Makalah
disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metodologi Tafsir II
Dosen Pengampu Eni Zulaiha, M.Ag
Disusun oleh
Abdul Fadjar M. Masyhur (1151030005)
Ahmad Fauzi (1151030024)
Ahmad Fauzan(1151030025)
Ahmad Jamal (1151030026)
Ahmad Sidik (1151030027)
Ahmad Yusuf Hamdani (1151030028)
Anis Komariah (1151030040)
Asep Lukmanul Hakim (1151030049)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat, taufiq
serta hidayah-Nya sehingga tugas makalah dengan judul Model Tafsir Kontemporer
dengan Pendekatan Feminis ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad SAW.
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah. Amin.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan dipresentasikan dan
merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata kuliah
Metodologi Tafsir II.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir feminisme?
2. Apa latar belakang tafsir feminisme?
3. Bagaimana paradigm tafsir feminisme?
C. TUJUAN
1. Untuk memaparkan pengertian Tafsir Feminisme
2. Untuk memaparkan latar belakang Tafsir feminis
3. Untuk memaparkan paradigma tafsir Feminis
BAB II
PEMBAHASAN
1
Eni Zulaiha, Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis.
2
Puji Lestari,Feminisme sebagai Teori dan Gerakan Sosial di Indonesia.
B. Latar Belakang Lahirnya Tafsir Feminisme
Tafsir feminis merupakan upaya para mufassir-feminis yang menjadikan analisis
gender sebagai kerangka kerja penafsiran mereka. Penafsiran ini mendukung kesetaraan laki-
laki dan perempuan. Analisis gender yang digunakannya biasanya secara khusus membahas
ayat-ayat yang berkenaan dengan persoalan relasi laki-laki-perempuan.3
Seperti hal gerakan feminis, tafsir feminis lahir tidak jauh berbeda karena dipengaruhi
oleh hal hal yang bersifat internal dan eksternal. Seperti, jumlah mufasir laki-laki lebih
dominan dari pada mufasir perempuan, sehingga kitab tafsir didominasi oleh pemikiran yang
berasal dari otak laki-laki hingga masuk pada persoalan perempuan pun cara pandang yang
digunakan adalah cara pandang laki-laki. Suara perempuan hampir tidak terwakili atau tidak
bisa diwakilkan pada laki-laki. Hal ini mengakibatkan pandangan yang bias tentang hubungan
laki-laki dan perempuan. Terdapat kesenjangan antara ajaran normatif-idealis Alquran dengan
penafsirannya pada tataran normatif-historis. Ajaran normatif Alquran yang dengan tegas
memandang bahwa laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, karena laki-laki dan
perempuan diciptakan untuk saling mengenal, serta kemuliaan manusia tidak dilihat dari jenis
kelaminnnya, melainkan dari ketakwaannya kepada Allah Swt (Q.S. al Hujurat [49]:3). Laki-
laki dan perempuan sama-sama diibaratkan seperti pakaian. Keduanya harus saling
melindungi dan menutupi kekurangannya (Q.S al-Baqarah [2]:187). Laki-laki dan perempuan
yang beriman dan memiliki prestasi amal saleh, sama-sama akan mendapat jaminan surga.
(Q.S. al-Nisa’ [4]:124). Allah Swt juga mengabulkan permohonan untuk menghargai prestasi
kerja dan tidak menyia-nyiakan amal perbuatan mereka (Q.S. Ali ‘Imran [3]:195). Bahkan
kaum laki-laki dan perempuan samasama disebutkan dan dipuji dengan sifat-sifat yang baik.
Mereka dijanjikan memperoleh ampunan dan pahala yang besar (Q.S. alAhzab [33]: 35).4
Seperti yang telah kita tahu bahwasannya Islam tidak membedakan seseorang dilihat
dari jenis kelamin. Islam mendudukan posisi antara laki-laki dan perempuan dengan posisi
yang sama. Dalam Q.S. Al Hujurat:13 bahwasannya yang menbedakan antara laki-laki dan
perempuan hanyalah ketakwaan kepada Allah swt.
3
Eni Zulaikha, op.cit, hal 21.
4
Ibid, hal. 21.
C. Paradigma Tafsir Feminisme
Menurut Ian Barbour dalam bukunya Abdul Mustakim sebuah paradigma dalam
disiplin ilmu apapun pasti memiliki asumsi metodologis. Asumsi ini akan dipergunakan dalam
analisinya. Sebagaimana dikutip Ian Barbour, menurut Thomas Kuhn dalam Thu Structure of
Scientefic Revolution, bahwa teori dan sains tergantung pada paradigma. Perkembangan
sebuah ilmu sangat dipengaruhi oleh perkembangan sebuah paradigma. Demikian hal-hal
dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk didalamnya tafsir yang dikembangakan di era kontemporer
yang memiliki asumsi-asumsi yang berbeda dengan tafsir pada era sebelumnya.5
Jika penafsiran klasik selama ini cenderung memperkokoh anggapan yang
memosisikan laki-laki lebih superior daripada perempuan, maka oleh para mufasir femiinis
ayat-ayat seperti itu ditafsirkan ulang dengan menghindarkan penafsiran literal, sehingga
menghasilkan penafsiran yang kontekstual dan lebih bernuansa kesetaraan. Dengan
menggunakan metode dan analisis yang berbeda dengan para mufasir klasik, para mufasir
feminis berpandangan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara.6
Paradigma tafsir feminis adalah sebuah genre tersendiri yang muncul di era
kontemporer, yang isu gender menjadi isu global. Paradigma ini berangkat dari asumsi,
bahwa prinsip dasar Alquran dalam relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan ( al -
'adalah ), kesetaraan ( al musawah ), al - ma'ruf (kepantasan), syura (musyawarah). Maka
produk-produk penafsiran klasik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut akan
dinilai tidak tepat, terutama ketika diterapkan untuk konteks kekininian, sebab situasi dan
kondisinya jelas berbeda sama sekali dengan zaman dulu.7
Model analisis paradigma tafsir feminis ialah analisis gender, yang secara tegas
membedakan antara kodrat sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah, dengan gender sebagai
konstruksi sosial yang bisa berubah. Maka tidak salah, jika kemudian pendekatan hermeneutik
dengan metode tafsir tematik menjadi pilihan dalam mengkaji ayat-ayat tentang relasi gender.
Sebab dengan metodologi seperti itu, diharapkan produk tafsir akan lebih intersubyektif dan
kritis melihat problem relasi gender.8
5
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, hal. 75-76.
6
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistemologi Tafsir,
7
Eni Zulaikha, op.cit, hal 24.
8
Ibid 24.
Dengan analisis gender ini, para mufasir feminis mencoba melakukan semacam
“deskontruksi” penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkait dengan relasi gender dengan
“prakonsepsi” tertentu dengan memosisikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Prakonsepsi
ini bukannya muncul begitu saja, melainkan diruntut dari berbagai ayat al-Quran sendiri yang
dinilai tidak membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Para mufasir feminis sepakat bahwa
al-Quran diwahyukan sebagai sarana Islam untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk
yang bermartabat.9
Pendekatan feminisme yang kemudian dijadikan dalam memahami ayat-yat Alquran
yang terlanjur ditafsirkan secara patriarkal, mereka memulai dari apa yang oleh para feminis
disebut “ketidakadilan gender”, dan terlanjur dijustifikasi agama ini. Dikarenakan hal tersebut
merupakan pangkal penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki. Nampak terlihat dari
Citra Tuhan yang lakilaki, diakui atau tidak, itulah yang paling jelas sekaligus paling tak
kentara pengaruhnya dalam pemahaman keagamaan.10
Adanya teks-teks suci keagamaan (dalam konteks ini adalah Alquran dan Hadis) yang
secara harfiah memosisikan laki-laki sebagai pihak superior - yang kemudian ditafsirkan
secara literalistik-skripturalistik oleh para mufassir klasik-semakin memperkukuh pandangan
tentang superioritas laki-laki atas perempuan ini.11
Maka dari itu, penafsiran mengenai ayat-ayat relasi gender yang tekstual dan bias
gender perlu dirubah lebih kontekstual dan sejalan terhadap nilai-nilai ideal moral Alquran
yang sangat berpihak kepada nilainilai keadilan, egaliter dan kemanusiaan. Contoh yang
populer berkaitan dengan ayatayat relasi gender adalah ayat tentang kepemimpinan
perempuan, pembagian warisan laki-laki dan perempuan, masalah persaksian, poligami dan
sebagainya. Penafsiran atas ayat-ayat tersebut bisa dikontekstualisikan sesuai dengan nilai-
nilai etik Alqurani.12
9
Abdul Mustakim, op.cit, hal 96
10
Ibid hal 24.
11
Ibid hal. 25.
12
Ibid hal. 25.
D. Contoh Penafsiran Tafsir Feminis
Ketika berbicara nusyuz (pembangkangan istri terhadap suami), biasanya para mufasir
klasik akan mengutif firman berikut:
13
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, hal. 160.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
An-Nisa : 128)
Kemudian kedua kata nusyuz ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk kepada
perempuan, kata nusyuz berarti ketidakpatuhan istri kepada suami, sedangkan ketika merujuk
kepada suami berarti suami bersikap keras kepada istrinya, tidak mau memberikan hak-haknya.
Dalam bukunya Abdul Mustakim, menurut Amina Wadud, karena alquran memnggunakan
kata nusyuz baik untuk laki-laki maupun perempuan, maka ketika kata nusyuz disandingkan
dengan perempuan (istri), ia tidak dapat diartikan dengan ketidakpatuhan kepada suami,
melainkan lebih pada pengertian adanya gangguan keharmonisan dalam keluarga. Pandangan
ini senada dengan sayyid qutb sebagaimana dikutip amina bahwa kata nusyuz lebih murujuk
kepada pengertian terjadinya ketidakharmonisan dalam perkawinan.14
Lalu bagaimana solusi ketika terjadi nusyuz baik oleh laki-laki maupun perempuan?
Alquran menawarkan berbagai solusi: pertama, solusi verbal baik antara suami istri itu sendiri,
seperti dalam Qs. Al-maidah: 34, atau melalui bantuan hakam (seorang penengah) seperti yang
disebut dalam Qs. Al-maidah: 128. Jika solusi ini belum manjur, alias masih menemui jalan
buntu, maka bisa dilakukan solusi yang lebih drastic, boleh dipisahkan (pisah ranjang).
Langkah terkahir hanya boleh dilakukan dalam kasus-kasus yang ekstrem, yakni memukul
mereka. Karena hal ini darurat, maka secara logika, jika di luar kondisi darurat, adalah haram
hukumnya memukul istri. Penulis sendiri lebih cenderung berpendapat bahwa memukul istri
sangat tidak etis, karena ia sesungguhnya bagian dari kita. Kalaupun secara tekstual-formal
ada ayat yang ‘membolehkan’ memukul istri, maka hal itu harus dipahami sebagai pemukulan
untuk mendidik, bukan untuk melegitimasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Apa yang
boleh dilakukan secara formal dalam agama, tidak harus dilakukan, karena diatas hukum
formal ada hokum moral. Bukankah alquran menyuruh kita untuk mempergauli dengan sebaik-
baiknya?15
14
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, hal. 161
15
Ibid hal. 162.
Berkaitan dengan melakukan harmonisasi dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang
harus diingat. Pertama, alquran menekankan pentingnya berdamai kembali. Dengan lain
ungkapan, tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan tertentu untuk menghadapi percekcokan
antara suami-istri. Kedua, jika langkah-langkah kompromi-meminjam istilah politik yang
sedang hangat-mengikuti cara yang diajarkan alquran, maka sangat mungkin harmonisasi itu
akan dapat kembali, sebelum langkah terakhir dilakukan. Jikak tahap ketiga terpaksa
dilakukan, maka hakikat memukul istri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan, atau
perkelahian antara keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak islami.16
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa solusi pertama merupakan solusi yang terbaik yang
ditawarkan dan disukai oleh alquran. Ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar alquran yaitu
musyawarah (syura), yang merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah dua pihak
yang bertikai. Berdamailah itu yang lebih baik (Qs. An-nisa:128). Dengan demikian, dapat
diambil kesimpulan bahwa perdamaian itulah yang menjadi tujuan alquran, bukan kekerasan
atau memaksa pasangannya untuk patuh. Dalam pandangan penulis, kepatuhan yang tulus
sesungguhnya tidak dapat dicapai dengan kekerasan, melainkan antara lain dengan sikap
pengertian, mawaddah (kasih saying), san luthf (kelembutan).17
Hal yang penting untuk dicatat adadalah bahwa kata dharaba mempunyai banyak arti. Kata
tersebut dapat berarti ‘membuat’ atau memberikan contoh, seperti ayat: wa dharaba allahu
matsalan……..’ artinya, allah membuat perumpamaan. Kata dharaba juga digunakan untuk
pengertian meniunggalkan atau meninggalkan untuk pergi. Demikian pula, kata dharaba ada
yang berarti mana’a ‘anhu at-tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan
hartanya kepadanya). Jika demikian, menurut hemat penulis masih ada kemungkinan banyak
penafsiran kata fadlribuhunna dalam Qs. An-Nisa: 34. Apakah tidak lebih baik, kata
fadlribuhunna ditafsirkan dengan “berpalinglah kamu dan tinggalkanlah mereka. Atau kita
tafsirkan “jangalah mereka dikasih nafkah atau biaya hidup untuk sementara”.18
Tafsir semacam ini agaknya akan lebih dapat mengindarkan tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antar suami istri. Ini
mengingatkan bahwa data historis juga membuktikan, ketika sebagian sahabat mencoba
16
Ibid hal 162
17
Ibid hal. 163
18
Ibid hal163
mempraktikkan memmukul istrinya yang nusyuz, lalu melapor kepada Rasulullah, beliau lalu
mengatakan, “tetapi pria teladan tidak akan pernah memukul istri-istri mereka”.19
19
Ibid hal.164
BAB III
KESIMPULAN
Adanya gerakan feminisme diharapkan dapat membuat kesetaraan anatara kaum laki-laki
dengan perempuan. Gerakan ini diharapkan mampu menyeimbangkan dengan baik dari berbagai
sektor kehidupan baik dari sektor domestik, politik, sosial maupun ekonomi.
Adanya Tafsir feminisme juga merupakan upaya untuk mensetarakan antara kaum laki-
laki dengan perempuan. Analisis gender digunakannya secara khusus untuk membahas ayat-ayat
yang berkenaan dengan persoalan relasi laki-laki-perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Al-Bayan/article/view/1671
https://www.researchgate.net/profile/Puji_Lestari_Krisbiyantoro/publication/293821955_FEMINISME_
SEBAGAI_TEORI_DAN_GERAKAN_SOSIAL_DI_INDONESIA/links/56bc3f2d08ae3f9793155c2b/FEMINISME
-SEBAGAI-TEORI-DAN-GERAKAN-SOSIAL-DI-INDONESIA+&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b