Anda di halaman 1dari 7

Mu'tazilah merupakan sebuah kelompok yang meyakini bahwa akal lebih tinggi daripada

dalil. Bahwasanya akal itu lebih diutamakan daripada Al-qur'an dan hadis. Apabila suatu hal
tersebut dapat diterima oleh akal, maka hal tersebut sesuai dengan sunnah. Tetapi jika
pemikiran tersebut tidak sesuai dengan akal, maka mereka menolak pemikiran tersebut,
meskipun hal tersebut terdapat dalam Al-qur'an dan hadis. Dilihat dari pemaparan tentang
pemikiran mu'tazilah diatas, bahwa akal merupakan satu-satunya sandaran pemikiran mereka.
Sedangkan golongan ahlusunnah menggabungkan metode Al-qur'an maupun hadis dan akal
dalam mencari hukum atau aturan yang benar sesuai syari'at. Bisa dikatakan bahwa golongan
mu'tazilah tidak berpegang teguh pada sunah Rasulullah Saw. Padahal setiap muslim harus
berpegang teguh pada aqidah. Orang yang hanya berpegang pada akal akan menyimpang dari
syari'at. Mereka tidak akan mendapatkan petunjuk kebenaran jika hanya mengandalkan
akalnya saja. Karena kemampuan akal untuk berfikir mencari kebenaran itu sangatlah
terbatas.

Pada dasarnya mereka memiliki kecerdasan, ketekunan, keistiqomahan dalam belajar tetapi
mereka gagal. Apa penyebabnya?

Meskipun mereka diberi kecerdasan, tetapi mereka tidak diberikan kebeningan hati atau
kesucian hati.

Golongan mu'tazilah berpendapat bahwa Al-qur'an  itu adalah makhluk. Berbeda dengan
Ahlusunnah yang mengatakan bahwa Al-qur'an bukanlah makhluk, tetapi Al-qur'an adalah
firman Allah Swt.

Kenapa golongan mu'tazilah mengatakan bahwa Al-qur'an itu makhluk ?

Karena yang namanya makhluk itu tidak sempurna, makhluk mempunyai perbedaan pendapat
masing-masing, sama halnya dengan golongan mu'tazilah.

Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-qur'an merupakan suatu perkataan yang terdiri  dari huruf
dan suara, maksudnya disamakan dengan perkataaan makhluk didalam kesehariannya. Jika
Al-qur'an itu hanya terdiri dari perkataan yang baru diucapkan, maka Al-qur'an itu sifatnya
adalah baru. Sementara Ahlusunnah berpendapat bahwa Al-qur'an itu adalah kalam Allah
Swt dan sifat Allah yang qadim, bukan suatu makhluk yang baru. Selain itu mu'tazilah juga
berpendapat bahwa sifat-sifat kalam Al-qur'an bukanlah sifat Dzat, melainkan sifat-sifat
perbuatan makhluk. Maka dari itu, golongan mu'tazilah mengatakan Al-qur'an disebut
makhluk.

Mu'tazilah menganut qadariyah, yaitu paham mengingkari atau menolak takdir Allah Swt.
Dan menurut pemikiran mereka, bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mukmin dan
bukan orang kafir, melainkan orang fasiq ( posisinya ditengah-tengah orang mukmin dan
orang kafir).  Jadi apabila pelaku dosa besar meninggal dunia dan belum sempat bertaubat,
maka ia akan masuk kedalam neraka secara kekal. Tetapi siksaan yang diterima oleh pelaku
dosa besar tersebut lebih ringan daripada orang-orang kafir.

Menurut mereka bahwa sifat-sifat Allah menyebabkan banyaknya Dzat Allah, padahal Allah
itu satu. Bahkan mereka ingin menghilangkan sifat-sifat Allah, karena mereka mengatakan
bahwa sifat-sifat Allah itu sama dengan Dzat itu sendiri.  Oleh karena itu, mereka menolak
Asma Wa Shifat Allah atau mereka menyebut Allah itu tidak mempunyai sifat. Sedangkan
menurut Ahlussunnah, Allah memiliki sifat-sifat karena perbuatan-perbuatannya. Mereka
juga mengatakan bahwa tuhan maha mengetahui, melihat, berkuasa, menghendaki dan
sebagainya. Ahlussunnah berpendapat bahwa sifat sifat allah itu tidak dapat di bandingkan
dengan sifat-sifat manusia.

Selanjutnya mu'tazilah berpendapat bahwa Allah itu sifatnya adalah immateri, tidak dapat
dilihat dengan mata kepala karena Allah tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat
dilihat. Kemudian jika Allah dapat dilihat oleh mata kepala berarti Allah dapat dilihat
sekarang di dunia ini. Sedangkan kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat Allah
di dunia ini. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Ahlusunnah yang mengatakan bahwa
Allah dapat dilihat diakhirat kelak dengan mata kepala. Karena sesuatu yang dapat dilihat
dengan mata kepala itu adalah sesuatu yang memiliki wujud.

Karena Allah memiliki wujud, maka ia dapat dilihat. Dia melihat diri-Nya juga. Jika Allah
melihat diri-Nya, maka ia sendiri dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat
diri-Nya sendiri.

Menurut pandangan mu'tazilah, manusia itu memiliki kebebasan bertindak dalam


kesehariannya. Manusia bebas bertindak karena kebebasan itu adalah pemberian dari Allah
Swt, tetapi golongan mu'tazilah mengatakan bahwa manusia itu memiliki qudrat (berkuasa)
dan iradat (berkehendak), tetapi sifatnya hanyalah sementara atau hanya sebagai pinjaman
semata. Kebebasan yang di berikan itu harus dipertanggungjawabkan dengan semua
perbuatannya. Apabila manusia melakukan kebaikan maka Allah Swt akan memberikan
kebaikan pula, dan jika perbuatannya itu buruk maka Allah Swt akan memberikan hukuman.
Hal tersebut dijadikan prinsip keadilan oleh mu'tazilah. Mereka juga mengatakan jika wajib
hukumnya Allah Swt bersikap adil. Sedangkan Ahlusunnah mengatakan jika Allah itu
memiliki sifat adil (Allah Maha Adil), dan Allah Swt menyukai orang-orang yang berlaku
adil.

Mu'tazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya untuk menyiarkan
dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat, dan mencegah orang untuk mencampur
adukan kebenaran dan kebatilan, sehingga tidak dapat menghancurkan Islam. Ajaran ini
berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam membina moral umat, Mu'tazilah
berpendapat bahwa amar maruf nahi mungkar sebagai suatu bentuk dari kontrol sosial wajib
dijalankan. Kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan kekerasan.

Dapat disimpulkan dari paparan diatas, bahwa pemikiran golongan mu'tazillah dengan
ahlusunnah saling bertolak belakang. Mu'tazillah sangat mengedepankan akal dan
mengesampingkan Al-quran dan hadist. Hal ini lah yang tidak disepakati oleh golongan
Ahlusunnah, karena Ahlusunnah mengedepankan Al-quran dan hadis daripada akal dan
mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Kaum Mutazilah merupakan salah satu wujud kebebasan
berpikir dan berpendapat di dunia Islam. Sekaligus menjadi salah satu pembelajaran
intelektual Islam yang perlu dipelajari dan dikaji guna menambah dan memperkaya wawasan
keilmuan kita semua. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin
Mu'tazilah sebagai salah satu aliran dalam islam yang lahir sehubungan dengan persoalan
dosa besar yang dihadapi oleh golongan khawarij dan Murji'ah. Khawarij mengatakan bahwa
orang yang berdosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam. Oleh karena itu wajib
dibunuh. Muncul aliran Murji'ah yang menegaskan bahwa orang yang buat dosa besar tetap
mukmin dan bukan kafir. Persoalan dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah SWT.
Mu'tazilah tidak menerima pendapat tersebut. Mereka yang berbuat dosa besar bukan kafir
tetapi pula bukan mukmin (posisi diantara dua posisi). Pandangan-pandangan inilah yang
memberikan corak bagi masing-masing aliran tersebut.

Mu'tazilah dalam pandangan tersebut yang dipelopori oleh Washil Ibn 'Atha', yang dalam
perkembangan selanjutnya dikenal sebagai kaum rasionalis Islam karena membahas
persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari persoalan-persoalan yang
dibawa kaum khawarij dan Murji'ah.

Mu'tazilah sebagai salah satu aliran yang berciri rasional dan filosofis selalu mengedepankan
rasio (akal) dalam memberikan bantahan terhadap lawan-lawannya. Mu'tazilah pada fase-fase
perkembangan selanjutnya merangkum asas-asas pemikiran dalam bentuk global yang
terkenal dengan istilah al-usul al Khamsah. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Ibn
Sai'id dan Usman al-Za'farany. Yang kemudian oleh Abu Huzail dipadukannya dengan
pengetahuannya tentang filsafat dan setelah dirasa sudah mulai matang lalu dituliskan sebuah
buku yang berjudul Usul al Khamsah sebagai suatu karya monumental dan merupakan
pegangan para pengikut Mu'tazilah. Kemudian oleh Harum Nasution di istilahkan sebagai
"Pancasila Mu'tazilah".

Usul al Khamsah yang merupakan ilmu dasar utama yang harus di pegang oleh setiap orang
mengaku dirimya sebagai pengikut Mu'tazilah dan ini telah merupakan kesempatan mereka
semua. Kelima dasar utama di maksud adalah sebagai berikut:

Al Tauhid

Al-'Adlu

Al-Wa'du wa Al-wa'id

Al-Manzilat Bain Al-Manzilatain

Al-Amr bi Al-Ma'ruf Wa Al-Nahyi'an Al-Munkar

AL-ADL (KEADILAN)
Ajaran keadilan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan ajaran At-Tauhid. Kalau At-
Tauhid adalah mensucikan Tuhan daripada adanya persamaan dengan makhluk, maka Al-
Adl adalah mensucikan Tuhan dari perbuatan dhalim. Menurut Mu'tazilah, Tuhan tidak
menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kudrat (kekuasaan)
yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya
dan melarang apa yang tidak dikehendaki-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan
yang diperintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Manusia telah diberi daya oleh Tuhan untuk memikul beban yang dipikulkan kepadanya.
Manusia diberi kuasa untuk memilih perbuatannya yang akan dilakukan. Tuhan telah
menyerahkan kudrat dan Iradat-Nya kepada manusia, oleh sebab itu Mu'tazilah juga
disebut “Ahlu Tafwidl”. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya
dengan daya pemberian Tuhan yang ada padanya. Dengan demikian dapat dipahami tentang
perintah-perintah Tuhan, janji dan ancaman, pengutusan rasul dan sebagainya. Oleh sebab itu
manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat apapun juga, manusia adalah “khalikul
af’al” dirinya sendiri. Kalau manusia tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya, maka
adalah tidak adil kalau Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka.
Demikian pula Tuhan memberi siksa, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan
maslahat manusia. Karena kalau Tuhan menurunkan siksa bukan untuk maksud itu, maka
berarti Tuhan melalaikan salah satu kewajiban-Nya. Tuhan wajib selalu berbuat baik, bahkan
yang terbaik yang mendatangkan kebaikan bagi manusia (as-salah wal aslah). Tuhan tidak
berbuat buruk, bahkan tidak bisa berbuat buruk. Karena perbuatan buruk-Nya akan
mengurangi sifat kesempurnaan-Nya.
Adapun manusia yang berbuat baik, tetapi di dunia hidupnya sengsara, juga pasti mendapat
anugerah Tuhan di akherat nanti. Keadilan Tuhan berlaku bagi seluruh makhluk, manusia,
hewan, dan seisi alam semesta ini.
AL-WA’DU WAL-WA’IED (JANJI DAN ANCAMAN)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka yakin bahwa janji
Tuhan akan memberikan pahala berupa surga dan ancaman akan menjatuhkan siksa yaitu
neraka sebagai yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, pasti dilaksanakan karena Tuhan sendiri
sudah menjanjikan hal yang demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan
dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan
taubat, ia berhak akan pahala dan mendapatkan tempat di surga. Sebaliknya siapa yang keluar
dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di
dalam neraka. Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa yang diterimanya akan lebih
ringan jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Pengampunan dosa besar hanya ada dengan melalui taubat, sebagaimana halnya orang
berbuat baik pasti mendapat pahala. Oleh sebab itu Mu'tazilah sama sekali mengingkari
adanya “syafaat” (pengampunan) pada hari kiamat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan
adanya syafaat (lihat Al-Qur’an surat Saba’: 23, Surat Thoha: 109 dan sebagainya), mereka
kesampingkan dan mereka memegangi dengan teguh ayat-ayat yang menunjukkan tidak
adanya syafaat itu seperti tercantum dalam surat Al-Qur’an-Baqarah: 254:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rizki yang telah kami berikan
kepadamu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli dan tidak ada persahabatan
yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang
dhalim”.  (QS. Baqarah: 254) 
Syafa’at merupakan dispensasi, ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan janji serta
ancaman (al-wa’du wal-walied) Tuhan. Maka tidak mungkin Tuhan berbuat tidak adil dan
menyalahi janji-Nya sendiri.

MANZILAH BAINAL MANZILATAIN


A. Latar belakang munculnya aliran Mu'tazilah

Ada beberapa alasan yang membuat aliran ini disebut "Mu'tazilah", yaitu:

Mereka menjauhkan diri dari semua pendapat yang telah ada tentang hukum orang yang
mengerjakan dosa besar.

Faham Murji'ah berpendapat bahwa pembuat dosa besar termasuk mukmin, menurut faham
Khawarij Azariqah, ia termasuk orang kafir. Sedangkan menurut Hasan Al basri, ia menjadi
orang munafik. Kemudian datang Washil bin Atha berpendapat, ia bukan mukmin bukan pula
kafir tetapi fasik.

Karena Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid menjauhkan diri (i'tazala) dari pengajian Hasan
Basri di masjid Basrah, dengan berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak
mukmin sepenuhnya dan tidak kafir sepenuhnya, tetapi berada di satu tempat diantara dua
tempat tersebut (manzilah baina manzilatain), sehingga menjauhkan diri atau memisahkan
diri dan disebut orang "Mu'tazilah".

Karena ditinjau dari sifat si pembuat dosa besar itu sendiri, kemudian menjadi sifat atau nama
aliran yang berpendapat demikian, yaitu si pembuat dosa besar menyendiri dari orang-orang
kafir.

Adapun sebutan lainnya adalah:

Ahlul Adli wat Tauhid

Sebutan yang lebih disukai oleh aliran Mu'tazilah. Sebutan ini diambil dari lima prinsip yang
menjadi dasar ajaran faham Mu'tazilah, yaitu Keadilan Tuhan dan Keesaan-Nya.

Mu'tazilah

Sebutan ini diberikan oleh lawan dari aliran Mu'tazilah, yang pada akhirnya terpaksa diterima
oleh aliran Mu'tazilah. Tetapi ditafsirkan lain, yaitu penyingkiran mereka dari bid'ah-bid'ah
dan menjauhinya (i'tazaluha).

 Ajaran Pokok Aliran Mu'tazilah

Aliran Mu'tazilah berdiri atas lima pokok ajaran utama (al-ushul al-khomsah), yaitu: At-
tauhid (Ke-Esaan), Al-Adlu (keadilan Tuhan), Al Manzilah baina Manzilatain (Tempat
diantara dua tempat), Al-Wa'du wal Wa'id (Janji dan Ancaman) dan Amar Ma'ruf Nahi
Munkar.

At Tauhid (Keesaan Tuhan)


Tauhid dalam faham Mu'tazilah memiliki arti spesifik, yaitu bahwa Tuhan harus disucikan
dari segala hal yang mengurangi arti Keesaan-Nya. Mereka mempertahankan Keesaan yang
semurni-murninya karena menghadapi golongan Syi'ah Rafidloh yang ekstrim, yang
menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjism dan dapat diindera, disamping golongan
agama dualisme dan trinitas. Pada umunya, Mu'tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi
dua, yakni ilmu dan kuasa, kemudian menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial.
Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu, yakni Keesaan.

Kelanjutan dari prinsip Keesaan yang murni adalah:

Tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qodim, yang lain daripada dzat-Nya.(1)
Menurut Mu'tazilah, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali itu berarti terdapat
"pluralitas yang kekal" dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka.
Mu'tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat dan penggambaran fisik Tuhan.(2)
Bagi kaum Mu'tazilah, apa yang oleh kelompok lain disebut sebagai sifat, seperti melihat,
mendengar dan lainnya adalah dzat Tuhan itu sendiri.(3)

Al-Qur'an adalah makhluk, Kalamullah itu tidak ada pada dzat Tuhan, melainkan berada
diluarnya.

Tidak mengakui manusia dapat melihat Tuhan secara langsung.

Tidak mengakui arah bagi Tuhan.

Al Adlu (Keadilan Tuhan)

Menurut aliran Mu'tazilah Keadilan Tuhan mengharuskan Tuhan untuk hanya berbuat yang
baik (shalah) dan yang terbaik (ashlah) dan bukan sebaliknya. Dan Tuhan juga tidak
melanggar janji-Nya. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan, karena Tuhan Maha Sempurna maka Dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang
adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak
melanggar janji-Nya.

 Oleh karena itu, faham Mu'tazlah juga menganut faham Qodariyah, yaitu bahwa perbuatan
manusia bukan diciptakan oleh Allah, karena tidak mungkin perbuatan buruk manusia
disandarkan pada Allah. Faham ini meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala
perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia.
Manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-
Nya, dengan kekuasaan yang dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka.

Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum tobat
bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasiq izutsu (1914-1933M) dengan mengutip ibn hazm
(w.456 H),,enguraikan pandangan mu'tazilah sebagai berikut, "orang yang melakukan dosa
besar disebut fasiq. Ia bukan mukmin, bukan kafir, bukan pula munafik (hiporkit)."
Mengomentari pendapat tersebut, izutsu menjelaskan bahwa sikap mu'tazilah adalah
membolehkan hubungan pernikahan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan
mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.

Menurut pandangan mu'tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin
secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan terhadap tuhan, tidak cukup hanya
pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah sebuah kepatuhan, melainkan
kedurhakaan. Orang itu tidak bisa dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada
tuhan dan rosulnya dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal sebelum
bertaubat, ia di masukkan di neraka dan kekal di dalamya karena di akhirat terdapat dua
pilihan, yaitu surga dan neraka yang mana di neraka adalah tempat bagi seseorang yang
melakukan dosa sedangkan di surga adalah tempat bagi orang-orang yang melakukan
kebaikan.

mengenai perbuatan yang di kategorikan sebagai dosa besar, aliran mu'tazilah tampaknya
merumuskan secara lebih konseptual dari pada aliran khawarij. Menurut pandangan
mu'tazilah, dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya di sebutkan secara tegas
dalam nash.

Anda mungkin juga menyukai