menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun
hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum
seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang
samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat.
Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:[1]
A. ISTIHSAN
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak
ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal
istihsan.Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh
Abdul Wahab Khalaf.
هذ لديه رجع اقله فى انقدع استسنائي حكم الى كلى حكم عن او خفى قياس مقتصنى الى جلى قياس عن المجتهد عدول هو
العدول
Artinya : “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli
(umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.”
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama
Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan
istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
– Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang
Haid haram membaca Al-Qur’an.
– Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu,
wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka
haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-
laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang
jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia
berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum
yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih
kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan
bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan
dengan qiyas kully .Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam
terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam
Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil
qiyas selama masih dipandang tepat.
Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan
kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum
yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan
dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada
ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari
ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari Al- Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
احسنه فيتبعون القول يستمعون الذين. هللا هدهم الذين اولئك. االلبابز اولو هم واولئك
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang
burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan
dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas
itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan
mulut binatang huas.Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan,
sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk
dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.Karena itu sisa minum burung
buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh
paruhnya, demikian pula air liurnya.Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada
pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.Berdasar keadaan
inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali
atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada
suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah
melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya
namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang
menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab
Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Madzhab Syafi’i.Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah
Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
Ka’bah itu.”
Istihab
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan Menurut Ushul Ulama istishab adalah menetapkan sesuatu
menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dali yang
menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah
ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang
menunjukkan perubahannya (Syafe’i, 1999: 125)
B. Macam- Macam Istishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya
dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang
naskh (yang membatal-kannya). Suatu nashyang umum mencakup segala yang
dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga
pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah
dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang
khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat
sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak
ada nash lain yang membatalkannya.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak
adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada
perubahannya. Disebut pula denganistishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum
yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang
dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya
perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan
shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat
itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan
ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya
penetapan tersebut.