Anda di halaman 1dari 1

Kehujjahan Hadis Sahih dan Hadis Hasan

Para ulama sepakat bahwa hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat
Islam baik hadis itu ahad terlebih mutawatir. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal hadis
sahih yang ahad dijadikan hujjah di bidang akidah. Perbedaan terjadi karena perbedaan penilaian
mereka tentang hadis shahih yang ahad itu berstatus atau berfaedah qathi (pasti) sebagaimana hadis
mutawatir, yakni berstatus qathi, berpendapat bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujjah di bidang
akidah. Tetapi bagi ulama yang menilainya berstatus zhanni, menyatakan bahwa hadis sahih yang
ahad tidak dapat dijadikan hujjah di bidang akidah.

Dalam hal ini, para ulama terbagi pada beberapa pendapat: Pertama, sebagian ulama
memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qathi, sehingga tidak dapat dijadikkan hujjah untuk
menetapkan persoalan akidah. Kedua, sebagian ulama hadis, sebagaimana dinayatakan al-Nawawi,
berpendapat bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim berstatus qath’i. Ketiga,
sebagian ulama, antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis sahih berstatus qathi tanpa
dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama tersebut atau bukan. Menurut Ibn Hazm, tidak
ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang
meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kesaahihannya, adalah sama dalam statusnya
sebagai hujjah.1

Dengan demikian, hadis sahih baik yang ahad maupun mutawatir, yang shahih li dzatih
ataupun shahih li ghayrih dapat dijadikan hujjah atau dalil agama dalam bidang hukum, akhlak,
sosial, ekonomi dan sebagainya kecuali di bidang akidah, hadis sahih yang ahad diperselisihkan di
kalangan ulama.

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan dapat dijadikkan sebagai hujjah baik hasan li dzatih
maupun hasan li ghayrih, meskipun hadis hasan kekuatannya berada di bawah sahih. Karena itu,
sebagian ulama memasukkan hadis hasan sebagai bagian dari kelompok hadis sahih, misalnya al-
Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, dan Ibn Khuzaymah, sahih sehingga kalau terjai pertentangan yang
dimenangkan adalah hadis sahih.2 Hanya saja, berbeda dengan hadis sahih, hadis hasan tidak ada
ynag berstatus mutawatir kesemuannya berstatus ahad baik ahad yang masyhur, aziz, maupun
gharib, sehingga status kehujjahannya juga tidak persis sama dengan hadis sahih. 3

1
Abu Muhammad ‘Ali Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 1 (Kairo, al-‘Ashimah, tth),
hlm. 119-137
2
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 333, dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadrib,
hlm. 91
3
Idris, Studi Hadis, hlm. 175-176

Anda mungkin juga menyukai