Anda di halaman 1dari 13

Perbedaan Kehujjahan Hadis Dhaif antara Maqbul dan Mardud

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hadits

Dosen Pengampu: Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH

Disusun Oleh:

Alima Syifa Rahmadiani 11190340000032

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Hadist merupakan salah satu sumber hukum bagi umat Islam. Kedudukannya sebagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an menjadikan pemahaman terhadap hadist adalah
penting, terlebih akan penerapannya dalam kehidupan umat Islam. Jenis-jenis hadist dibagi
bukan hanya dari satu sudut pandang, namun jenis hadis dilihat dari segi kuantitas seperti
banyaknya sanad dan perowi maupun kualitas hadis tersebut. Tidak semua hadis dapat
diterapkan dalam aspek kehidupan umat Islam, penting untuk mempelajari hadis mana yang
dapat dijadikan pedoman atau pegangan dandapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk membahas hadis dari segi diterima atau tidaknya ia
menjadi hujjah dalam beramal, baik dari kualitas keshahihannya, hasan maupun kedho’ifan
hadits tersebut.

1.2  Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan hujjah ?
2. Apa yang dimaksud dengan hadis dhaif, maqbul, dan mardud?
3. Apa perbedaan kehujjahan Hadis dhaif antara maqbul dan mardud

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hujjah.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hadis dhaif, maqbul, dan mardud.
3. Untuk mengetahui apa perbedaan kehujjahan hadis dhaif antara maqbul dan mardud.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hujjah


Hujjah secara bahasa yakni berarti Al-Burhan yaitu “alasan” atau dalam arti lain
maupun pengertian lain bisa juga disebut dasar dalil atau landasan dalam penetapan hukum.

Dalam islam, para ulama mengatakan jika ada seseorang yang mengajukan pendapat
tanpa landasan hukum maka fatwa yang dihasilkan tertolak atau tahakum yakni (menentukan
hukum sendiri tanpa dalil). Hujjah dapat berupa ayat Al-Qur’an, hadis nabi, ijma, qiyas, dan
hukum yang lainnya.1

2.2 Pembagian Hadis Ditinjau dari Segi Kehujjahan


Hadis bila dilihat dari segi diterima atau tidaknya ia menjadi hujjah dalam beramal
dapat dibagi dua yaitu Hadis Maqbul dan Hadis Mardud. Pembicaraan terhadap pembagian
Hadis untuk masalah ini pun sebenarnya tidak terlepas dari segi kajian mengenai Hadis, baik
dari segi kualitas (kredibilitas rawi) maupun kuantitas (jumlah rawi), namun dalam rangka
untuk mensistematiskan dan memfokuskan permasalahan Hadis maka perlu adanya
pembagian tersebut.

Adapun Hadis-Hadis Maqbul adalah Hadis-Hadis yang diterima sebagai hujjah


dikarenakan memenuhi persyaratan sebagai Hadis Shahih, untuk mendapati tingkatan suatu
Hadis menjadi Hadis Shahih perlu adanya penelitian lebih lanjut, maka berbagai macam
persoalan Hadis Shahih dalam rangka melihat Hadis dari sisi kualitasnya perlu dikaji dan
diteliti: pengertian dan kriteria Hadis Shahih, tingkatan Hadis Shahih dan macam-macamnya,
Hukum dan status kehujjahan Hadis Shahih, kitab-kitab Hadis Shahih, perlu juga dikaji Hadis
Hasan, pengertian dan kriteria Hadis Hasan, macam-macam Hadis Hasan, serta diakhiri
dengan kesimpulan.

Adapun pada pengertian akan dikemukakan berbagai pendapat ulama mengenai Hadis
Shahih dan Hadis Hasan yang selanjutnya akan dijelaskan tentang masalah-masalah di atas
dengan tidak pula meninggalkan masalah-masalah yang perlu garis bawah.

A. Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan kata dari kuat. Maka sebutan
hadis dha’if. Secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.

1
Baltajiy, Muhammad. Manahij at-Tasyri al-islami fi al-Qarn as Sani al-Hijri. Riyadh : Univ. Muhammad bin
Sa’ud al-Islamiyah, 1997), h. 10
Secara istilah, para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendeginiskan hadis dha’if
ini. Akan tetapi pada dasarnya, isi dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi, di
antaranya dapat dilihat di bawah ini.

Al-Nawawi mendefinisikan dengan “ Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-


syarat hadis Shahih dan syarat-syarat hadis hasan”.

Menurut Nur Al-Din Itr, bahwa definisi yang paling baik, ialah: “Hadis yang hilang salah
satu syaratnya dari syarat-syarat Hadis Maqbul (Hadis Sahih atau yang Hasan).

Pada definisi yang ketiga memang disebutkan secara tegas, bahwa jika satu syarat saja
(dari persyaratan hadis sahih atau hadis hasan) hilang, berarti hadis itu dinyatakan sebagai
hadis dha’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya
tidak adil, tidak dhabit, dan tidak terdapatnya kejangalan dalam Matan. Hadis seperti ini
dapat dinyatakan sebagai yang sangat lemah.2

Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if.


Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis
jenis ini.

Pertama, menurut Yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn
Hazm, hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al’amal
maupun hukum.

Kedua, Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa hadis dha’if dapat
diamalkan secara mutkal. Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dha’if itu lebih kuat
daripada pendapat manusia.

Ketiga, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis dha’if dapat dijadikan hujjah dalam
masalah fadhail al-a’mall, mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi
syarat-syarat tertentu.3

Syarat-syarat itu adalah; (1) Ke-dhaif-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan
oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan; (2) terdapat
dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan; (3) ketika mengamalkannya tidak beriktikad
bahwa hadis itu tsubut, tetapi sebaiknya dalam rangka berhati-hati. Menurut Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib, pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, sebab masalah
keutamaan-keutamaan (fadhail al-a’mal) dan kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq),
termasuk pula mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib merupakan tiang-tiang agama yang tidak ada
berbeda dengan hukum yang harus bedasar hadis sahih atau hasan, karena kesemuanya itu
harus bersumber dari hadis yang maqbul. 4

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h.149-150
3
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.315
4
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group), h.245-246
Dengan pendapat-pendapat para Ulama tersebut dapatlah disimpulkan, bahwa memang
sangat perlu untuk mengetahui kualitas suatu Hadits, agar terhindar dari pengalaman agama
atau pengungkapan dalil agama yang berdasar pada Hadits Dhaif.

B. Hadis Maqbul5
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang
dibenarkan ata u diterima). Sedangkan menurut istilah adalah: “Hadis yang telah sempurna
padanya, syarat-syarat penerimaan”

Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan
sanadnya, yaitu

1. Sanadnya bersambung,

2. Diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit,

3. Dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.

Dalam pada itu, tidak semua hadis maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang
tidak boleh diamalkan.

Dengan kata lain, hadis maqbul ada yang ma’mulun bih yakni hadis yang bisa diamalkan
dan ada yang ghair ma’mulun bih yakni hadis ma’mulin bih yakni hadis yang tidak bisa
diamalkan.

Yang ma’mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari
dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriyah mengandung pengertian bertentangan; rajih,
yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis naskh, yakni hadis yang menasakh terhadap hadis,
yang datang terlebih dahulu.

Sedangkan yang ghair ma’mulun bih adalah hadis marjuh, yakni hadis yang
kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat; mansukh, yakni hadis yang telah
dinasakh (dihapus), dan hadis mutawaquf fih, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda,
karena terjadinya pertentangan antara satu hadis boleh dengan lainnya yang belum bisa
diselesaikan. Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan diatas, maka
hadis maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yakni hadis Shahih dan Hasan. Masing-masing
juga terbagi lagi menjadi dua, yaitu: li dzatihi dan li ghairihi.

a. Hadist Shahih

Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih, bentuk pluralnya ashihha dan berakar
kata pada shahha. Dari segi bahasa kata ini memiliki arti, di antaranya: (1) selamat dari
penyakit,(2) bebas dari aib/cacat. Sedang pengertian hadist ialah khabar (berita).

Dari segi istilah, para ulama hadist berpendapat bahwa hadist shahih adalah:”hadist yang
sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi Muhammad saw), diriwayatkanoleh (periwayat)

5
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 124-125
yang ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadist itu) tidak terdapat kejanggalan
(syadz) dan cacat (‘ilat).6

Dari definisi diatas tampak jelas bahwa syarat sebuah hadist agar bisa digolongkan sebagai
hadist shahih harus memenuhi lima syarat, yaitu: sanadnya bersambung, para perawinya adil,
para perawinya dhabith, tidak ada ‘ilat, dan tidak syadz. Apabila salah satu dari lima syarat
itu tidak terpenuhi, maka sebuah hadist tidak bisa di golongkan hadist shahih.7

Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih
li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada
shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan
perowinya kurang sempurna.

a.   Hadis Shahih li dzati


Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya, bukan dia itu
terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang
kepercayaan.

b. Hadis Shahih li ghairi


Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah. Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih
kuat dari padanya.

Para ahli Hadis dan sebagian ulama ahli Ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan Hadis-
Hadis Shahih sebagai hujjah (dasar pedoman) yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan
ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu,
tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah oleh karenanya tidak ada alasan bagi
setiap muslim untuk meninggalkannya.8

Hadis shahih wajib diamalkan hadistnya sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ahli hadist,
begitu pula menrut ahli ushul dan para fuqoha, hadist shahih bisa di jadikn hujjah (argumen)
syar’i. Seorang muslim tidak dibiarkan meninggalkan pengalaman hadist shahih.9

b. Hadis Hasan

Menurut bahasa, sifat musyabbah dari al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sedangkan
menurut istilah, para ulama memiliki defiisi yang berbeda-beda mengenai hadist hasan,
karena melihat hadist hasan itu di antara hadist shahih dan hadist dlaif, ditambah lagi

6
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), h.244
7
Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h.40
8
Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-Shohih (Beirut, Dar
al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
9
Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h.41
sebagian dari ulama-ulama itu mendefinisikannya dengan mencakup salah satu dari dua
kategori tersebut.10

Menurut Ibnu Hajar hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, yang di
riwayatkan oleh rawi yang adil, yang derajat kedlabitannya lebih ringan dari orang yang
serupa hingga pucak sanad, tidak ada syudzudz maupun ‘ilat.

Hadis hasan bisa dijadikan sebuah hujjah (argumen), sebagaimana hadis shahih,
meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan
mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadist dan ulama ushul, kecuali mereka
yang memiliki sikap keras. Sebagian ulama yang lebih longgar mengelompokkannya dalam
hadis shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadist shahih yang telah
dijelaskan sebelumnya. Mereka itu seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.11

Hasan terbagi dua yaitu Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi:

a. Hadis Hasan Lizatihi

Dari segi bahasa Hasan bisa cenderung, yang baik, dan yang bagus. Namun dari segi
istilah adalah “ Satu Hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan hingga akhir,
diceritakan oleh orang-orang adil tetapi ada yang kurang dhobith, serta tidak ada syuzuz dan
‘illat. Karena hakikat Hadis Hasan Lizatihi12 ini sama maknanya dengan pengertian Hadis
Hasan secara umum maka keanyakan ulama menyamakan Hadis Hasan Lizatihi ini dengan
Hadis Hasan. Adapun contoh Hadis ini : Artinya “Kata Turmuzi telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menderitakan keapda kami Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin
Amar, dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw : “Jika
aku tidak takut untuk membertakan umatku, niscaya aku perintah mereka bersikat gigi pada
setiap sholat. Hadis ini sesuai dengan kriteria diatas namunkhusus masalah dhobith terjadi
masalah karena salah satu sanandnya yaitu Muhammad bin Amr bin al-Qomah kurang kuat
hafalannya.13

b. Hadits Hasan Lighairihi

Yaitu hadits Dha’if jika memiliki jalur periwayatan yang banyak, dan sebab dha’ifnya
hadits tersebut bukan karena fasiqnya perawi hadits tersebut atau kedustaannya.

Bisa diambil faidah dari definisi di atas bahwa hadits Dha’if bisa meningkat derajatnya
menjadi Hasan Lighairihi dengan dua hal:

Pertama Diriwayatkan dari jalur lain satu riwayat atau lebih, dengan catatan jalur lain
tersebut sama kedudukannya atau lebih kuat darinya.

10
Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h.51
11
Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h.52
12
M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur (Jakarta : Lentera, 2003), h. 109
13
A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis (Bandung : CV. Diponegoro, 1996), h. 72-73
Kedua Sebab dhai’fnya hadits tersebut dikarenakan buruknya hafalan perwainya, atau
karena keterputusan dalam sanadnya, atau karena ketidakjelasan para perawinya (maksudya
bukan karena dustanya perawi, atau cacat dalam masalah agamanya, ed)

Hadits Hasan Lighairihi kedudukannya di bawah hadits Hasan Lidzatihi. Maka dari itu


jika ada kontradiksi antara hadits Hasan Lidzatihi dengan hadits Hasan Lighairihi maka yang
didahulukan (dikuatkan) adalah hadits Hasan Lidzatihi.

C. Hadis Mardud14
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan
mardud menurut istilah ialah: “Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat
hadis maqbul”

Tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama
mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dhaif dan hadis maudhu.

Pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu:
hadis shahih, hasan dan dhaif.

Pembagian hadis ke dalam tiga kelompok tersebut sebenarnya belum dikenal pada abad
pertengahan ketiga hijriyah (yakni masa kehidupan para imam empat madzhab; Malik, Abu
Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad). Karena pembagian ini muncul pada masa sesudahnya, Imam
Ahmad ibn Hanbal hanya membagi hadis atas dua bagian yaitu hadis sahih yang diterima
(maqbul) dan hadis dha’if yang ditolak (mardud). Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang
membagi hadis menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa Al-Tirmidzi, karena
ia banyak meriwayatkan hadis dan memberikan keterangan periwayatan dengan kata
misalnya hadis “shahih hasan gharib”.

2.3 Perbedaan Kehujjahan Hadis Dhaif antara Maqbul dan Mardud


A. Hadis Maqbul

Dalam syarat dan ketentuannya jumhur ulama sepakat bahwa hadis maqbul adalah hadis
yang benar-benar dapat diterima sebagai hujjah atau landasan untuk menentukan hukum.
adapun hadis maqbul dapat dibagi menjadi dua, hadis shohih dan hasan.

a. Hadis shahih

Para ulama sepakat bahwa hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat
Islam baik hadis itu ahad terlebih mutawatir. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal
hadis sahih yang ahad dijadikan hujjah di bidang akidah. Perbedaan terjadi karena perbedaan
penilaian mereka tentang hadis shahih yang ahad itu berstatus atau berfaedah qathi (pasti)
sebagaimana hadis mutawatir, yakni berstatus qathi, berpendapat bahwa hadis ahad dapat
dijadikan hujjah di bidang akidah. Tetapi bagi ulama yang menilainya berstatus zhanni,
menyatakan bahwa hadis sahih yang ahad tidak dapat dijadikan hujjah di bidang akidah.
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 125-126
Dalam hal ini, para ulama terbagi pada beberapa pendapat:

Pertama, sebagian ulama memandang bahwa hadis sahih tidak berstatus qathi,
sehingga tidak dapat dijadikkan hujjah untuk menetapkan persoalan akidah.

Kedua, sebagian ulama hadis, sebagaimana dinayatakan al-Nawawi, berpendapat


bahwa hadis-hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim berstatus qath’i.

Ketiga, sebagian ulama, antara lain Ibn Hazm, memandang bahwa semua hadis sahih
berstatus qathi tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama tersebut atau bukan.
Menurut Ibn Hazm, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini
berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat
kesaahihannya, adalah sama dalam statusnya sebagai hujjah.15 Yaitu Hadis yang telah
memenuhi kriteria syarat-syarat hadis seperti, sanadnya bersambung, perawinya dhabit (kuat
hafalan dan kuat dalam catatannya), tidak illat, dan tidak ada syadz (bertentangan dengan
hadis yang lain).

b. Hadis hasan

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan dapat dijadikkan sebagai hujjah baik hasan li
dzatih maupun hasan li ghayrih, meskipun hadis hasan kekuatannya berada di bawah sahih.
Karena itu, sebagian ulama memasukkan hadis hasan sebagai bagian dari kelompok hadis
sahih, misalnya al-Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, dan Ibn Khuzaymah, sahih sehingga
kalau terjai pertentangan yang dimenangkan adalah hadis sahih.16 Hanya saja, berbeda dengan
hadis sahih, hadis hasan tidak ada yanag berstatus mutawatir kesemuannya berstatus ahad
baik ahad yang masyhur, aziz, maupun gharib, sehingga status kehujjahannya juga tidak
persis sama dengan hadis sahih.17 Kekurangannya terletak pada kedhabitan perawi. Tingkatan
hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda
pendapat tentang kududukannya sebagai sumber ajaran islam atau sebagai hujjah dalam
bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur ulama’ memperlakukan
hadits hasan seperti hadits shohih; mereka menerima hadits hadits sebagai hujjah atau sumber
agama islam, dalam bidang hukum dan moral, atau dalam bidang aqidah.

B. Hadis Mardud
Hadis yang secara istilah tidak menunjukkan keterangan yang kuat dalam definisi yang
lain, hadis mardud adalah hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah dikarenakan hadis tersebut
para perawinya tidak memenuhi kriteria hadis shaih bahkan hadis hasan sekalipun. Hadis
mardud dapat dibagi menjadi dua, hadis dhaif dan maudhu.
a. Hadis Dhaif

15
Abu Muhammad ‘Ali Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 1 (Kairo, al-‘Ashimah,
tth), hlm. 119-137
16
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 333, dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi,
Tadrib, hlm. 91
17
Idris, Studi Hadis, hlm. 175-176
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu sebagai berikut.

a. Hadis dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan amal (fadhail
al-a’mal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyif An-Nas dan
Yahya bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazam.

b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam fadhaill al-a’mal atau dalam
masalah hukum (ahkam), sebagaimana pendapat Abu Dawud dan Imam Ahma d. Mereka
berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat daripada pendapat para ulama.

c. hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al’amal, mau’izhah, targib (janji-janji yang
menggemarkan), tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persayaratan
sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu sebagai berikut.

1) Tidak terlalu dhaif, misalnya di antara perawinya pendusta (hadis maudhu’), atau
dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku
fasik dan bid’ah, baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar).

2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih), seperti hadis muhkam
(hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh (hadis yang
membatalkan hukum pada hadis sebelumnya), dan rajih (hadis yang lebih unggul dibandikan
oposisinya).

3) Tidak dinyatakan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi berhati-hati semata
atau ikhtiyath.18

Adapun penjelasan untuk perbedaan ketiga pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut.

Pendapat pertama, dari tiga pendapat di atas lebih selamat karena jika alasan
pengamal hadis dha’if dalam fadhail al-a’mal tidak dalam ahkam sebagaimana pendapat
ketiga di atas. Bukankah hadis shahih tentang fadhail al-a’mal, targhib, dan tarhib juga
banyak? Mengapa tidak menggunakan yang shahih saja? Tidak ada bedanya antara ahkam
dan fadhail al-a’mal dalam keharusan merujuk kepada hadis maqbul, baik shahih atau hasan,
karena hadis tentang fadhail pun misalnya tentang pahala besar dalam suatu amal akhirnya
ditetapkan sunnah atau mustahab.

Pendapat kedua, maksud Imam Ahmad dan Abu Dawud tentang pengamalan hadis
dhaif secara mutlak adalah dhaif dalam persepsi ulama klasik yang masih bergabung dengan
hadis shahih yang pada waktu itu hadis hanya terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih dan
dhaif, belum timbul menjadi hasan. Jadi, yang dimaksud hadis dhaif dalam persepsi
mutaakhirin adalah hadis hasan lidzatih atau lighayrih yang terdapat kekurangan sedikit yang
tidak terlalu buruk.

18
Ajaj Al-Khathib, Mukhtashar Al-Wajiz fi....., hlm. 157-160
Pendapat ketiga, sekalipun hadis dhaif telah memenuhi persyaratan di atas,
maksudnya untuk memotivasi beramal dan masuk bab dalam kehati-hatian akan
memungkinkan hadis tersebut datang dari Rasulullah, bukan menetapkan (itsbat)
kebenarannya semata, maka ia tidak kuat dijadikan sebagai sumber hukum Islam atau
keutamaan akhlak. Hadis yang dijadikan pedoman umat Islam, baik dalam ahkam atau
fadhail al-a’mal adalah hadis maqbul, yaitu shahih, hasan, dan paling rendah adalah hasan
lighayrih. Hal ini memperkuat usaha para ulama awal yang telah susah payah dan berhati-hati
dalam meriwayatkan sunnah dan memeliharannya.19

b. Hadis Maudhu
Hadits-hadits yang semata-mata palsu. Orang-orang yang membuatnya, karena ada
sesuatu kemuslihatan, mereka bangsakan susunannya itu kepada Nabi saw. Sebagian dari
hadits-hadits maudhu’ itu ialah hadits-hadits yang menerangkan kelebihan surat-surat Al-
Qur’an. Besar amat dosanya orang yang meriwayatkan hadits maudhu’ itu. Hadis ini sama
sekali tidak bisa dijadikan hujjah, karena apabila mengamalkannya termasuk perbuatan
dosa.20

BAB III

KESIMPULAN

19
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013) Hlm. 186-187
20
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), h.306
Hadis dari segi kehujjahannya terdiri dari dua bagian yaitu Hadis maqbul dan hadis
Mardud. Hadis maqbul jika diperhatikan yaitu, memiliki kualitas yang memenuhi syarat-
syarat atau kriteria hadis yang memang dapat dijadikan hujjah atau pedoman yang harus
dipegang oleh setiap muslim.
Hadis maqbul terbagi lagi kepada dua bagian yaitu shohih dan hasan. Sedangkan
Hadis Mardud adalah Hadis Dha’if. Hadis Shahih adalah Hadis yang memenuhi persyaratan,
sanad Hadis tersebut bersambung, perawinya adil, perawinya dhobit, hadis tersebut tidak
syaz, Hadis tersebut selamat dari ‘illat atau cacat. Hukumnya wajib diamalkan sebagai hujjah
atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ullama hadis dan sebagian ulama ushul fiqh. Tidak
ada alasan bagi seorang musim, tinggal mengamalkannya. Hadis shahih lighayrih lebih tinggi
daripada hasan lidzatih. Sekalipun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah.
Hadis Hasan adalah Hadis yang pengertiannya hampir sama dengan Hadis Shahih
hanya saja pada Hadis Hasan pada bagian syarat perawinya diragukan kedhobitannya. Hadis
Hasan terbagi dua yaitu Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi, hakikat Hadis
Hasan Lizatihi dengan Hadis Hasan, pada Hadis Hasan Lighoirihi terdapat salah satu
sanadnya rusak hafalannya namun karena Hadis tersebut diriwayatkan oleh riwayat lain yang
sama atau lebih kualitas sanadnya maka ia dapat dijadikan hujjah baik dalam hukum maupun
aqidah.
Hadis Mardud yaitu Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan
untuk menjadi Hadis Shahih ataupun Hadis Hasan karena terdapat beberapa cacat dari segi
sanad maupun matannya. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak namun dapat
digunakan untuk fadhail mawa’iz (nasihat), lebih baik bila dibandingkan ra’yu pribadi
seseorang.

Daftar Pustaka
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014).

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009)

Baltajiy, Muhammad. Manahij at-Tasyri al-islami fi al-Qarn as Sani al-Hijri.  Riyadh : Univ.


Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah, 1997)

Idri, Studi Hadis, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2016)

Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-
Shohih (Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980)

M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015)

Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005)

M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur (Jakarta : Lentera,
2003)

A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis (Bandung : CV. Diponegoro, 1996)

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013)

Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut:
Dar al-Fikr)

Abu Muhammad ‘Ali Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 1 (Kairo,
al-‘Ashimah, tth)

Anda mungkin juga menyukai