Anda di halaman 1dari 3

2.

Hadits Ahad

a. Pengertian Hadits Ahad

Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud
dengan hadits Ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama yaitu Khabar yang jumlah
perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawati, baik perawi itu satu, dua, tiga,
empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut
tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawati.

Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadits ahad seperti tersebut di atas, karena
dilihat dari jumlah perawinya ini, hadits dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadits ahad menurut ulama yang membedakan
hadits menjadi tiga, yaitu hadits mutawatir, masyhur dana had. Menurut mereka (ulama yang
disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan
oleh satu,dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur dan
hadits mutawatir.

Abdul wahab khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan
oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi
hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi
terakhir.

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu hanifah, imam Al-Syafi’i dan imam ahmad memakai
hadits ahad bila syarat syarat perawiyatan yang shahih terpenuhi. Hanya saja abu Hanifah
menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta amaliyahnya tidak menyalahi hadits
yang diriwayatkan.oleh karena itu, hadits yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang
terkena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan debu
yang suci tidak digunakan, sebab perawinya abu Hurairah, tidak mengamalkannya sedang imam
malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadits ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.

b. Pembagian Hadits Ahad

1. Hadits masyhur

Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’: sesuatu yang sudah popular dan
tersebar. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain menurut ulama ushul
yaitu “hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Hadits ini dinamai masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama
yang memasukan hadits masyhur “segala hadits yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak
mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus sahih atau dhaif”. Ulama hanafiyah menyatakan
bahwa hadits masyhur menghasilakan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib
diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak diakatakan kafir.

Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan
hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits
shahih,baik pada sanad maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur
hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik
mengenai sanad maupun matannya, adapun yang dimaksud dengan hadist masyhur dhaif adalah
hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad
maupun ada matannya.

2. Hadits Ghair Masyhur

a) Hadits Aziz

Aziz bisa berasal dari ‘Azza ya ‘Izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadir
(sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya azzu berarti qowiyya (kuat).
Sedangkan aziz menurut istilah antara didefinisikan Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua
orang dalam semua taqabat sanad.

Dari definisikan tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadits dikatakan hadits
aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thaqabat, yakni sejak dari
thaqabat pertama sampai thaqabat terkahir, tetapi selagi salah satu thaqabat dadapati dua orang
perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadits aziz. Dalam kaitannya dengan masalah ini ibnu
hibban mengatakan bahwa hadits aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang rawi
pada setiap thaqabat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang ada kemungkinan, tetapi sulit
untuk dibuktikan.

Hadits aziz yang shahih, hasan dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya
ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan dan dhaif.

b) Hadits Gharib

Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-baid an aqabirihi (jauh
dari kerabatnya). Ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib yaitu hadits yang diriwatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya
maupun selainnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang
meriwayatkannya.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi seperti dimaksud di atas, maka hadits gharib
digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.

Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai personaliannya,


sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thaqabat.penyendirian hadits gharib
mutlak ini harus berpangkal di tempat aslu sanad. Yakni tabi’I, bukan sahabat, sebab yang
menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadits gharib disini ialah untuk
menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak.

Sedangkan hadits gharib yang tergolong pada gharib nisbi adalah apabila
penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi. Penyendirian
seorang rawi seperti ini, bisa menjadi berkaitan dengan keadilan dan ketsiqqahan perawi atau
mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.

Anda mungkin juga menyukai