Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH SIYASAH ISLAMIYYAH

KONSEP-KONSEP KHAZANAH POLITIK ISLAM

Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Siyasah Islamiyyah”
Dosen Pengampu: Nurdin Qusyaeri, M.Si

DISUSUN OLEH:

ABDURAHMAN SIDDIQ : 17.03.1713


AGNIA RIZQI : 17.03.1764
AKMALUDIN : 17.03.1792
CUCU RISMAWATI : 17.03.1778
DEVI YULIANTI : 17.03.1674
DIMAS PRASETIO : 17.03.1794
EKI HARI RAMDANI : 17.03.1775

PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (D)


SEMESTER VIII
STAI PERSIS BANDUNG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

ِ‫الرِحْي ِم‬
َّ ‫الر ْْحَ ِن‬ ِِ ‫بِ ْس ِِم‬
َّ ‫للا‬

Puji serta syukur hanya milik Allah Swt. Rabb semesta alam yang telah menciptakan bumi
dan langit beserta isi-Nya yang selalu sujud kepada-Nya. Dan dialah yang mengutus para rasul
kepada umat-Nya untuk menyampaikan risalah yang telah diwahyukan kepada-Nya kepada
seluruh umat manusia.

Hidayah dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “konsep-
konsep khazanah politik islam” dengan tepat waktu. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih
kepada orang tua kami yang telah memberikan dukungan yang sangat berharga bagi kami baik
dukungan moril ataupun materil. Serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Studi “Siyasah Islamiyyah” yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, serta kepada anggota kelompok yang selalu kompak dan konsisten dalam
penyelesaian makalah ini.

“Jazakumullohu khoiron katsiro

Bandung, 29 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. ii
BAB I ......................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................ 2
A. Konsep Imamah, Imarah dan Khilafah ...................................................................................... 2
1. Pengertian dan Konsep Imamah .................................................................................................. 2
2. Pengertian dan Konsep Imarah.................................................................................................... 5
3. Pengertian dan Konsep Khilafah ................................................................................................. 6
B. Konsep Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura’ ................................................................ 11
1. Pengertian dan Konsep Konstitusi............................................................................................. 11
2. Pengertian dan Konsep Demokrasi ........................................................................................... 13
3. Pengertian dan Konsep Ummah ................................................................................................ 17
4. Pengertian dan Konsep Syura.................................................................................................... 21
BAB III .................................................................................................................................................... 23
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh
golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun golongan sekuler bagi umat Islam.
Munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal pada permasalahan: apakah kerasulan
Muhammad SAW mempunyai kaitan dengan politik; atau apakah Islam agama yang terkait erat
dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; serta apakah bentuk dan sistem
pemerintahan, sekaligus konsep-konsep dan prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?
Permasalahan tersebut muncul karena risalah nabi Muhammad SAW adalah agama yang
penuh dengan ajaran dan undang-undang, yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat, keselarasan kepentingan dunia dan akhirat. Karena itu Islam
mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, ahlak dan moral, serta prinsip umum
kehidupan bermasyarakat. Islam merupakan agama yang serba lengkap dan di dalamnya terdapat
berbagai sistem kehidupan seperti sistem dan konsep ketatanegaraan. Maka dari itu, dalam
makalah ini akan kami bahas mengenai konsep-konsep khazanah politik islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang Dimaksud dengan Imamah, Imarah dan Khilafah?
2. Bagaimana Konsep Imamah, Imarah dan Khilafah?
3. Apa yang Dimaksud dengan Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura?
4. Bagaimana Konsep Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Definisi Imamah, Imarah dan Khilafah.
2. Untuk Mengetahui Konsep Imamah, Imarah dan Khilafah.
3. Untuk Mengetahui Definisi Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura.
4. Untuk Mengetahui Konsep Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Imamah, Imarah dan Khilafah
1. Pengertian dan Konsep Imamah
Al-Qur’an menyebut kata “imam” dalam berbagai varian sebanyak dua belas kali, di
antaranya, QS. at-Taubah: 12, al-Qashash: 41, QS. al-Baqarah: 124, dan QS. al-Hijr: 79. Secara
umum, kata-kata imam menunjukkan kepada bimbingan untuk kebaikan, meskipun kadang-
kadang dipakai untuk seorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik.14 Secara bahasa
„imamah‟ adalah ism mashdar atau kata benda dari kata amama yang artinya “di depan.” Sesuatu
yang di depan disebut dengan “imam.” Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari, kata imam
sering dimaknai untuk menunjuk orang yang memimpin shalat jamaah. Arti harfiah dari kata
tersebut adalah orang yang berdiri di depan untuk menjadi panutan orang-orang yang di
belakangnya. Dengan demikian, imam berarti orang yang memimpin orang lain. Sementara itu,
imamah adalah lembaga kepemimpinan.1

Seorang imam adalah orang yang wajib diikuti seluruh gerakannya. Kesalahan seorang
imam-misalnya dalam bacaan atau gerakan harus segera diingatkan oleh makmum dengan
menggunakan isyarat tertentu. Semua ini menggambarkan dimensi pergaulan dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena imamah adalah
kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai
pengganti fungsi Rasulullah SAW.2

Para ulama, dalam pembahasan mereka tentang imamah, telah menggunakan kata tersebut
sebagai sebuah istilah dengan makna yang lebih spesifik dari makna bahasannya. Asy-Syaukani
menyatakan, “dan yang dimaksud dengan imamah disini bukanlah makna lughawi (bahasa) yang
mencakup setiap orang yang diikuti dan dicontoh oleh manusia terlepas dari bagaimana pun
sifatnya”.3

1
Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 76.
2
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-4, h. 45.
3
Asy-Syaukani, as-Sail al-Jarrar al-Mutarafiq ‘ala Hada’iq al-Azhar, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004), h. 937.

2
Disamping ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di antaranya lamawardi
mendefinisikan imamah dengan:

‫االمامة موضوعة خلالفة النّ ّبوة يف حراسة ال ّدين وسياسة ال ّدنيا‬

“Imamah adalah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian
di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”4

Definisi lain dikemukakan oleh al-Iji sebagai berikut:

“Imamah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan dunia. Tetapi, lebih
tepat lagi apabila dikaitkan bahwa imamah adalah pengganti Nabi di dalam menegakkan
agama.”5
Al-Juwaini menyatakan, “imamah adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik
terkait hal yang khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan
dunia”.6 Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan dalam
pemerintahan Islam yang menghimpun kemaslahatan agama dan dunia.”7
Definisi diatas tampak jelas bahwa imamah merupakan pemimpin umat dalam urusan
agama dan negara. Imam yang baik adalah imam yang mencintai dan mendoakan rakyatnya serta
dicintai dan didoakan oleh rakyatnya, sedangkan imam yang buruk adalah imam yang membenci
rakyatnya dan dibenci serta dilaknat oleh rakyatnya. Oleh karena itu, imam itu orang yang diikuti
oleh suatu kaum. Kata imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada
kebaikan. Di samping itu, kata-kata imam sering dikaitkan dengan shalat, makanya para ulama
sering membedakan antara imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau yang memimpin
umat Islam dan imam dalam arti yang mengimami shalat.8
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah.
Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah
banyak digunakan oleh kalangan Syi'ah, sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaannya

4
A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. ke-4, h. 56.
5
A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 57.
6
Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adh-Dhulam, (Iskandariah: Dar ad-Dakwah, 1400 H), h. 15.
7
Rasyid Ridho, Al-Khilafah au al-Imamah al-‟Udhma, dalam Wajih Kautsaroni, Ad-Daulah wa al-Khilafah fi al-
Khithob al-‟Arobi Abban al-Tsaurah al-Kamaliyah fi Turkiya: Dirosah wa Nushush, (Beirut: Dar ath-Tholi’ah,
1996), h. 53.
8
A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 56.

3
dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam
memahami imamah.

Kelompok Syi'ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran
agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir Sunni
juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentang khilafah. Hal ini antara lain
dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi.9 Di antara pemikir Sunni modern juga ada yang
menggunakan terminologi al-imâmah al- Uzmâ untuk pengertian ini, seperti terlihat dalam tulisan
Abd al-Qadir 'Audah dan Muhammad Rasyid Ridha.10

Penegakan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha', mempunyai dua fungsi,
yaitu memelihara agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik
kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam.11 Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan
untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.12
Sejalan dengan pandanganal-Mawardi, Audah mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah
kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk
menggantikan Nabi Muhammad SAW, dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala
yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.13

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai dua
fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan
menegakkan peraturan peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau
wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapa pun, sebab
beliau adalah penutup para rasul. Maka tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti
beliau. Karena orang yang menggantikannya (Abu Bakr) hanya melaksanakan peran yang kedua,
maka ia dinamakan dengan Kihalifah (Khalifah Rasul Allah=Pengganti Rasulullah).

Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak
dapat dipisah-pisahkan. Antara keduanyaterdapat hubungan timbal balik yang erat sekali. Di
kalangan pemikir-pemikir islam pandangan ini begitu kental hingga awal abad ke-20, seperti yang

9
Al-Mawardi Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp).
10
Abd al-Qadir 'Audah, al-Islam wa Audha una al-Siyasah (Kairo: al-Mukhtar al-Islam, 1978), h. 106.
11
Abd al-Qadir 'Audah, al-Islam wa Audha una al-Siyasah, h. 106.
12
Al-Mawardi Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 5.
13
Abd al-Qadir 'Audah, al-Islam wa Audha una al-Siyasah, h. 106.

4
akan terlihat dalam tulisan di bawah nanti. Sementara dalam praktiknya, para khalifah di dunia
Islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus. Kenyataan
ini kemudian melahirkan pandangan di kalangan pemikir modern bahwaIslam merupakan agama
dan negara sekaligus, sebagaimana antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa (al-
Islâm din wa dawlah).

Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa
Kemal Ataturk (1924), timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik dalam dunia
Islam. Ataturk melepaskan segala yang berbau agama dalam kebidupan Turki modern. Pandangan
demikian juga terdapat pada Thaha Husein Agar kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah)
tersebut berlaku efektif dalam dunia islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk
merealisasikan ajaran-ajaran Islam.14

2. Pengertian dan Konsep Imarah


Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah, persoalan,urusan atau dapat pula
dipahami sebagai kekuasaan.Amir adalah orang yang memerintah, orang yangmenangani
persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.15 Itulah sebabnya muncul ungkapan ulama dan
umara.’ Umara’ disini merupakan istilah untuk menyebut orang-orang yang bertindak sebagai
pemimpin legal-formal dalam suatu negara atau sekumpulan manusia.

Sementara itu, imarah secara harfiah diartikan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
memerintahkan sesuatu kepada orang lain. Dalam arti istilah, imarah sama dengan imamah dan
khilafah. Orang yang memegang jabatan imarah ini disebut sebagai amir. Kepala negara dalam
Islam sering pula disebut sebagai “amîrul mu’minîn.” Gelar ini mula-mula dipergunakan oleh
Umar bin Khaththab yang menggantikan Abu Bakar. Kata khalifah tidak dipergunakannya untuk
menghindari penggandaan penggunaan kata khalifah.16

Berbeda dengan kedua konsep sebelumnya, konsep imarah justru lebih bernuansa sosial
dan hampir-hampir tidak berhubungan dengan aspek doktrin Islam. Sistem nilai dan prinsip-
prinsip kepemimpinan seorang amir-lah yang menentukan apakah mekanisme kepemimpinan itu

14
Muhammad Yusuf, Nizham al-Hukm fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Katib al-Arabi, t.tp), h. 18.
15
Thoyib I.M. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h.
183.
16
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan,
1994), h. 57.

5
bernuansa Islam atau tidak. Itulah sebabnya, Umar bin Khaththab mencantumkan kata tambahan
“mu’minîn”, sebab kata amir saja belum mewakili peristilahan yang berhubungan dengan unsur
teologis dalam Islam.

Maka, disebabkan makna aslinya yang tidak berhubungan dengan nuansa teologi itu,
konsep amir ini justru dapat dipahami lebih umum dalam seluruh pola kepemimpinan. Termasuk
penguasa politik pemerintahan, pemimpin organisasi dan perkumpulan dan sebagainya. Dalam
proses pemilihannya pun, lebih banyak melibatkan unsur sosial-kemasyarakatan, ketimbang
doktrin. Dengan kata lain, legalisasi seorang amir ditentukan oleh kepercayaan orang banyak
terhadap seseorang.
Dengan demikian, dari ketiga konsep kepemimpinan Islam diatas, dapatlah ditarik
beberapa pengertian, yakni:
Pertama, konsep khilafah lebih bersifat umum, artinya sebagai sebuah konsep, imamah
dan imarah tercakup di dalamnya.
Kedua, masing-masing konsep dapat dipahami dengan pendekatan karakteristik dan
berbeda-beda. Khilafah lebih bersifat teologis dan sosiologis sekaligus. Teologis karena memiliki
relasi kuat dengan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sosiologis karena
dalam praktiknya proses suksesi itu dilakukan oleh manusia. Imamah murni bersifat teologis
karena melibatkan unsur-unsur akidah meski dalam praktiknya menjalankan urusan-urusan
bernuansa sosiologis. Sementara itu imarah murni bersifat sosiologis, sebab tidak disandarkan
pada unsur teologis.17
3. Pengertian dan Konsep Khilafah
Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhilafahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah
Islam disebut khalifah, imam dan amir. Arti primer kata khalifah, yang bentuk pluralnya khulapa
dan khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah "pengganti" yaitu "seseorang yang menggantikan
tempat orang lain dalam persoalan. Kata ini telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus
maupun umum. Dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah berarti "wakil"
(deputy).18

17
Moch. Fachruroji, Trilogi Kepemimpinan Islam; Analisis Teoritik terhadap Konsep Khalifah, Imamah dan
Imarah, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008
18
Hassan Shadily (Pem. Red. Umum), Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.
1769.

6
Menurut istilah, dan dalam kenyataan sejarah, khalifah adalah pemimpin yang
menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat
manusia tetap mengikuti undang-undang Nya yang mempersamakan orang lemah dan orang kuat,
orang mulia dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama
dan mengatur dunia.

Terma khilafah merujuk pada sistem pemerintahan Islam pertama yang didirikan pasca
mangkatnya Rasulullah. Pemimpin dalam sistem ini disebut khalifah, berasal dari akar kata kh-l-
f, y-kh-l-f yang bermakna pengganti (suksesor). Pada awal mula penggunaannya, kata ini
disambung dengan khalifah al-Rasul (pengganti Rasulullah), untuk merujuk kepada seseorang
yang memimpin kaum Muslimin menggantikan Rasul, namun pada perkembangannya kemudian
disebut dengan khalifah saja. Terma khilafah sendiri sebenarnya sinonim dengan imamah. Namun
dalam penggunaannya, kedua terma tersebut merupakan dua konsep yang berbeda yang digunakan
oleh sekte yang berlainan pula. Terma khilafah seringkali digunakan oleh mayoritas ahlus sunnah
sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk menunjukkan konsep
mereka dalam hal kepemimpinan.

Dengan demikian dapat dikatakan, kata khalifah yang berarti "pengganti" telah
berkembang menjadi titel atau gelaran bagi pemimpin tertinggi masyarakat muslim. Adapun
kedudukan mereka sebagai khalifah Rasul perlu dipertanyakan apakah mereka memegang
kekuasaan agama dan kekuasaan politik sekaligus. Kenyataan sejarah menunjukkan, ketika
mereka terpilih menjadi khalifah, Para sahabat tidak memisahkan dua fungsi itu. Artinya
wewenang dan kedaulatan yang diberikan kepada mereka sebagai pengganti Rasul adalah aspek
kepemimpinan. Yaitu kepemimpinan di bidang politik dan kepemimpinan di bidang pemeliharaan
dan penyebaran. agama. Atau sebagai pemimpin politik (kepala negara) dan pemimpin agama
sekaligus. Pemimpin agama atau pemimpin spiritual bukan dalam anti risalah, menerima wahyu
seperti Nabi Muhammad SAW. Karena dengan wafatnya Nabi, maka wahyu pun otomatis berhenti
dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun.19

19
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 48-
55.

7
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijma’ dan besepakat untuk mendirikan
kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi SAW, dengan tugas yang sama yakni
mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. lembaga ini disebut khilafah
(kekhalifahan), orang yang menjalankan tugas itu disebut khalifah.

Khilafah memiliki sistem pemerintahan. Pertama, berdasarkan syura’ pernah dipraktekan


pada masa al-Khulafaur Rasyidin. Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan khilafah
berdasarkan syura’ terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. tidak
satupun dari empat khalifah tersebut menurunkan kekuasaannya kepada sanak kerabatnya.
musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasulullah.

Kedua, sistem pemerintahan khilafah monarki yang dimulai setelah masa kekhilafahan
khulafaur rasyidin yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayah. Sistem monarki menerapkan sistem
wari (putra mahkota) dimana singgasana kerajaan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang
tuanya. kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena
memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu memeberikan sebuah kekayaan dan
kekuasaan. sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral
kekuasaan. seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Sistem khilafah monarki ini
terus berlanjut hingga kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani yang timbul di Istambul pada
699 H/1299 M.

Pada periode modern ada beberapa kelompok yang memiliki kecenderungan pemikiran
politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekulerisme . Pertama, memiliki pandangan
bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan, Kedua, memiliki pandangan bahwa
agama memiliki simbiosis atau hubungan timbale balik yang saling bergantungan, Ketiga, agama
harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen Nabi SAW. tidak pernah memerintahkan untuk
mendirikan sebuah Negara.

Pada masa ini munculah Hizbut Tahrir (HT) yang menyatakan khalifah kepala Negara
harus dipilih umat Muslim. Pengisian jabatan kepala Negara melalui penunjukan yang lazim
dilakukan para Raja, tidak dibenarkan oleh Islam. Taqi al-Din al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir
di kota al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H/ 1953 M, menyatakan, sistem putera mahkota
adalah sistem yang munkar dan amat bertentangan dengan sistem Islam.

8
Secara historis, sejatinya HT tak langsung muncul dengan bertujuan mendirikan Khilafah
Islamiyah. Awalnya tujuan mereka adalah nasionalisme Palestina saat Israel mulai mengadakan
invasi militernya. Namun kemudian mereka beralih dan meningkatkan level perjuangan dengan
mendirikan Khilafah. Hal ini berangkat dari sebuah paradigma ingin mengembalikan kejayaan
Islam dari belenggu penjajahan. Dan menurut mereka, cara terbaik mencapainya adalah dengan
mendirikan sistem Khilafah Islamiyah yang telah runtuh di Turki pada tahun 1924. Pada titik ini,
sebenarnya terjadi konvergensi antara HT dengan umat Islam secara umum; keduanya merindukan
kejayaan Islam. Hanya saja, cara yang ditempuh dan doktrin yang dipakai HT terkesan radikal,
berbeda dengan paradigma lain.

Dalam persoalan Khalifah, HT dengan tegas menolak konsep duwailat (negara-negara


kecil). Bagi HT, duwailat akan melemahkan kekuatan Islam karena terbagi-terbagi sesuai kawasan
teritorial. Oleh sebab itu, HT mengandaikan sebuah peleburan mutlak seluruh negara Islam di
pelbagai belahan dunia untuk kemudian mendirikan satu negara yang dipimipin satau Khalifah.
Dalam titik ini, ia mengingkari ijtihad para ulama klasik, semisal As-Subki dan Ibnu Taimiyah,
yang mentolerir ta’addud al-aimmah (kepemimpinan berbilang) yang muncul sebagai respon
politik paska runtunya Dinasti Abbasiyah. HT juga meyakini bahwa yang berhak membuat
undang-undang negara hanya Khalifah. Hal ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa Khalifah
adalah wakil Tuhan di muka bumi. Jika logika ini diteruskan maka suara Khalifah adalah suara
Tuhan, pegawainya pegawai Tuhan, menterinya menteri Tuhan, gajinya gaji Tuhan dan
seterusnya.Tentunya, karena wakil Tuhan ia kebal kritik dan tak dapat diturunkan.

Pandangan-pandangan HT yang cukup aneh dan diskriminatif antara lain adalah penolakan
mereka terhadap peran dan kontribusi nonmuslim di parlement. HT juga tidak memberikan hak
suara pilih bagi nonmuslim dalam pemilihan umum (al-intikhab). Jadi, HT memandang
nonmuslim sebagai masyarakat kelas dua di sebuah negara. Ini menunjukkan bahwa HT memiliki
doktrin yang sangat berbahaya dan diskriminatif.

Kemudian di Indonesia muncul Hizbut at-Tahrir Indonesia yang sering kita kenal HTI.
Tidak sekadar jumlah massa yang fantastis, tapi yang menggetarkan dalam sebuah momentum
adalah Hizbut Tahrir Indonesia kini dengan lantang dan gagah menyuarakan khilafah di tengah
Indonesia yang menganut konsep nation-state. Padahal konsep khilafah tentu saja berselisih
dengan konsep nation-state dan demokrasi. Pihak HTI pun merasa sukses, tidak semata-mata pada

9
penyelenggaraan acaranya namun yang lebih penting adalah keberhasilannya mengibarkan
gagasan khilafah.

HTI ini merupakan sebuah organisasi mempersepsikan Islam yang diyakini sebagai
lembaga serba sempurna diandaikan telah menyediakan cetak biru (blue print) apa saja, termasuk
sistem politik, yang wajib dan tinggal dipraktekkan. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan
yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu pada al-Quran dan al-
Hadis. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan
dakwah ke seluruh penjuru dunia. Mereka secara obsesionis ingin memboyong masa
kegemilangan peradaban Islam untuk bisa dipraktekkan saat ini dengan dalih untuk
mempersatukan umat Islam di dunia. Mereka pun terlelap dalam glorifikasi sejarah Islam. Ayat-
ayat Al-Quran yang lazim digunakan sebagai basis konsep khilafah, diantaranya adalah:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (khulifa)
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka…” (QS.
An-Nur 55)

Kata “khulifa” dalam ayat diatas dimaknai sebagai suksesor dan seseorang yang memimpin
menggantikan Nabi. Dan juga ayat;

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisaa 58-59)

Kedua ayat diatas, oleh Ibnu Taimiyah dipakai sebagai landasan pokok dalam bukunya As-
Siyasah al-Syariah yang mengelaborasi ayat 57 sebagai kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya
agar melayani rakyat dengan memegang teguh “amanah” yang telah diberikan oleh mereka dan

10
menegakkan “keadilan” dalam segala bentuk hukumnya. Sedangkan pada ayat berikutnya,
menurut Ibnu Taimiyah ditujukan kepada rakyat supaya mentaati Allah dan Rasul-Nya dan
pemimpin yang sudah mereka tetapkan sendiri, dengan catatan tidak menyimpang dari hukum
Tuhan.

Kedua ayat diatas menyimpulkan dasar-dasar umum yang harus dipegang dalam tradisi
politik Islam. Mayoritas ulama Islam sepakat bahwa menegakkan khilafah, dalam artian
kepemimpinan Islam hukumnya wajib, karena hal tersebut diandalkan dapat mempersatukan dan
mengurusi perkara kaum Muslimin serta menegakkan hukum-hukum Tuhan di dalamnya. Itulah
mengapa banyak sekali sarjana Islam yang menekankan pentingnya memiliki pemimpin dan hanya
membolehkan diangkatnya satu pemimpin dalam pemerintahan Islam. Al-Mawardi, Ibnu Hazm,
Qadhi Abdul Jabbar adalah beberapa sarjana yang menentang keras adanya dua atau lebih
pemimpin dalam masyarakat Islam.

Menurut Hamid Enayat, setidaknya ada 3 hal pokok yang menjadi kepedulian para sarjana
Islam dalam memotret masalah kepemimpinan dalam Islam yaitu; hak untuk memilih penguasa,
prosedur pelaksanaan pemilihan, dan hak untuk melakukan pemberontakan terhadap keadilan yang
diperankan penguasa.20

B. Konsep Konstitusi, Demokrasi, Ummah dan Syura’


1. Pengertian dan Konsep Konstitusi
Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dusturi. Kata ini berasal dari bahasa
Persia. Semula artinya adalah “sesorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun
agama.” Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk menunjukan anggota
kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan ke dalam bahasa
Arab, kata dustur berkembang pengertianya menjadi azas, dasar, atau pembinaan.21

Menururt istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja
sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara baik yang tidak tertulis (konvensi)
maupun tertulis (konstitusi). Kata dustur juga sudah diserap kedalam bahasa Indonesia, yang salah
satu artinya adalah undang – undang dasar suatu negara.

20
Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 76.
21
Bernard Lewis, et. Al., The Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J Brill, 1978), h. 638.

11
Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, prinsip – prinsip yang diletakan Islam dalam perumusan
undang – undang dasar ini adalah jaminan atas hak azasi manusia setiap anggota masyarakat dan
persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial,
kekayaan, pendidikan, dan agama.22

Sejarah Munculnya Konstitusi

Menurut ulama fiqh siyasah, pola hubungan antara pemerintah dan rakyatnya ditentukan
oleh adat istiadat, dengan demikian hubungan antara kedua belah pihak berbeda-beda pada
masing-masing negara. Akan tetapi karna adat istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan
tersebut tidak terdapat batasan-batasan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Akibatnya karna pemerintahan memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap absolut
otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka berlaku sewengan-wenang dan melanggar hak-
hak azasi rakyatnya. Sebagai reaksi rakyatpun melakukan perlawanan, pemberontakan bahkan
revolusi untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa secara absolut tersebut. Dari revolusi ini
kemudian lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
pedoman dan aturan main dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.

Namun tidak selamanya konstitusi dibentuk berdasarkan revolusi. Ada juga konstitusi
didasarkan karna lahirnya negara baru. Dalam hal ini, pendiri negara yang bersangkutanlah yang
terlibat aktif dalam merumuskan undnag-undang dasar bagi negara mereka. Pada masa modern,
contoh ini dapat dilihat pada negara Pakistan dan indonesia.

Perkembangan Konstitusi dalam Islam

Sumber tertulis utama pembentukan undang-undang dasar dalam Islam Al-Qur’an dan
Sunnah. Akan tetapi, karna memang bukan buku undang-undang, al-Qur’an tidak merinci lebih
jauh tentang bagimana hubungan pemimpin dengan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka
masing-masing. Al-qur’an hanya memuat dasar-dasar atau prinsip umum pemerintahan Islam
secara global saja. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tata pemerintahan juga tidak banyak.
Ayat-ayat yang masih global ini kemudian dijabarkan oleh nabi dalam sunnahnya,baik berbentuk
perkataan, perbuatan maupun takrir atau ketetapannya.

22
Abdul wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syar’iyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), h. 25-40.

12
Namun demikian, penerapannya pun bukan “harga mati.” Al-Qur’an menyerahkan
sepenuhnya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta menyusun
konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial masyarakatnya. Dalam hal
ini dasar-dasar hukum Islam lainnya, seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf,
memegang peranan penting dalam perumusan konstitusi. Hanya saja dasar-dasar penerapan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip- prinsip pokok yang telah digariskan dalam al-
Qur’an dan Sunnah.

2. Pengertian dan Konsep Demokrasi


Demokrasi sebagai konsep ketatanegaraan dalam penggunaannya sebagai ideologi Negara
mempunyai banyak makna dan nama, hal ini disebabkan karena banyaknya implementasi nilai niai
demokrasi yang seolah - olah menjadi obsesi masyarakat di dunia. Istilah demokrasi menurut asal
kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people (kata yunani demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa) dan demokrasi hanyalah menjadi slogan pemerintah
untuk menarik simpati rakyat saja. Secara etimologis, istilah “demokrasi” berarti pemerintahan
oleh rakyat” (demos berarti rakyat, kratos berarti pemerintahan).

Demokrasi juga dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan dimana warga Negara


menggunakan hak yang sama tidak secara pribadi tetapi melalui para wakil yang duduk di lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat. Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan
bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif
demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat.
Artinya, kekuasaan itu pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang
sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan
kehidupan kenegaraan.

Ciri-Ciri Demokrasi

Demokrasi dilakukan agar kebutuhan masyarakat umum dapat terpenuhi. Pengambilan


kebijakan negara demokrasi tergantung pada keinginan dan aspirasi rakyat secara umum. Dengan
menentukan kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat, dalam suatu negara demokrasi akan
tercipta kepuasan rakyat.

a. Memiliki Perwakilan Rakyat

13
Indonesia memiliki lembaga legislatif bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah
dipilih melalui pemilihan umum. Sehingga urusan negara, kekuasaan dan kedaulatan rakyat
kemudian diwakilkan melalui anggota DPR ini.

b. Keputusan Berlandaskan Aspirasi dan Kepentingan Warga Negara

Seluruh Keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah berlandaskan kepada aspirasi dan
kepentingan warga negaranya, dan bukan semata-mata kepentingan pribadi atau kelompok belaka.
Hal ini sekaligus mencegah praktek korupsi yang merajalela.

c. Menerapkan Ciri Konstitusional

Hal ini berkaitan dengan kehendak, kepentingan atau kekuasaan rakyat. Dimana hal tersebut
juga tercantum dalam penetapan hukum atau undang-undang. Hukum yang tercipta pun harus
diterapkan dengan seadil-adilnya.

d. Menyelenggarakan Pemilihan Umum

Pesta rakyat harus digelar secara berkala hingga kemudian terpilih perwakilan atau pemimpin
untuk menjalankan roda pemerintahan.

e. Terdapat Sistem Kepartaian

Partai adalah sarana atau media untuk melaksanakan sistem demokrasi. Dengan adanya partai,
rakyat juga dapat dipilih sebagai wakil rakyat yang berfungsi menjadi penerus aspirasi. Tujuannya
tentu saja agar pemerintah dapat mewujudkan keinginan rakyat. Sekaligus wakil rakyat dapat
mengontrol kerja pemerintahan. Jika terjadi penyimpangan, wakil rakyat kemudian dapat
mengambil tindakan hukum.

Tujuan Demokrasi

Secara umum, tujuan demokrasi adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang


sejahtera, adil dan makmur dengan konsep mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan.
Pada konsepnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara juga meliputi kebebasan
berpendapat dan kedaulatan rakyat.

a. Kebebasan Berpendapat

14
Tujuan demokrasi adalah memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Negara
yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, dimana rakyatnya memiliki kebebasan untuk
memberikan pendapat dan menyuarakan aspirasi dan ekspresi mereka.

b. Menciptakan Keamanan dan Ketertiban

Secara umum, demokrasi bertujuan menciptakan keamanan, ketertiban dan ketentraman di


lingkungan masyarakat. Demokrasi akan menjamin hak-hak setiap warga negara dan
mengedepankan musyawarah untuk memecahkan solusi bersama agar terjalin keamanan bersama
di lingkungan masyarakat.

c. Mendorong Masyarakat Aktif dalam Pemerintahan

Demokrasi mengedepankan kedaulatan rakyat, sehingga rakyat akan dilibatkan dalam setiap
proses pemerintahan, mulai dari pemilihan umum secara langsung hingga memberi aspirasi terkait
kebijakan publik. Rakyat yang didorong aktif terlibat dalam bidang politik guna memajukan
kinerja pemerintahan negara tersebut.

d. Membatasi Kekuasaan Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, ada di
tangan rakyat. Artinya rakyat berhak memberi aspirasi dan kritik pada pemerintahan. Sistem
pemerintahan demokrasi juga bertujuan membatasi kekuasaan pemerintahan, agar tidak
menimbulkan kekuasaan absolut atau dictator. Rakyat dapat mengajukan tuntutan apabila
pemerintah melakukan penyelewengan terhadap kebijakan yang telah dibuat.

Prinsip-Prinsip Demokrasi

a. Negara Berdasarkan Konstitusi

Pengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan
konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi
berfungsi membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan
demikian, penguasa atau pemerintah kemudian tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada
rakyatnya dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan
kewajibannya.

15
b. Jaminan Perlindungan HAM

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup,
kebebasan memeluk agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta
hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang.

c. Kebebasan Berpendapat dan Berserikat

Demokrasi memberikan kesempatan pada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati
nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik.

d. Pergantian Kekuasaan Berkala

Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Pergantian


kekuasaan secara berkala bertujuan membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian
kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat
dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.

e. Peradilan Bebas dan Tak Memihak

Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain
termasuk tangan penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak
diperlukan agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik.

f. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan

Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum akan memunculkan wibawa hukum.
Setiap Warga Negara di Depan Hukum Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat sebelah atau
pandang

g. Jaminan Kebebasan Pers

Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip-prinsip demokrasi. Pers yang
bebas dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan
dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik.

16
3. Pengertian dan Konsep Ummah
Kata “ummah” (dalam Bahasa Indonesia menjadi umat) adalah sebuah konsep yang telah
akrab dalam masyarakat kita, akan tetapi sering dipahami secara keliru. Karena begitu dekatnya
dalam kehidupan kita sehari-hari, tak jarang istilah ini terabaikan dan tidak dianggap sebagai
pengertian ilmiah. Padahal, tidak kurang orientalis W. Montgomery Watt dan Bernard Lewis,
membahas konsep ini secara serius dalam karangan mereka.23 Sedangkan dari kalangan Islam,
pembahasan konsep ummah ini antara lain dilakukan oleh Ali Syari‘ati dalam bukunya al-Ummah
wa al-Imâmah dan M. Quraish Shihab dalam bagian karya tafsir tematiknya Wawasan Al-Qur’an.
Dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah “umat” mengandung empat macam pengertian, yaitu:
(1) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan, (2) penganut suatu
agama atau pengikut Nabi, (3) khalayak ramai, dan (4) umum, seluruh, umat manusia. 24
Dalam terminologi Islam, istilah “ummah” adalah sebuah konsep yang unik dan tidak ada
padanannya dalam bahasa-bahasa Barat. Pada mulanya, kalangan pemikir politik dan orientalis
Barat mencoba memadankan kata ummah dengan kata nation (bangsa) atau nation-state (negara
kebangsaan). Namun padanan ini dianggap tidak tepat dan akhirnya dipadankan pula dengan kata
community (komunitas). Meskipun demikian, term “komunitas” juga tidak terlalu tepat untuk
disamakan dengan pengertian ummah. Menurut Abdur Rasyid Moten, Guru Besar Ilmu Politik
Universitas Islam Internasional, Malaysia, terlalu menyederhanakan pengertian kalau kita
membuat persamaan antara kata ummah dan community ini.25

Ada perbedaan prinsip antara kedua pengertian ini. Komunitas merupakan suatu kelompok
masyarakat yang mempunyai perasaan bersama dan memiliki identitas komunal. Kesamaan
budaya, kesamaan wilayah, darah, suku atau kebangsaan, atau dari gabungan semua ini.26 Adapun
basis ummah tidak didasarkan pada ras, bahasa, sejarah atau gabungan itu dan tidak bergantung
pada batas-batas wilayah geografis. Ummah bersifat universal, meliputi kaum Muslim, dan
disatukan oleh ikatan ideologi yang kuat dan komprehensif, yaitu Islam. Ummah dibutuhkan
dalam rangka mengaktualisasikan kehendak-kehendak Allah dalam lingkup ruang dan waktu agar
tercapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

23
Bernard Lewis, Political Language of Islam, (Chicago University, 1988), Bab 3 dan 5.
24
Hasan Sadili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1980), jilid 6.
25
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, (USA: St. Martin Inc, 1996), h. 36.
26
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, h. 64.

17
Dalam konteks politik Islam, kata “ummah” berasal dari kata amma-yaummu yang berarti
menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata ini lahir antara lain kata “umm” yang berarti
“ibu” dan imâm, yang bermakna “pemimpin”. Kedua-duanya, ibu dan pemimpin, merupakan
teladan, tumpuan pandangan dan harapan bagi anggota masyarakat.27 Menurut Ali Syari‘ati,
makna ummah terdiri dari tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Dengan
demikian, lanjut Ali Syari‘ati, kata ummah berarti “jalan yang jelas”, yaitu “sekelompok manusia
yang bermaksud menuju jalan”.28
Dalam Al-Qur’an, kata “ummah” dan bentuk jamaknya “umam” disebutkan sebayak 64
kali, 52 kali di antaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad) dan digunakan untuk berbagai
pengertian. Dari jumlah itu, sebagian besar termasuk ke dalam ayat-ayat Makkiyah. Adapun dalam
ayat-ayat Madaniyah hanya 17 kali kata ummah disebutkan Al-Qur’an. Hampir semua kata ummah
dalam ayat-ayat Makkiyah berarti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam sejarah.29
Menurut Quraish Shihab, dalam kata ummah terselip makna-makna yang cukup dalam.
Ummah mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas serta gaya dan cara hidup.
Ini berarti bahwa untuk menuju suatu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan
gaya dan cara tertentu, pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. 30
Sementara dalam Piagam Madinah, penggunaan kata ummah ini mengandung dua
pengertian, yaitu:
Pertama, organisasi yang diikat oleh akidah Islam.31

27
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1996), h. 325.
28
Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, terjemah Muhammad Faishol Hasanudin dari Al-Qur’an al-Ummah wa al-
Imamah, (Bandarlampung-Jakarrta: YAPI, 1990), h. 36.
29
Besarnya perhatian Al-Qur’an pada periode Mekkah ini membicarakan masalah ummah daripada periode Madinah
menarik dicermati. Ini mengisyaratkan bahwa sejak awal Al-Qur’an memang menekankan perlunya kesatuan manusia
agar tercapai kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, pada periode Mekkah, Al-Qur’an banyak berbicara tentang
kehancuran suatu umat akibat kedurhakaan mereka kepada utusan-utusan Allah. Jadi, sejak periode awal, Al-Qur’an
memang sudah memberikan sinyal-sinyal kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran dari kehancuran bangsa
dan umat-umat terdahulu supaya peristiwa tersebut tidak terulang kembali terjadi pada diri mereka. Sesuai dengan
pengertian dasarnya, pembicaraan Al-Qur’an tentang ummah pada periode Mekkah menunjukkan bahwa manusia
harus mematuhi segala yang dibawa oleh Rasul-Nya agar selamat di dunia dan akhirat.
30
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 327.
31
Pasal tersebut berbunyi: “Innahum ummatun wahidah min duni al-nas” (sesungguhnya mereka [suku Quraisy dan
penduduk asli Madinah] adalah suatu umat yang berbeda dengan komunitas manusia lain).

18
Kedua, organisasi umat yang menghimpun jamaah atau komunitas yang beragam atas dasar ikatan
sosial politik.32
Dalam pasal ini, Yahudi tidak dimaksudkan sebagai pengertian agama, tetapi pengertian
suatu kelompok dalam sebuah Negara Madinah. Hal ini juga diisyaratkan dengan dipadankannya
kata “Yahudi” dengan kata “Mukminin”, tidak dengan kata “Muslimin”, untuk menunjukkan
agama. Berdasarkan pasal ini, Abduh menegaskan bahwa konsep ummah dalam Islam diikat
berdasarkan agama dan kemanusiaan.33 Nabi SAW dapat menjalin kerja sama dengan Yahudi
berdasarkan semangat kemanusiaan karena ingin menegakkan tatanan masyarakat yang etis dan
demokratis.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Piagam Madinah di atas dapat dicatat beberapa ciri esensi
yang menggambarkan ummah (Islam).
Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (Al-Qur’an) dan bentuk pengabdian yang
satu kepada Allah dan arah kiblat yang satu pula (Ka’bah). Mereka mengikuti syari’at yang
diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Singkat kata, anggota ummah diikat oleh Islam.
Ini yang membedakan mereka dengan kelompok-kelompok lainnya.
Kedua, Islam yang memberikan identitas pada ummah mengajarkan semangat universal. Al-
Qur’an menjelaskan bahwa manusia seluruhnya adalah sama. Tidak ada perbedaan antara manusia
atau kelompok dengan manusia atau kelompok lainnya, kecuali ketakwaan, Islam tidak mengakui
kasta, kelas sosial atau warna kulit sebagai pembeda manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah
swt.
ۡ ۡ ۡ ‫ا‬
… ‫َّاس اِ ََّّن َخلَق ۤن ُك ۡم ِّم ۡن ذَ َك ٍر َّواُن ثۤى َو َج َعل ۤن ُك ۡم ُشعُ ۡواًب َّوقَبَآ ِٕٮ َل لِتَ َع َارفُ ۡوا‬
ُ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬‫ه‬َ ‫ي‬
َُّ‫ٰي‬
ۤ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal...” (QS. al-Hujurat, 49:13).

32
Pasal ini berbunyi: “Sesungguhnya Banu `Awf merupakan satu umat dengan orang mukmin. Bagi Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum Muslimin juga agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka
sendiri, kecuali yang berbuat aniaya dan jahat.”
33
Hasan Sadili, Ensiklopedi Indonesia, h. 130.

19
Ketiga, karena umat Islam bersifat universal, maka secara alamiah umat Islam juga bersifat
organik. Kesatuan organik ini diikat oleh semangat persaudaraan seiman, sebagaimana dalam QS.
al-Hujurat, 49: 10:

… ‫ۡي اَ َخ َو ۡي ُك ۡم‬ۡ ‫اََِّّنا ۡالم ۡؤِمن ۡون اِ ۡخوة فا ۡصلِح ۡوا ب‬


َ َ ُ ََ ٌ َ َ ُ ُ َ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) …”

Keempat, berdasarkan prinsip ketiga diatas, Islam tidak dapat mendukung ajaran kolektivitisme
komunisme dan individualisme kaum kapitalis. Islam mengakui hak-hak milik individu dan
membolehkan umatnya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang baik dan halal.
Namun demikian, pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan bahwa pada milik individu
tersebut terdapat hak-hak orang lain (QS. al-Ma‘arij, 70: 24-25).

‫وم‬ ِِ ِ ‫وٱلَّ ِذين‬


ٌ ُ‫ِف أ َْم َۤوِل ْم َح ٌّق َّم ْعل‬
ٓ َ َ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”

‫لسآئِ ِل َوٱلْ َم ْح ُر ِوم‬


َّ ِّ‫ل‬
“Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)”

Oleh karena itu, Allah mewajibkan pembayaran zakat dan infak lainnya untuk pemerataan harta
agar tidak berada di tangan sekelompok kecil elite ekonomi saja.

Kelima, dari prinsip-prinsip di atas, maka sistem politik yang digariskan Islam tidak sama dengan
pandangan-pandangan Barat seperti nasionalisme dan teritorialisme yang didasarkan pada
batasan-batasan wilayah, darah, warna, kulit, dan bahasa. Islam, dalam politik, memberikan nilai-
nilai yang universal demi menegakkan dan merealisasikan wahyu-wahyu Allah. Basis ideologi
politik Islam adalah tauhid yang sepenuhnya mengakui hukum-hukum Allah.34
Dari ciri esensi ini, dapatlah ditegaskan bahwa umat dalam Islam dibangun di atas dasar-
dasar semangat akidah yang kukuh, persamaan mutlak setiap manusia, keteladanan, kemanusiaan,

34
Abdur Rahman Moten, Political Science: An Islamic Perspective, h. 66-68.

20
penghargaan atas hak-hak individu yang paling asasi dan penolakan terhadap primordialisme yang
didasarkan pada ras, warna kulit, bahasa, geografi, dan lain-lain. Ummah dalam Islam melewati
batas-batas wilayah yang sempit dan dalam waktu yang sama menghormati perbedaan-perbedaan
teritorial. Islam tidak menganggap darah, tanah dan perkumpulan atau kesamaan tujuan, pekerjaan
dan alat produksi, ras, indikasi sosial serta jalan hidup, sebagai ikatan dasar yang suci antara
individu-individu manusia.
4. Pengertian dan Konsep Syura
Kata “syura” (syura) berasal dari sya-wa-ra yang secara etimologis berarti mengeluarkan
madu dari sarang lebah.35 Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia
menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan
dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan
pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.36 Dengan demikian,
keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi
kepentingan kehidupan manusia.

Al-Quran menggunakan kata syura dalam tiga ayat. Pertama, surat al-Baqarah, 2: 233 yang
membicarakan kesepakatan (musyawarah) yang harus ditempuh suami-istri kalau mereka ingin
menyapih anak sebelum dua tahun. Ini menunjukkan bahwa suami-istri harus memutuskan
permasalahan anak (termasuk masalah lainnya dalam rumah tangga) dengan cara-cara
musyawarah. Jangan ada pemaksaan kehendak dari satu pihak atas pihak lainnya. Adapun ayat
kedua dan ketiga surat ali-Imran 3: 159 dan as-Syura 42: 38 berbicara lebih umum dalam konteks
yang lebih luas. Dalam surat ali-Imran 3: 159, Allah memerintahkan kepada Nabi Saw untuk
melakukan musyawarah dengan para sahabat.

Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud yang membawa kekalahan
umat Islam. Nabi Saw sendiri mengalami luka-luka dalam perang tersebut. Ayat ini mengajarkan
kepada Nabi Saw dan tentunya kepada seluruh umat beliau, agar bermusyawarah dalam
memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan umat Islam. Adapun dalam surat as-Syura 42:
38 Allah menggambarkan sifat orang mukmin yang salah satunya adalah mementingkan
musyawarah dalam setiap persoalan yang mereka hadapi (wa amrahum syura baynahum).

35
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 1968), jilid 4, h. 434
36
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h.469.

21
Ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit dan itupun sangat umum dan
global, Al-Quran hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Allah memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada umat Islam untuk menggunakan akal dan pikiran mereka, sejauh tidak
melanggar batasan-batasan yang ditentukan-Nya dalam al-Quran. Agar prinsip syura ini dapat
berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah, setidaknya musyawarah yang dilakukan harus
mempertimbangkan tiga hal, yaitu: masalah apa saja yang menjadi lapangan musyawarah, dengan
siapa musyawarah dilakukan serta bagaimana etika dan cara musyawarah dilakukan.

Sebagian ulama memandang bahwa perintah musyawarah kepada Nabi Saw hanyalah
dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan taktik dan strategi perang menghadapi musuh
pada saat perang Uhud. Pendapat ini berasal dari Muqatil, al-Rabi, Qatadah dan Syafi’i. menurut
mereka, para pemuka Arab, kalau tidak diajak musyawarah dalam urusan mereka, akan kecewa
dan kecil hati. Karenanya, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk melakukan musyawarah
dengan mereka, supaya lebih mempererat hubungan mereka dan menghilangkan rasa kecewa di
kalangan mereka.37 Sebagian lagi berpendapat bahwa musyawarah juga dapat dilakukan dalam
masalah-masalah keagamaan. Mereka beralasan bahwa terjadinya perubahan sosial seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan membuat sebagian permasalahan agama juga ikut terimbas dan
menuntut “penyesuaian”, karena Al-Quran dan Sunnah belum menentukan cara penyelesaiannya
secara perinci dan tegas.

Dari pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan
perinci diuraikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mendapat tempat untuk dimusyawarahkan.
Karenanya, Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah dalam masalah-masalah seperti
dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah.

Musyawarah merupakan esensi ajaran Islam yang wajib diterapkan dalam kehidupan sosial
umat Islam. Tentang etika musyawarah dilakukan, surat Ali-Imran 3: 159 dapat dijadikan rujukan.
Ayat ini menunjukkan tiga sikap yang diperintahkan Allah kepada Nabi Saw dalam melakukan
musyawarah. Pertama, berlaku lemah lembut. Kedua, memberi maaf. Ketiga, hubungan vertikal
dengan Allah.

37
Muhammad Yusuf Musa, Nizham al-Hukm fi al-Islam, (kairo, Dar al-Kutb al-Arab, t,tp), h. 179.

22
BAB III
KESIMPULAN
Imamah adalah kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan
urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW dalam rangka menegakkan agama dan
memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.

Imarah secara harfiah diartikan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan


memerintahkan sesuatu kepada orang lain.

Khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum
terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang Nya yang
mempersamakan orang lemah dan orang kuat, orang mulia dan orang hina di depan kebenaran
sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.

Kata dustur sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi konstitusi, yang salah satu
artinya adalah undang – undang dasar suatu negara. Konstitusi berfungsi membatasi wewenang
penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat.

Secara etimologis, istilah “demokrasi” berarti pemerintahan oleh rakyat (demos berarti
rakyat, kratos berarti pemerintahan). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana warga
Negara menggunakan hak yang sama tidak secara pribadi tetapi melalui para wakil rakyat yang
duduk di lembaga Perwakilan Rakyat.

Dalam Piagam Madinah, penggunaan kata ummah mengandung dua pengertian, yaitu:
Pertama, organisasi yang diikat oleh akidah Islam. Kedua, organisasi umat yang menghimpun
jamaah atau komunitas yang beragam atas dasar ikatan sosial politik.

Syura mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang
lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan dengan jalan musyawarah.

23
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ahmad Zainal. Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adh-Dhulam. Iskandariah: Dar ad-Dakwah, 1400 H.
Al-Mawardi Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.
Asy-Syaukani, as-Sail al-Jarrar al-Mutarafiq ‘ala Hada’iq al-Azhar. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004.
'Audah, Abd al-Qadir. al-Islam wa Audha una al-Siyasah. Kairo: al-Mukhtar al-Islam, 1978.
Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan
Ekonomi. Bandung: Mizan, 1994.
Djazuli, A. Fiqh Siyasah. Jakarta: Kencana, 2009. Cet. ke-4.
Fachruroji, Moch. Trilogi Kepemimpinan Islam; Analisis Teoritik terhadap Konsep Khalifah,
Imamah dan Imarah, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008.
Lewis, Bernard. et. Al., The Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J Brill, 1978.
Lewis, Bernard. Political Language of Islam, Bab 3 dan 5. Chicago University, 1988.
Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab, jilid 4. Beirut: Dar al-Shadir, 1968.
Moten, Abdur Rahman. Political Science: An Islamic Perspective. USA: St. Martin Inc, 1996.
Pulungan, Suyuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999.
Ridho, Rasyid. Al-Khilafah au al-Imamah al-‟Udhma, dalam Wajih Kautsaroni, Ad-Daulah wa
al-Khilafah fi al-Khithob al-‟Arobi Abban al-Tsaurah al-Kamaliyah fi Turkiya: Dirosah
wa Nushush. Beirut: Dar ath-Tholi’ah, 1996.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, V dan VI. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 1996.
Syari’ati, Ali. Ummah dan Imamah, terjemah Muhammad Faishol Hasanudin dari Al-Qur’an al-
Ummah wa al-Imamah. Bandarlampung-Jakarrta: YAPI, 1990.
Thoyib I.M. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.
Wahhab Khallaf, Abdul. Al-Siyasah al-Syar’iyah. Kairo: Dar al-Anshar, 1977.
Yusuf, Muhammad. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Kairo: Dar al-Katib al-Arabi, t.tp.

24

Anda mungkin juga menyukai