Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan
banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan
bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh
segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan
sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam
bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi
hadits

untuk

menjustifikasi

apa

yang

dia

lihat

tanpa

memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui.


Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak
seperti Al-Quran yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru
ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke2).1Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang
muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian
hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dhoif.
Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam
ilmu hadits ini, yaitu hadits dhaif, banyak di antara aliran
kepercayaan

yang

tanpa

tedeng

aling-aling

melontarkan

pernyataan bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan hujjah,


apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat
penting untuk mempelajari hadits dhaif agar tidak mudah
terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan
pertentangan menurut disiplinnya.

1 Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175

Dibuatnya makalah ini selain untuk pemenuhan tugas, juga


untuk menambah wawasan penulis karena pembuatan makalah
ini sebagai media untuk muthalaah kembali bagi penulis. Karena
kesadaran penulis akan ketidak lepasan manusia dari kealpaan.
Semoga dapat memberi manfaat bagi penulis dan
pembaca dan di kemudian hari, sebagai penganut agama yang
berpijak pada agama yang menjunjung tinggi rahmatan lil
alamin, bisa lebih berlapang dada dalam menerima perbedaan
pandangan mengenai hadits dhaif pada khususnya dan masalah
furuiyah pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hadits Dhaif?
2. Apa Saja Kriteria Hadits Dhaif?
3. Apa Saja Macam-macam Hadits Dhaif?
4. Bagaimana Kehujjahan Hadits Dhaif?
5. Kitab-Kitab apa sajakah Yang Memuat Hadits Dhaif?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Definisi Hadits Dhaif
2. Untuk mengetahui Kriteria-kriteria Hadits Dhaif
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Hadits Dhaif
4. Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadits Dhaif
5. Untuk Mengetahui Kitab-Kitab apa saja Yang Memuat Hadits
Dhaif

BAB II
2

PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata
yang berarti lemah lawan dari kata qawiy

dhuifun

yang berarti kuat.

Maka sebutan hadits dhaif, secara bahasa berarti hadits yang


lemah atau hadits yang tidak kuat.2
Hadits dhaif ialah hadis yang tidak bersambung sanadnya
dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit,
syadz, dan cacat. Atau menurut Imam Nawawi , yaitu hadis yang
tidak memenuhi kualifikasi hadits shahih maupun hadits hasan.
Ke-dhoifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya
perbedaan pada tingkat ke-shahihan dalam sebuah hadis shahih.
Diantara kategori hadis dhoif ada hadis yang mempunyai gelar
khusus seperti Hadits Maudhu, Hadits Syadz, dll.3
Hadits sudah kita ketahui maknanya secara bahasa dan
istilah. Sedangkan dhaif secara bahasa diambil dari

atau



, yaitu
yang mempunyai kesamaan makna dengan ,

sebaliknya kuat (lemah). Sedangkan menurut istilah, hadits
dhaif adalah hadits yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat
diterimanya hadits. Dapat dikatakan pula hadits dhaif termasuk
hadits yang mardud.4
2

Munzier Supra, ilmu hadis, PT Rja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal 149150.

3 Muhyiddin al-Nawawi, At-taqrib wa al-taisir li marifati sunan al-basyir alnadzir, edisi Indonesia, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Penerjemah Syarif Hade
Masyah, ((Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001), hal 3.

4 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathiif, (Dar al-Rohmah al-Islamiyah),


Hal. 51

Menurut Imam an-Nawawi, hadits dhaif adalah hadits yang


di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas
dan jelas di dalam mendefinisikan hadits dhaif ini, yaitu menurut
pendapatnya Nur ad-Din Atr. Beliau berpendapat hadits dhaif
adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syaratsyarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang
hasan).5
Hadits dhaif adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif
berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini
karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Menurut istilah, hadits dhaif adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jadi, hadits dhaif adalah hadits yang
tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya
sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak
dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya
cacat yang tersembunyi(illat) pada sanad atau matan.
Contoh hadits dhaif yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah
dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, Barang siapa
yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita
dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.6
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang
kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan,
maka hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah
5 Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157
6 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 2013, hal. 184-185.

satu syarat saja hilang, disebut Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu
dua atau tiga syarat? Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat
kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan
sebagai Hadits Dha`if yang sangat lemah sekali.7
B. Kriteria-kriteria Hadits Dhaif
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah
satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan
demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits
hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits
sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian
hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan
menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya
petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti
atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan
hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya
daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam
meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan
dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah
pula

dalam

meriwayatkan

hadits

yang

dimaksud,

bahkan

mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran


yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan

7 Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. (Semarang Rasail, 2007), hlm: 133.

dalam

periwayatan

hadits

yang

menetapkan untuk menolaknya.


Demikian pula kedhaifan

dimaksud,

suatu

hadits

maka

mereka

karena

tidak

bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif


karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui
sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi
yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam
meriwayatkan-nya.

Oleh

karena

itu,

para

muhadditsin

menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan


itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai
penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan
puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
Dengan memandang definisi yang telah disebutkan, maka
dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria hadits dhaif adalah
sebagai berikut:
1. Sanadnya terputus.
2. Periwayatnya tidak adil.
3. Periwayat tidak dhabith.
4. Mengandung syadz (kejanggalan).
5. Mengandung illat (cacat).8
C. Macam-macam Hadits Dhaif
Ada banyak sekali macam-macam hadits dhaif, sehingga
harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya adalah
sebagai berikut:
1. Dilihat dari sisi sanad
a. Hadits Muallaq ((,
) , adalah hadits yang perawinya
digugurkan, seorang atau lebih mulai dari awal sanadnya
sampai akhir sanadnya secara beruntun atau membuang
sanadnya kecuali sahabat atau sahabat dan tabiin secara
bersama.
8 Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 178-179

Contoh hadits muallaq :


Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah bahwa Rasullah bersabda :

Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan
Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi diawal
sanad tersebut.
b. Hadits Munqathi ((


) , Menurut bahasa, hadits munqati
berarti hadits yang putus. Para ulama memberikan batasan
hadits munqati adalah hadits yang gugur satu atau dua
rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi
diakhir

sanadnya

adalah

sahabat

Nabi,

maka

rawi

menjelang akhir sanad adalah tabiin. Jadi, hadits munqati


bukanlah

rawi

ditingkat

sahabat

yang

gugur,

tetapi

minimal gugur seorang tabiin.


Contoh hadits munqati :



. ,

Artinya :
Rasulullah SAW, bila masuk kedalam masjid, membaca : dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah segala dosaku

dan bukakanlah bagiku segala rahmat-Mu.9


Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu BAkar bin Ali
Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdurrahman bin Hasan,
dari Fatimah binti Husain, dan selanjutnya dari Fatimah Az-Zahra.
9 Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: CV. Pustaka
Setia. 2000) h. 112.

Menurut Ibnu Majah hadits tersebut adalah hadits munqati karena


Fatimah Az-Zahra tidak berjumpa dengan Fatimah binti Husain. Jadi, ada
rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkat tabiin.
c. Hadits Mudhal (

) , adalah hadits yang dari para
perawinya gugur secara berurutan, baik dua orang atau
lebih, baik sahabat bersama-sama tabiin, maupun tabiin
dan tabiit tabiin, atau dua orang sebelumnya,
Contoh hadits mudal adalah hadits Imam Malik hak hamba
dalam kitab Al-Munawa. Dalam kitab tersebut Imam Malik
berkata, Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik
Imam Malik, dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua orang rawi yang

beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu
diketahui malalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Munawa. Malik
meriwayatkan: hadits yang sama , yaitu Dari Muhamad bin Ajlan, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur
secara beriringan adalah Muhamad bin Ajlan dan ayahnya.
d. Hadits mursal (

) , adalah hadits yang sanadnya gugur
setelah tabiin. Seperti ketika tabiin mengatakan:

10

Contoh hadits mursal :

Artinya :

10 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah alIslamiyah), Hlm. 82

Rasullah bersabda, Antara kita dengan kaum munafik


(ada batas), yaitu menghadiri jamaah Isya dan Subuh;
mereka tidak sanggup menghadirinya. (HR. Malik).
e. Hadits Mudallas ((,
) , dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Tadlis al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari
perawi yang mengaku mendengar hadits dari seseorang
yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak
pernah

mendengar

hadits

tersebut

darinya

agar

disangka bahwa dia pernah mendengarnya, seperti


contoh hadits riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar beliau
berkata, Rasulullah bersabda:




:

Dalam

matarantai

sanad

hadits

Ibnu

Umar

ini,

ditemukan seorang perawi yang mudallis, bernama


Muhammad

bin

Ishaq

dan

ia

telah

membuat

periwayatannya dengan menggunakan kode yang biasa


dipakai dalam hadits ananah
2) Tadlis as-Syuyukh, yaitu perawi menyebutkan gurunya,
namun tidak dengan sebutan yang terkenal untuk
gurunya tersebut agar tidak dikenal, seperti perkataan
Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri
berkata bahwa Muhammad bin Sanad menceritakan
kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya,
bukan kepada ayahnya.11
2. Dilihat Dari Segi Perawi Hadits
a. Hadits Matruk ( (
) , adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya,
11 Hasan al-Masudi, Minhat al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 43

seperti dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa,


banyak

keragu-raguannya,

atau

suatu

hadits

hanya

diriwayatkan oleh satu orang, seperti riwayat Umar bin


Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari Ali RA. Amr di sini
terkena sifat matrukul hadits.12
Para ulama memberikan batasan hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan
dengan hadits atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah
mengerjakan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya.
Contoh :

: :


Artinya:
Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:
Barang siapa yang mmembaca Al-Quran maka baginya balasan 200
dinar. Jika dia tidak di dunia dia akan diberi di akhirat.
Yahya bin Maiin mengatakan dalam hadits ini ada rawi yang bernama
Amar bin Jumai yang termasuk salah seorang pendusta. Ibnu Hibban
juga mengatakan perawi tersebut sering meriwayatkan hadits-hsdits
palsu.13

b. Hadits Munkar (
) , adalah hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang
lebih

kuat

darinya

dari

sisi

ketsiqahannya.

12[8Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah alIslamiyah), Hlm. 114-116

13 Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu ( Surabaya: PT Bina


Ilmu, 2003) h. 149

10

Perbandingannya adalah hadits maruf ((


) adalah
hadits

yang

diriwayatkan

oleh

perawi

tsiqah

yang

bertentangan dengan perawi yang lemah, seperti hadits


riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari
Abi Ishaq, dari al-Izar bin Huraits, dari Ibnu Abbas, dari
Rasulullah beliau bersabda:

,
Artinya:
barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat,
melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia
masuk surga.
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat
rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang
kredibel yaitu Hubaib.14
c. Hadits Mudraj ( (
) ,adalah hadits yang dimasuki sisipan,
yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:

:
( )
Artinya:
Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim
itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman
kepadaku, taat danberjuang di jalan Allah, dia bertempat
tinggal di dalam surge. (HR. Nasai)
Dalam meriwayatkan hadits ini, Washil al-Ahdab tidak
menyebutkan Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan
dari Abi Wail yang menerima langsung dari Ibnu Masud.
14[Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94

11

Jadi, penyebutan Umar bin Syurahbil merupakan sisipan


(tadrij) pada riwayat Manshur dan al-Amasy.15
d. Hadits Maqlub (

) , adalah hadits yang terdapat

didalamnya

terdapat

perubahan,

baik

dalam

sanad

maupun matannya, baik yang disebabkan pergantian lafaz


lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:


Artinya:
Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum
seperti menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya
meletakkan kedua tanggannya sebelum meletakan kedua
lututnya, (HR. Al- Turmudji, dan mengatakakannya hadits
ini gharib)
Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin
Abi Shalih dengan al-Amasy.16
(

) , adalah hadits yang

diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi

e. Hadits

Mudltharib

syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi tersebut


sama di dalam kekuatannya, sekira ada pertentangan dari
segala arah, maka tidak bisa dijamu, dinaskh, dan ditarjih,
17

seperti hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar,

sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:


15 Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 166
16 Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: alHidayah), Hlm. 107-108

17 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102

12

Menurut

Daru

Quthniy,

hadits

ini

termasuk

hadits

mudltharib, sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur


matarantai sanad, yaitu Abu Ishaq, tetapi dari jalur ini pula
banyak ditemukan kerancuan dalam matarantai sanad
yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya
ada yang mengatakan bahwa:
1) Hadits tersebut diriwayatkan secara muttashil.
2) Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang
berhubungan dengan matarantai sanad, di antaranya ada
yang mengatakan bahwa:
1) Hadits tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar.
Dan dari jalur ini, bisa dilihat dari beberapa jalur yang
berfariatif, di antaranya adalah:
a) Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.
b) Dari al-Barra, dari Abu Bakar.
c) Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.
d) Dari Alqamah, dari Abu Bakar.
2) hadits tersebut bersumber dari musnad Saad.
3) Hadits tersebut bersumber dari musnad Aisyah dan
sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak
memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya, bahkan untuk
mengkompromikan

saja

dianggap

tidak

beralasan

(madzur).18

18 M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm. 154-155.

13

f. Hadits Mushahhaf (

) , hadits yang terjadi perubahan

huruf

atau

makna

di

dalamnya

atau

di

dalam

sanadnya,19seperti contoh hadits:


,
Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash .20
Shuuliyu pada lafadz
menjadi
g. Hadits Muharraf ((

) , adalah hadits yang terjadi
perubahan syakl di dalamnya atau di dalam sanadnya,
maksudnya terjadi perubahan pada harakat-harakatnya
atau pada sukun-sukunnya,21 seperti pada hadits:

Hadits tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan

menjadi 22

3. Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan


) , hadits yang diriwayatkan oleh rawi
a. Hadits Syadz (
yang dapat diterima, namun bertentangan dengan perawi
lain yang lebih utama darinya, Contoh: hadits syaz dalam
matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari
Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

( ,

Artinya:
hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum

19 Hasan al-Masudi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53


20 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
21 Hasan al-Masudi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53-54
22 Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 108109

14

Dari kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui


sanad Ibnu Uyainah yang lebih utama, disebut hadits
mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut
syadz.23

b. Hadits Muallal (), adalah hadits yang secara


lahiriyahnya tidak ada kecacatan, namun setelah dikaji
lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di dalam
sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya, seperti
contoh:

Artinya:
Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli
berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah
Ada dua jalur periwayatan, yaitu:

boleh

1) Jalur Yala bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Amr


bin Dinar, dari Ibnu Umar
2) Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu
Naim, ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah
bin Dinar dari Ibnu Umar
Dari penyajian dua jalur di atas, dapat dinyatakan
bahwa hadits yang dari jalur periwayatan Yala terdapat
unsur kecacatan dan haditsnya dinamakan hadits muallal
sebab ia menyandarkan haditsnya pada Amr bin Dinar,
padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar.
Sekalipun demikian, hadits Yala tetap bisa dikatakan

23 M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm. 161-162

15

shahih pada matannya, sebab redaksinya sama dengan


yang lain.24
4. Dilihat dari Sisi Matan
a. Hadits Mauquf ((
) , adalah hadits yang diriwayatkan

dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau
tidak. Maksudnya adalah hadits yang hanya disandarkan
pada sahabat saja, seperti contoh:


:


Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf,
sebab matannya berasal dari perkataan Ibnu Umar dan
tidak ada petunjuk yang mengatakan adalah Nabi SAW.25
b. Hadits Maqthu ((

) , adalah perkataan, perbuatan atau

taqrir yang dimauqufkan kepada tabiin, baik sanadnya
bersambung atau tidak, seperti perkataan Haram bin Jubair
(seorang tabiin besar) yaitu:

26
D. Kehujjahan Hadits Dhaif
Hadits dhaif termasuk hadits yang dihukumi mardud
(ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum aslinya. 27 Setelah
24 M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm. 45
25 M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm. 168-169

26 M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm. 169-170


27 Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), Hlm. 172

16

dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam


menjadikan hadits ini sebagai hujjah sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama, seperti
al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji,
Ahmad Syakir (penulis Syarkh Nazhm Alfiyah as-Suyuthi),
Nashiruddin al-Albani (Muhaddits Salafi Wahabi)dan lain-lain.
2. Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Abu Dawud dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan
Hanafiyah lebih memprioritaskan hadits dhaif daripada qiyas.
Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan hadits mursal,
munqathi, muallaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
3. Kondisional (menurut mayoritas ulama); jika berkaitan dengan
akidah dan hukum (halal dan haram), maka tidak boleh.
Sedangkan bila berkaitan dengan keutamaan amal, menakutnakuti, dan memotifasi amal, tafsir dan cerita, maka boleh.28
E. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dhaif
1. Al-Mauduat, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman
bin Al-Jauzi (579 H).
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz
Jalaludin Al-Suyuti (911 H).
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah AlMauduah, karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun
Iraq Al-Kannani (963 H).
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah ( 751 H ).
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu karya Ali Al-Qari ( 1014 H ).29
28 Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I (Surabaya: Khalista, 2012),
Hal. 11-12

29 H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia,


2006),h. 208.

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadis dhoif merupakan hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadis shohih dan syarat-syarat hadis hasan. Hadis dhoif ini memilki penyebeb
mengapa bisa tertolak di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan
juga dari segi matan.
2. Kriteria

hadis

dhoif

adalah

karena

sanadnya

ada

yang

tidak

bersambung,kurang adilnya perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz


dalam hadis tersebut.
3. Hadis dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan
pada pembagian berdasarkan sanad hadis atau juga matan hadis.
4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadis dhoif ini terhadi
khilafiah di kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang
secara mutlak tidak membolehkan beramal dengan hadis dhoif tersebut.untuk
fadlailul amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami
mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun
akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah.2013.


H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Hadi Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media.2013
Hasan al-Masudi, Minhah al-Mughits, Surabaya: Andalas.
Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2013.
M. Mashum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Cet. I, Jombang: Darul
Hikmah, 2008.
Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, Surabaya: al-Hidayah.
Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. Semarang Rasail, 2007.
Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.
2000.
Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif.Dar ar-Rahmah.
Munzier Suparto, Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003.
Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah. Cet.I.Surabaya: Khalista. 2012
Qosim Koho, Himpunan Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003.
Syarif Hade Masyah, Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001.

19

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
Makalah Ulumul Hadits tentang HADITS DHAIF. Dengan adanya makalah ini kita
sebagai umat muslim diharapkan mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam
menghadapi hadits dhaif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan
aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.
Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata Kuliah Ulumul Hadits di
STAIN Watampone. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang
dimiliki kami. Serta kami mengucapkan banyak terima kasih untuk pihak-pihak yang
telah membantu kami. Semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal kepada
mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Amin Yaa Rabbal Alamiin.

Watampone, 17 Mei 2016


Penyusun

20

DAFTAR ISI
i

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................
.....................................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
.....................................................................................................ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................
...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................
...............................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................
...............................................................................................................2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits Dhaif.............................................


...............................................................................3
B. Kriteria-kriteria Hadits Dhaif.................................
...............................................................................5
C. Macam-macam Hadits Dhaif.................................
...............................................................................6
D. Kehujjahan Hadits Dhaif........................................
...............................................................................14
E. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dhaif.................
...............................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................
........................................................................................16

21

B. Saran...............................................................................
........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

HADITS DHAIF / LEMAH


ii

22

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Oleh
Kelompok 8

Mariana
Wahdania
Yuliana

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) WATAMPONE
2016

23

Anda mungkin juga menyukai