Oleh :
Raida, S.Ag
NIP. 19680316200003 2 001
2015
ii
OLEH :
RAIDA, S.Ag
NIP. 19680316 200003 2 001
ii
iii
Setelah membaca dan mencermati karya ilmiah yang merupakan ulasan hasil
penelitian yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di Kantor Urusan
Agama hasil karya dari:
BONE-BONE
Mengetahui
Kepala
Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara Peneliti
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti
2. Yth. Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara
5. Semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penulisan ini selesai
Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti
harapkan demi kesempurnaan penelitian ini dan demi penelitian yang akan datang.
Peneliti
iv
v
ABSTRAK
v
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Luwu
Utara menerangkan bahwa :
Telah melaksanakan Penelitian dan dokumennya disimpan pada Kantor KUA Kec.
Bone-Bone sebagai bukti fisik, dengan judul penelitian :
“ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam dengan
Menerapkan Model Pembelajaran PAKEM pada Santri Taman Pendidikan Al
Qur’an (TPA) An Nur Dusun Sidorejo Desa Sidomukti Kecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara Tahun 2016”,
Mengetahui
Kepala Kantor Kemenag Kab. Luwu Utara Kepala KUA Kec.Bone-Bone
vi
vii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul :
2. Peneliti
Nama Lengkap : Raida, S.Ag
Jenis Kelamin : Wanita
NIP : 19680316 2000032 001
Pangkat/Gol. : Pembina/IV a
Mengetahui
Kepala Kantor Kemenag Kab. Luwu Utara Kepala KUA Kec.Bone-Bone
vii
viii
Mengetahui
Kepala KUA Kec. Bone-Bone
viii
ix
KATA PENGANTAR
Penulis
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Definisi Pembelajaran............................................................... 10
B. Gaya Belajar............................................................................. 11
D. Motivasi Belajar........................................................................ 15
x
xi
B. Pembahasan ............................................................................. 42
A. Simpulan .................................................................................. 44
B. Saran ........................................................................................ 45
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xii
xiii
menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Dan jika
dibuat atau dibantu orang lain secara keseluruhan atau sebagian, maka
Penulis,
xiii
xiv
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang Berjudul Qadha dan Qadhar Menurut Pandangan Muhammad Abduh
yang ditulis oleh Saudara RAIDA, S. Ag. NIM. 96.14.0136 Jurusan Ushuluddin
Program Studi Aqidah Filsafat pada STAIN Palopo , telah diuji dan
19 Oktober 1999M / 9 Rajab 1420 H. dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Islam dalam Ilmu
DEWAN PENGUJI
Diketahui Oleh
Ketua STAIN Palopo
xiv
xv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing I Pembimbing II
xv
xvi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke Hadirat Allah Swt. oleh karena Hidayah dan Taufiq-
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo. Salawat dan salam atas
kesulitan dan hambatan, akan tetapi berkat bantuan dan partisipasi dari
berbagai pihak hal itu dapat teratasi, sehingga akhirnya skripsi ini dapat
dapat selesai.
kepustakaan.
xvi
xvii
4. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu semoga
bantuan yang diberikan itu mendapat pahala yang berlipat ganda di sisi
Allah Swt.
Akhirnya, ibarat tiada gading yang tak retak, maka demikian pula
sana-sini. Penulis menyadari penyajian isi skripsi ini yang masih jauh dari
ktirik yang konstruktif dari berbagai pihak demi menutup kekurangan yang
ada.
Wassalam,
PENULIS
xvii
xviii
DAFTAR ISI
xviii
xix
xix
xx
ABSTRAK
Skripsi ini adalah suatu tinjauan tentang Qadha’ dan Qadar menurut
pandangan Muhammad Abduh. Yang menjadi pokok permasalahan di sini
adalah bagaimana pandangan Muhammad Abduh dalam menyikapi dan
memahami qadha’ dan qadar yang merupakan dasar iman yang ke enam
yang harus diimani oleh setiap muslim dan muslimat, keberadaannya sudah
terdapat di dalam al-Qur’an dengan keterangannya yang jelas bahwasannya
kekuasaan tertinggi adalah Allah sebagai penguasa alam yang tidak terbatas
kekuasaanNya. Oleh karena itu seluruh yang berlaku atas manusia adalah
kuasa Ilahi. Sebaliknya manusia tidak kuasa apapun, yang ada adalah
kebebasan yang terbatas yakni terbatas oleh Kodrat dan Iradat Allah Swt.
Jadi Kuasa tertinggi tetap ada padaNya.
Muhammad Abduh menyerukan paham ikhtiar, sebab ikhtiar adalah
suatu tuntutan yang berlaku bagi manusia untuk berusaha mencari
kebaikan, manusia diperintahkan untuk bergerak, berjuang mencari rizki,
karena Allah Swt. tidak menjadikan manusia lemah tak berdaya dalam
kehidupan ini.
Kemudian usaha itu sendiri adalah suatu pengabdian atau ibadah
manusia dan tanda mengagungkan serta bersyukur atas nikmat yang
dianugerahkan kepada manusia. Sedangkan akhir dari suatu usaha adalah
berhasil atau gagal, semua itu berpulang kepada Iradah Allah
xx
1
BAB I
PENDAHULUAN
Qadha’ dan Qadar atau lazimnya disebut “Takdir” merupakan suatu hal
bahkan dalam soal jodoh dan lain-lain sebagainya, mereka selalu hubungkan
1
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:Jaya Murni,
1974), h. 170.
1
2
apakah karena ditinggalkan sama sekali atau karena cara pemahaman agama
sesuatu yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah, menyerah kepada nasib
dan suratan taqdir. Apa yang diselenggarakan Tuhan, mau tidak mau akan
terjadi.3
Keadaan yang demikian itu bila tidak segera diantisipasi sudah barang
tentu bisa merugikan kaum muslimin itu sendiri. Sebab kaum muslimin dalam
yang terdapat dalam kalangan umat Islam. Dalam kata jumud tergandung arti
keadaan beku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham
2
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna,
1992), h. 164.
3
Vander Weij, “Grote Filosofen Over de Mens” diterjemahkan K.
Bertens dengan judul : Filusuf-filusuf Besar Tentang Manusia,
(Jakarta:tp, 1988), h. 69.
2
3
jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima
perubahan.4
Terjemahnya :
4
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), h. 62.
5
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 1993), h.
60.
6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1966), h. 39.
7
Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain II Berikut As-bÀb al-NuzÂl, (Bandung:Sinar
Baru, 1990), h. 717-718.
3
4
Terjemahnya :
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”.9
Terjemahnya :
8
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:CV. Toha
Putra Semarang, 1989) , h. 904.
9
Ibid., h. 100.
4
5
yang artinya:
taqdir Allah saja, tetapi juga menganjurkan beramal salih, bekerja dan
berusaha, serta tetap konsisten memegang dua persoalan pokok yang besar
yang selama ini dianggap tabu (hal yang haram) bagi manusia itu
10
Ibid., h. 9
5
6
weel ), dan kemerdekaan ratio (akal) dan pikiran. Dengan dua faktor utama itu,
2. Apa yang melatarbelakangi sehingga perlu dikaji ulang tentang qadha’ dan
qadar ?
C. Hipotesis
1. Qadha dan Qadar merupakan rukun Iman yang keenam, Qadha’ dan
oleh Allah Swt., untuk seluruh makhluNya. Maksud beriman kepada qadha’
11
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 203.
6
7
dan qadar artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai
niat dan keyakinan sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun
Islam tidak bisa mengikuti perubahan zaman dan kondisi baru. Kemunduran
itu sendiri, sehingga pasrah kepada suratan nasib. Padahal apabila mau, tentu
pemikiran dan berdo’a. Sikap jumud diganti dengan sikap optimis, dinamis,
diperoleh sebagai akibat hasil dari akal dan pemikiran manusia itu, merupakan
pemberian dan anugerah serta hasil campur tangan Allah. Hal ini dimaksudkan
agar terhindar dari sifat ujub, congkak dan sombong, bahkan cenderung
sikap tawakkal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya
7
8
menentukan pilihan-pilihan yang terbaik bagi manusia itu sendiri. Dengan akal
D. Pengertian Judul
Qadha’ dan Qadar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dua
kata yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari kata “qadha’ dan qadar”.
Secara etimologis qadha adalah bentuk masdar dari kata kerja “qadha”
yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini qadha adalah
kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu dengan makna
bahwa apa-apa yang ada pada ilmu Allah keluar, dan peta alam wujud itupun
“qadara” yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini qadar adalah
ukuran atau ketentuan Allah Swt. terhadap segala sesuatunya. Dengan makna
12
A. Madhahiri, Tafsir Surat YÀsin Aqidah dan Ma’rifah dari
Jantung al-Qur’an, (Jakarta: Hudan Press, 1988), h. 235-236.
8
9
lain qadar adalah ilmu ketuhanan, yang merupakan rencana Allah terhadap
sesuai dengan ilmu dan Iradah-Nya, sedangkan qadar ialah ilmu Allah Swt.
tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya masa yang akan
datang.14
dan qadar sangat erat sekali, sebab qadar hakekatnya merupakan perwujudan
E. Tinjauan Pustaka.
bebarapa buku yang dapat dijadikan rujukan, seperti karya Syeh Muhammad
Abduh sendiri yaitu RisÀlat al-TauhÁd dan karya Harun Nasution dengan
13
Ibid.
14
Ibid.
9
10
yang ada hubungannya dengan masalah qadha’ dan qadar ini, yaitu tentang
qadha’ dan qadar dalam arti keseluruhan. Jadi pandangan Muhammad Abduh
tentang qadha’ dan qadar bukan merupakan tulisan utama dalam buku tersebut,
pembahasan Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar belum ada yang
15
Syekh Muhammad Abduh, opcit., h. 84 dan 91.
10
11
manusia pada umumnya di masa lalu dan di masa sekarang, bahkan masa
2. Metode Pendekatan
metode pendekatan Theologi, karena qadha’ dan qadar merupakan ArkÀn al-
ImÀn, sudah barang tentu sangat erat kaitannya dengan masalah aqidah yang
maka metode yang dipakai yaitu Library Research . Yakni mengumpulkan data
11
12
pandangan seorang tokoh, maka dalam mengolah data hanya dipakai metode
Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar, sehingga pendapat yang kurang
benar dari sebagian kaum muslimin dapat diperbaiki dan diperluas dengan
mengetahui pandangan tersebut. Maka dari itu penulisan skripsi ini, bersifat
pengembangan terhadap pendapat dan teori yang sudah ada dalam masyarakat.
mengenai qadha’ dan qadar serta dapat berguna dalam pengembangan ilmu-
ilmu keislaman.
12
13
meningkatkan mutu kehidupan beragama, baik dari segi aqidah dan ibadah
yang meliputi latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, kemudian
pengertian judul dan tinjauan pustaka untuk menunjukkan bahwa skripsi ini
skripsi ini, juga dikemukakan dalam pendahuluan dan tujuan penulisan atau
Terakhir adalah garis-garis besar isi skripsi yang merupakan gambaran dari
Abduh sejak kecil hingga tampil sebagai pembawa reformasi terhadap ajaran
13
14
Sedangkan masalah qadha’ dan qadar secara umum diuraikan pada bab
petunjuk al-Qur’an tentang qadha’ dan qadar sebagai landasan kedua ajaran
Islam, dan diperkuat dengan petunjuk al-Hadits sebagai landasan kedua dalam
ajaran Islam setalah al-Qur’an. Kemudian untuk melengkapi dan sebagai bahan
mutakallimin.
dalam memahami qadha’ dan qadar, berikut pemikiran Muhammad Abduh dan
14
15
BAB II
MUHAMMAD ABDUH
seorang pembela Islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya,
seorang hakim yang jauh pandagannya, pemimpin dan politikus ulung dan
A. Riwayat Hidupnya
Syekh Muhammad Abduh seorang putra Mesir, lahir pada tahun 1849
dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khaerullah,
16
A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam , (Jakarta: : Pustaka
Al-Husna, 1992), h. 156. 16
15
16
mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khaththab,
otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci
Hasan al-Takwil, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu
dan lain-lain. Suatu hal istimewa diberikan kepada mereka, ialah semangat
17
Syekh Muhammad Abduh, RisÀlat al-TauhÁd, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1976), h. 17.
16
17
cara-cara berpikir fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih
maju.18
ke Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaqlid kepada Mu’tazilah ?, saya akan
meninggalkan taqlid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil
yang dikemukakan.”19
penulis sedikit mengalami kesulitan, karena secara umum dan dengan panjang
lebar telah dijelaskan dalam riwayat hidup beliau. Namun demikian penulis
18
Ibid., h. 17-18
19
Ibid.
17
18
feddan (bahu). Meskipun lahir dari keluarga petani tapi terpandang dan taat
beragama.
dengan seorang wanita lain, dan dari istri inipun lahir pula anak-anaknya.
Dengan demikian Syekh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah yang
didiami oleh banyak istri dan anak-anak yang berlain-lainan ibunya. Keadaan
masyarakat Mesir.20
Muhammad Abduh.
C. Pemikiran-Pemikirannya
2. Kemasyarakatan
3. Aqidah, dan
20
A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam, (Jakarta : Jaya
Murni, 1974), h. 161-162.
21
Ibid., h. 165.
18
19
Pengertian tanah air tergabung dalam tiga hal, sehingga seorang warga
airnya, yaitu :
3). Tempat mempertalikan diri, dimana seseorang akan merasa bangga atau
terhina karenanya.
berkerja dengan bebas dan dengan cara yang benar, agar dapat mewujudkan
22
Ibid., h. 166
19
20
keadaan yang sudah ada, bukan untuk mengadakan perubahan. Perubahan adat
dan akhlak suatu umat dan penjurusan kepada suatu jurusan hanya bisa dicapai
pendidikan.
2. Kemasyarakatan
a. Jiwa Bersamaisme.
23
Ibid., h. 167
20
21
jiwa dan bimbingan yang salah terhadap akal pikiran, bukan disebabkan karena
tanah Mesir atau langitnya, bukan pula karena tabiat alam (geografi) negeri-
negeri Islam lainnya. Yang menjadi sebab kemiskinan (kelemahan) jiwa dan
tuntunan yang salah terhadap akal pikiran ialah merajalelanya rasa keakuan
dan rusaknya arti “Bersamaisme” pada jiwa seseorang. Hal ini disebabkan pula
karena kebodohan mutlak atau karena salah memahami arti Islam dan
kehidupan ini.
1. Adanya salah pengertian terhadap hidup, dan tidak ada kesungguhan, juga
24
Ibid., h. 168
21
22
5. Putus hubungan jiwa antara satu dengan yang lain, sehingga acuh tak acuh
3. Segi Aqidah
seseorang merasa dirinya lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan
orang lain, karena aqidah Jabar hakekatnya hanya bisa hidup atas penghapusan
hanya terjadi dalam hubungannya dengan Tuhan saja, tetapi karena kelemahan
25
Ibid., h. 170-171
22
23
adalah orang mukmin yang negatif dalam hidupnya. Salah satu ciri
perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang lain, meskipun orang lain ini
lebih lemah dari padanya. Bagaimanapun juga, paham Jabar sesuai dengan
mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu
kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu Syekh Muhammad Abduh
tinjauan tertentu yang telah mengenai dirinya dan yang ingin menafsirkan
kehidupan dan wujud ini atas dasar tinjauan tersebut, melainkan ia bertindak
selaku orang beragama yang hati-hati. Jadi dasar pemikirannya adalah agama
26
Ibid., h. 172
27
Ibid., h. 173
23
24
berisi penyandaran dan amal kepada manusia dan ayat-ayat lain yang
Terjemahnya :
Alasan lain diambil oleh Syekh Muhammad Abduh dari filsafat tujuan
hidup manusia dalam Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu
kepercayaan akan qadar, oleh karena itu jawabannya terhadap polemik yang
28
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
C.V. Toha Putra Semarang, 1989), h. 874.
24
25
kepercayaan tentang qadha dan qadar dengan kepercayaan terhadap Jabar yang
tersebut salah. Tidak ada seorang Islampun yang berpaham Jabar dengan
tempat menggantungkan pahala dan siksa. Memang dulu pernah ada golongan
Jabariyah, namun golongan ini dianggap oleh kaum muslimin sebagai falsafah
Percaya akan qadar dikuatkan oleh dalil yang pasti bahkan ditunjukkan
oleh fitrah keadaan alam. Orang yang memakai pikirannya akan dapat melihat
dengan mudah, bahwa tiap-tiap kejadian tentu ada sebab yang menyertainya
29
A. Hanafi, opcit., h. 174.
25
26
hanyalah sebab yang ada di depannya, sedang yang terjadi sebelumnya hanya
(pengetahuan/ idrak). Pengenalan ini merupakan reaksi jiwa terhadap apa yang
dalam fitrah nalurinya. Jadi gejala-gejala alam berupa penguasaan atas pikiran
dan kemauan tidak dapat dipungkiri, meskipun oleh orang bodoh sekalipun,
alam manusia.
26
27
menghindarkan dirinya dari hukum (sunnah) alam yang telah dibuat oleh
Jadi percaya akan qadha’ dan qadar, apabila dapat terhindar dari
kepahlawanan.
terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantas sama sekali pada manusia. 33
fitrah kejadian manusia yang bertalian dengan akal, tidak bertentangan dengan
tanda lain dari kekuasaan Tuhan dan bekas-bekas pada alam semesta ini,
32
Ibid., h. 174-175.
33
Syekh Muhammad Abduh, RisÀlat al-TauhÁd, (Cet. XIII; Al-
Manar, 1368 H), h. 23.
27
28
terutama dengan Risalat Wahyu, seperti yang termuat dalam al-Qur’an dan
Jadi wahyu dalam Risalat Tuhan menjadi salah satu tanda kekuasaan
Tuhan, begitu juga akal. Oleh karena itu mesti sesuai satu sama lain dan tidak
boleh berlawanan.
persoalan, yaitu :
1. Fanatik mazhab
5. Pembaharuan Al-Azhar.34
pecah menjadi golongan dan aliran-aliran, sehingga tidak lagi merupakan satu
34
A. Hanafi, opcit., h.177.
28
29
kuatnya kekuasaan mazhab atau aliran itu pada diri pemeluknya, sehingga
kefanatikan mazhab atau aliran yang kuat, sehingga tidak bisa bersama-sama
mengikuti tuntunan Islam yang satu dan berjalan ke arah tujuan yang sama.35
ajarannya yang bisa salah atau benar, sesuai dengan sifat pengulas tersebut,
sebagai manusia biasa. Oleh karena itu suatu mazhab atau aliran, terutama
hanya dirinya semata-mata yang benar atau yang mencerminkan Islam yang
sebenarnya. Evaluasi dari Syekh Muhammad Abduh ini, dapat kita lihat dari
35
Ibid., h. 178.
29
30
sikapnya terhadap ilmu Theolodi Islam (Ilmu Tauhid) dan dari pendapatnya
Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan di dalamnya
sebelumnya. Ijtihad adalah jalan ideal dan praktis yang bisa dijalankan untuk
masyarakat Islam akan menjadi jauh dari tuntunan Islam, suatu hal yang akan
akan sanggup mengikuti arus hidup dan selanjutnya mereka akan terasing dari
kehidupan itu sendiri, serta berlawanan dengan hidup dan hukum hidup juga.36
36
Ibid., h. 181-182.
30
31
sewajarnya kalau ia mencela taqlid, karena dengan taqlid itu akal manusia
didudukkan dalam satu tempat tertentu yang tidak boleh dilampauinya. Hal ini
bertentangan dengan fungsi akal, dengan tabiat hidup dan dengan sifat prinsip-
prinsip, tetapi juga karena taqlid pada masanya telah mencapai bentuk
yang telah menggariskan arah tertentu yang menyimpang dari jalan yang lurus,
terhadap kitab-kitab yang berisi persoalan yang tidak terdapat dalam hidup
dapat kita lihat dari perkataan Syekh Muhammad Abduh sebagai berikut :
37
Ibid.
38
Ibid., h. 183.
31
32
pada masa mutakhir, yaitu masa kemunduran dan kelemahan, sama dengan
Jadi, jika melihat penjelasan tersebut di atas, maka tidak semua apa
yang dikatakan seorang ulama’ faqih mutlak harus diikuti. Namun kita harus
mampu memilah dan memilih yang mana pendapat dianggap lebih mendekati
kebenaran. Dengan demikian taqlid buta dan fanatik mazhab bisa dihindarkan.
39
Ibid., h. 184.
32
33
warisan (kitab-kitab) keislaman dan keakraban yang lain dan yang harus
nyata.
ilmu Mantiq (logika) dan menerbitkan serta memberikan ulasan terhadap buku
Muhammad Abduh ada satu hal yang menjadi tujuan pemikirannya, yaitu
40
Ibid., h. 186.
33
34
Sebaliknya kalau baik, maka akan baik umat Islam dan akan memancar sinar
cahaya petunjuk, serta ulama’-ulama’ akan menjadi pola seorang muslim yang
BAB III
41
Ibid., h. 186-187.
34
35
Qadha dan Qadar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dua kata
yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari kata “qadha” dan “qadar” (al-
QaÇa’ qa al-Qadar).
Secara etimologis qadha’ dan qadar adalah bentuk mashdar dari kata
kerja “qaÇa’” yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini
qadha adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu,
dengan makna bahwa apa-apa yang ada pada ilmu Allah keluar, dan peta alam
“qadara” yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini qadar adalah
ukuran atau ketentuan Allah Swt. terhadap segala sesuatunya. Dengan makna
lain qadar adalah ilmu Rububi (Ketuhanan), yang merupakan rencana Allah
sesuai dengan ilmu dan Iradah-Nya, sedangkan qadar ialah ilmu Allah Swt.
tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya masa yang akan
37
44
datang.
42
A. Madhahiri, Tafsir Surat Yasin Aqidah dan Ma’rifah dari
Jantung al-Qur’an, (Jakarta; Hudan Press, 1998), h. 235-236.
43
Ibid.
44
Ibid.
35
36
hanya digunakan kata qadar atau taqdir padahal yang dimaksud adalah qadha’
dan qadar.45
dan qadar Allah Swt. diantaranya terdapat pada Q.S. Al-Hadid (57) : 22 yang
berbunyi :
Terjemahnya :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfudz)
sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya demikian itu adalah
mudah bagi Allah.”46
45
Drs. H. Nasrun Rusli, S.H. Aqidah Akhlaq I, (Jakarta, tp, 1982),
46
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:Toha Putra
Semarang, 1989), h. 904.
47
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami’ al-AhkÀm
al-Qur’Àn Tafsir al-QurÈubi, Juz 17, (Beirut: Dar al-KitÀb al-Arabiyyah, 1967), h.
257-258.
36
37
berfirman :”Tulislah ! ” maka Qalam itupun menuliskan apa yang akan terjadi
Terjemahnya :
‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.49
Terjemahnya :
‘Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat’. 50
48
Ibid.
49
Departemen Agama, opcit., h.100.
50
Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain I Berikut AsbÀb al-NuzÂl,
(Bandung:Sinar Baru, 1990), h. 274.
37
38
Terjemahnya :
‘Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana’.51
benar ada, baik taqdir itu sesuai dengan keinginan manusia atau tidak sesuai
Jadi, sebagai muslim yang beriman kepada qadha’ dan qadar, kita wajib
meyakini dengan teguh bahwa qadha’ dan qadar Allah itu benar adanya, baik
qadha dan qadar itu menguntungkan dirinya atau sebaliknya. Sebab kekuasaan
Terjemahnya :
‘Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana’.52
51
Departemen Agama, R.I. opcit., h. 9.
52
Ibid., h. 1006
38
39
ada, baik taqdir itu sesuai dengan keinginan manusia atau tidak sesuai dengan
Jadi, sebagai muslim yang beriman kepada qadha’ dan qadar, kita wajib
meyakini dengan teguh bahwa qadha’ dan qadar Allah itu benar-benar adanya,
baik qadha’ dan qadar itu menguntungkan dirinya atau sebaliknya. Sebab
Terjemahnya :
‘. . . Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu’53
Dengan demikian jelaslah bahwa Allah itu nyata berkuasa dengan tidak
ada batasnya.
53
Ibid., h. 11.
39
40
untuk melakukan bunuh diri dengan cara meminum racun serangga, tatkala
dari sakitnya.
merupakan Qudrah dan Iradah atau kehendak Allah. Dengan demikian taqdir
tetap harus di balik setiap kejadian itu ada hikmah yang tersembunyi, yang
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
alam, baik pada diri kita sendiri baik dan buruk, naik dan jatuh, senang dan
susah, gerak dan perbuatan kita, disukai atau tidak, sesuai atau tidak sesuai
dengan keinginan kita, semua telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah Swt.,
yang mempunyai peraturan sendiri di dalam mengatur alam yang maha luas
ini, karena Ia memiliki sifat Qudrah dan Iradah-Nya. Sedangkan manusia itu
sendiri tidak mampu mengetahui apa yang akan terjadi esok hari atau manusia
40
41
Terjemahnya :
‘Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan kejadiannya di
dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (air mani) kemudian
dalam waktu itu menjadi segumpal darah, selanjutnya dalam waktu
yang sama menjadi segumpal daging. Sesudah itu. Allah
memerintahkan malaikat untuk mendatanginya guna mencatat empat
perkara (empat ketentuan yang sebenarnya telah tercantum catatannya
dalam Lauh al- Mahfudz sejak zaman azali). Kepada Malaikat itu
difirmankan, “Tulislah mengenai ilmunya, rizkinya, ajalnya dan apakah
orang tersebut bakal menjadi manusia celaka atau manusia bahagia”.
Selanjutnya tubuh manusia itu ditiupi ruh (ke dalam tubuhnya). Oleh
sebab itu, sesungguhnya di antara kalian ada yang beramal sebagaimana
amal perbuatan ahli surga sehingga antara surga dan dia hampir tak ada
jarak, kecuali hanya sehasta. Tetapi taqdir mendahului semuanya,
mendadak ia berkelakuan sebagaimana layaknya kelakuan ahli neraka
sehingga ia masuk neraka. Ada juga sebaliknya seseorang beramal
sebagaimana amal ahli neraka, sehingga antara dia dengan neraka
hampir tanpa jarak, kecuali hanya sehasta. Tetapi taqdir Allah
mendahului semuanya, sekonyong-konyong ia berkelakukan
sebagaimana amal perbuatan ahli surga (pada akhir hayatnya), sehingga
ia masuk surga.’
dengan Iradah-Nya.
Maka menurut Hadis tersebut ada empat hal yang berhubungan dengan
bakal dikerjakan).
41
42
perbuatan manusia. Perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Tetapi hal tersebut
bukan berarti Allah Swt. menciptakan kejahatan. Semua yang diciptakan oleh
Allah adalah kebaikan. Kejahatan dan atau keburukan tidak boleh dinisbahkan
Terjemahnya :
‘Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang
itu dan tempat yang menyimpannya. Semua tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh al-Mahfufdz)’56
Firman Allah di atas menerangkan kepada kita bahwa semua hayawan
di bumi ini yang memberi rizkinya adalah Allah Swt.. Manusia merupakan
salah satu jenis hayawan melata dibumi ini, dan Allah-lah yang memberi
rizkinya, Allah pula yang memberi makanan sebelum orang itu dilahirkan dan
54
Ibid., h. 187-188.
55
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yoggyakarta ; LPPI, 1988),
h. 327.
56
Departemen Agama,R.I., opcit., h.327.
42
43
sebagainya semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah sudah tertulis di Lauh al-
Mahfudz..
oleh Allah Swt. faktor ikhtiar / usaha manusia sangat menentukan. Agar
macam-macam peraturan dan hukum sesuai dengan apa yang digariskan Allah.
Hasil jerih payah manusia akan diberi upah dan imbalan oleh Allah, karenanya
cita, seiring dengan ketenangan hati dan jiwa serta batin, juga dengan
keyakinan penuh bahwa segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi,
sedangkan apapun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan penah terjadi.
Disamping itu seorang muslim harus yakin bahwa Allah tidak akan menyia-
57
Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, jilid 2,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1987), h. 95-96.
58
Abu Bakar El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), h. 358.
43
44
Dengan Qudrat dan dan Iradat-Nya pula manusia. Yang hidup itu akan
dimatikan.59
beramal shaleh, kan tetapi pada akhir hayatnya ia berubah kafir. Hal itu pun
sesuai dengan taqdir-Nya yang telah ditetapkan untuknya sejak zaman azali,
dengan neraka nyaris tanpa jarak, tetapi pada akhir hayatnya ia menjadi orang
taubatnya, dan memasukkannya ke dalam surga. Hal itu juga suatu ketetapan
perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk telah ditetapkan Allah sejak
59
Bey Arifin, Hidup Sesudah Mati, (Jakarta: Kinanda, 1998), h.
62.
60
Abdullah Al-Kaff, opcit., h. 188.
44
45
zaman azali, berarti manusia tidak bisa disalahkan juga melakukan perbuatan
jahat dan buruk, dan tidak berhak mendapatkan siksaan lantaran perbuatan itu.
Oleh kerana itu, anggapan semacam itu sesuatu yang tidak patut diikuti.
yang keluar dari hatinya, apalagi niat itu ditujukan untuk kebaikan, yang
tentunya akan mendatangkan kebaikan dan amal shaleh. Dan bila kehendak itu
membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar mana salah
sebesar apapun pasti akan ada balasannya, sebagaimana Allah Swt., berfirman
Terjemahnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebarat dzarrahpun, sehingga dia akan melihat (balasan) nya
pula.62
61
Ibid., h. 188-189.
62
Departemen Agama R.I., opcit., h.1087.
45
46
semua ketentuan datangnya dari Allah Swt., kita wajib berikhtiar dan berusaha
sekuat tenaga agar terlepas dari ketentuan jelek dan buruk, tidak jatuh miskin,
Allah yang mana yang diperuntukkan bagi kita. Sehingga setiap mukmin tidak
dibenarkan berdiam diri dan pasrah kepada taqdir Allah, tetapi harus berjuang
Terjemahnnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.63
Terjemahnya :
63
Ibid., h. 417
46
47
Terjemahnya :
Dari Sayyidina Ali, bahwasannya beliau mengatakan : “Pada suatu hari,
Rasulullah Saw. duduk sambil memegangi sepotong kayu (tongkat
pendek) untuk mengkais-kais tanah. Selanjutnya, beliau bersabda :
“Setiap orang, tempatnya (di surga atau di neraka) telah diketahui oleh
Allah”. Para sahabat bertanya : “Jika begitu apa gunanya beramal, ya
Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah Saw. :”Tidak, bekerjalah, sehingga
masing-masing akan dimudahkan usahanya oleh Allah Swt. sesuai
dengan taqdirnya. “Kemudian beliau membaca ayat suci al-Qur’an :
“Barangsiapa yang suka memberikan hartanya di jalan Allah dan
bertaqwa kepada-Nya, serta membenarkan adanya surga maka Kami
akan memudahkan baginya jalan yang mudah ke surga. (H.R. Muslim).
Dengan demikian, Rasulullah saw. melarang umatnya berpangku tangan
64
Ibid., h. 142.
65
Ibid., h. 298.
47
48
neraka. Jika di dunia ini mudah melalui jalan surga Insa Allah ia ditaqdirkan
Seperti kita ketahui bahwa masalah qadha’ dan qadar selalu menjadi
bahan pembicaraan semua orang, bahkan tidak jarang terjadi ajang perdebatan
baik dari kalangan orang-orang awam mampun oleh kalangan cerdik pandai
dari dulu sampai sekarang, dan tidak ada kesepakatan perbedaan pendapat
dalam soal tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa ayat yang
Oleh karena itu, dalam Theologi terdapat dua aliran yang secara khusus
membahas masalah qadha dan qadar ini. Yang pertama aliran fatalisme atau
yang terjadi pada manusia beikut perbuatannya memang sejak semula telah
kemauan yang bebas dari manusia. Manusia dalam aliran ini tidak mempunyai
66
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : Bulan
Bintang, 1990), h. 154.
48
49
kemerdekaan. Ia tak ubahnya seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak
segala tindakan manusia dan diwujudkannya pada diri manusia sesuai dengan
Sedangkan menurut aliran kedua, yaitu aliran free will dan free act yang
Dalam hal perbuatan-perbuatan manusia, menurut paham ini tidak terikat pada
67
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 102.
68
Dr. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Yogyakarta: P.T. Tiara
Wacana Yogya, 1991), h. 98.
69
Harun Nasution, opcit., h.105.
49
50
Selain dua pendapat di atas, paham qadariyah terdapat juga dalam Islam
yaitu sebagai yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Demikian juga paham
Dalam hal ini aliran Mu’tazilah tidak beda dengan qadariyah, karena
berpendapat bahwa sejak azaly Allah sudah tahu dan menetapkan kepada
karena Dia sama sekali tidak menciptakan sesuatu yang buruk. Adapun
perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk. Bahkan semuanya diserahkan
kesanggupan dirimu sendiri. Sekalipun sejak azaly dengan pasti Allah sudah
70
Dr. M. Yusuf Musa, opcit., h. 98.
71
Harun Nasution, opcit., h. 105.
50
51
mengetahui apa yang akan terjadi pada manusia dan membalasnya dengan adil,
bagian.73
Alasan-alasan pikiran :
1). Kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, jadi apa perlunya ada
2). Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan
Alasan-alasan syara’
72
Dr. M. Yusuf Musa, loc.cit
73
Ahmad Hanafi, opcit., h. 155.
74
Ibid.
51
52
Terjemahnya :
‘ . . . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri . . . 75
Terjemahnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasannya)
nya pula.76
Terjemahnya :
75
Departemen Agama R.I.,
76
Ibid., h. 1087.
52
53
Dan masih ada ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia dapat
berbuat baik dan buruk. Ayat tersebut lebih tegas menetapkan adanya
Selain itu, ada ayat-ayat lain yang mengatur orang-orang kafir karena
tidak mau iman, sedangkan mereka sebenarnya bisa kalau mau, antara lain :
Terjemahnya :
‘Maka mengapa mereka (orang-orang kafir berpaling dari peringatan
(Allah) ?’78
Terjemahnya :
‘. . . maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan
Allah ?’79
77
Ibid., h. 142.
78
Ibid., h. 995.
79
Ibid., h. 645
53
54
manusia, seperti :
Terjemahnya :
‘Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir, sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka’.80
yang lebih banyak jumlahnya dari pada ayat-ayat jabar. Disamping ayat-ayat
lainnya yang mengumpulkan jabar dan ikhtiar, sehingga seseorang tidak perlu
menekankan segi ikhiar saja atau jabar saja, Kalau-kalau ayat ikhtiar menjadi
harus dita’wilkan.81
membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul
80
Ibid., h. 448.
81
Ahmad Hanafi, opcit., h. 157.
54
55
Jadi kekuasaan manusia tidak lain hanyalah alat yang dipergunakan kekuasaan
82
Ibid.
55
56
penciptaan (khalq) atau wujud perbuatan tidak bergunan selama tidak menjadi
soal qadha’ dan qadar termasuk aliran Jabariyah, bukan lagi sebagai tengah-
ayat-ayat penguat adanya KASB yang diciptakannya itu, tetapi ayat-ayat yang
“Bukankah mereka itu dijadikan dari tiada ? ataukah mereka itu menjadikan ?”
83
Ibid., h. 158-159.
56
57
Dari kelompok aliran al-Asy’ary ini penulis nukilkan pendapat Imam al-
“Dialah yang menyendiri dalam menciptakan dan membuat yang baru, yang
menyendiri dalam mewujudkan dan menciptakan. Dia menciptakan makhluk
dan perbuatan mereka, Dia tentukan (taqdirkan) rizki dan ajal (di atas
kehidupan kematian mereka).”84
secara konkrit memang ada pada manusia. Dengan keistimewaan itu, manusia
84
Imam al-Ghozali, Ihya UlÂm al-DÁn, jilid I, (Semarang: C.V.
Asy-Syifa) alih bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, h. 289.
85
Ibid., h. 290.
86
Syekh Muhammad al-Ghozali, Al-Ghozali Menjawab 40 Soal
Islam Abad 20, (Bandung: Mizan, 1996), h. 80.
57
58
58
62
BAB IV
memberikan pengertian yang berlainan dari arti yang biasanya diberikan orang.
ini dia berpendapat, bahwa agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman
kepada taqdir Allah, tetapi juga menganjurkan beramal shalih, bekerja dan
berusaha, serta tetap konsisten memegang dua persoalan pokok yang besar
87
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Theologi Rasional
Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 68. 62
62
63
yang selama ini merupakan tabu (hal yang haram) bagi manusia itu
will) dan kemerdekaan ratio (akal) dan pikiran. Dengan dua faktor utama itu
luas baginya untuk mencapai kebahagiaan yang telah disediakan Ilahi menurut
kaum Jabariyah tetap pada pendiriannya, bahwa manusia itu dipaksakan sama
taklifi (adanya perintah Allah), dan membatalkan hukum akal yang logis. Pada
Menurut ketetapan agama, ada dua perkara dasar yang merupakan tiang
88
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 203-204.
89
Ibid., h. 93-94.
63
64
kepada kebahagiaan.”
Demikian itu adalah ketetapan agama yang musti di fahami oleh umat
dan qadar yakni mengambil jalan terbaik bahwa manusia disamping harus
sendiri.
90
Ibid., h. 94-95.
64
65
1. Akibat aqidah Jabar bukan saja seseorang merasa dirinya lemah di depan
orang lain, karena aqidah Jabar pada hakekatnya hanya bisa hidup atau
2. Seorang pengikut paham Jabar adalah orang mukmin yang negatif dalam
hidupnya. Salah satu ciri perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang
lain, meskipun orang lain ini sebenarnya lebih lemah dari padanya.
mengemukakan argumentasi pikiran, seperti yang biasa kita dengar dari aliran
Alasan lain diambil oleh Syekh Muhammad Abduh dari filsafat tujuan
hidup manusia dalam Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu
91
A. Hanafi, MA. Pengantar Theologi Islam, (Cet . V; Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1992), h. 166-167.
Ibid.
92
93
Ibid., h. 168.
65
66
mendalam dari berbagai segi yang terdapat pada bab sebelumnya, seperti segi
BAB V
94
Ibid., h. 185
66
67
PE NUTUP
A. Kesimpulan
1. Iman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman yang keenam dan
tidak jatuh miskin, giat belajar agar berilmu dan bermanfaat bagi
3. Setiap mukmin tidak dibenarkan berdiam diri dan pasrah kepaa taqdir
Allah, tetapi harus berjuang mencari kemaslahatan dunia dan akhirat, serta
masuk surga atau neraka. Jika di dunia ini mudah melalui jalan surga.,
67
67
68
taqdir Allah, tetapi juga menganjurkan beramal salih, bekerja dan berusaha
B. Saran-saran
tidak lupa daratan dan tetap tawadhu (punya rasa rendah hati), sebab
kesuksesan yang telah diraih itu merupakan nimat Allah yang wajib
namun tidak melupakan bahwa di atas masih ada kekuatan yang lebih
menafikan Tuhan.
68
69
pengorbanan. Seandainya hari ini gagal, siapa tahu besak atau lusa akan
berhasil.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’Àn al-KarÁm
69
70
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : CV. Toha Putra
Semarang, 1989.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Pola Hidup Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya,
1991.
Madhahiri, A. Tafsir Surat Yasin Aqidah dan Ma’rifah dari Jantung al-Qur’an.
Jakarta : Hudan Press, 1998.
70
71
Musa, Dr. M. Yusuf, Al-Qur’an dan Falsafat. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana
Yogya, 1991.
Sya’rawi, Mutawalli. Anda Bertanya Islam Menjawab. Jilid II, Jakarta : Gema
Insani Press, 1987.
71