PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak
problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus
diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak
kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang
ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi
apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak
seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru
ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-
2).1Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang
muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian
hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if.
Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini,
yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-
aling” melontarkan pernyataan bahwa hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah,
apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk
mempelajari hadits dha’if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-
pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.
Dibuatnya makalah ini selain untuk pemenuhan tugas, juga untuk
menambah wawasan penulis karena pembuatan makalah ini sebagai media untuk
muthala’ah kembali bagi penulis. Karena kesadaran penulis akan ketidak lepasan
manusia dari kealpaan.
1
Semoga dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca dan di
kemudian hari, sebagai penganut agama yang berpijak pada agama yang
menjunjung tinggi rahmatan lil ‘alamin, bisa lebih berlapang dada dalam
menerima perbedaan pandangan mengenai hadits dha’if pada khususnya dan
masalah furu’iyah pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hadits Dha’if?
2. Apa Saja Kriteria Hadits Dha’if?
3. Apa Saja Macam-macam Hadits Dha’if?
4. Bagaimana Kehujjahan Hadits Dha’if?
5. Kitab-Kitab apa sajakah Yang Memuat Hadits Dha’if?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Definisi Hadits Dha’if
2. Untuk mengetahui Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Hadits Dha’if
4. Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadits Dha’if
5. Untuk Mengetahui Kitab-Kitab apa saja Yang Memuat Hadits Dha’if
2
BAB II
PEMBAHASAN
2 Munzier Supra, ilmu hadis, PT Rja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal 149-150.
3 Muhyiddin al-Nawawi, At-taqrib wa al-taisir li ma’rifati sunan al-basyir al-nadzir, edisi
Indonesia, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Penerjemah Syarif Hade Masyah, ((Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. I, 2001), hal 3.
4 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathiif, (Dar al-Rohmah al-Islamiyah), Hal. 51
3
adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).5
Hadits dhaif adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif
berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini
karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Menurut istilah, hadits dhaif adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jadi, hadits dhaif adalah hadits yang
tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya
sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak
dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya
cacat yang tersembunyi(‘illat) pada sanad atau matan.
Contoh hadits dhaif yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu
Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Barang
siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang
wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”6
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang
kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan,
maka hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah
satu syarat saja hilang, disebut Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu
dua atau tiga syarat? Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat
kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan
sebagai Hadits Dha`if yang sangat lemah sekali.7
5 Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157
6 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 2013, hal. 184-185.
7 Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. (Semarang Rasail, 2007), hlm: 133.
4
B. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya
sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-
hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya
dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga
mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang
cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal
tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas
adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan
hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang
dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan
dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam
meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan
tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka
menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad.
Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum
itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia
rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkan-
nya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul
dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya
sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak
kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
Dengan memandang definisi yang telah disebutkan, maka dapat diketahui
bahwa kriteria-kriteria hadits dha’if adalah sebagai berikut:
5
1. Sanadnya terputus.
2. Periwayatnya tidak adil.
3. Periwayat tidak dhabith.
4. Mengandung syadz (kejanggalan).
5. Mengandung illat (cacat).8
6
akhir sanad adalah tabiin. Jadi, hadits munqati bukanlah rawi ditingkat
sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabiin.
Contoh hadits munqati :
9 Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000) h. 112.
7
itu diketahui malalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Munawa’.
Malik meriwayatkan:’ hadits yang sama , yaitu “Dari Muhamad bin Ajlan,
dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. “ Dua rawi yang gugur
secara beriringan adalah Muhamad bin Ajlan dan ayahnya.
d. Hadits mursal () ُمرْ َسل, adalah hadits yang sanadnya gugur setelah tabi’in.
Seperti ketika tabi’in mengatakan: سلَّ َم َك َذا ٰ قَال رسول هللا10
َ صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
َ ِ ُ ُْ َ َ
Contoh hadits mursal :
َ بَ ْينَنَا َو بَ ْينَ ا ْل ُمنَا فِقِ ْين: قال رسوا ل ا هلل صلّى ا هلل عليه وسلّم
ِ ُشهُوْ ُد ْال ِع َشا ِء َو ْالصُّ ب.
َْح الَ يَ ْس ِط ْيعُوْ ن
Artinya :
“Rasullah bersabda, “Antara kita dengan kaum munafik (ada batas),
yaitu menghadiri jamaah Isya dan Subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya. (HR. Malik).
e. Hadits Mudallas () ُمدَلَّس, dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Tadlis al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari perawi yang
mengaku mendengar hadits dari seseorang yang pernah ditemuinya,
namun sebenarnya dia tidak pernah mendengar hadits tersebut darinya
agar disangka bahwa dia pernah mendengarnya, seperti contoh hadits
riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah
bersabda:
ٰ قَال رسول هللا
ِةAو َم ا ْل ُج ُم َعA ِ ِ ُد ُك ْم فِ ْي َم ْجلAس أَ َح
ْ Aَ ِه يAس َ إِ َذا نَ َع:سلَّ َم
َ صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
َ ِ ُ ُْ َ َ
فَ ْليَت ََح َّو ْل إِلَى َغ ْي ِر ِه
Dalam matarantai sanad hadits Ibnu Umar ini, ditemukan seorang
perawi yang mudallis, bernama Muhammad bin Ishaq dan ia telah
membuat periwayatannya dengan menggunakan kode yang biasa
dipakai dalam hadits ‘an’anah
8
2) Tadlis as-Syuyukh, yaitu perawi menyebutkan gurunya, namun tidak
dengan sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak
dikenal, seperti perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-
Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa “Muhammad bin Sanad”
menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya,
bukan kepada ayahnya.11
2. Dilihat Dari Segi Perawi Hadits
a. Hadits Matruk () َم ْترُوْ ك, adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang disepakati atas kelemahannya, seperti dicurigai berdusta, dicurigai
kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya, atau suatu hadits hanya
diriwayatkan oleh satu orang, seperti riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir,
dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul hadits.12
ٙ hadits matruk adalah hadits yang
Para ulama memberikan batasanع
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan
dengan hadits atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah
mengerjakan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya.
Contoh :
ل ﻗﺎ ﻋلي ﻋن: َﻣ ْن ل ﻗﺎ:صاَّل هللِ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم َ ِ َرسُوْ اُل هَلل
َ
ﺍﻷﺨ َﺮﺓ
ِ ﻓﻰِ َ ﻓﻰﺍﻟ ّﺪ ْﻧﻴﺎَﺍُ ْﻋ ِﻄﻳَﻬﺎ
ِ َ ﻗَ َرٲاﻟﻗُرآنَ ﻓَﻟَﻪُ ِﻣﺌَﺗﺎ َ ِﺪﻴْﻧﺎ َ ٍرﻓﻟَ ْﻡﻳُ ْﻌﻄَﻬﺎ
Artinya:
“Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:
Barang siapa yang mmembaca Al-Qur’an maka baginya balasan 200
dinar. Jika dia tidak di dunia dia akan diberi di akhirat”.
Yahya bin Ma’iin mengatakan dalam hadits ini ada rawi yang bernama
‘Amar bin Jumai’ yang termasuk salah seorang pendusta. Ibnu Hibban
9
juga mengatakan perawi tersebut sering meriwayatkan hadits-hsdits
palsu.13
b. Hadits Munkar () ُم ْن َكر, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi
ketsiqahannya. Perbandingannya adalah hadits ma’ruf ( رُوْ فŸ ) َم ْعadalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan
perawi yang lemah, seperti hadits riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya
Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq, dari al-‘Izar bin Huraits, dari Ibnu
Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:
َالجنَّة َ صاَل ةَ َو أَتَى ال َّز َكاةَ َو َح َّج َو
َّ صا َم َو قَ َرى ال
َ د ََخ َل, َضيْف َّ َمنْ أَقَا َم ال
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang
kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.14
c. Hadits Mudraj ( ْد َرجŸŸŸ) ُم,adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:
والزعيم الحميل لمن أمن بي،انا زعيم :قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم
)واسلم وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang
di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
Dalam meriwayatkan hadits ini, Washil al-Ahdab tidak menyebutkan
Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang
menerima langsung dari Ibnu Mas’ud. Jadi, penyebutan Umar bin
13 Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) h. 149
14 [Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
10
Syurahbil merupakan sisipan (tadrij) pada riwayat Manshur dan al-
A’masy.15
d. Hadits Maqlub () َم ْقلُوْ ب, adalah hadits yang terdapat didalamnya terdapat
perubahan, baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan
pergantian lafaz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:
إذا سجد احدكم فال يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:
“Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua
tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakakannya hadits ini gharib)
Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih
dengan al-A’masy.16
e. Hadits Mudltharib () ُمضْ طَ ِرب, adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang berbeda-beda, akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa
rawi tersebut sama di dalam kekuatannya, sekira ada pertentangan dari
segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan ditarjih, 17
seperti
hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar, sesungguhnya ia
bertanya kepada Nabi saw demikian:
شيَّبَ ْتنِ ْي ه ُْو ٌد َو أَ َخ َواتُ َها ِ َس ْو َل هللاِ أَ َراك
َ :شبْتَ ؟ قَا َل ُ يَا َر
Menurut Daru Quthniy, hadits ini termasuk hadits mudltharib, sebab
hanya diriwayatkan dari satu jalur matarantai sanad, yaitu Abu Ishaq,
tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam matarantai
sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya ada yang
mengatakan bahwa:
15 Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 166
16 Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah), Hlm. 107-
108
17 Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102
11
1) Hadits tersebut diriwayatkan secara muttashil.
2) Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang berhubungan
dengan matarantai sanad, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1) Hadits tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari jalur
ini, bisa dilihat dari beberapa jalur yang berfariatif, di antaranya
adalah:
a) Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.
b) Dari al-Barra’, dari Abu Bakar.
c) Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.
d) Dari ‘Alqamah, dari Abu Bakar.
2) hadits tersebut bersumber dari musnad Sa’ad.
3) Hadits tersebut bersumber dari musnad Aisyah dan sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak memungkinkan
untuk dicarikan tarjihnya, bahkan untuk mengkompromikan saja dianggap
tidak beralasan (ma’dzur).18
f. Hadits Mushahhaf (حَّفŸ ص
َ ) ُم, hadits yang terjadi perubahan huruf atau
makna di dalamnya atau di dalam sanadnya,19seperti contoh hadits:
صيَ ِام ال َّد ْه ِر ِ ُضانَ َو أَ ْتبَ َعه
َ ًّْا ِمنAّسًت
ِ َكانَ َك,ش َّوا ٍل َ صا َم َر َم
َ َْمن
Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Shuuliyu pada
lafadz اŸًّّ ِسًتmenjadi ً َشيْأ.20
g. Hadits Muharraf () ُم َحرَّف, adalah hadits yang terjadi perubahan syakl di
dalamnya atau di dalam sanadnya, maksudnya terjadi perubahan pada
harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya,21 seperti pada hadits:
سلَّ َم
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
َ ِس ْو ُل هللا ِ ُر ِم َي أُبَ ٌّي يَ ْو َم اإْل ِ ْحزَا
ُ فَ َك َواهُ َر,ب َعلَى أَ ْك َحلِ ِه
18 M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008),
Hlm. 154-155.
19 Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53
20 Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
21 Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53-54
12
ٌّ َ أُبmenjadi أَبِ ْي
Hadits tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan ي
22
البيعان بالخيار مالم يتفرفا: قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama
mereka masih belum berpisah”
Ada dua jalur periwayatan, yaitu:
1) Jalur Ya’la bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar,
dari Ibnu Umar
2) Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im,
ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu
‘Umar
13
Dari penyajian dua jalur di atas, dapat dinyatakan bahwa hadits
yang dari jalur periwayatan Ya’la terdapat unsur kecacatan dan haditsnya
dinamakan hadits mu’allal sebab ia menyandarkan haditsnya pada ‘Amr
bin Dinar, padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar. Sekalipun
demikian, hadits Ya’la tetap bisa dikatakan shahih pada matannya, sebab
redaksinya sama dengan yang lain.24
4. Dilihat dari Sisi Matan
a. Hadits Mauquf () َموْ قُوْ ف, adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat,
baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam
periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah hadits yang
hanya disandarkan pada sahabat saja, seperti contoh:
ْ ْذ ِمنAا َء َو ُخAس ْ َاح َو إِ َذا أ
َ ِر ا ْل َمAبَ ْحتَ فَالَ تَ ْنتَ ِظAص َ إِ َذا أَ ْم:و ُلA
َّ ِرAيْتَ فَالَ تَ ْنت َِظAس
َ َبAالص ْ Aُيَق
َض َك َو ِمنْ َحيَاتِ َك لِ َم ْوتِك
ِ ص َّحتِ َك لِ َم َر
ِ
Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf, sebab matannya
berasal dari perkataan Ibnu ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang
mengatakan adalah Nabi SAW.25
b. Hadits Maqthu’ (وْ عŸŸُ) َم ْقط, adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang
dimauqufkan kepada tabi’in, baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti
perkataan Haram bin Jubair (seorang tabi’in besar) yaitu:
اَ ْل ُمؤْ ِمنُ إِ َذا َع َرفَ َربَّهُ َع َّز َو َج َّل أَ َحبَّهُ َو إِ َذا أَ َحبَّهُ أَ ْقبَ َل إِلَ ْي ِه26
D. Kehujjahan Hadits Dha’if
Hadits dha’if termasuk hadits yang dihukumi mardud (ditolaknya hujjah
darinya) memandang hukum aslinya.27 Setelah dikaji lebih mendalam terjadi
14
perbedaan pendapat di dalam menjadikan hadits ini sebagai hujjah sebagai
berikut:
1. Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama, seperti al-Hafizh Ibn al-
Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji, Ahmad Syakir (penulis Syarkh
Nazhm Alfiyah as-Suyuthi), Nashiruddin al-Albani (Muhaddits Salafi
Wahabi)dan lain-lain.
2. Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud
dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan Hanafiyah lebih memprioritaskan
hadits dha’if daripada qiyas. Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan
hadits mursal, munqathi’, mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
3. Kondisional (menurut mayoritas ulama); jika berkaitan dengan akidah dan
hukum (halal dan haram), maka tidak boleh. Sedangkan bila berkaitan dengan
keutamaan amal, menakut-nakuti, dan memotifasi amal, tafsir dan cerita,
maka boleh.28
28 Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I (Surabaya: Khalista, 2012), Hal. 11-12
29 H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006),h. 208.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadis dhoif merupakan hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadis shohih dan syarat-syarat hadis hasan. Hadis dhoif ini memilki penyebeb
mengapa bisa tertolak di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan
juga dari segi matan.
2. Kriteria hadis dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak
bersambung,kurang adilnya perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz
dalam hadis tersebut.
3. Hadis dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan
pada pembagian berdasarkan sanad hadis atau juga matan hadis.
4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadis dhoif ini terhadi
khilafiah di kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang
secara mutlak tidak membolehkan beramal dengan hadis dhoif tersebut.untuk
fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami
mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun
akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya
16
DAFTAR PUSTAKA
H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Hadi Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media.2013
Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, Surabaya: Andalas.
Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2013.
M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Cet. I, Jombang: Darul
Hikmah, 2008.
Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003.
Syarif Hade Masyah, Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001.
17
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
Makalah Ulumul Hadits tentang HADITS DHAIF. Dengan adanya makalah ini kita
sebagai umat muslim diharapkan mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam
menghadapi hadits dhaif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan
aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.
Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata Kuliah Ulumul Hadits di
STAIN Watampone. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang
dimiliki kami. Serta kami mengucapkan banyak terima kasih untuk pihak-pihak yang
telah membantu kami. Semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal kepada
mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Penyusun
18
DAFTAR ISI
i
Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................
.....................................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................
..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................
..............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..................................................................
..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits Dha’if..........................................................
..............................................................................................3
B. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if..............................................
..............................................................................................5
C. Macam-macam Hadits Dha’if..............................................
..............................................................................................6
D. Kehujjahan Hadits Dha’if.....................................................
..............................................................................................14
E. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if............................
..............................................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................
..............................................................................................16
19
B. Saran.....................................................................................
..............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
20
Oleh
Kelompok 8
¤ Mariana
¤ Wahdania
¤ Yuliana
21