Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak habis untuk dikaji berbagai kalangan.
Semakin lama dikaji, semakin banyak ilmu yang terkuak. Sebagai contoh, para ilmuwan
mengembangkan maupun mencocokan penemuan mereka tentang teknologi, ilmu
perbintangan, penemuan pesawat terbang, matematika, fisika, dan lain sebagainya, dengan
pemaparan yang tersebut dalam al-Qur’an. Sebagian sumber-sumber hukum juga berasal
dari al-Qur’an. Sehingga, Pengetahuan mengenai makna al-Qur’an pun menjadi sangat
penting untuk dipahami. Adanya tafsir dan ta’wil al-Qur’an tentu mempermudah setiap
orang memahami hingga mengkaji isi al-Qur’an. Perlu kiranya kita memperdalam
pengetahuan mengenai tafsir, ta’wil al-Qur’an, metodologi penafsiran hingga tokoh
mufassir beserta karyanya. Sehingga kita dapat mmperkokoh keimanan dan menambah
pengetahuan dalam memahami al-Qur’an. Inilah yang menjadi latar belakang disusunnya
makalah tafsir dan ta’wil ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan takwil al-Qur’an?


2. Bagaimana metodologi dan corak penafsiran al-Qur’an?
3. Apa saja yang menjadi ciri-ciri, syarat-syarat dan ruang lingkup takwil?
4. Bagaimana perbedaan tafsir dan ta’wil al-Qur’an?

1
A. Definisi Tafsir

Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun
terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-
mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab,
tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah
Sûrah al-Furqân: 33

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”1

Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar.


Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum
dan hikmah-hikmahnya 2.

Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan


tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna
yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.

Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan
sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang

1 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr


al-hadits, 1973), hlm. 323.

2 Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995), vol 2, hlm. 6.

2
ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat
diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak
bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah3.

Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui,
karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun
waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu.
Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan
penafsiran dari masa klasik sampai modern.

B. Corak dan Metode Penafsiran

1. Tafsir bi al-Ma’tsur

Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam
kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan
ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-
sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an4.
Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-
kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :

a. Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,


b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya
terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan 5.

3 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, II, hlm. 172.

4 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah


Isa al-Bab al-Halaby, 1957), hlm. 3.

5 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 157.

3
d. Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat
bagi generasi berikutnya.

Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan
metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :

a. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang


bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat
di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan
dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya 6
c. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-
usaha musuh Islam.
d. Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke
dalam penafsiran Al-Qur'an,

Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena


para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara
baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya. Namun,
menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya
sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode
periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan
kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang
luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara
mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat.
Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-

6 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 49.

4
riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang
kokoh.

Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an.


Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in
masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum
demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka
sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in
sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka.
Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi
berikutnya masih cukup mantap.

2. Tafsir bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir
menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas,
Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas
dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas
dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya.
Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan
menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu 7.
Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir
ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan jauh dari
kesesatan dan kebodohan.

3. Tafsir Tahlily

7 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, hlm. 351-352.

5
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah
suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum
dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu

a. Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat,
c. Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan
maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d. Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in 8.

Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak
jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode
ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir
yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa
bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena
sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-
persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian
yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk
9.
setiap waktu dan tempat Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik
seperti tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih

8 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-


Arabiyah, 1977, hlm. 18.
9 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 87.

6
al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya
termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan
tafsir al-Razi.

4. Tafsir Muqaran

Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab
mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-
Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad
saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan
10
pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama . Dari beberapa
pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran :

a. Arah kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,


b. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya
namun berbeda masalahnya,
c. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d. Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.

Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya
tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan
Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).

5. Tafsir Ijmaly

Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya,
mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf,
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan

10 Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina
Utama, 1994), hlm. 36.

7
demikian cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena
keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf,
dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali
11
secara umum saja . Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir
Jalalain.

6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)

Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan
pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu
tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut
disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu
oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala
aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat
menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan
mudah dan menguasainya dengan sempurna 12.. Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan
dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-
Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik
ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai
ayat-ayat yang saling terkait itu.

Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri
dari bentuk tafsir tematik, antara lain :

a. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan

11 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.

12 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.

8
suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral
menurut pandangan Al-Qur'an,
b. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling
berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya
ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang
tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti
sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f. Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang
ditetapkan,
g. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh
al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami
makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an,
seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan
Al-Qur'an lainnya 13.

Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M.
Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.

13 Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.

9
C. Pengertian Ta’wil
Dalam membicarakan lafaz yang jelas artinya maupun lafaz yang tidak jelas artinya
sering muncul kata “ta’wil”. Karenanya perlu dijelaskan arti dan maksud ta’wil itu14.
Dalam al-qur’an terdapat kata “ta’wil”, dalam 17 tempat. Bila dianalisis antara satu dengan
yang lainnya ada perbedaan maksudnya. Dan keseluruhan kemungkinan arti ta’wil, dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu;
a) Arti yang mengarah kepada arti lughawi (bahasa) yang murni, ta’wil adalah
Kembali ‫الرجوع‬
b) Arti yang mengarah kepada arti istilah syar’i adalah: ‫( التفسير – البيان‬Tafsir-Penjelas)
Meskipun terdapat beberapa definisi atau istilah hukum terhadap ta’wil, namun
maksudnya saling berdekatan dan saling mengisi.

Dalam kamus al-Muhith, kata Awwala al-Kalam Ta’wilan wa Taawwalahu berarti


mengatur, memperkirakan, dan menjelaskan.Ta’wil menurut bahasa berarti al-
Tafsir (penjelasan atau uraian).
Diantara beberapa definisi ta’wil adalah:

1. Abd. Wahab Khalaf memberi definisi :


‫صرف اللفظ عن ظا هره بدليل‬
Artinya : “Memalingkan lafaz dari arti dzahirnya berdasarkan adanya dalil.”

2. Definisi menurut Ibn Jauzi


‫نقل الكالم عن موضوعه إلى ما يحتا ج فى إثبا ته إلى دليل لو اله ما تر ك ظا هراللفظ‬
Artinya : “Mengalihkan ucapan dari maudhu’-nya kepada apa yang diperlukan untuk
menetapkan kepada dalil yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaz tidak akan
ditinggalkan.”

14 Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.46

10
3. Ibnu Atsir memberikan definisi
‫نقل ظاهراللفظ عن وضعه األصلى إلى ما يحتا ج الى دليل‬
Artinya : “Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepada sesuatu yang
diperlukan oleh dalil.”

4. Definisi yang dirumuskan Abu Zahra :


‫إخراج اللفظ عن ظاهرمعناه إلى معتى اخريحتمله‬
Artinya : “Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada
kemungkinan untuk itu.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali
mendefinisikan ta’wil adalah “ungkapan tentang pengalihan makna dari lafaz zahir yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti itu lebih kuat di banding makna yang ditunjukkan
oleh makna zahir.15

D. Ciri-Ciri Ta’wil
Berikut ciri-ciri dari ta’wil yaitu:
a) Lafaz itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya;
b) Arti yang dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh
arti lahir lafaz itu;
c) Peralihan dari arti lahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada16.

E. Syarat-syarat Ta’wil.
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak berlaku
untuk muhkam dan mufassar17.

15 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2011 ),Hlm. 214


16 Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.48
17 Ibid,Hlm,48

11
Lafaz zahir dimaksud yaitu suatu lafaz yang jelas dalalahnya, yang menunjukkan
kepada suatu arti asal tanpa memerlukan ambli lain di luar lafaz itu, dan mungkin dapat
dapat ditakwilkan dalam arti yang lain. Lafaz nash dimaksud yaitu suatu lafaz yang tidak
mungkin mengandung pengertian lain, selain yang ditunjukkan suatu lafaz itu sendiri dan
mungkin dapat ditakwilkan.
Lafaz mufassar yang dimaksud yaitu lafaz yang penujukannya terhadap suatu
makna itu jelas, penunjukan makna itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan
qarinah dari luar, serta tidak mungkin untuk dita’wilkan. Lafaz muhkam yang dimaksud
yaitu lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan
untuk di-ta’wil.

2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di ta’wil kan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wil, serta tidak asing dengan
pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil
yang ada Maksudnya yaitu, sesorang yang ingin mena’wilkan ayat, maka ia harus
memiliki suatu dalil yang menjadi sandarannya. Serta tidak bertentangan dengan dalil
yang sudah ada18 .
Syarat-syarat tersebut di atas berkenaan dengan syarat bolehnya melakukan ta’wil
atas suatu teks nash syara’.

F. Ruang Lingkup Ta’wil


Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan bahwa ada 2
ruang lingkup takwil (majal al-ta’wil):
1. Dalam kebanyakan masalah-masalah furu’ (cabang), yakni dalam nash-nash yang
berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Ta’wil dalam ruang
lingkup ini tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalangan ulama.

18 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2011 ), Hlm.. 214

12
2. Dalam masalah-masalah ushul (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan
akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah Swt. Bahwa Allah itu
mempunyai yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya19.

G. Macam-Macam Ta’wil
1. Ta’wil Dilihat dari Kualitasnya
a. Ta’wil Shahih

Khalid Ramadhan Hasan dalam kitabnya mu’jam ushul fiqh memberikan


kriteria ta’wil yang shahih sebagai berikut :
 Lafaz itu dipastikan dapat menerima ta’wil, yaitu lafaz yang termasuk kategori zahir
dan nas, lafaz yang termasuk kategori mufassar dan muhkan tidak dapat di-ta’wil.
 Penta’wil an didasari oleh dalil yang ma’qul baik berupa nas (Al-Qur’an dan
Hadist), qiyas, ijma’, atau hikmah tasyri’ atau prinsip-prinsipnya yang bersifat umum.
 Ta’wil tidak bertentangan dengan nas yang sharih (dalil yang jelas) 20.

Contoh Ta’wil Shahih :

ِ ‫ّللاِ فَ ْوقَ أ َ ْيد‬


‫ِيه ْم‬ َ ‫ّللاَ يَد‬
َ ‫ون‬ َ ‫إِ َن الَذ‬
َ ‫ِين ي َبايِعونَكَ إِنَ َما يبَايِع‬
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.
Arti lahirnya “tangan Allah diatas tangan mereka”, dalam keadaan tertentu sulit
diartikan menurut apa adanya karena khawatir terjebak pada tajsim yang dapat menyeret

19 Asy-Syaukani, t.t. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-
Fikr. Hlm.176
20 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2011 ), h. 216-219

13
kepada syirik21 . Kata “yadullah” (tangan Allah) dalam surat al-fath ayat 10 sebagaimana di
atas di ta’wil dengan “al-qudratu” artinya “kekuasaan Allah”.22

b. Ta’wil Fasid

Yang dimaksud ta’wil fasid ialah memalingkan makna zahir kepada makna yang
tidak memungkinkan, atau masih memungkinkan namun tidak didukung oleh
dalil. Ta’wil semacam ini ditolak karena tidak memenuhi persyaratan ta’wil. Sehingga jika
ada susunan kalimat yang di-ta’wil maka ta’wil-nya itu jadi rusak karena ada
penyimpangan dari persyaratan ta’wil.
. Contoh Ta’wil Fasid :

) ۸۹ : ‫ (المائدة‬. . . ‫ فكفرته اطعام عشرة مسكين‬. . . .


Artinya : . . . “Maka kifarat dari (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan
sepuluh orang miskin”.
Ayat di atas di-ta’wil dengan “memberi seorang miskin sepuluh kali”,
bukan “memberi makan sepuluh orang miskin”. Penta’wilan seperti ini ditolak (mardud),
karena adanya kecacatan dalam ta’wil dan meremehkan ta’wil (bilangan) yang memang
telah jelas ditunjukkan oleh nas secara ta’wil.

2. Ta’wil dilihat dari Jangkauan Maknanya

Dilihat dari jangkauan maknanya ta’wil terbagi menjadi dua :

a. Tak’wil Qarib

Yaitu ta’wil yang dekat dengan arti zahir-nya dan dapat dipahami dengan mudah,
dapat juga dikatakan bahwa ta’wil qorib ialah ta’wil yang penetapannya cukup dengan
dalil.

21 Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.48


22 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2011 ), Hlm.. 214

14
. Contoh Ta’wil Qarib :

‫يايهاالذينءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسهوا‬
) ٦ : ‫ (المائدة‬. . . ‫برءسكم وارجلكم الى الكعبين‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. Dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampa dengan kedua mata kaki.
Dalam ayat tersebut, kata “kumtum” yang makna lahirnya adalah “Kamu telah
berdiri”, dipalingkan dari makna lahirnya kepada makna yang lebih dekat yaitu “Kamu
hendak mengerjakan”. Dalilnya bahwa Allah memerintahkan wudhu sebagai syarat shalat
harus sudah ada sebelumnya.

b. Ta’wil Baid
yaitu ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak
cukup dengan dalil atau 15ambling yang sama. Ta’wil semacam ini bisa juga dikatakan
sebagai ta’wil yang jauh dari arti zahir-nya sehingga sulit dipahami.

H. Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil

Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut.
Berdasarkan pada pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat
menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut:

1) Apabila berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan


maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama
maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasululloh untuk Ibn Abbas: “Ya
Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah
kepadanya ta’wil.
2) Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan,
maka ta’wil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri

15
dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberikan. Atas dasar ini maka
perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah
dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan
cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya.
Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
Sebagi contoh, jika dikatakan: “Matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini ialah
terbitnya matahari itu sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim dalam bahasa
Quran sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman:

“Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad membuatnya’ Katakanlah:


‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surah
seumpamanya dan panggilah siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya)
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’ Tetapi sebenarnya mereka
mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal
belum datang kepada mereka ta’wil-Nya.” (Yunus 38-39).

Yang dimaksud dengan ta’wil disini ialah terjanya sesuatu yang diberitahukan.

3) Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu
(pasti) dalam sunnah yang shahih karnanya maknanya telah jelas dan gamblang.
Sedang ta’wil adalah apa yang telah disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian
ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang
Ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah23.
4) Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan
mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan)
makna dan susunan kalimat. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat yang lain.

23 Al-Suyuti, Jalaluddin, 1979, Al-Itqan fi Ulumil Al quran jilid 2, Bairut: Dar Al-
Fikr. Hlm, 173

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang patut kita pelajari. Metodologi tafsir dan
takwil Al-Qur’an adalah salah satu cara untuk mengkaji, memahami dan menguak lebih
jauh maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Metode tafsir yang adapun sangat
beragam model, bentuk dan pendekatannya, begitu pula dengan takwil. Adalah suatu hal
yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami macam-macam metode
tafsir dan takwil ayat Al-Qur’an yang ada dengan berbagai macam pendekatannya, jika hal
ini telah kita ketahui, maka ayat-ayat Al-Qur’an semakin hidup dan mampu untuk
menjawab segala persoalan masyarakat yang berkembang begitu cepat. Hal ini semakin
mempertegas bahwa Al-Qur ’an adalah wahyu Allah yang menjadi rujukan dan sumber
utama semua umat Islam.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Adzim Ma’ani, Abd & al-Ghundur, Ahmad. 2003. “Hukum-Hukum dari Al-Qur’an
dan Hadis
Syarufuddin, Amir. 2008.Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Asy-Syaukani, 1973. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiqil al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar
al-Fikr.
Al-Qaththan, Manna al-Khallil, 1973, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-
hadits,.

Hayy Al-Farmawy, Abdul, 2002, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Bandung: Pustaka setia

Muhammad Abd, Al-Adzim al-Zarqani,1957, Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, Mathba'ah Isa
al-Bab al-Halaby,

Al-Suyuti, Jalaluddin, 1979, Al-Itqan fi Ulumil Al quran jilid 2, Bairut: Dar Al-Fikr.

Ghafur, Saiful Amin, 2008., Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

Shihab , M. Quraish, 1995, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan,

Aqil al-Munawwar, Said, 1994, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, Semarang : Dina Utama,

18

Anda mungkin juga menyukai