Anda di halaman 1dari 5

Istihsan (Arab: ‫ )استحسان‬adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena

menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun
hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum
seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang
samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat.

Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:[1]

1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa


dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya
dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih
kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

A. ISTIHSAN

2.1. Pengertian Istihsan

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak
ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal
istihsan.Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh
Abdul Wahab Khalaf.

‫هذ لديه رجع اقله فى انقدع استسنائي حكم الى كلى حكم عن او خفى قياس مقتصنى الى جلى قياس عن المجتهد عدول هو‬
‫العدول‬

Artinya : “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli
(umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.”

Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama
Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan
istihsan, tetapi haram menurut qiyas.

– Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang
Haid haram membaca Al-Qur’an.

– Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu,
wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka
haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-
laki dapat beribadah setiap saat.

2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang
jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia
berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum
yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih
kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu.

Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan
bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan
dengan qiyas kully .Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam
terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam
Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil
qiyas selama masih dipandang tepat.

Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan
kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum
yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan
dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada
ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari
ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

2.2. Dasar Hukum Istihsan

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari Al- Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ احسنه فيتبعون القول يستمعون الذين‬.‫ هللا هدهم الذين اولئك‬. ‫االلبابز اولو هم واولئك‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

‫ربكم من اليكم انزل ما احسن واتبعوا‬

Artinya: ”Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan


kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar : 55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal
lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa
Istihsan adalah hujjah.

Hadits Nabi saw:

‫سنًا ْال ُم ْس ِل ُمونَ َرأَى فَ َما‬


َ ‫ّللا ِع ْن َد فَ ُه َو َح‬ َ ‫س ِيئًا َرأ َ ْوا َو َما َح‬
ِ َ ‫سن‬ َ ‫ّللا ِع ْن َد فَ ُه َو‬
ِ َ ‫ َسيِئ‬.

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi
Allah adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan.

Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang


mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini
ditetapkan berdasar istihsan.Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.Pada jual beli yang
penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.Sedang menurut
istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-
menyewa.Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.Demikian pula halnya dengan
waqaf.Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan.Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh
pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka
tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan
hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang
burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan
dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas
itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan
mulut binatang huas.Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan,
sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk
dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.Karena itu sisa minum burung
buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh
paruhnya, demikian pula air liurnya.Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada
pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.Berdasar keadaan
inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau


mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada
saat jual beli dilakukan.Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian
yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada
pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai
dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam).
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan
dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan
memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali
atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada
suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah
melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya
namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang
menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab
Hambali.

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Madzhab Syafi’i.Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah
Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
Ka’bah itu.”

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta


pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan
menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat
Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan
karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut
Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah
kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
“orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

Istihab
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan Menurut Ushul Ulama istishab adalah menetapkan sesuatu
menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dali yang
menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah
ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang
menunjukkan perubahannya (Syafe’i, 1999: 125)
B. Macam- Macam Istishab

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:

1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu


yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang
menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan
merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan
mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan
bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.

2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan


berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat
oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam
objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum
ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa
dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali
apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang
dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.

3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya
dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang
naskh (yang membatal-kannya). Suatu nashyang umum mencakup segala yang
dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga
pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah
dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang
khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat
sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak
ada nash lain yang membatalkannya.

4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi


sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada
bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua
berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil
secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku
sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya
seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin
berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini.
Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.

5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak
adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada
perubahannya. Disebut pula denganistishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum
yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang
dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya
perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan
shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat
itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan
ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya
penetapan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai