Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yang diridhoi
oleh Allah SWT yaitu agama Islam.

Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya karya ilmiah ini, penulis
tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak
kekurangannya. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun semangat penulis yang sangat penulis
harapkan.

Sidikalang, September 2022

Kelompok 7

1
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR................................................................................................1

DAFTAR ISI...............................................................................................................2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................3

B. Rumusan Masalah..........................................................................................3

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits Dha’if ................................................................................ 4

2. Sebab Hadits Dha’if Ditolak........................................................................5

3. Pengelompokan Hadits Dhaif......................................................................6

4. Kehujjahan Hadits Dhaif..............................................................................8

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan ................................................................................................... 10

2. Saran ..............................................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadits mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembinaan hukum Islam, sebab
disamping berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat yang masih samar dan global dalam al
Qur’an Hadits berfungsi menetapkan hukum (Bayan Syar’i) terhadap suatu perkara yang belum ada
dalam al qur’an.

Besarnya peranan Hadits ini harus disertai dengan kecermatan dalam memilah dan memilih
Hadits yang benar-benar dari Rasulullah. Sebab suatu hadits yang diragukan berasal dari Nabi maka
akan sulit dipertanggung jawabkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al qur’an.
Maka jika tersebarnya hadits-hadits semacam itu dapat menimbulkan dampak negatif yang luar
biasa.

Di makalah ini akan dibahas mangenai Hadits dhaif yang tidak mempunyai legitimasi yang
kuat dibanding Hadits shahih dan hasan. Bahkan sebagian ulama ada yang melarang Hadita ini
dijadikan sumber hukum. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Hadits Dhaif?


2. Apa Sebab Hadits Dha’if Ditolak?
3. Bagaimana Pengelompokan Hadits Dhaif?
4. Bagaimana Kehujjahan Hadits Dhaif?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Secara bahasa Dha’if artinya ajiz atau lemah. Yaitu hadits yang lemah atau tidak kuat.
Sedangkan yang dikehendaki dalam ilmu hadits adalah sebagai berikut:

‫َم ا َفَقْد َشْر طا َاْو َاْكَثَرِم ْن ُش ُرْو ِط الَّص ِح ْيِح َاِو اْلَحَس ِن‬
“Hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih dan hadits
hasan”

Adapun pengertian lain yaitu:

‫َم اَفِقَد َشْر طًا ِم ْن ُش ُرْو ِط اْلَحِد ْيِث اْلَم ْقُبْو ِل‬.

“Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).

Sedangkan An Nawawi mendefinisikan dengan: “Hadits yang di dalamnya tidak terdapat


syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.

Nur Ad-Din’ Atr menulis: “Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul” (Hadits yang shahih atau hadits yang hasan).

Sedangkan Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang di ambil) dan mushaddaq (yang
dibenarkan atau yang diterima). sedangkan menurut istilah:

‫َم ا َتَو ا فرت ِفْيِه َجِم ْيِع ُش ُرْو ِط اْلَقُبْو ِل‬

“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.

Adapun syarat-syarat hadits maqbul ada enam, yaitu:

1. Rawinya adil
2. Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
3. Sanadnya bersambung.
4. Padanya tidak terdapat suatu kerancuan.
5. Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak.
6. Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan).

Demikian, al-Biqa’I dan al-Suyuthi serta yang lainnya menghitung syarat-syarat diterimanya
hadits tersebut. Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang kedua mereka tidak menambahkan
kata-kata “meskipun tidak sempurna”. Ini adalah suatu masalah, sebab bila seorang rawi tidak
sempurna ke-dhabith-annya, maka haditsnya adalah hadits hasan, bukan dha’if. Oleh karena itu
ungkapan untuk kriteria yang kedua ini adalah dengan “menambahkan kata-kata “meskipun tidak
sempurna”.

Alasan pemberian predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat
diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah terpenuhi syarat-syarat di atas,
maka hal itu menunjukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan sesuai dengan keadaan semula;

4
dan sebaliknya bila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada yang menunjukan
demikian.

B. SEBAB-SEBAB HADITS DHA’IF DITOLAK

Para ahli hadits mengemukakan ditolaknya hadits dha’if ditinjau dari dua jalur:

Sanad hadits

Dari sisi sanad hadits dibagi menjadi dua bagian:

a) Ada kecacatan pada perawinya, baik meliputi keadilanya maupun kedhabitanya, yang
diragukan dalam 10 macam:

1) Dusta

2) Tertuduh dusta

3) Fasik

4) Banyak salah

5) Lengah dalam menghafal

6) Banyak wahamnya

7) Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah (dipercaya)

8) Tidak diketahui identitasnya

9) Penganut bid’ah

10) Tidak baik hafalanya

b) Sanadnya tidak bersambung


1) Gugur pada sanad pertama
2) Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
3) Gugur dua orang periwayat atau lebih secara berurutan
4) Jika periwayatnya yang digugurkan tidak berturut-turut

Matan hadits

1) Matanya hanya disandarkan kepada sahabat


2) Matanya hanya disandarkan pada tabi’in
3) Macam-Macam Hadits Dha’if

5
C. PENGELOMPOKAN HADITS DHA’IF

1. Hadits Dhaif karena terputus sanadnya

a. Hadits Munqathi’

Adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan
nama orang yang tidak dikenal.

b. Hadits mu’allaq

Adalah hadits yang periwayatanya digugurkan seseorang atau lebih diawal sanadnya
secara berturut-turut.

c. Hadits Mursal

Hadits yang gugur sanadnya setelah Tabi’in. Yang dimaksud disini ialah sanad terakhir
(Tabaqoh sahabat) tidak disebutkan. Menurut al Hakim hadits Mursal ialah hadits yang
langsung disandarkan oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW baik berupa perkataan,
perbuatan dan taqrir baik dilakukan oleh tabi’in besar ataupun kecil. Mengacu pada
definisi al Hakim maka hadits Mursal dikategorikan menjadi 2, yaitu: (1) Mursal al Jalli,
yaitu pengguguran nama sahabat oleh Tabi’in besar, dan (2) Mursal al Khafi, yaitu
penggunaan nama sahabat dilakukan oleh tabi’in kecil.

d. Hadits mudallas

Adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tiada
bernoda. Pada hadits mudallas ini, periwayat yang menggugurkan sudah pernah bertemu
dengan periwayat yang digugurkan. Pengguguran ini dimaksudkan agar aib atau
kelemahan suatu hadits dapat tertutupi. Perbuatan ini dinamai tadlis, orang yang
melakukan disebut mudallis, dan haditsnya disebut mudallas.

e. Hadits Mu’dlal

Hadits mu’dlal adalah hadits yang gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.
[15] Hadits mu’dlal berbeda dengan munqathi’. Pada hadits mu’dlal gugurnya dua orang
periwayat terjadi secara berturut-turut dan dimana saja. Sedangkan pada hadits munqathi’
gugurnya dua orang perawi terjadi secara terpisah dan tidak pada tabaqat pertama.

2. Hadits dha’if karena ketidakadilan periwayatnya

a. Hadits Maudhu’

Hadits maudlu’ secara bahasa adalah yang diletakan, dibiarkan, manggugurkan,


meninggalkan dan berita bohong yang dibuat-buat.[16] Sedangkan secara istilah adalah
hadits yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW yang sifatnya dibuat-buat
dan diada-adakan karena Rasulullah sendiri tidak mengatakan, berbuat ataupun
mengatakanya.

b. Hadits Matruk

Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh pendusta, baik dalam soal hadits
ataupun lainya, atau tertuduh fasik, atau banyak lalai atau banyak sangka.

c. Hadits Munkar
6
Adalah hadits yang diriwayatkan seseorang yang lemah yang menyalahi riwayat orang
kepercayaan, ataupun riwayat orang yang kurang lemah daripadanya.

3. Hadits dha’if karena ketidakdhabitan periwayatnya

a. Hadits Mudraj

Adalah hadits yang disispkan kedalam matanya suatu perkataan orang lain, baik orang itu
shahby atau tabi’I untuk menerangkan maksud makna.

b. Hadits Maqlub

Adalah hadits yang redaksi matan ataupun sanadnya tertukar, misalnya yang mestinya
disebut dahulu disebut belakangan ataupun sebaliknya.

c. Hadits Mudhtharib

Adalah hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda padahal dari satu
periwayat atau dari dua periwayat atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).

d. Hadits Mushahhaf

Adalah hadits yang berbeda (dengan hadits riwayat lain) karena terjadi perubahan titik
kata, meskipun bentuk tulisanya tidak berubah. Tashhif tersebut bisa terjadi pada matan
atau sanad.

e. Hadits Muharraf

Adalah hadits yang perbedaanya terjadi karena perubahan syakal kata, mesipun bentuk
tulisanya masih tetap sama.

4. Hadits dha’if karena kejanggalan dan kecacatan

a. Hadits Syadz

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan
matanya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.

b. Hadits Mu’allal

Adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan,
meskipun pada lahirnya Nampak selamat (tidak cacat). Dengan kata lain hadits ini adalah
hadits yang pada lahirnya nampak shahih tapi setelah dilakukan penelitian yang mendalam
ada kecacatan.

5. Hadits dha’if dari segi matan

a. Hadits Mauquf

Adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun taqrirnya. Periwayatanya sendiri baik bersambung ataupun tidak. Dikatakan
mauquf karena sandaranya berhenti pada thabaqah sahabat.

7
b. Hadits Maqtu’

Adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan
maupun perbuatanya. Sebagaiman hadits mauquf, hadits maqthu’ dilihat dari segi
sandaranya adalah hadits yang lemah.

D. KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF

Pada dasarnya para ulama’ hadits menolak penggunaan hadits dha’if sebagai hujjah.Penolakan
penggunaan hadits dha’if tersebut berdasar pada keyakinan bahwa hadits itu sangat sulit
dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad ataupun matanya.

Adapun tentang hadits dha’if Muhammad Ajjaj menyebut ada tiga kelompok dalam menyikapinya:

1. Tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam bidang
hokum. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Sayid al-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi, Bukhari,
Muslim dan Ibn Hazm.
2. Mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik
disbanding dengan pendapat manusia. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Dawud dan Ahmad
ibn Hanbal, Abdurahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak.

Mengamalkan hadits dha’if untuk fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat
tertentu seperti yang diungkapkan Ibn Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:

1. Tingkat kelemahanya tidak parah


2. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh al
Qur’an dan hadits shahih
3. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat

Prof T.M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan fadlailul ‘amal dalam hal ini
bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hokum sunat, tetapi dimaksudkan untuk menjelaskan
tentang faedah dari kegunaan suatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hokum,
demikian Praof Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak membolehkan menggunakan
hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.

Dr. Muhammad Ajjaj al Khatib menyatakan, bahwa golongan yang menolak hadits dha’if
sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantra alsanya baik soal fadlailul ‘amal,
maupun soal makarimul akhlaq adalah merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana halnya
maslah hokum. Karena itu hadits yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkanya haruslah hadits
yang berkualitas shahih atau hasan dan bukan berkualitas dha’if.

BAB III
8
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara bahasa Dha’if artinya ajiz atau lemah. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang
kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sedangkan
sebab hadits dha’if ditolak para ahli hadits mengemukakan ditolaknya hadits ini ditinjau dari dua
jalur, 1) dari segi sanad, yaitu karena ada kecacatan pada perawinya dan Sanadnya tidak
bersambung, 2) Matan hadits, yaitu matanya hanya disandarkan kepada sahabat dan matanya hanya
disandarkan pada tabi’in.

Hadits dha’if itu sendiri dilklasifikasikan menjadi 5 kelompok:

1) Hadits Dhaif karena terputus sanadnya


2) Hadits dha’if karena ketidakadilan periwayatnya
3) Hadits dha’if karena ketidakdhabitan periwayatnya
4) Hadits dha’if karena kejanggalan dan kecacatan, dan
5) Hadits dha’if dari segi matan

Sedangkan mengenai kehujjahan hadits dha’if itu sendiri para ulama berbeda pendapat.
Pertama tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam
bidang hokum, kedua mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu
masih lebih baik disbanding dengan pendapat manusia, dan ketiga mengamalkan hadits dha’if untuk
fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.

B. SARAN

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebgai manusia biasa kita menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Anda mungkin juga menyukai