Anda di halaman 1dari 88

QADHA DAN QADAR

MENURUT PANDANGAN MUHAMMAD ABDUH

Diajukan untuk memenuhi kewajiban dan melengkapi Syarat guna Diajukan


sebagai salah satu syarat Kenaikan Pangkat dan Golongan
Dari IV a ke IV b
Jabatan Penyuluh Agama Islam Madya

Oleh :

Raida, S.Ag
NIP. 19680316200003 2 001

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN LUWU UTARA

2015
ii

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN


AGAMA ISLAM DENGAN MENERAPKAN MODEL
PEMBELAJARAN KOLABORASI PADA SANTRI TPA
HABIBURRAHMAN
DESA SIDOMUKTI KECAMATAN BONE-BONE
KABUPATEN LUWU UTARA
TAHUN PELAJARAN
2016/2017

PENELITIAN TINDAKAN PEMBELAJARAN


TAMAN PENDIDIKAN AL QUR’AN

OLEH :

RAIDA, S.Ag
NIP. 19680316 200003 2 001

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA


KABUPATEN LUWU UTARA
2017

ii
iii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

Setelah membaca dan mencermati karya ilmiah yang merupakan ulasan hasil
penelitian yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di Kantor Urusan
Agama hasil karya dari:

Nama : RAIDA, S.Ag.

NIP : 19680316 200003 2 001

Unit Kerja : KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BONE-BONE

Judul : Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar pendidikan Agama


Islam Dengan Menerapkan Model Pembelajaran
Kolaborasi pada Santri TPA HABIBURRAHMAN Desa
Sidomukti Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu
Utara Tahun 2017.

Menyetujui dan mengesahkan untuk diajukan mendapatkan Penetapan Angka


Kredit Kenaikan Pangkat dalam jabatan fungsional Penyuluh Agama.

Mengetahui
Kepala
Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara Peneliti

DRS. H. MUKHLIS CHALID. MA RAIDA, S.Ag.


NIP : 19650505 199503 1 002 NIP. 19680316 1200003 2 001

iii
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan karya ilmiah

ini dapat terselesaikan pada waktunya.

Karya ilmiah yang berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar


Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi
Pada Santri TPA HABIBURRAHMAN Desa Sidomukti Kecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara Tahun 2017.disusun untuk memenuhi persyaratan
kenaikan golongan Penyuluh Agama dari IV/a ke IV/b.
Dalam penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Yth. Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara .

2. Yth. Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara

3. Yth. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bone-Bone

4. Yth. Kepala TPA Habiburrahman Desa Sidomukti Kec. Bone-Bone

5. Semua pihak yang telah banyak membantu sehingga penulisan ini selesai

Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti

harapkan demi kesempurnaan penelitian ini dan demi penelitian yang akan datang.

Peneliti

iv
v

ABSTRAK

Raida, S.Ag., 2017. “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama


Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi
pada santri TPA Habiburrahman Desa Sidomukti Kecamatan
Bone-Bone Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara
tahun 2017

Kata Kunci : PAI , Model Pengajaran Kolaborasi

Dalam proses pembelajaran yang menyangkut materi, metode, media alat


peraga dan sebagainya harus juga mengalami perubahan kearah pembaharuan
(inovasi). Dengan adanya inovasi tersebut diatas dituntut seorang guru untuk lebih
kreatif dan inovatif, terutama dalam menentukan model dan metode yang tepat
akan sangat menentukan keberhasilan siswa terutama pembentukan kecakapan
hidup ( life skill) siswa yang berpijak pada lingkungan sekitar.
Penelitian ini berdasarkan permasalahan :
(a) Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar PAI dengan diterapkannya model
pengajaran kolaborasi pada santri TPA Habiburrahman Desa Sidomukti
Kecamatan Bone-Bone Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara tahun
2017
( b) Bagaimanakah pengaruh Model pengajaran kolaborasi terhadap motivasi
belajar PAI pada santri TPA Habiburrahman Desa Sidomukti Kecamatan Bone-
Bone Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara tahun 2017
. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah (a) ingin mengetahui peningkatan
prestasi belajar PAI setelah diterapkannya model pengajaran kolaborasi (b) Ingin
mengetahui pengaruh motivasi belajar PAI setelah diterapkan model pengajaran
kolaborasi.
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak tiga
putaran. Setiap putaran terdiri dari empat tahap yaitu : rancangan, kegiatan dan
pengamatan, refleksi dan refisi. Sasaran penelitian ini adalah santri TPA
Habiburrahman Desa Sidomukti Kecamatan Bone-Bone Kecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara tahun 2017
Data yang diperoleh berupa hasil tes formatif, lembar observasi kegiatan belajar
mengajar.
Dari hasil analis didapatkan bahwa prestasi belajar siswa mengalami
peningkatan dari siklus I sampai siklus III yaitu, siklus I (68,18%), siklus II
(79,01%), siklus III (86,36%)
Simpulan dari penelitian ini adalah metode pembelajaran kooperatif dapat
berpengaruh positif terhadap prestasi dan motivasi belajar santri TPA
Habiburrahman Desa Sidomukti Kecamatan Bone-Bone Kecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara tahun 2017
serta model pembelajarasn ini dapat digunakan sebagai salah satu alternative
pembelajaran PAI

v
vi

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN LUWU UTARA
Jl. Datok Patimang No. 22 A Telp. (0473) 21548
MASAM BA

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Luwu
Utara menerangkan bahwa :

Nama : Raida, S.Ag


Nip : 19680316 200003 2 001
Jabatan : Penyuluh Agama Ahli Madya
Pangkat/Golongan : Pembina/ IV a
Unit Tugas : Kantor KUA Kec. Bone-BonAlamat
Kantor : Kelurahan Bone-Bone

Telah melaksanakan Penelitian dan dokumennya disimpan pada Kantor KUA Kec.
Bone-Bone sebagai bukti fisik, dengan judul penelitian :
“ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam dengan
Menerapkan Model Pembelajaran PAKEM pada Santri Taman Pendidikan Al
Qur’an (TPA) An Nur Dusun Sidorejo Desa Sidomukti Kecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara Tahun 2016”,

Bone-Bone, 11 Oktober 2016

Mengetahui
Kepala Kantor Kemenag Kab. Luwu Utara Kepala KUA Kec.Bone-Bone

DRS. H. MUKHLIS CHALID. MA MALIKI, S.Pd.I, M.Hi


NIP : 19650505 199503 1 002 NIP.197604052009001020

vi
vii

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN LUWU UTARA
Jl. Datok Patimang No. 22 A Telp. (0473) 21548
MASAM BA

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul :

“ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam


dengan Menerapkan Model Pembelajaran PAKEM pada Santri
Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) An Nur Dusun Sidorejo Desa
Sidomukti Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara Tahun
2016”,

2. Peneliti
Nama Lengkap : Raida, S.Ag
Jenis Kelamin : Wanita
NIP : 19680316 2000032 001
Pangkat/Gol. : Pembina/IV a

3. Lama Penelitian : 4 bulan


Dari bulan : Juli 2016
Sampai bulan : Oktober 2016

Bone-Bone, 11 Oktober 2016

Mengetahui
Kepala Kantor Kemenag Kab. Luwu Utara Kepala KUA Kec.Bone-Bone

DRS. H. MUKHLIS CHALID. MA MALIKI, S.Pd.I, M.Hi


NIP : 19650505 199503 1 002 NIP.19760405 200900 1 020

vii
viii

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN LUWU UTARA
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN BONE-BONE
JL. Bantimurun Nomor 1 Kel. Bone-Bone, Luwu Utara Kode Pos 92966
Email: sulsel_kuabonebone@kemenag.go.id

SURAT KETERANGAN PENELITIAN


NO. 2016

Yang bertanda tangan dibawah ini, Kepala KUA Kec. Bone-Bone


Menerangkan Bahwa :
Nama : Raida, S.Ag
Nip : 19680316 200003 2 001
Jabatan : Penyuluh Agama Ahli Madya
Pangkat/Golongan : Pembina/ IV a
Unit Tugas : Kantor KUA Kec. Bone-Bone
Alamat Kantor : Jl. . Bantimurung No. 1 Kec. Bone-Bone

telah melaksanakan penelitian di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) An


Nur Dusun Sidorejo Desa Sidomukti Kec. Bone-Bone dengan judul :
“ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam
dengan Menerapkan Model Pembelajaran PAKEM pada Santri Taman
Pendidikan Al Qur’an (TPA) An Nur Dusun Sidorejo Desa Sidomukti
Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara Tahun 2016,”
Demikian Surat Keterangan Penelitian ini dibuat untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Bone-Bone, 11 Oktober 2016

Mengetahui
Kepala KUA Kec. Bone-Bone

MALIKI, S.Pd.I, M.Hi


NIP.19760405 200900 1 020

viii
ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, senantiasa penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT., dimana karena limpahan Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul “ Upaya Meningkatkan
Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Pendekatan
Kontekstual pada Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) An Nur ” dapat
diselesaikan sesuai dengan perencanaan dan waktu yang tersedia.
Begitu banyak kendala yang penulis hadapi yang kebanyakan bersumber
dari kekurangan penulis sendiri, namun semua kendala bisa teratasi dengan
bantuan dari berbagai pihak yang banyak memberikan masukan dan dorongan
yang sifatnya positif, sehingga karya PTK ini dapat hadir di hadapan Bapak dan
Ibu sesama rekan penyuluh Agama Islam yang mencoba mencari solusi
pemecahan masalah pembelajaran, oleh sebab itu penulis merasa perlu
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Ust. Hardi selaku Kepala Sekolah yang telah memberikan dukungan moral
dan motivasi kepada penulis mulai dari tahap perencanaan penelitian sampai
penyusunan laporan .
2. Bapak/ ibu Penyuluh Agama Islam PNS dan Non PNS di Kantor Urusan
Agama Kec. Bone-Bone , serta semua pihak yang begitu besar perannya
memberikan masukan-masukan selama masa penelitian dan penyusunan
laporan.
Akhirnya kami mohon kehadirat Allah SWT, semoga segala jerih payah
semua pihak dalam penelitian ini mendapat ridha- Nya, dan hasil yang diperoleh
bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bone-Bone, 11 Oktober 2016

Penulis

ix
x

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ................................................................................................. i

Lembar Pengesahan ......................................................................................... ii

Kata Pengantar ................................................................................................. iii

Abstrak ............................................................................................................. iv

Daftar Isi .......................................................................................................... vi

Daftar Lampiran ............................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 7

E. Definisi Operasional Variabel .................................................. 8

F. Batasan Masalah ...................................................................... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Pembelajaran............................................................... 10

B. Gaya Belajar............................................................................. 11

C. Sisi Sosial Proses Belajar.......................................................... 13

D. Motivasi Belajar........................................................................ 15

E. Meningkatkan Motivasi Belajar PAI Pada Siswa .................. 20

F. Model Pembelajaran Kolaborasi .............................................. 22

x
xi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat, Waktu, dan Subyek Penelitian ................................... 28

B. Rancangan Penelitian ............................................................... 29

C. Alat Pengumpul Data ............................................................... 32

D. Analisis Data ............................................................................ 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hubungan Pembelajaran Model Kolaborasi Dengan

Ketuntasan Belajar ................................................................... 34

B. Pembahasan ............................................................................. 42

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan .................................................................................. 44

B. Saran ........................................................................................ 45

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 46

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Rencana pelaksanaan pembelajaran ............................................. 48

Lampiran 2 Nilai Formatif Pada Siklus I ......................................................... 55

Lampiran 3 Nilai Formatif Pada Siklus II ....................................................... 56

Lampiran 4 Nilai Formatif Pada Siklus III.......................................................

xii
xiii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penulis yang bertanda tangan di bawah ini,

menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Dan jika

kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau

dibuat atau dibantu orang lain secara keseluruhan atau sebagian, maka

skripsi dan gelar yang diperoleh batal demi hukum.

Palopo, 5 Oktober 2017

Penulis,

xiii
xiv

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang Berjudul Qadha dan Qadhar Menurut Pandangan Muhammad Abduh

yang ditulis oleh Saudara RAIDA, S. Ag. NIM. 96.14.0136 Jurusan Ushuluddin

Program Studi Aqidah Filsafat pada STAIN Palopo , telah diuji dan

dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Selasa,

19 Oktober 1999M / 9 Rajab 1420 H. dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Islam dalam Ilmu

Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat, dengan beberapa perbaikan-perbaikan.

Palopo, 27 Januari 2000 M


. 20 Syawal 1420 H.

DEWAN PENGUJI

Munaqis I : Drs. Fahmi Damang, MA. (...........................)

Munaqis II : Drs. H. Ruslin. (...........................)

Pembimbing I : Drs. H. Syarifuddin D., MA. (...........................)

Pembimbing II : Drs. H.M. Hasyim (...........................)

Diketahui Oleh
Ketua STAIN Palopo

DRS. H. SYARIFUDDIN D MA.


NIP. 150 182 297.

xiv
xv

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan Skripsi saudara RAIDA,S.Ag

NIM:96.14.0136, mahasiswa Jurusan Ushuluddin Program Studi Aqidah

Filsafat pada STAIN Palopo, setelah dengan seksama meneliti dan

mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan Judul : “Qadha dan Qadhar

Menurut Pandangan Muhammad Abduh” memandang bahwa skripsi

tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk

diajukan ke Sidang Munaqasyah.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya.

Palopo, 5 Oktober 1999

Pembimbing I Pembimbing II

DRS. H. SYARIFUDDIN D., MA. DRS. H. HASYIM


NIP. 150 180 297 150 044 445

xv
xvi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke Hadirat Allah Swt. oleh karena Hidayah dan Taufiq-

Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang sederhana

ini, guna melengkapi persyaratan dalam rangka menyelesaikan studi di

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo. Salawat dan salam atas

junjungan Nabi Muhammad Saw. beserta para sahabat dan keluarganya

sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini ditemui banyak

kesulitan dan hambatan, akan tetapi berkat bantuan dan partisipasi dari

berbagai pihak hal itu dapat teratasi, sehingga akhirnya skripsi ini dapat

terwujud sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Ketua STAIN Palopo yang telah membina dan mengembangkan

Perguruan Tinggi tersebut di mana penulis menimba ilmu pengetahuan.

2. Bapak Drs. H. Syarifuddin Daud, MA. dan Bapak Drs. H. Hasyim

masing-masing selaku pembimbing penulis yang telah mencurahkan

tenaga dan pikirannya dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini

dapat selesai.

3. Bapak Kepala Perpustakaan dan stafnya yang dengan senang hati

melayani penulis serta menyediakan fasilitas dalam keperluan studi

kepustakaan.

xvi
xvii

4. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu semoga

bantuan yang diberikan itu mendapat pahala yang berlipat ganda di sisi

Allah Swt.

Akhirnya, ibarat tiada gading yang tak retak, maka demikian pula

dengan penyusunan skripsi ini yang masih memerlukan pembenahan di

sana-sini. Penulis menyadari penyajian isi skripsi ini yang masih jauh dari

kesempurnaan, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya saran dan

ktirik yang konstruktif dari berbagai pihak demi menutup kekurangan yang

ada.

Palopo, 15 Oktober 1999 M.


05 R a j a b 1420 H

Wassalam,

PENULIS

xvii
xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................ vii
ABSTRAK ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1-
15
A. Latar Belakang Masalah ....................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ........................... 7
C. Hipotesis .............................................................. 7
D. Pengertian Judul ................................ ................. 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................. 10
F. Metode yang Digunakan ........................................ 11
G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................ 13
H. Garis-garis Besar Isi Skripsi ............................... 14
BAB II MUHAMMAD ABDUH ................................................. 16-
36
A. Riwayat Hidupnya ............................................... 16
B. Latar Belakang Kehidupannya .............................. 18
C. Pemikiran-pemikirannya ...................................... 19
BAB III MASALAH QADHA DAN QADAR ............................... 37
A. Pengertian Qadha dan Qadar ............................... 37
B. Petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits Tentang Qadha
dan Qadar ................................ ....................... 38
C. Pandangan Mutakallimin Tentang Qadha
dan Qadar ......................................................... 52

xviii
xix

BAB IV SIKAP MUHAMMAD ABDUH TENTANG QADHA DAN


QADAR.................................................................................. 62-
66
A. Berbagai Argumentasi Muhammad Abduh Dalam Memahami
Qadha dan Qadar........................................................................ 62
B. Pemikiran Muhammad Abduh dan Implikasinya
dalam Masyarakat ............................................. 66
BAB V PENUTUP ................................................................ 67
A. Kesimpulan .......................................................... 67
B. Saran-saran ........................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 70

xix
xx

ABSTRAK

Nama Penulis : RAIDA, S. Ag.


NIM :
Judul Skripsi : Qadha dan Qadar Menurut Pandangan Muhammad
Abduh.

Skripsi ini adalah suatu tinjauan tentang Qadha’ dan Qadar menurut
pandangan Muhammad Abduh. Yang menjadi pokok permasalahan di sini
adalah bagaimana pandangan Muhammad Abduh dalam menyikapi dan
memahami qadha’ dan qadar yang merupakan dasar iman yang ke enam
yang harus diimani oleh setiap muslim dan muslimat, keberadaannya sudah
terdapat di dalam al-Qur’an dengan keterangannya yang jelas bahwasannya
kekuasaan tertinggi adalah Allah sebagai penguasa alam yang tidak terbatas
kekuasaanNya. Oleh karena itu seluruh yang berlaku atas manusia adalah
kuasa Ilahi. Sebaliknya manusia tidak kuasa apapun, yang ada adalah
kebebasan yang terbatas yakni terbatas oleh Kodrat dan Iradat Allah Swt.
Jadi Kuasa tertinggi tetap ada padaNya.
Muhammad Abduh menyerukan paham ikhtiar, sebab ikhtiar adalah
suatu tuntutan yang berlaku bagi manusia untuk berusaha mencari
kebaikan, manusia diperintahkan untuk bergerak, berjuang mencari rizki,
karena Allah Swt. tidak menjadikan manusia lemah tak berdaya dalam
kehidupan ini.
Kemudian usaha itu sendiri adalah suatu pengabdian atau ibadah
manusia dan tanda mengagungkan serta bersyukur atas nikmat yang
dianugerahkan kepada manusia. Sedangkan akhir dari suatu usaha adalah
berhasil atau gagal, semua itu berpulang kepada Iradah Allah

xx
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Qadha’ dan Qadar atau lazimnya disebut “Takdir” merupakan suatu hal

yang masih sering dipersoalkan dan dipertentangkan, khususnya dalam

masyarakat Islam baik kalangan cerdik pandai maupun orang awam.

Berbagai masalah yang timbul di dalam berbagai gerak kehidupan

manusia seperti kematian, kemiskinan, kecelakaan, perbuatan baik dan buruk

bahkan dalam soal jodoh dan lain-lain sebagainya, mereka selalu hubungkan

dengan qadha’ dan qadar dan Allah Swt.

Penulis prihatin, sebab dari kebanyakan mereka (orang awam) lebih

cenderung bersikap fatalis dan pesimis. Mereka tidak membarenginya dengan

usaha dan ikhtiar.

Kemudian dari pada itu, banyak kaum muslimin mengaku beragama,

sedang isinya tidak dikenalnya. Karena mereka mempunyai kepercayaan

(aqidah), maka aqidah Jabariyah atau Murji’ahlah yang mereka pegangi,

seperti manusia tidak mempunyai ikhtiar dalam perbuatannya.1

1
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:Jaya Murni,
1974), h. 170.

1
2

Disamping itu didapatinya ketidakberesan dalam pengajaran agama,

apakah karena ditinggalkan sama sekali atau karena cara pemahaman agama

tidak melalui jalan yang sebenarnya.2

Juga masih banyak didapati pendapat yang mengatakan bahwa segala

sesuatu yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah, menyerah kepada nasib

dan suratan taqdir. Apa yang diselenggarakan Tuhan, mau tidak mau akan

terjadi.3

Keadaan yang demikian itu bila tidak segera diantisipasi sudah barang

tentu bisa merugikan kaum muslimin itu sendiri. Sebab kaum muslimin dalam

kehidupannya tidak akan mengalami kemajuan dan tidak dapat menerima

perubahan-perubahan serta tuntutan zaman.

Oleh karena itu Muhammad Abduh tampil sebagai reformis dan

memperbaiki keadaan, dengan ide dan pemikiran-pemikirannya. Menurut

pendapatnya bahwa sebab yang membawa kemunduran adalah paham jumud

yang terdapat dalam kalangan umat Islam. Dalam kata jumud tergandung arti

keadaan beku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham

2
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna,
1992), h. 164.
3
Vander Weij, “Grote Filosofen Over de Mens” diterjemahkan K.
Bertens dengan judul : Filusuf-filusuf Besar Tentang Manusia,
(Jakarta:tp, 1988), h. 69.

2
3

jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima

perubahan.4

Selain itu Muhammad Abduh menghidupkan kembali cara berfikir

dialektika yang dirasionalisasikan dari ulama lama.5

Muhammad Abduh mengatakan bahwa manusia dengan akal dan

pemikirannya, mempunyai kekuatan dan kebebasan dalam kemauan dan

perbuatan. Tidak sedikit ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menganjurkan dan

mendorong manusia banyak berfikir dan menggunakan akalnya.6

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Anfal (8) : 22

           

Terjemahnya :

“Sesungguhnya binatang (makhluk-makhluk) yang seburuk-buruknya di


Sisi Allah, ialah orang yang tuli (tidak mau mendengar yang hak), dan
bisu (tidak mau mengucapkan perkara yang hak) yang tidak mengerti
apapun (tentang perkara yang hak)”.7

4
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), h. 62.
5
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 1993), h.
60.
6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1966), h. 39.
7
Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain II Berikut As-bÀb al-NuzÂl, (Bandung:Sinar
Baru, 1990), h. 717-718.

3
4

Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan tentang qadha’

dan qadar Allah Swt., diantaranya : Q.S. al-Hadid (57) : 22,

          


Terjemahnya :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul MahfuÉ)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah”8

Q.S. Ali Imran (3):145,

            
          
  
Terjemahnya :

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”.9

Juga dalam Q.S. Al-Baqarah (2) : 7,

           

  

Terjemahnya :
8
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:CV. Toha
Putra Semarang, 1989) , h. 904.

9
Ibid., h. 100.

4
5

“Allah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan


mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat”. 10

Kemudian dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Saw. Bersabda

yang artinya:

Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan kejadiannya di dalam


rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (air mani), kemudian dalam
waktu itu menjadi segumpal darah, selanjutnya dalam waktu yang sama
menjadi segumpal daging. Sesudah itu, Allah memerintahkan Malaikat
untuk mendatanginya guna mencatat empat perkara (empat ketentuan
yang sebenarya telah tercantum catatannya dalam Lauhul MahfuÉ sejak
zaman azali). Kepada Malaikat tadi difirmankan “Tulislah mengenai
ilmunya, rizkinya, ajalnya dan apakah orang tersebut bakal menjadi
manusia celaka, atau manusia bahagia”. Selanjutnya tubuh manusia itu
ditiupi ruh (kedalam tubuhnya). Oleh sebab itu, sesungguhnya di antara
kalian ada yang beramal sebagaimana amal perbuatan surga, sehingga
antara surga dan dia hampir tidak ada jarak, kecuali hanya sehasta.
Tetapi taqdir mendahului semuanya, mendadak ia berkelakuan
sebagaimana layaknya kelakukan ahli neraka sehingga ia masuk neraka.
Ada juga sebaliknya seseorang beramal sebagaimana amal ahli neraka,
sehingga antara dia dengan neraka hampir tanpa jarak, kecuali hanya
sehasta. Tetapi taqdir Allah mendahului semuanya, sekonyong-konyong
ia berkelakuan sebagaimana amal perbuatan ahli surga (pada akhir
hayatnya), sehingga masuk surga.

Menyikapi ketentuan sesuai hadis tersebut di atas, Muhammad Abduh

berpendapat, bahwa agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman kepada

taqdir Allah saja, tetapi juga menganjurkan beramal salih, bekerja dan

berusaha, serta tetap konsisten memegang dua persoalan pokok yang besar

yang selama ini dianggap tabu (hal yang haram) bagi manusia itu

10
Ibid., h. 9

5
6

menyentuhnya. Kedua persoalan pokok itu ialah : Kekebasan kemauan (Free

weel ), dan kemerdekaan ratio (akal) dan pikiran. Dengan dua faktor utama itu,

menjadi sempurnalah kemanusiaan makhluk insani ini dan terbukalah

kesempatan yang luas baginya untuk mencapai kebahagiaan yang telah

disediakan Ilahi menurut hukum fitrah kejadian manusia itu.11

Demikian gambaran tentang pandangan Muhammad Abduh dalam

menyikapi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. yang

terwujud dalam qadha’ dan qadar.

B. Rumusan dan Batasan Masalah.

Masalah pokok yang akan dibahas dalam skripsi adalah :

1. Bagaimana pengertian qadha’ dan qadar ?

2. Apa yang melatarbelakangi sehingga perlu dikaji ulang tentang qadha’ dan

qadar ?

3. Bagaimana pandangan Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar ?

C. Hipotesis
1. Qadha dan Qadar merupakan rukun Iman yang keenam, Qadha’ dan

Qadar ialah kepastian, sedangkan qadar adalah ketentuan. Keduanya ditetapkan

oleh Allah Swt., untuk seluruh makhluNya. Maksud beriman kepada qadha’

11
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 203.

6
7

dan qadar artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai

niat dan keyakinan sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun

tidak sengaja telah ditetapkan oleh Swt.

2. Yang melatarbelakangi sehingga perlu dikaji ulang tentang

pemahaman keimanan kepada qadha’ dan qadar, antara lain : untuk

menyanggah pendapat sementara sebagian orang yang mengatakan bahwa

Islam tidak bisa mengikuti perubahan zaman dan kondisi baru. Kemunduran

kaum muslimin bukan disebabkan oleh seperti anggapan tersebut, namun

karena disebabkan kurangnya pemahaman terhadap hakekat qadha’ dan qadar

itu sendiri, sehingga pasrah kepada suratan nasib. Padahal apabila mau, tentu

akan ada perubahan. Yaitu dengan cara berusaha, mempergunakan akal

pemikiran dan berdo’a. Sikap jumud diganti dengan sikap optimis, dinamis,

kreatif dan penuh harap.

Juga untuk mengingatkan bahwa keberhasilan dan keberuntungan yang

diperoleh sebagai akibat hasil dari akal dan pemikiran manusia itu, merupakan

pemberian dan anugerah serta hasil campur tangan Allah. Hal ini dimaksudkan

agar terhindar dari sifat ujub, congkak dan sombong, bahkan cenderung

melupakan kebesaran dan kekuasaanNya. Selain itu agar semakin tertanam

sikap tawakkal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya

bisa berusaha/ ikhtiar dan berdo’a sedangkan hasilnya diserahkan kepada-Nya.

7
8

3. Pandangan Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar yakni

mengambil jalan terbaik bahwa manusia di samping harus percaya terhadap

ketentuan Tuhan, manusia juga mempunyai usaha dan kemauan untuk

menentukan pilihan-pilihan yang terbaik bagi manusia itu sendiri. Dengan akal

dan pemikiran/ ratio manusia dituntut agar mau mempergunakannya demi

kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya.

D. Pengertian Judul

Qadha’ dan Qadar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dua

kata yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari kata “qadha’ dan qadar”.

Secara etimologis qadha adalah bentuk masdar dari kata kerja “qadha”

yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini qadha adalah

kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu dengan makna

bahwa apa-apa yang ada pada ilmu Allah keluar, dan peta alam wujud itupun

terjadi terhadap makhlukny-Nya.12

Sedangkan qadar adalah bentuk masdar dari kata

“qadara” yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini qadar adalah

ukuran atau ketentuan Allah Swt. terhadap segala sesuatunya. Dengan makna

12
A. Madhahiri, Tafsir Surat YÀsin Aqidah dan Ma’rifah dari
Jantung al-Qur’an, (Jakarta: Hudan Press, 1988), h. 235-236.

8
9

lain qadar adalah ilmu ketuhanan, yang merupakan rencana Allah terhadap

alam wujud itu, ada pada ilmu Allah.13

Secara terminologis qadha’ ialah penciptaan segala sesuatu oleh Allah

sesuai dengan ilmu dan Iradah-Nya, sedangkan qadar ialah ilmu Allah Swt.

tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya masa yang akan

datang.14

Melihat penjelasan dari pengertian di atas, jelas bahwa antara qadha’

dan qadar sangat erat sekali, sebab qadar hakekatnya merupakan perwujudan

dari qadha’, sama-sama telah ditetapkan Allah sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka.

Buku-buku yang membahasa qadha’ dan qadar, penulis tidak banyak

dapatkan apalagi pandangan Muhammad Abduh. Namun demikian ada

bebarapa buku yang dapat dijadikan rujukan, seperti karya Syeh Muhammad

Abduh sendiri yaitu RisÀlat al-TauhÁd dan karya Harun Nasution dengan

Judul “Muhammad Abduh dan Theologi Rasional Mu’tazilah”, serta mendapat

tambahan dari buku-buku lain.

13
Ibid.
14
Ibid.

9
10

Dari RisÀlat al-TauhÁd itulah penulis kutip beberapa bahan rujukan

yang ada hubungannya dengan masalah qadha’ dan qadar ini, yaitu tentang

Perbuatan-perbuatan Allah dan Perbuatan-perbuatan Manusia15 . Memang

masalah tersebut dibahas secara khusus, namun belum mencakup masalah

qadha’ dan qadar dalam arti keseluruhan. Jadi pandangan Muhammad Abduh

tentang qadha’ dan qadar bukan merupakan tulisan utama dalam buku tersebut,

tetapi merupakan bahan perbandingan yang ditempatkan pada pembahasan

terakhir dan sekaligus melakukan koreksi terhadapnya.

Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa

pembahasan Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar belum ada yang

menulisnya secara komprehensif, sehingga skripsi ini bukanlah merupakan

pengulangan terhadap tulisan yang sudah ada, bahkan diharapkan dapat

menemukan sesuatu yang baru.

F. Metode yang Digunakan

Dalam penulisan skripsi ini digunakan beberapa metode, yaitu :

1. Metode Palaksanaan Penelitian

15
Syekh Muhammad Abduh, opcit., h. 84 dan 91.

10
11

Dalam melakukan penelitian terhadap pandangan Muhammad Abduh

tentang qadha’ dan qadar, penulis memakai metode yang disebut :

a. Studi Historis, karena obyek pembahasan skripsi ini erat kaitannya

dengan berbagai peristiwa/ keadaan umat Islam khususnya dan umat

manusia pada umumnya di masa lalu dan di masa sekarang, bahkan masa

yang akan datang.

b. Studi Perbandingan, karena obyek pembahasannya tidak hanya

mengungkapkan satu masalah saja, atau pendapat Muhammad Abduh

saja, melainkan mengungkapkan beberapa pandagan lain (mutakallimin)

termasuk petunjuk al-Qur’an dan Sunnah tentang qadha’ dan qadar

2. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini, metode pendekatan yang digunakan adalah

metode pendekatan Theologi, karena qadha’ dan qadar merupakan ArkÀn al-

ImÀn, sudah barang tentu sangat erat kaitannya dengan masalah aqidah yang

merupakan dasar atau fundamen dalam kehidupan beragama, sehingga

pendekatan terhadap permasalahan berdasarkan ketentuan agama.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini,

maka metode yang dipakai yaitu Library Research . Yakni mengumpulkan data

melalui bacaan dan buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan.

11
12

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data.

Oleh karena data-data yang diperlukan adalah hasil pemikiran atau

pandangan seorang tokoh, maka dalam mengolah data hanya dipakai metode

kualitatif bukan kuantitatif yang menggunakan analisis statistik.

Adapun bentuk analisis data yang dipakai adalah dengan berfikir

induktif dan deduktif. Induktif dalam prakteknya menggunakan argumen

secara khusus kemudian membandingkannya lalu mengambil kesimpulan.

Sedang deduktif dalam prakteknya mengemukakan premis mayor dan premis

minor lalu melahirkan suatu konklusi.

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk mengungkapkan pandangan

Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar, sehingga pendapat yang kurang

benar dari sebagian kaum muslimin dapat diperbaiki dan diperluas dengan

mengetahui pandangan tersebut. Maka dari itu penulisan skripsi ini, bersifat

pengembangan terhadap pendapat dan teori yang sudah ada dalam masyarakat.

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini, adalah :

1. Secara ilmiah diharapkan penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan

mengenai qadha’ dan qadar serta dapat berguna dalam pengembangan ilmu-

ilmu keislaman.

12
13

2. Secara praktis diharapkan dengan mengetahui konsep qadha’ dan qadar

menurut Muhammad Abduh dapat dijadikan dasar atau landasan dalam

meningkatkan mutu kehidupan beragama, baik dari segi aqidah dan ibadah

maupun dari segi akhlaq.

H. Garis-garis Besar Isi Skripsi

Pada bab pertama akan dikemukakan pendahuluan dengan pembahasan

yang meliputi latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, kemudian

hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah. Selanjutnya

pengertian judul dan tinjauan pustaka untuk menunjukkan bahwa skripsi ini

bukan merupakan pengulangan terhadap tulisan-tulisan yang sudah ada.

Kemudian beberapa metode penelitian yang dipakai dalam penulisan

skripsi ini, juga dikemukakan dalam pendahuluan dan tujuan penulisan atau

penelitian serta kegunaannya baik secara ilmiah, maupun secara praktis.

Terakhir adalah garis-garis besar isi skripsi yang merupakan gambaran dari

pokok-pokok isi skripsi ini.

Pada bab kedua dikemukakan uraian tentang riwayat hidup Muhammad

Abduh sejak kecil hingga tampil sebagai pembawa reformasi terhadap ajaran

Islam dan kaum muslimin kemudian dilengkapi dengan latar belakang

kehidupannya dan pemikiran-pemikirannya.

13
14

Sedangkan masalah qadha’ dan qadar secara umum diuraikan pada bab

ketiga dengan pembahasan yang meliputi pengertian qadha’ dan qadar,

petunjuk al-Qur’an tentang qadha’ dan qadar sebagai landasan kedua ajaran

Islam, dan diperkuat dengan petunjuk al-Hadits sebagai landasan kedua dalam

ajaran Islam setalah al-Qur’an. Kemudian untuk melengkapi dan sebagai bahan

perbandingan dalam pembahasannya, penulis angkat beberapa pandangan para

mutakallimin.

Selanjutnya pada bab keempat merupakan pembahasan tentang

Muhammad Abduh, yang berisikan berbagai argumentasi Muhammad Abduh

dalam memahami qadha’ dan qadar, berikut pemikiran Muhammad Abduh dan

implikasinya dalam masyarakat.

Sebagai bab terakhir dikemukakan kesimpulan dari skripsi yang

dilanjutkan dengan saran-saran penulis terutama dalam memahami terhadap

teori-teori yang sudah ada.

14
15

BAB II

MUHAMMAD ABDUH

Sukar untuk melukiskan dengan lengkap tentang kehidupan Syekh

Muhammad Abduh dalam beberapa halaman saja, karena banyaknya segi-segi

Tafsir Qur’an, hukum Islam, bahasa Arab dan kesusateraannya, logika

(mantiq), Ilmu Kalam (Theologi Islam), filsafat, dan soal-soal kemasyarakat. Ia

seorang ulama besar penulis kenamaan dan pendidikan yang berhasil,

pembaharu Mesir Modern dan yang bergerak dalam lapangan kemasyarakatan,

seorang pembela Islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya,

seorang hakim yang jauh pandagannya, pemimpin dan politikus ulung dan

akhirnya seorang mufti, suatu jabatan keagamaan yang tinggi di Mesir.

Negeri-negeri yang pernah dikunjunginya adalah Libanon, Siria, Turki,

Switserland, Perancis, Inggris, Tunis, Aljazair, Sicilia dan Sudan.16

A. Riwayat Hidupnya

Syekh Muhammad Abduh seorang putra Mesir, lahir pada tahun 1849

dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khaerullah,

mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedang ibunya, Junainah

16
A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam , (Jakarta: : Pustaka
Al-Husna, 1992), h. 156. 16

15
16

mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khaththab,

khalifah yang kedua.

Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula Muhammad

Abduk diserahkan oleh orang tuanya belajar mengaji al-Qur’an. Berkat

otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci

itu seluruhnya, pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun.17

Pada tahun 1869, datang ke Mesir seorang alim besar, Sayyid

Jamaluddin al-Afghany, terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid

(pejuang), Mujaddid (pembaharu, reformer) dan ulama yang sangat alim.

Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa pada al-Azhar.

Muhammad Abduh bertemu dengan Sayyid Jamaluddin untuk pertama kalinya,

ketika Muhammad Abduh datang ke rumahnya, bersama-sama dengan Syekh

Hasan al-Takwil, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu

Tasawuf dan Tafsir.

Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu-ilmu agama, belajar juga

pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ketatanegaraan

dan lain-lain. Suatu hal istimewa diberikan kepada mereka, ialah semangat

berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan

17
Syekh Muhammad Abduh, RisÀlat al-TauhÁd, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1976), h. 17.

16
17

cara-cara berpikir fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih

maju.18

Karena Muhammad Abduh telah memiliki cara berpikir yang lebih

maju, banyak membaca ilmu-ilmu filsafat, banyak mempelajari perkembangan

jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka guru-guru al-Azhar

pernah menuduhnya meninggalkan Mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu

Muhammad Abduh menjawab : “Yang terang saya telah meninggalkan taqlid

ke Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaqlid kepada Mu’tazilah ?, saya akan

meninggalkan taqlid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil

yang dikemukakan.”19

B. Latar Belakang Kehidupannya

Untuk mengungkap latar belakang kehidupan Muhammad Abduh

penulis sedikit mengalami kesulitan, karena secara umum dan dengan panjang

lebar telah dijelaskan dalam riwayat hidup beliau. Namun demikian penulis

coba untuk menyusunnya secara rinci meskipun singkat.

18
Ibid., h. 17-18
19
Ibid.

17
18

Muhammad Abduh lahir dari keluarga petani sedang, yang memiliki 40

feddan (bahu). Meskipun lahir dari keluarga petani tapi terpandang dan taat

beragama.

Lima belas tahun kemudian ayahnya Abdullah Khaerullah kawin lagi

dengan seorang wanita lain, dan dari istri inipun lahir pula anak-anaknya.

Dengan demikian Syekh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah yang

didiami oleh banyak istri dan anak-anak yang berlain-lainan ibunya. Keadaan

rumah tangga yang semacam ini besar pengaruhnya, terhadap perbaikan

masyarakat Mesir.20

Demikianlah sekelumit tentang latar belakang kehidupan Syekh

Muhammad Abduh.

C. Pemikiran-Pemikirannya

Segi-segi pokok dari pemikiran Muhammad Abduh meliputi :

1. Politik dan Ketanahairan

2. Kemasyarakatan

3. Aqidah, dan

4. Pendidikan dan Bimbingan Umum.21

20
A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam, (Jakarta : Jaya
Murni, 1974), h. 161-162.
21
Ibid., h. 165.

18
19

Karena pentingnya segi-segi tersebut, maka perlu dibicarakan meskipun

secara garis besarnya saja.

1. Politik dan Ketanahairan

a. Arti Tanah Air

Pengertian tanah air tergabung dalam tiga hal, sehingga seorang warga

negara mempunyai kewajiban untuk cinta, gairah dan mempertahankan tanah

airnya, yaitu :

1). Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan dan

tempat tinggal keluarga dan sanak saudara.

2). Sebagai tempat memperoleh hak-hak akan kewajiban-kewajiban yang

kedua-duanya menjadi poros (dasar) kehidupan politik.

3). Tempat mempertalikan diri, dimana seseorang akan merasa bangga atau

terhina karenanya.

b. Demokrasi dan Pemerintahan

Menurut Syekh Muhammad Abduh, kalau prinsip demokrasi menjadi

suatu kewajiban bagi rakyat dan penguasa bersama-sama, maka kewajiban

pemerintah terhadap rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk

berkerja dengan bebas dan dengan cara yang benar, agar dapat mewujudkan

kebaikan dirinya dan masyarakat.22

22
Ibid., h. 166

19
20

c. Pertalian Undang-undang Negara dengan Keadaan Negeri.

Menurut Muhammad Abduh, fungsi undang-undang hanya memelihara

keadaan yang sudah ada, bukan untuk mengadakan perubahan. Perubahan adat

dan akhlak suatu umat dan penjurusan kepada suatu jurusan hanya bisa dicapai

dengan pendidikan, bukan dengan undang-undang.23

Jadi, untuk mengetahui undang-undang diperoleh dengan melalui

pendidikan.

2. Kemasyarakatan

Dalam segi kemasyarakatan ia membicarakan dua hal yaitu jiwa

bersamaisme dan kelemahan-kelemahan masyarakat Islam.

a. Jiwa Bersamaisme.

Menurut Muhammad Abduh, jiwa bersamaisme dalam sesuatu umat

harus diperkuat, sebaliknya jiwa individualisme dan separatisme harus dikikis

habis. Jalannya tidak lain hanyalah pendidikan yang benar. Ia menguraikan

pertalian ajaran Islam dengan pengetahuan yang rasionail , sehat, pendidikan

jiwa yang sebenarnya dan kegunaan ajaran-ajaran tersebut, terutama pada

tingkatan sekolah dasar. Kemudian menjelaskan pertalian ajaran-ajaran

tersebut dengan tabiat manusia dan dapat mempengaruhinya dengan

23
Ibid., h. 167

20
21

memberikan tuntunan yang sehat, agar dengan ajaran-ajaran tersebut jiwa

manusia menjadi jiwa yang berguna.24

Hal ini perlu perhatian yang sungguh-sungguh mengingat nilai

kebersamaan ini sekarang hampir nyaris terlupakan.

b. Kelemahan-kelemahan Masyarakat Islam.

Sebab yang sebenarnya dari kelemahan umat dan masyarakat Islam,

menurut Syekh Muhammad Abduh, tidak lain hanya kemiskinan (kelemahan)

jiwa dan bimbingan yang salah terhadap akal pikiran, bukan disebabkan karena

tanah Mesir atau langitnya, bukan pula karena tabiat alam (geografi) negeri-

negeri Islam lainnya. Yang menjadi sebab kemiskinan (kelemahan) jiwa dan

tuntunan yang salah terhadap akal pikiran ialah merajalelanya rasa keakuan

dan rusaknya arti “Bersamaisme” pada jiwa seseorang. Hal ini disebabkan pula

karena kebodohan mutlak atau karena salah memahami arti Islam dan

kehidupan ini.

Menurut Muhammad Abduh, faktor-faktor kelemahan umat Islam

terjadi dalam banyak hal, antara lain :

1. Adanya salah pengertian terhadap hidup, dan tidak ada kesungguhan, juga

karena salah pendidikan dan tidak ada perhatian terhadap akhlak.

24
Ibid., h. 168

21
22

2. Perkawinan dianggap sebagai alat pemuas hawa nafsu, bahkan cenderung

poligami dengan melupakan tujuan poligami yang sebenarnya.

3. Banyak terjadi penyelewengan dalam aqidah.

4. Merosotnya nilai akhlak dan hilang rasa akan kewajiban.

5. Putus hubungan jiwa antara satu dengan yang lain, sehingga acuh tak acuh

terhadap kepentingan umum.25

Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan kelemahan umat Islam di

Mesir menurut pendapat Muhammad Abduh.

3. Segi Aqidah

Dua hal yang dibicarakan dalam segi ini, yaitu :

a. Aqidah Jabariah, dan

b. Pertalian akal dengan wahyu.

Menurut Muhammad Abduh, akibat aqidah Jabariyah, bukan saja

seseorang merasa dirinya lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan

orang lain, karena aqidah Jabar hakekatnya hanya bisa hidup atas penghapusan

kepribadian dan wujud diri sendiri. Meskipun seharunya penghapusan ini

hanya terjadi dalam hubungannya dengan Tuhan saja, tetapi karena kelemahan

pribadinya ia menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku dalam

hubungannya dengan sesama makhluk. Seseorang pengikut paham Jabar

25
Ibid., h. 170-171

22
23

adalah orang mukmin yang negatif dalam hidupnya. Salah satu ciri

perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang lain, meskipun orang lain ini

lebih lemah dari padanya. Bagaimanapun juga, paham Jabar sesuai dengan

taqlid, yang kedua-duanya menjadi tanda kelemahan dalam hidup.

Syekh Muhammad Abduh tidak puas kalau kepercayaan seseorang

mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu

akan mengakibatkan kelemahan manusia dan menyebabkan ia kehilangan daya

kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu Syekh Muhammad Abduh

menentang paham Jabar dan menyerukan paham ikhtiar (indeterminism- free

will ), agar seseorang muslim menjadi orang yang kreatif.26

Kemudian dalam persoalan Jabar dan ikhtiar ini, ia tidak bertindak

sebagai seorang filosof, yang hanya mendasarkan pikirannya kepada kepada

tinjauan tertentu yang telah mengenai dirinya dan yang ingin menafsirkan

kehidupan dan wujud ini atas dasar tinjauan tersebut, melainkan ia bertindak

selaku orang beragama yang hati-hati. Jadi dasar pemikirannya adalah agama

dan penghubung antara dasar dan tujuan juga bercorak agama.27

26
Ibid., h. 172
27
Ibid., h. 173

23
24

Selanjutnya dalam soal ikhtiar, ia menunjuk kepada ayat-ayat yang

berisi penyandaran dan amal kepada manusia dan ayat-ayat lain yang

mempertalikan balasan di akhirat dengan perbuatan dunia, seperti :

Q.S. An-Najm (53) : 39 – 40,

‫(أوأأنن أسنعيأهه أسنو أ‬٣٩) َ‫س نللِننأساَنن نإلِ أماَ أسأعى‬


(٤٠) َ‫ف يهأرى‬ ‫أوأأنن لأني أ‬

Terjemahnya :

‘Dan bahwasannya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa


yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya)’28

Alasan lain diambil oleh Syekh Muhammad Abduh dari filsafat tujuan

hidup manusia dalam Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu

(anggota) yang positif dalam pembinaan masyarakat. Karena itu ia menjadi

landasan yang kuatdan tidak boleh bermalas-malasan, tidak kendur dalam

berbuat, bahkan sebaliknya harus produktif.

Demikianlah tujuan Islam dalam memberikan tuntunan kepada umat

manusia. Akan tetapi haruslah dibedakan antara paham Jabar dengan

kepercayaan akan qadar, oleh karena itu jawabannya terhadap polemik yang

dikemukakan oleh Hanotau, ahli ketimuran Perancis, Syekh Muhammad

Abduh mengatakan sebagai berikut :

28
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
C.V. Toha Putra Semarang, 1989), h. 874.

24
25

“Orang-orang Eropa menganggap tidak ada perbedaan antara

kepercayaan tentang qadha dan qadar dengan kepercayaan terhadap Jabar yang

mengatakan bahwa manusia hanya dipaksa semata-mata (sebagai alat) dalam

semua perbuatannya. Mereka mengira, bahwa dengan kepercayaan qadha’

qadar kaum muslimin menganggap dirinya seperti bulu yang digantung di

udara yang hanya diombang-ombingkan oleh angin kemanapun arahnya.

Pendapat-pendapat ahli ketimuran tersebut, diikuti oleh orang-orang yang

lemah otaknya di dunia timur.29

Syekh Muhammad Abduh dengan tegas mengatakan bahwa pendapat

tersebut salah. Tidak ada seorang Islampun yang berpaham Jabar dengan

pengertian tersebut , tetapi ia percaya bahwa dirinya mempunyai pilihan

(ikhtiar) dalam perbuatan-perbuatannya, yaitu yang disebut “kasb” sebagai

tempat menggantungkan pahala dan siksa. Memang dulu pernah ada golongan

Jabariyah, namun golongan ini dianggap oleh kaum muslimin sebagai falsafah

palsu (sophisten) dan sudah lenyap pada abad ke-empat hijriah.

Percaya akan qadar dikuatkan oleh dalil yang pasti bahkan ditunjukkan

oleh fitrah keadaan alam. Orang yang memakai pikirannya akan dapat melihat

dengan mudah, bahwa tiap-tiap kejadian tentu ada sebab yang menyertainya

bersama-sama dan apa yang diketahuinya dari rangkaian sebab-sebab,

29
A. Hanafi, opcit., h. 174.

25
26

hanyalah sebab yang ada di depannya, sedang yang terjadi sebelumnya hanya

Tuhan sendiri yang mengetahuinya. Tetapi tiap-tiap sebab mempunyai

pengaruh terhadap sebab yang kemudiannya.30

Kehendak manusia tidak lain merupakan salah satu mata rangkaian

sebab-sebab tersebut, dan merupakan akibat (kelanjutan) pengenalannya

(pengetahuan/ idrak). Pengenalan ini merupakan reaksi jiwa terhadap apa yang

datang kepada indera dan merupakan pernyataan kebutuhan yang tersimpan

dalam fitrah nalurinya. Jadi gejala-gejala alam berupa penguasaan atas pikiran

dan kemauan tidak dapat dipungkiri, meskipun oleh orang bodoh sekalipun,

apalagi oleh orang yang pandai.31

Pangkal dari semua sebab yang kelihatannya memberi pengaruh

(bekas), sebenarnya hanya di tangan Tuhan sendiri yang menjadikan segala

sesuatu sesuai dengan hikmah-Nya, dan menjadikan tiap-tiap peristiwa

mengikuti yang sesamanya, seolah-olah sebagai balasannya, terutama pada

alam manusia.

Kalau sekiranya ada orang bodoh sesat pikirannya sampai tidak

mengakui ada Tuhan, namun ia tidak mengingkari pengaruh kejadian dan

peristiwa-peristiwa alam pada kemauan manusia. Dapatkah seseorang manusia


30
Ibid.
31
Ibid.

26
27

menghindarkan dirinya dari hukum (sunnah) alam yang telah dibuat oleh

Tuhan untuk makhluk-Nya.32

Jadi percaya akan qadha’ dan qadar, apabila dapat terhindar dari

keburukan paham Jabar, akan menimbulkan sifat kegembiraan dan

kepahlawanan.

b. Pertalian Akal dengan Wahyu

“Qur’an memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal

pikiran tentang gejala alam yang mungkin ditembus untuk memperoleh

keyakinan tentang apa-apa yang ditunjukkan Tuhan kepada kita. Qur’an

melarang kita bertaqlid (ikut-ikutan), sewaktu menceritakan tentang umat-umat

yang terdahulu dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek

moyangnya. Taqlid adalah suatu kesesatan yang dapat dimengerti kalau

terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantas sama sekali pada manusia. 33

Akan tetapi tujuan Syekh Muhammad Abduh agak berbeda dalam

menguraikan pertemuan wahyu dengan akal. Ia hendak menyatakan bahwa

fitrah kejadian manusia yang bertalian dengan akal, tidak bertentangan dengan

tanda lain dari kekuasaan Tuhan dan bekas-bekas pada alam semesta ini,

32
Ibid., h. 174-175.
33
Syekh Muhammad Abduh, RisÀlat al-TauhÁd, (Cet. XIII; Al-
Manar, 1368 H), h. 23.

27
28

terutama dengan Risalat Wahyu, seperti yang termuat dalam al-Qur’an dan

dalam bentuknya yang asli.

Jadi wahyu dalam Risalat Tuhan menjadi salah satu tanda kekuasaan

Tuhan, begitu juga akal. Oleh karena itu mesti sesuai satu sama lain dan tidak

boleh berlawanan.

D. Segi Pendidikan dan Tuntunan Umum

Dalam segi ini Syekh Muhammad Abduh membicarakan lima

persoalan, yaitu :

1. Fanatik mazhab

2. Ijtihad dan Taqlid

3. Kekuasaan kitab-kitab tertentu,

4. Menghidupkan kembali kitab-kitab lama, dan

5. Pembaharuan Al-Azhar.34

1). Fanatik Mazhab

Syekh Muhammad Abduh mendapati masyarakat Islam sudah terpecah-

pecah menjadi golongan dan aliran-aliran, sehingga tidak lagi merupakan satu

kesatuan umat yang mempunyai unsur-unsur kejayaannya. Hal ini disebabkan

karena kuatnya pemujaan mutlak terhadap mazhab-mazhab yang telah ada.

34
A. Hanafi, opcit., h.177.

28
29

Sebenarnya beranekanya mazhab-mazhab yang telah ada. Sebenarnya

beranekanya mazhab-mazhab dan aliran-aliran baik dalam lapangan hukum

atau aqidah, tidak membahayakan umat. Tetapi yang membahayakan ialah

kuatnya kekuasaan mazhab atau aliran itu pada diri pemeluknya, sehingga

tidak berani mengkritik atau mengadakan evaluasi terhadapnya. Dengan

demikian, maka umat Islam menjadi bermacam-macam masyarakat atau

golongan-golongan yang terpisah satu sama lain oleh dinding-dinding

kefanatikan mazhab atau aliran yang kuat, sehingga tidak bisa bersama-sama

mengikuti tuntunan Islam yang satu dan berjalan ke arah tujuan yang sama.35

Karena itu, Syekh Muhammad Abduh harus mengadakan evaluasi

terhadap aliran-aliran tersebut, dengan tidak memberikan penilaian yang

mutlak atas sesuatu aliran tertentu. Aliran-aliran tersebut semuanya

dipandangnya sebagai pengulas (penjelas-syarih) dasar-dasar Islam dan ajaran-

ajarannya yang bisa salah atau benar, sesuai dengan sifat pengulas tersebut,

sebagai manusia biasa. Oleh karena itu suatu mazhab atau aliran, terutama

pengikut-pengikutnya tidak berhak sama sekali untuk mengatakan bahwa

hanya dirinya semata-mata yang benar atau yang mencerminkan Islam yang

sebenarnya. Evaluasi dari Syekh Muhammad Abduh ini, dapat kita lihat dari

35
Ibid., h. 178.

29
30

sikapnya terhadap ilmu Theolodi Islam (Ilmu Tauhid) dan dari pendapatnya

tentang aliran-aliran Theologi Islam yang selamat.

2). Ijtihad dan Taqlid

Dua hal yang mendorong Syekh Muhammad Abduh untuk menyerukan

ijtihad. Yaitu tabiat hidup dan tuntutan (kebutuhan) masyarakat manusia.

Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan di dalamnya

terdapat kejadian dan peristiwa-peristiwa yang tidak dikenal oleh masa

sebelumnya. Ijtihad adalah jalan ideal dan praktis yang bisa dijalankan untuk

mempertalikan persitiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul dengan ajaran-

ajaran Islam. Kalau ajaran-ajaran Islam tersebut harus berhenti pada

penyelidikan ulama’-ulama’ terdahulu, maka kehidupan manusia dalam

masyarakat Islam akan menjadi jauh dari tuntunan Islam, suatu hal yang akan

menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam

kehidupan mereka bersama-sama (duniawi). Akibatnya ialah, nilai Islam akan

menjadi berkurang dalam jiwa mereka, karena kehidupan mereka dengan

segala persoalannya lebih berat tekanannya (timbangannya), atau mereka tidak

akan sanggup mengikuti arus hidup dan selanjutnya mereka akan terasing dari

kehidupan itu sendiri, serta berlawanan dengan hidup dan hukum hidup juga.36

36
Ibid., h. 181-182.

30
31

Kalau Syekh Muhammad Abduh membuka pintu ijtihad maka sudah

sewajarnya kalau ia mencela taqlid, karena dengan taqlid itu akal manusia

didudukkan dalam satu tempat tertentu yang tidak boleh dilampauinya. Hal ini

bertentangan dengan fungsi akal, dengan tabiat hidup dan dengan sifat prinsip-

prinsip (ajaran-ajaran) Islam itu sendiri.37

Syekh Muhammad Abduh bukan saja mencela taqlid sebagai suatu

prinsip, tetapi juga karena taqlid pada masanya telah mencapai bentuk

sedemikian rupa, yaitu ketundukan bulat-bulat terhadap kekuasaan mazhab

yang telah menggariskan arah tertentu yang menyimpang dari jalan yang lurus,

sebagai akibat warisan (buku-buku) masa-masa kemunduran pikiran, politik

dan ekonomi dalam masyarakat Islam, di samping ketundukan bulat-bulat

terhadap kitab-kitab yang berisi persoalan yang tidak terdapat dalam hidup

yang nyata., di mana bahasanya sering-sering janggal, dan bertendensi pula

memperkuat pertentangan mazhab. Sampai di mana besar pengaruh taqlid,

dapat kita lihat dari perkataan Syekh Muhammad Abduh sebagai berikut :

“Kalau ulama’-ulama’ tersebut mendapati kitab-kitab yang biasa


dikenalnya, mereka tidak paham isinya. Kalau paham sedikit-sedikit, mereka
segera menolaknya. Kalau toh terpaksa menerima, maka diubahnya
sedemikian rupa, agar sesuai dengan ilmu dan aliran mereka, seperti yang biasa
mereka lakukan terhadap nas-nas al-Qur’an dan Sunnah.38

37
Ibid.
38
Ibid., h. 183.

31
32

3). Kekuasaan Kitab-kitab Tertentu.

Menurut Syekh Muhammad Abduh pengaruh kitab-kitab yang dikarang

pada masa mutakhir, yaitu masa kemunduran dan kelemahan, sama dengan

pengaruh kefanatikan mazhab yang telah dibicarakan di atas, yaitu pengaruh

negatif dalam memberikan bimbingan serta menghambat jalan alam pikiran

Islam, sehingga tidak dapat menghadapi peristiwa-peristiwa hidup dan

mengimbangi perkembangannya. Ia berkata :

“Kalau kita mau kembali kepada buku-buku abad pertengahan, yekni


sebelum masa kemunduran, seperti buku karangan al-Zaila’i umpamanya,
maka kita sebenarnya telah melangkah ke arah perbaikan buku-buku (kitab-
kitab) dan ilmu fiqih. Selama kita masih terikat dengan kata-kata buku-buku
karangan orang-orang mutaakhkhirin yang beredar, dan kita tak mau agama
dan ilmu, kecuali dari buku-buku tersebut, maka kita akan semakin bodoh.
Lihat Imam Asy-Syaukani sewaktu ia memutus belenggu taqlid buta sedang ia
seorang Wahabi moderat saja, ia lantas menjadi seorang faqih yang mendalam.
Para fuqaha yang terpaku oleh kitab-kitab dari masa mutaakhir itulah yang
menyia-nyiakan agama.39

Jadi, jika melihat penjelasan tersebut di atas, maka tidak semua apa

yang dikatakan seorang ulama’ faqih mutlak harus diikuti. Namun kita harus

mampu memilah dan memilih yang mana pendapat dianggap lebih mendekati

kebenaran. Dengan demikian taqlid buta dan fanatik mazhab bisa dihindarkan.

4). Menghidupkan Kembali Kitab-kitab Lama

39
Ibid., h. 184.

32
33

Kalau Syekh Muhammad Abduh mencela kitab-kitab ulama’

Mutakallimin, maka logis sekali apabila ia tidak mengurangi nilai warisan-

warisan (kitab-kitab) keislaman dan keakraban yang lain dan yang harus

dijadikan dasar perbaikan dunia Islam dalam mengimbangi kehidupan yang

nyata.

Kelanjutannya ialah bahwa warisan-warisan lama harus dihidupkan, dan

untuk ini ia benar-benar telah menanggulangi sendiri, disamping mendorong

murid-muridnya dan para penguasa masanya untuk bertindak yang sama. Ia

sendiri meberikan ulasan terhadap buku “al-BaÆÀiru al-NÀÆirah” dalam

ilmu Mantiq (logika) dan menerbitkan serta memberikan ulasan terhadap buku

kesusasteraan “Nahju al-Balagat” dan kitab-kitab lainnya.40

Dari semua uraian di atas, kita mengetahui aneka bidang keislaman

yang menjadi bahan pemikirannya, yaitu politik, kemasyarakatan, aqidah,

kemudian pendidikan dan bimbingan umum. Semua pemikirannya itu

bertujuan dan berintikan pendidikan keislaman.

5). Pembaharuan Al-Azhar.

Sudah diuraikan tadi di atas bahwa dari semua pemikiran Syekh

Muhammad Abduh ada satu hal yang menjadi tujuan pemikirannya, yaitu

40
Ibid., h. 186.

33
34

pendidikan keislaman. Penyimpangan dari pendidikan keislaman inilah yang

menjadi sebab kemunduran masyarakat Islam. Bagaimana jalan untuk

mengatasi kemunduran ini ?

Jalan satu-satunya ialah pembaharuan Al-Azhar, sebagai lembaga

keislaman dan keagamaan yang terpenting dalam pandangan masyarakat Islam

dan sebagai jantung kehidupan beragamanya. Syekh Muhammad Abduh

berkeyakinan, kalau Al-Azhar rusak, maka rusaklah umat seluruhnya.

Sebaliknya kalau baik, maka akan baik umat Islam dan akan memancar sinar

cahaya petunjuk, serta ulama’-ulama’ akan menjadi pola seorang muslim yang

saleh dalam tingkah laku dan cara berpikirnya.41

Demikianlah segi-segi pemikiran Syekh Muhammad Abduh, seorang

ulama yang punya pandangan masa depan.

BAB III

MASALAH QADHA’ DAN QADAR

A. Pengertian Qadha dan Qadar

41
Ibid., h. 186-187.

34
35

Qadha dan Qadar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dua kata

yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari kata “qadha” dan “qadar” (al-

QaÇa’ qa al-Qadar).

Secara etimologis qadha’ dan qadar adalah bentuk mashdar dari kata

kerja “qaÇa’” yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini

qadha adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu,

dengan makna bahwa apa-apa yang ada pada ilmu Allah keluar, dan peta alam

wujud itupun terjadi terhadap makhluq-Nya.42

Sedangkan qadar, secara etimologis adalah bentuk mashdar dari kata

“qadara” yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini qadar adalah

ukuran atau ketentuan Allah Swt. terhadap segala sesuatunya. Dengan makna

lain qadar adalah ilmu Rububi (Ketuhanan), yang merupakan rencana Allah

terhadap alam wujud ini, ada pada ilmu Allah.43

Secara terminologis qadha’ ialah penciptaan segala sesuatu oleh Allah

sesuai dengan ilmu dan Iradah-Nya, sedangkan qadar ialah ilmu Allah Swt.

tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya masa yang akan
37
44
datang.

42
A. Madhahiri, Tafsir Surat Yasin Aqidah dan Ma’rifah dari
Jantung al-Qur’an, (Jakarta; Hudan Press, 1998), h. 235-236.
43
Ibid.
44
Ibid.

35
36

Keterkaitan antara qadha’ dan qadar menjadikan istilah qadha’ dan

qadar tersebut kadang-kadang dipakai bersama-sama dan kadang-kadang

hanya digunakan kata qadar atau taqdir padahal yang dimaksud adalah qadha’

dan qadar.45

B. Petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Tentang Qadha’ dan Qadar

Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan tentang qadha’

dan qadar Allah Swt. diantaranya terdapat pada Q.S. Al-Hadid (57) : 22 yang

berbunyi :

            
         

Terjemahnya :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfudz)
sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya demikian itu adalah
mudah bagi Allah.”46

Mengenai ayat tersebut, Ibnu Abbas Ra. berkata : “Sudah ditulis

sebelum terjadinya musibah itu”47

45
Drs. H. Nasrun Rusli, S.H. Aqidah Akhlaq I, (Jakarta, tp, 1982),
46
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:Toha Putra
Semarang, 1989), h. 904.
47
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami’ al-AhkÀm
al-Qur’Àn Tafsir al-QurÈubi, Juz 17, (Beirut: Dar al-KitÀb al-Arabiyyah, 1967), h.
257-258.

36
37

Sedangkan mengenai ditulisnya segala sesuatu yang akan terjadi, Ibnu

Abbas r.a. berkata : “Tatkala Allah telah menciptakan Qalam, Ia

berfirman :”Tulislah ! ” maka Qalam itupun menuliskan apa yang akan terjadi

sampai hari kiamat”.48

Juga Q.S. Ali Imran (3) : 145


            
          
  

Terjemahnya :
‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.49

Selain itu Allah menjelaskan dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 7

          

   

Terjemahnya :
‘Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat’. 50

48
Ibid.
49
Departemen Agama, opcit., h.100.

50
Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain I Berikut AsbÀb al-NuzÂl,
(Bandung:Sinar Baru, 1990), h. 274.

37
38

Kemudian Q.S. al-Insan (76) : 30

            
Terjemahnya :
‘Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana’.51

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Taqdir Allah memang benar-

benar ada, baik taqdir itu sesuai dengan keinginan manusia atau tidak sesuai

dengan harapan manusia. Bahkan segala sesuatu yang berkenan dengan

makhluk semuanya berlaku sebagai taqdir Allah.

Jadi, sebagai muslim yang beriman kepada qadha’ dan qadar, kita wajib

meyakini dengan teguh bahwa qadha’ dan qadar Allah itu benar adanya, baik

qadha dan qadar itu menguntungkan dirinya atau sebaliknya. Sebab kekuasaan

atas makhluk adalah milik Allah Swt.

Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2): 20

          
           
     
Terjemahnya :
‘Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana’.52

51
Departemen Agama, R.I. opcit., h. 9.

52
Ibid., h. 1006

38
39

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa taqdir Allah memang benar-benar

ada, baik taqdir itu sesuai dengan keinginan manusia atau tidak sesuai dengan

harapan manusia. Bahkan segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk

semuanya berlaku sebagai taqdir Allah.

Jadi, sebagai muslim yang beriman kepada qadha’ dan qadar, kita wajib

meyakini dengan teguh bahwa qadha’ dan qadar Allah itu benar-benar adanya,

baik qadha’ dan qadar itu menguntungkan dirinya atau sebaliknya. Sebab

kekuasaan atas makhluk adalah milik Allah Swt.

Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 20

      

Terjemahnya :
‘. . . Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu’53

Dengan demikian jelaslah bahwa Allah itu nyata berkuasa dengan tidak

ada batasnya.

Perhatikanlah beberapa contoh qadha’ dan qadar di bawah ini :

1. Seorang ibu sedang hamil menginginkan bayi yang diakandungnya itu

seorang laki-laki. Setelah lahir ternyata bayi itu seorang perempuan.

2. Seseorang yang tidak menderita sakit sama sekali, tiba-tiba meninggal

dunia secara mendadak.

53
Ibid., h. 11.

39
40

3. Seseorang menderita sakit yang menahun, menginginkan agar ia cepat

meninggal karena tidak kuat menahan penderitaannya, untuk ia berusaha

untuk melakukan bunuh diri dengan cara meminum racun serangga, tatkala

racun sudah di mulut malah dimuntahkan kembali karena terasa pahit,

namun sempat terminum beberapa tetes, ia berharap maut segera

menjemput namun demikian yang terjadi, malah sebaliknya. Iapun sembuh

dari sakitnya.

Contoh-contoh di atas itu menunjukkan bahwa taqdir Allah itu

merupakan Qudrah dan Iradah atau kehendak Allah. Dengan demikian taqdir

tidak selalu sesuai dengan keinginan manusia. Tetapi kendatipun demikian

tetap harus di balik setiap kejadian itu ada hikmah yang tersembunyi, yang

tidak pula diketahui oleh manusia.

Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam

alam, baik pada diri kita sendiri baik dan buruk, naik dan jatuh, senang dan

susah, gerak dan perbuatan kita, disukai atau tidak, sesuai atau tidak sesuai

dengan keinginan kita, semua telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah Swt.,

yang mempunyai peraturan sendiri di dalam mengatur alam yang maha luas

ini, karena Ia memiliki sifat Qudrah dan Iradah-Nya. Sedangkan manusia itu

sendiri tidak mampu mengetahui apa yang akan terjadi esok hari atau manusia

tidak mampu mengetahui tentang taqdirnya seseorang.

40
41

Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda :

Terjemahnya :
‘Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan kejadiannya di
dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (air mani) kemudian
dalam waktu itu menjadi segumpal darah, selanjutnya dalam waktu
yang sama menjadi segumpal daging. Sesudah itu. Allah
memerintahkan malaikat untuk mendatanginya guna mencatat empat
perkara (empat ketentuan yang sebenarnya telah tercantum catatannya
dalam Lauh al- Mahfudz sejak zaman azali). Kepada Malaikat itu
difirmankan, “Tulislah mengenai ilmunya, rizkinya, ajalnya dan apakah
orang tersebut bakal menjadi manusia celaka atau manusia bahagia”.
Selanjutnya tubuh manusia itu ditiupi ruh (ke dalam tubuhnya). Oleh
sebab itu, sesungguhnya di antara kalian ada yang beramal sebagaimana
amal perbuatan ahli surga sehingga antara surga dan dia hampir tak ada
jarak, kecuali hanya sehasta. Tetapi taqdir mendahului semuanya,
mendadak ia berkelakuan sebagaimana layaknya kelakuan ahli neraka
sehingga ia masuk neraka. Ada juga sebaliknya seseorang beramal
sebagaimana amal ahli neraka, sehingga antara dia dengan neraka
hampir tanpa jarak, kecuali hanya sehasta. Tetapi taqdir Allah
mendahului semuanya, sekonyong-konyong ia berkelakukan
sebagaimana amal perbuatan ahli surga (pada akhir hayatnya), sehingga
ia masuk surga.’

Melihat hadits di atas, ternyata bahwa manusia semenjak sebelum

dilahirkan ke dunia telah ditentukan suratan nasib yang diterimanya sesuai

dengan Iradah-Nya.

Maka menurut Hadis tersebut ada empat hal yang berhubungan dengan

manusia yang telah menjadi ketentuan Allah Swt., yaitu :

1. Ilmunya (selain ilmu pengetahuan, juga perbuatan-perbuatan apa yang

bakal dikerjakan).

41
42

2. Berapa banyak rizkinya.

3. Berapa lama hidupnya

4. Nasibnya, apakah ia bakal masuk surga atau neraka.54

Secara umum segala sesuatu diciptakan oleh Allah termasuk semua

perbuatan manusia. Perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Tetapi hal tersebut

bukan berarti Allah Swt. menciptakan kejahatan. Semua yang diciptakan oleh

Allah adalah kebaikan. Kejahatan dan atau keburukan tidak boleh dinisbahkan

kepada Allah Swt.55

Kemudian dari pada itu, mengenai ketentuan rizki, Allah Swt.

berfirman, dalam Q.S. Hud (11) : 6

           
      
Terjemahnya :
‘Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang
itu dan tempat yang menyimpannya. Semua tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh al-Mahfufdz)’56
Firman Allah di atas menerangkan kepada kita bahwa semua hayawan

di bumi ini yang memberi rizkinya adalah Allah Swt.. Manusia merupakan

salah satu jenis hayawan melata dibumi ini, dan Allah-lah yang memberi

rizkinya, Allah pula yang memberi makanan sebelum orang itu dilahirkan dan
54
Ibid., h. 187-188.
55
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yoggyakarta ; LPPI, 1988),
h. 327.
56
Departemen Agama,R.I., opcit., h.327.

42
43

sebagainya semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah sudah tertulis di Lauh al-

Mahfudz..

Namun demikian, sekalipun masalah rizki itu adalah telah ditetapkan

oleh Allah Swt. faktor ikhtiar / usaha manusia sangat menentukan. Agar

tercapai apa yang diikhtiarkan, manusia mengupayakannya dengan membuat

macam-macam peraturan dan hukum sesuai dengan apa yang digariskan Allah.

Hasil jerih payah manusia akan diberi upah dan imbalan oleh Allah, karenanya

rizki pasti akan datang. Disamping manusia berusaha untuk mendapatkannya

namun jangan melupakan tawakkal kepada Allah, dalam bentuk penyerahan

dari apa yang diusahakannya.57

Dengan demikian, tawakkal menurut Islam adalah kreatifitas dan cita-

cita, seiring dengan ketenangan hati dan jiwa serta batin, juga dengan

keyakinan penuh bahwa segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi,

sedangkan apapun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan penah terjadi.

Disamping itu seorang muslim harus yakin bahwa Allah tidak akan menyia-

nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan.58

57
Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, jilid 2,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1987), h. 95-96.

58
Abu Bakar El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), h. 358.

43
44

Begitu juga dengan Qudrat, Iradah dan pengetahuan-Nya, Allah telah

menciptakan nuthfah (sperma), merobahnya menjadi darah, daging dan

bertulang belulan, lalu menjadi manusia yang sempurna, menjadi makhluk

hidup, dengan pengertian dan kesadarannya serta kemampuan-kemampuannya.

Dengan Qudrat dan dan Iradat-Nya pula manusia. Yang hidup itu akan

dimatikan.59

Demikian juga ada seseorang yang selama hidupnya beriman dan

beramal shaleh, kan tetapi pada akhir hayatnya ia berubah kafir. Hal itu pun

sesuai dengan taqdir-Nya yang telah ditetapkan untuknya sejak zaman azali,

sehingga masuklah ia ke dalam neraka. Banyak juga kita temukan, seseorang

yang hampir selama hidupnya melakukan kejahatan sehingga antara dia

dengan neraka nyaris tanpa jarak, tetapi pada akhir hayatnya ia menjadi orang

yang baik-baik, dia bertaubat dengan sungguh. Sehingga Allah menerima

taubatnya, dan memasukkannya ke dalam surga. Hal itu juga suatu ketetapan

yang telah ditentukan Allah Swt.60

Jadi sangatlah keliru, bila sebagian orang berkata, “Jika semua

perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk telah ditetapkan Allah sejak

59
Bey Arifin, Hidup Sesudah Mati, (Jakarta: Kinanda, 1998), h.
62.

60
Abdullah Al-Kaff, opcit., h. 188.

44
45

zaman azali, berarti manusia tidak bisa disalahkan juga melakukan perbuatan

jahat dan buruk, dan tidak berhak mendapatkan siksaan lantaran perbuatan itu.

Bahkan ia tidak berhak mendapatkan pahala lantaran berbuat kebaikan’.

Oleh kerana itu, anggapan semacam itu sesuatu yang tidak patut diikuti.

Sebab bagaimanapun manusia mempunyai atau memiliki hasrat dan kehendak

yang keluar dari hatinya, apalagi niat itu ditujukan untuk kebaikan, yang

tentunya akan mendatangkan kebaikan dan amal shaleh. Dan bila kehendak itu

ditujukan untuk kebajikan otomatis akan mengakibatkan keburukan.61

Selain itu Allah menganugerahkan akal pikiran kepada manusia untuk

membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar mana salah

dan sebagainya. Sehingga segala perbuatan manusia, keburukan atau kebaikan,

sebesar apapun pasti akan ada balasannya, sebagaimana Allah Swt., berfirman

dalam Q.S. al-Zalzalah (99):7-8 :

         
   

Terjemahnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebarat dzarrahpun, sehingga dia akan melihat (balasan) nya
pula.62

61
Ibid., h. 188-189.
62
Departemen Agama R.I., opcit., h.1087.

45
46

Meskipun kita telah beriman dan mempercayai benar-benar bahwa

semua ketentuan datangnya dari Allah Swt., kita wajib berikhtiar dan berusaha

sekuat tenaga agar terlepas dari ketentuan jelek dan buruk, tidak jatuh miskin,

giat belajar agar berilmu dan bermanfaat bagi masyarakat, senantiasa

memelihara kesehatan dan sebagainya, sebab kita tidak mengetahui taqdir

Allah yang mana yang diperuntukkan bagi kita. Sehingga setiap mukmin tidak

dibenarkan berdiam diri dan pasrah kepada taqdir Allah, tetapi harus berjuang

mencari kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan akhirat, serta berusaha

menghindari perbuatan munkar dan maksiat.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. An-Nahl (16) : 97 :

          
        

Terjemahnnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.63

Firman-Nya pula dalam Q.S. An-Nisa (4) : 123 :

           
         

Terjemahnya :
63
Ibid., h. 417

46
47

‘. . . barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi


pembalasan dengan kejahatan itu . . .’64

Juga Firman Allah dalam Q.S. At-Taubah (9) : 105

        


        
Terjemahnya :
‘Dan katakanlah ; “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.65

Dari firman-firman Allah tersebut dapat kita simpulkan, bahwa agama

Islam tidak hanya mengajurkan beriman, tetapi menghimbau beramal shaleh,

bekerja dan berusaha.

Rasulullah Saw. bersabda :

Terjemahnya :
Dari Sayyidina Ali, bahwasannya beliau mengatakan : “Pada suatu hari,
Rasulullah Saw. duduk sambil memegangi sepotong kayu (tongkat
pendek) untuk mengkais-kais tanah. Selanjutnya, beliau bersabda :
“Setiap orang, tempatnya (di surga atau di neraka) telah diketahui oleh
Allah”. Para sahabat bertanya : “Jika begitu apa gunanya beramal, ya
Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah Saw. :”Tidak, bekerjalah, sehingga
masing-masing akan dimudahkan usahanya oleh Allah Swt. sesuai
dengan taqdirnya. “Kemudian beliau membaca ayat suci al-Qur’an :
“Barangsiapa yang suka memberikan hartanya di jalan Allah dan
bertaqwa kepada-Nya, serta membenarkan adanya surga maka Kami
akan memudahkan baginya jalan yang mudah ke surga. (H.R. Muslim).
Dengan demikian, Rasulullah saw. melarang umatnya berpangku tangan

menunggu taqdir. Rasulullah memerintahkan umatnya berusaha, dan

64
Ibid., h. 142.
65
Ibid., h. 298.

47
48

membolehkan umatnya memperhatikan dirinya apakah bakal masuk surga atau

neraka. Jika di dunia ini mudah melalui jalan surga Insa Allah ia ditaqdirkan

masuk surga, begitu juga sebaliknya.

C. Pandangan Mutakallimin Tentang Qadha’ dan Qadar.

Seperti kita ketahui bahwa masalah qadha’ dan qadar selalu menjadi

bahan pembicaraan semua orang, bahkan tidak jarang terjadi ajang perdebatan

baik dari kalangan orang-orang awam mampun oleh kalangan cerdik pandai

dari dulu sampai sekarang, dan tidak ada kesepakatan perbedaan pendapat

dalam soal tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa ayat yang

pengertian lahirnya saling bertentangan. Di satu pihak beberapa ayat

menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain

beberapa ayat menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu. 66

Oleh karena itu, dalam Theologi terdapat dua aliran yang secara khusus

membahas masalah qadha dan qadar ini. Yang pertama aliran fatalisme atau

predestination yang disebut “Jabariyah”. Menurut paham ini bahwa sesuatu

yang terjadi pada manusia beikut perbuatannya memang sejak semula telah

ditentukan Tuhan. Perbuatan-perbuatan bukanlah timbul dari daya dan

kemauan yang bebas dari manusia. Manusia dalam aliran ini tidak mempunyai

66
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : Bulan
Bintang, 1990), h. 154.

48
49

kemerdekaan. Ia tak ubahnya seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak

digerakkan oleh dalang.67

Dari kelompok ini seperti Jaham bin Shafwan At-Tirmidzi dan

pengikutnya, mereka berpendapat bahwa, sejak azali Allah telah menetapkan

segala tindakan manusia dan diwujudkannya pada diri manusia sesuai dengan

ketetapan-Nya itu sendiri. Dengan demikian kesanggupan manusia sama sekali

tidak punya pengaruh sedikitpun pada dirinya.68

Sedangkan menurut aliran kedua, yaitu aliran free will dan free act yang

disebut “Qadariyah” dalam bahasa Arab. Menurutnya bahwa manusia

mempunyai kebebasan dalam kehendak dan dalam menentukan perbuatan-

perbuatannya. Manusia secara merdeka berbuat apa yang dikehendakinya.

Dalam hal perbuatan-perbuatan manusia, menurut paham ini tidak terikat pada

kekuasaan dan kehendak Tuhan.69

Dalam paham qadariyah ini, kita jumpai Ma’bad al-Juhany dan

pengikutnya, berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa melakukan

perbuatannya dengan ilmunya dan berjalan sesuai kehendaknya. Kemudian

Allah menciptakannya dengan kodratNya. Maksudnya Allah Ta’ala pada masa

67
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 102.
68
Dr. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Yogyakarta: P.T. Tiara
Wacana Yogya, 1991), h. 98.
69
Harun Nasution, opcit., h.105.

49
50

azaly tidaklah menciptakan perbuatan-perbuatan tersebut, tidaklah

mencampurinya dengan kehendak atau kekuasan-Nya ketika timbul perbuatan

manusia, dan baru mengetahui setelah perbuatan itu terjadi.70

Selain dua pendapat di atas, paham qadariyah terdapat juga dalam Islam

yaitu sebagai yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Demikian juga paham

Jabariyyah ada dalam Islam yaitu Jabariyyah menurut versi Asy’ariah.71

Dalam hal ini aliran Mu’tazilah tidak beda dengan qadariyah, karena

berpendapat bahwa sejak azaly Allah sudah tahu dan menetapkan kepada

segala sesuatu, baik berupa perbuata-Nya ataupun perbuatan manusia. Tetapi

perbuatan-perbuatan Allah sendiri sejalan dengan kehendak-Nya dan

diwujudkan-Nya sesuai dengan ilmu azaly-Nya. Semua ini bersifat baik,

karena Dia sama sekali tidak menciptakan sesuatu yang buruk. Adapun

perbuatan-perbuatan manusia, maka Allah tidak menghendaki terwujud atau

tidaknya dan tidak pula dengan kekuasaan-Nya turut menciptakan perbuatan-

perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk. Bahkan semuanya diserahkan

kepada manusia untuk berbuat atau tidak menurut kemauannya berdasarkan

kesanggupan dirimu sendiri. Sekalipun sejak azaly dengan pasti Allah sudah

70
Dr. M. Yusuf Musa, opcit., h. 98.
71
Harun Nasution, opcit., h. 105.

50
51

mengetahui apa yang akan terjadi pada manusia dan membalasnya dengan adil,

karena ia telah diberi kemerdekaan untuk berbuat.72

Kemudian aliran Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua

bagian.73

a. Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti refleksi dan lain-lainnya.

Perbuatan ini jelas bukan diadakan atau kehendak manusia.

b. Perbuatan-perbuatan bebas, di mana manusia bisa melakukan pilihan-

pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini

lebih pantas dikatakan diciptakan manusia dari pada dikatakan diciptakan

oleh Tuhan, karena adanya alasan-alasan akal pikiran dan syara’

Alasan-alasan pikiran :

1). Kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, jadi apa perlunya ada

perintah pada manusia ?

2). Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan

baik dan buruk yang timbul dari kehendak sendiri.74

Alasan-alasan syara’

Aliran ini melihat beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya :

72
Dr. M. Yusuf Musa, loc.cit
73
Ahmad Hanafi, opcit., h. 155.
74
Ibid.

51
52

1. Q.S. Ar- Ra’du (13) : 11

           
            
             

Terjemahnya :
‘ . . . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri . . . 75

2. Q.S. al-Zalzalah (99) : 7-8 :


          
  

Terjemahnya :
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasannya)
nya pula.76

3. Q.S. An-Nisa (4) : 123.

          
          

Terjemahnya :

75
Departemen Agama R.I.,
76
Ibid., h. 1087.

52
53

‘ . . . Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi


pembalasan dengan kejahatan itu . . .77

Dan masih ada ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia dapat

berbuat baik dan buruk. Ayat tersebut lebih tegas menetapkan adanya

perbuatan manusia, dan ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap

perbuatannya, bukan orang lain.

Selain itu, ada ayat-ayat lain yang mengatur orang-orang kafir karena

tidak mau iman, sedangkan mereka sebenarnya bisa kalau mau, antara lain :

4. Q.S. al-Mudatstsir (74) : 49

     

Terjemahnya :
‘Maka mengapa mereka (orang-orang kafir berpaling dari peringatan
(Allah) ?’78

5. Q.S. ar-Rum (30) : 29.

         


        

Terjemahnya :
‘. . . maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan
Allah ?’79

77
Ibid., h. 142.
78
Ibid., h. 995.
79
Ibid., h. 645

53
54

Lebih jelas lagi ayat-ayat yang memperlihatkan kemauan/ kehendak

manusia, seperti :

6. Q.S. Al-Kahfi (18) : 29

           
         
         

Terjemahnya :
‘Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir, sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka’.80

Masih ada ayat-ayat ikhtiar (yang menyatakan pilihan pada manusia)

yang lebih banyak jumlahnya dari pada ayat-ayat jabar. Disamping ayat-ayat

lainnya yang mengumpulkan jabar dan ikhtiar, sehingga seseorang tidak perlu

menekankan segi ikhiar saja atau jabar saja, Kalau-kalau ayat ikhtiar menjadi

pegangan utama aliran Mu’tazilah, maka dengan sendirinya ayat-ayat jabar

harus dita’wilkan.81

Yang terakhir kelompok Asy’ari, seperti Mu’tazilah Asy’ari juga

membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul

dengan sendirnya dan perbuatan yang karena kehendak. Dalam perbuatan

macam kedua, merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia

80
Ibid., h. 448.
81
Ahmad Hanafi, opcit., h. 157.

54
55

mempunyai kekuasaan (kemampuan/ kesanggupan) yang dapat

dipergunakannya. Kekuasaan ini didahului dengan kehendak (kemauan/

iradah). Dan dengan kesanggupan inilah ia mendapatkan perbuatan.

Mendapatkan pekerjaan inilah yang dinamakan “KASB”.82

Yang dimaksud Kasb ialah berbarengnya kekuasaan manusia dengan

perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang hendak mengadakan sesuatu

perbuatan, maka pada saat itu juga Tuhan mengadakan (menciptakan)

kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan

perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.

Jadi kekuasaan manusia tidak lain hanyalah alat yang dipergunakan kekuasaan

Tuhan untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia. Dengan

perkataan lain, kekuasaan manusia bisa berpengaruh atas terwujudnya

perbuatan dengan syarat penggabungan kekuasaan Tuhan pada kekuasaan Nya

sebagai penolong. Meskipun manusia bisa mengerjakan atau meninggalkan

sesuatu perbuatan, namun ketika terjadinya perbuatan, Tuhanlah yang

menciptakan perbuatan tersebut. Pada akhirnya kekuasaan manusia tidak

mempunyai pengaruh sama sekali.

Ringkasnya al-Asy’ari mengatakan bahwa perbuatan manusia

diciptakan Tuhan, bukanlah oleh manusia, yang terjadi ketika terdapat

82
Ibid.

55
56

kekuasaan manusia dan kehendaknya, tetapi bukan sebagai akibat kekuasaan

dan kehendak manusia tersebut. Jadi berbarengnya kekuasaan manusia dengan

penciptaan (khalq) atau wujud perbuatan tidak bergunan selama tidak menjadi

sebab wujudnya. Dengan demikian jelaslah bahwa pikiran al-Asy’ari dalam

soal qadha’ dan qadar termasuk aliran Jabariyah, bukan lagi sebagai tengah-

tengah antara Jabariyah dan Mu’tazilah.

Dalam memperkuat pendapatnya, al-Asy’ary tidak mempergunakan

ayat-ayat penguat adanya KASB yang diciptakannya itu, tetapi ayat-ayat yang

dipakai aliran Jabariyah sebelumnya, (sekurang-kurangnya ayat-ayat yang

mengumpulkan Jabar dan Ikhtiar, seperti ayat-ayat :

“Adakah pencipta selain Allah ?” Fathir (35) : 3

“Apakah zat yang menciptakan sama dengan mereka yang tidak

menciptakan?” an-Nahl (16) : 17

“Bukankah mereka itu dijadikan dari tiada ? ataukah mereka itu menjadikan ?”

Ath-Thur (52) : 35.

Akan tetapi ayat-ayat tersebut sebenarnya tidak meniadakan sama sekali

kesanggupan manusia mengadakan perbuatannya, tetapi yang ditiadakannya

ialah mengadakan dari tiada yang hanay dimiliki Allah semata-mata. 83

83
Ibid., h. 158-159.

56
57

Dari kelompok aliran al-Asy’ary ini penulis nukilkan pendapat Imam al-

Ghozaly, sebagai berikut :

“Dialah yang menyendiri dalam menciptakan dan membuat yang baru, yang
menyendiri dalam mewujudkan dan menciptakan. Dia menciptakan makhluk
dan perbuatan mereka, Dia tentukan (taqdirkan) rizki dan ajal (di atas
kehidupan kematian mereka).”84

Selain pendapat di atas al-Ghozali juga mengatakan :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu berkemauan menciptakan makhluk,


mrencanakan peristiwa-peristiwa. Maka tidak berjalan kerajaan dan
kekuasaan-Nya sesuatu yang sedikit dan banyak, kecil atau besar, baik atau
buruk, manfaat atau mudharat, iman atau kafir, meyakini atau mengingkari,
beruntung atau merugi, tambah atau kurang, taat atau durhaka, kecuali dengan
qadha’ dan qadar-Nya, hikmah dan kemauan-Nya”.85

Lebih lanjut tentang kemauan atau kehendak manusia al-Ghozali

mengatakan : “Kemauan atau kehendak adalah suatu kekhasan istimewa yang

secara konkrit memang ada pada manusia. Dengan keistimewaan itu, manusia

dibebani amanah yang wajib dilaksanakan (taklif)”.86

Demikianlah beberapa petunjuk tentang berbagai pendapat di kalangan

ilmu Kalam mengenai masalah qadha’ dan qadar ini.

84
Imam al-Ghozali, Ihya UlÂm al-DÁn, jilid I, (Semarang: C.V.
Asy-Syifa) alih bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, h. 289.
85
Ibid., h. 290.
86
Syekh Muhammad al-Ghozali, Al-Ghozali Menjawab 40 Soal
Islam Abad 20, (Bandung: Mizan, 1996), h. 80.

57
58

58
62

BAB IV

SIKAP MUHAMMAD ABDUH TENTANG QADHA’ DAN QADAR

A. Berbagai Argumentasi Muhammad Abduh dalam Memahami Qadha’


dan Qadar.

Kepada kedua kata qadha’ dan qadar ini, Muhammad Abduh

memberikan pengertian yang berlainan dari arti yang biasanya diberikan orang.

Dalam pengertiannya Muhammad Abduh tidak membatasi kebebasan manusia

dalam kehendak dan perbuatan. Qadha menggembarkan kaitan (ta’alluq) yang

terdapat antara pengetahuan Tuhan dan sesuatu yang diketahui, dan

pengetahuan menggambarkan keadaan terbuka (inkisyaf) dan tidak

mengandung arti paksaan. Sedangkan “qadar” mengambarkan terjadinya

sesuatu sesuai dengan pengetahuan Tuhan. Bukanlah pengetahuan kalau tidak

sesuai dengan apa yang terjadi dalam kenyataan.87

Sikap Muhammad Abduh dalam memahami masalah qadha’ dan qadar

ini dia berpendapat, bahwa agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman

kepada taqdir Allah, tetapi juga menganjurkan beramal shalih, bekerja dan

berusaha, serta tetap konsisten memegang dua persoalan pokok yang besar

87
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Theologi Rasional
Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 68. 62

62
63

yang selama ini merupakan tabu (hal yang haram) bagi manusia itu

menyentuhnya. Kedua persoalan pokok itu ialah kebebasan kemauan (free

will) dan kemerdekaan ratio (akal) dan pikiran. Dengan dua faktor utama itu

menjadi sempurnalah kemanusiaan makhluk insani ini dan terbukalah

kesempatan yang luas baginya untuk mencapai kebahagiaan kesempatan yang

luas baginya untuk mencapai kebahagiaan yang telah disediakan Ilahi menurut

hukum fitrah kejadian manusia itu.88

Namun demikian, sekalipun manusia itu berkuasa menentukan segala

macam perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali, seperti

pendapat kaum qadariyah, adalah nyata sebagai suatu penipuan. Sementara

kaum Jabariyah tetap pada pendiriannya, bahwa manusia itu dipaksakan sama

sekali, dan tidak ada kebebasan untuk menentukan perbuatannya. Keyakinan

seperti itu adalah berarti meruntuhkan syari’at (agama), menghapuskan hukum

taklifi (adanya perintah Allah), dan membatalkan hukum akal yang logis. Pada

hal ia adalah merupakan pilar (tiang) iman.89

Menurut ketetapan agama, ada dua perkara dasar yang merupakan tiang

kebahagiaan dan pembimbing segala amal perbuatan manusia.

88
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 203-204.
89
Ibid., h. 93-94.

63
64

Pertama : “Bahwa manusia mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan

dan kehendaknya untuk mencari jalan yang dapat membawanya

kepada kebahagiaan.”

Kedua : “Bahwa kodrat Allah tempat kembalinya segala makhluk. Diantara

tanda kodrat kekuasaan Allah itu ialah bahwa Allah sanggup

memisahkan (makhluk) dari apa yang diingininya, dan tidak

seorangpun selain Allah yang sanggup menolong manusia dalam

apa yang tidak mungkin dicapainya.”90

Demikian itu adalah ketetapan agama yang musti di fahami oleh umat

Islam, agar kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dapat terpenuhi.

Jelaslah bagi kita bahwa pandangan Muhammad Abduh tentang qadha’

dan qadar yakni mengambil jalan terbaik bahwa manusia disamping harus

percaya terhadap ketentuan Tuhan, namun manusia mempunyai usaha dan

kemauan untuk menentukan pilihan-pilihan yang terbaik bagi manusia itu

sendiri.

Jadi, dalam memahami masalah qadha’ dan qadar ini, Muhammad

Abduh tidak setuju dan tidak sependapat bahwa menentang kepercayaan

Jabariah karena berbagai alasan, seperti berikut ini :

90
Ibid., h. 94-95.

64
65

1. Akibat aqidah Jabar bukan saja seseorang merasa dirinya lemah di depan

orang lain, karena aqidah Jabar pada hakekatnya hanya bisa hidup atau

penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri.

2. Seorang pengikut paham Jabar adalah orang mukmin yang negatif dalam

hidupnya. Salah satu ciri perbuatannya ialah selalu bersandar kepada orang

lain, meskipun orang lain ini sebenarnya lebih lemah dari padanya.

3. Pengikut kepercayaan Jabariah, akan mengakibatkan kelemahan manusia

dan menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. 91

Selain ketiga alasan tersebut di atas, Muhammad Abduh juga

mengemukakan argumentasi pikiran, seperti yang biasa kita dengar dari aliran

Mu’tazilah dalam membenarkan taklif, yaitu bahwa sesuatu taklif (perintah/

larangan) tidak mungkin akan mendatangkan balasan menurut pertimbangan

akal, kecuali apabila manusia bisa mempunyai pertanggungan jawab. 92

Alasan lain diambil oleh Syekh Muhammad Abduh dari filsafat tujuan

hidup manusia dalam Islam, yaitu bahwa manusia yang bebas merupakan batu

(anggota) yang positif dalam pembinaan masyarakat.93

91
A. Hanafi, MA. Pengantar Theologi Islam, (Cet . V; Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1992), h. 166-167.
Ibid.
92

93
Ibid., h. 168.

65
66

Demikian bebarapa argumentasi Muhammad Abduh dalam memhami

qadha’ dan qadar.

B. Pemikiran Muhammad Abduh dan Implikasinya dalam Masyarakat.

Apabila diperhatikan uraian dan penjelasan Muhammad Abduh baik

yang berisikan pemikiran-pemikiran atau ajaan-ajarannya yang begitu luas dan

mendalam dari berbagai segi yang terdapat pada bab sebelumnya, seperti segi

politik, dan ketanahairan, kemasyarakatan, segi aqidah, pendidikan dan

bimbingan umum adalah cukup menunjukkan perjuangan yang gigih demi

kesejahteraan dan kebahagiaan hidup kaum muslimin khususnya di Mesir dan

masyarakat muslim lain pada umumnya di mana saja berada. 94

Oleh karena itu, bagaimanapun banyaknya penolakan dan cemoohan

lawan-lawannya, pikiran dan ajaran Syekh Muhammad Abduh mendapat

sambutan dari kalangan muslimin yang terbuka pikirannya sampai sekarang.

BAB V

94
Ibid., h. 185

66
67

PE NUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tentang qadha’ dan qadar menurut pandangan Muhammad

Abduh, maka dapat dirumuskan suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Iman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman yang keenam dan

setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai niat dan

keyakinan sungguh-sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja

maupun tidak telah ditetapkan oleh Allah Swt.

2. Di dunia, manusia diwajibkan berikhtiar dan berusaha/ bekerja keras agar

tidak jatuh miskin, giat belajar agar berilmu dan bermanfaat bagi

masyarakat, demi kebahagiaan dunia dan akhrat.

3. Setiap mukmin tidak dibenarkan berdiam diri dan pasrah kepaa taqdir

Allah, tetapi harus berjuang mencari kemaslahatan dunia dan akhirat, serta

berusaha menghindari perbuatan munkar dan maksiat.

4. Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. melarang umatnya

berpangku tangan menunggu taqdir. Beliau memerintahkan umatnya

berusaha dan membolehkan umatnya memperhatikan dirinya apakah bakal

masuk surga atau neraka. Jika di dunia ini mudah melalui jalan surga.,
67

Insya Allah ia ditaqdirkan masuk surga, begitu juga sebaliknya.

67
68

5. Pandangan Muhammad Abduh tentang qadha’ dan qadar yaitu mengambil

jalan terbaik bahwa manusia disamping harus percaya terhadap ketentuan

Tuhan, namun manusia mempunyai usaha dan kemauan untuk menentukan

pilihan-pilihan yang terbaik bagi manusia itu sendiri.

6. Sedangkan sikap Muhammad Abduh dalam memhami masalah qadha’ dan

qadar, bahwa agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman kepada

taqdir Allah, tetapi juga menganjurkan beramal salih, bekerja dan berusaha

serta mempergunakan akal pikiran untuk mencapai kebahagiaan yang telah

disediakan Allah sesuai fitrah manusia.

B. Saran-saran

1. Sebagai orang yang beriman, apabila memperoleh sukses yang besar,

derajat yang tinggi diharapkandapat menjauhkan diri dari sifat sombong,

tidak lupa daratan dan tetap tawadhu (punya rasa rendah hati), sebab

kesuksesan yang telah diraih itu merupakan nimat Allah yang wajib

disyukuri bukan semata-mata karena keberhasilan dari usaha sendiri.

2. Sekalipun keberhasilan dapat diraih karena kehebatan akal dan pemikiran,

namun tidak melupakan bahwa di atas masih ada kekuatan yang lebih

tinggi, sehingga tidak diharapkan lebih cenderung memuja otak, kemudian

menafikan Tuhan.

68
69

3. Dalam berusaha hendaknya tidak mudah putus asa. Sebab untuk

mendapatkan kebahagiaan, kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan

mencari bekal akhirat sangat diperlukan ketabahan, ketekunan dan

pengorbanan. Seandainya hari ini gagal, siapa tahu besak atau lusa akan

berhasil.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’Àn al-KarÁm

69
70

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. Terjemahan Firdaus, Cet. VII; Jakarta :


Bulan Bintang, 1979.

AL-Ghazali, Syekh Muhammad. Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad


20. Bandung : Mizan, 1996

________. Ihya al-‘UlÂm al-DÁn, Jilid I. Semarang : CV. Asy-Syifa, alih


bahasa Drs. H. Moh. Zuhri.

Al-Kaff, Abdullag. Tauhid. Bandung: Risalah, 1987.

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. Al-Jami’ al-


Kàmil Qur’Àn Tafsir al-Qurthubi. Beirut : DÀr al-KitÀb
al-‘Arabiyyah, 1967.

Arifin, Bey. Hidup Sesudah Mati. Jakarta : Kinanda, 1998.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tafsir Jalalain I & II Berikut AsbÀb al-NuzÂl.


Bandung : Sinar Baru, 1990.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : CV. Toha Putra
Semarang, 1989.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Pola Hidup Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya,
1991.

Gibb, H.A.R. Aliran-aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : Rajawali Pers,


1993.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Theologi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 1993.

________.Theologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

________.Pengantar Theologi Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta:LPPI, 1998.

Madhahiri, A. Tafsir Surat Yasin Aqidah dan Ma’rifah dari Jantung al-Qur’an.
Jakarta : Hudan Press, 1998.

70
71

Musa, Dr. M. Yusuf, Al-Qur’an dan Falsafat. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana
Yogya, 1991.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

________. Muhammad Abduh dan Theologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:


Universitas Indonesia Press, 1987.

________. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta : UI Press, 1986.

________. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Rusli, Nasrun. Aqidah Akhlaq I. Jakarta: tp., 1992.

Sya’rawi, Mutawalli. Anda Bertanya Islam Menjawab. Jilid II, Jakarta : Gema
Insani Press, 1987.

Trueblood, David. “Philosophy of Relegion”. Diterjemahkan oleh H.M.


Rasyidi dengan judul : Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.

Weij, Van Der. “Grote Filosof En Over De Mens”. Diterjemahkan oleh K.


Bertens dengan judul : Filusuf-Filusuf Besa Tentang Manusia.
Jakarta: tp. 1988.

71

Anda mungkin juga menyukai