Islam, (Chicago University, 1988), Bab 3 dan 5.
2
Hasan Sadili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1980), jilid 6.
3
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, (USA: St. Martin Inc, 1996), h. 36.
4
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, h. 64.

1
gabungan itu dan tidak bergantung pada batas-batas wilayah geografis. Ummah bersifat
universal, meliputi kaum Muslim, dan disatukan oleh ikatan ideologi yang kuat dan komprehensif,
yaitu Islam. Ummah dibutuhkan dalam rangka mengaktualisasikan kehendak-kehendak Allah
dalam lingkup ruang dan waktu agar tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Dalam konteks politik Islam, kata “ummah” berasal dari kata amma-yaummu yang
berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata ini lahir antara lain kata “umm” yang
berarti “ibu” dan imam, yang bermakna “pemimpin”. Kedua-duanya, ibu dan pemimpin,
merupakan teladan, tumpuan pandangan dan harapan bagi anggota masyarakat.5
Dalam Al-Qur’an, kata “ummah” dan bentuk jamaknya “umam” disebutkan sebayak 64
kali, 52 kali di antaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad) dan digunakan untuk berbagai
pengertian. Dari jumlah itu, sebagian besar termasuk ke dalam ayat-ayat Makkiyah. Adapun
dalam ayat-ayat Madaniyah hanya 17 kali kata ummah disebutkan Al-Qur’an. Hampir semua
kata ummah dalam ayat-ayat Makkiyah berarti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam
sejarah.6
Sementara dalam Piagam Madinah, penggunaan kata ummah ini mengandung dua
pengertian, yaitu:
Pertama, organisasi yang diikat oleh akidah Islam.7
Kedua, organisasi umat yang menghimpun jamaah atau komunitas yang beragam atas dasar
ikatan sosial politik.8

5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996),
h. 325.
6
Besarnya perhatian Al-Qur’an pada periode Mekkah ini membicarakan masalah ummah daripada periode Madinah
menarik dicermati. Ini mengisyaratkan bahwa sejak awal Al-Qur’an memang menekankan perlunya kesatuan manusia
agar tercapai kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, pada periode Mekkah, Al-Qur’an banyak berbicara tentang
kehancuran suatu umat akibat kedurhakaan mereka kepada utusan-utusan Allah. Jadi, sejak periode awal, Al-Qur’an
memang sudah memberikan sinyal-sinyal kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran dari kehancuran bangsa
dan umat-umat terdahulu supaya peristiwa tersebut tidak terulang kembali terjadi pada diri mereka. Sesuai dengan
pengertian dasarnya, pembicaraan Al-Qur’an tentang ummah pada periode Mekkah menunjukkan bahwa manusia
harus mematuhi segala yang dibawa oleh Rasul-Nya agar selamat di dunia dan akhirat.
7
Pasal tersebut berbunyi: “Innahum ummatun wahidah min duni al-nas” (sesungguhnya mereka [suku Quraisy dan
penduduk asli Madinah] adalah suatu umat yang berbeda dengan komunitas manusia lain).

8
Pasal ini berbunyi: “Sesungguhnya Banu `Awf merupakan satu umat dengan orang mukmin. Bagi Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum Muslimin juga agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka
sendiri, kecuali yang berbuat aniaya dan jahat.”

2
Dalam pasal ini, Yahudi tidak dimaksudkan sebagai pengertian agama, tetapi pengertian
suatu kelompok dalam sebuah Negara Madinah. Hal ini juga diisyaratkan dengan dipadankannya
kata “Yahudi” dengan kata “Mukminin”, tidak dengan kata “Muslimin”, untuk menunjukkan
agama. Berdasarkan pasal ini, Abduh menegaskan bahwa konsep ummah dalam Islam diikat
berdasarkan agama dan kemanusiaan.9 Nabi SAW dapat menjalin kerja sama dengan Yahudi
berdasarkan semangat kemanusiaan karena ingin menegakkan tatanan masyarakat yang etis dan
demokratis.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Piagam Madinah di atas dapat dicatat beberapa konsep
yang menggambarkan ummah (Islam).
Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (Al-Qur’an) dan bentuk pengabdian yang satu
kepada Allah dan arah kiblat yang satu pula (Ka’bah). Mereka mengikuti syari’at yang diturunkan
Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Singkat kata, anggota ummah diikat oleh Islam. Ini yang
membedakan mereka dengan kelompok-kelompok lainnya.
Kedua, Islam yang memberikan identitas pada ummah mengajarkan semangat universal. Al-
Qur’an menjelaskan bahwa manusia seluruhnya adalah sama. Tidak ada perbedaan antara
manusia atau kelompok dengan manusia atau kelompok lainnya, kecuali ketakwaan, Islam tidak
mengakui kasta, kelas sosial atau warna kulit sebagai pembeda manusia. Hal ini berdasarkan
firman Allah swt.
ُ َ ٓ َ ُ ُ ٰۡ ُٰۡ َ َ ُ ٰ ۡ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ ٰٰۤ
… ‫اس ِانا خلقنك ۡم ِّم ۡن ذك ٍر َّوان ٰث َو َج َعلنك ۡم ش ُع ۡو ًبا َّوق َبا ِٕٮ َل ِلت َع َارف ۡوا‬ ‫يايها الن‬
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal...” (QS. al-Hujurat, 49:13).

Ketiga, karena umat Islam bersifat universal, maka secara alamiah umat Islam juga bersifat
organik. Kesatuan organik ini diikat oleh semangat persaudaraan seiman, sebagaimana dalam
QS. al-Hujurat, 49: 10:

9
Hasan Sadili, Ensiklopedi Indonesia, h. 130.

3
ُ َ َ َ‫َّ َ ۡ ُ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ٌ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ن‬
… ‫ي اخ َو ۡيك ۡم‬ ‫ِانما المؤ ِمنون ِاخوة فاص ِلحوا ب‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) …”

Keempat, berdasarkan prinsip ketiga diatas, Islam tidak dapat mendukung ajaran kolektivitisme
komunisme dan individualisme kaum kapitalis. Islam mengakui hak-hak milik individu dan
membolehkan umatnya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang baik dan
halal. Namun demikian, pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan bahwa pada milik individu
tersebut terdapat hak-hak orang lain (QS. al-Ma‘arij, 70: 24-25).
ٌ‫ف َأ ْم َ ٰو له ْم َح ٌّق َّم ْع ُلوم‬ َ ‫َو َّٱلذ‬
ٓ ‫ين ن‬
ِِ ِ ِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”

‫وم‬ ‫ر‬ُ ‫لس ٓا ِئل َو ْٱل َم ْح‬


َّ ‫ِّل‬
ِ ِ
“Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)”

Kelima, dari prinsip-prinsip di atas, maka sistem politik yang digariskan Islam tidak sama dengan
pandangan-pandangan Barat seperti nasionalisme dan teritorialisme yang didasarkan pada
batasan-batasan wilayah, darah, warna, kulit, dan bahasa. Islam, dalam politik, memberikan nilai-
nilai yang universal demi menegakkan dan merealisasikan wahyu-wahyu Allah. Basis ideologi
politik Islam adalah tauhid yang sepenuhnya mengakui hukum-hukum Allah.10
Dari ciri esensi ini, dapatlah ditegaskan bahwa umat dalam Islam dibangun di atas dasar-
dasar semangat akidah yang kukuh, persamaan mutlak setiap manusia, keteladanan,
kemanusiaan, penghargaan atas hak-hak individu yang paling asasi dan penolakan terhadap
primordialisme yang didasarkan pada ras, warna kulit, bahasa, geografi, dan lain-lain.

10
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, h. 66-68.

Anda mungkin juga menyukai