Anda di halaman 1dari 13

Toeri Batas Muhammad Syahrur

BAB I
Latar Belakang

Muhammad Syahrur adalah seorang insinyur teknik sipil, dan saya

mengetahui bahwa lebih mudah membangun gedung pencakar langit dan

terowongan di bawah laut (mega structure) dari pada mengajarkan orang

membaca Kitab Allah dengan menggunakan mata mereka sendiri. Mereka

telah terbiasa untuk membaca Kitab ini dengan mata pinjaman selama

ratusan tahun”.1

Pada awal tahun 90an dunia Islam dikejutkan dengan hadirnya

sebuah kitab yang membahas tentang ayat-ayat Al Qur’an dengan

menggunakan metode pembacaan kontemporer. Kitab yang ditulis selama

kurang lebih 20 tahun ini akhirnya membuka pikiran uamt Islam yang sudah

terbuai dengan pemikiran ulama-ulama masa lampau. Penulisnya adalah

seorang doktor teknik sipil yang menguasai keilmuan linguistic

(kebahasaan) dan sangat tertarik dengan problema-problema keislaman

yang terjadi didalam masyarakat Islam didaerahnya pada saat itu. Nama

1
Muhammad Syahrur, Divine Text and Pluralism in Moslem Society.
beliau adalah Muhammad Syahrur al Dayyub, yang selanjutnya akan kita

bahas tentang pemikiran beliau yang dapat penulis pahami.

BAB II

Pembahasan

 Biografi Muhammad Syahrur

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Syahrur al Dayyub. Beliau

lahir pada tanggal 11 April 1938 M di Damaskus, Suriah. Ayah beliau

bernama Deib ibnu Deib Syahrur dan ibu beliau bernama Siddiqah binti

Salih Filyun. Beliau menempuh pendidikan dasar dan menengah di

lembaga pendidikan Abdurrahman al Kawakibi, Damaskus. Pada tahun

1957 ia menyelesaikan pendidikan menengahnya dan mendapatkan

beasiswa dari pemerintah Suriah untuk melanjutkan studi dalam bidang

teknik sipil di Moskow, Rusia. Ia memperoleh gelar Diploma pada tahun

1964 dan melanjutkan studi ke Universitas Nasional Irlandia dengan

beasiswa dari Universitas Damaskus dalam bidang spesialis mekanika

pertahanan dan pondasi. Di sana beliau memperoleh gelar Master of

Science pada tahun 1969 dan gelar Philosophy Doctor pada tahun 1972

M.
Hingga saat ini beliau masih menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil

Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika tanah dan Geologi.

Selain itu beliau juga medirikan biro konsultasi teknik Dar al Isytisyarat

al Handasiyyah di Damaskus. Beliau juga tertarik pada ilmu filsafat dan

keIslaman, seperti : Filsafat Humanisme, Filsafat Bahasa, dan Semantika

Bahasa Arab. Keilmuan bahasa inilah yang kemudian menjadi dasar

beliau dalam membaca dan menafsirka ayat-ayat Al Qur’an.2

B. Karya-karya Muhammad Syahrur

 Al Kitab wal Qur’an : Qiraah Mu’ashirah ( Prinsip dan Dasar

Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer), 1992.

 Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’ (Studi

Islam Kontemporer tentang Negara dan Masyarakat)

 Al Iman wa al Islam : Manzumat al Qiyam (Islam dan Iman: Pilar-

pilar Utama), 1996.

 Nahwa Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah

(Metodologi Fiqh Islam Kontemporer), 2000.

2
Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an
ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007, hal. 137-139
 Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami; dan

 Beberapa artikel tentang keIslaman hasil pemikirannya lewat

artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The

Divine Text and Pluralism in Muslim Societies” dalam Muslim

Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World

Conference on Woman”, dalam Kuwaiti Newspaper, yang

kemudian dipublikasikan juga dalam Charles Kurzman (ed.),

Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford

University Press, 1998).3

C. Teori Batas Muhammad Syahrur

Dalam kajian Islam, jika menyebutkan seorang Syahrur, maka seakan-

akan tidak nyaman apabila belum meraba teori batasnya. Apa yang

dimaksud dengan teori limit/batas adalah sebuah metode memahami

ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan kontek sosio-historis

masyarakat kontemporer agar ajaran al-qur’an tetap relevan dan

kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah.

Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut lahirlah sebuah teori yang

3
http://id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammad-syahrur/
aplikatif, yakni nazhariyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori

batasnya terdiri dari atas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas

atas (al-hadd al-a’la/maksimal).

Kontribusi dari teori ini sebagaimna dikutip dari buku Epistimologi

Tafsir Kontemporer; pertama, dengan teori limit, ayat-ayat hukum yang

selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternative pemahaman lain

ternyata memiliki kemungkinan untuk diinterpresikan secara baru dan

Syahrur mampu menjelaskannya secara metodologis dan

mengaplikasikannya dalam penafsiran melalui pendekatan matematis.

Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu menjaga

sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan

ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih

berada dalam batas-batas hukum Allah.4

Beberapa kata kunci mengenai teori batas Syahrur yang harus dipahami,

yaitu: hudūd, al-istiqāmah, dan al-hanīfīyah. Kata hudūd oleh Syahrur

dalam melandasi teori batasnya dari Q.S an-Nisa’ 4: 13-14.

4
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, Cet 1, (Yogyakarta:LKIS), Hal 12.
Syahrur dengan rumusan teori ḥudūd-nya mendasarkan dari Q.S an-

Nisa’ 4: 13-14. Kata “ḥudūd” di sini berbentuk plural dari bentuknya

ḥadd, yang artinya batas (limit). Pemakaian bentuk plural di sini

menandakan bahwa manusia memiliki keleluasan untuk memilih batasan

tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Selama masih berada dalam koridor batasan tersebut, manusia tidak

menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika manusia

melampaui batasan-batasan tersebut.5 Sedangkan term al-Istiqāmah, dan

al-Ḥanīfīyah berasal dari dimensi universalitas Islam. Term al-Ḥanīf

berasal dari kata ḥanafa yang berarti bengkok, melengkung; aḥnafa,

orang yang bengkok kakinya.6

Adapun term al-istiqāmah, yang mustaq dari “qaum” yang memiliki dua

arti: kumpulan manusia laki-laki, dan berdiri tegak (al-intiṣab) dan atau

kuat (al-’azm). Dari lafal al-intiṣab ini muncul kata al-mustaqīm dan al-

istiqāmah, yakni akronim dari melengkung (al-inḥirāf); sedangkan dari

5
Burhanudin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudūd) Muhammad Syahrur dalam
pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia”, (Yogyakarta: Penerbit
Islamika),2003, hal 152.
6
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Damaskus: Dar al-
Ahali, 1990, hal 448.
al-’azm muncul kata al-dīn al-qayyim (agama yang kuat). Syahrur

mengatakan bahwa kata kuat ini menunjukkan pada Q.S an-Nisa’ 4: 34

dan Q.S al-Baqarah 2: 255.

Hal ini selanjutnya mengantarkan Syahrur pada sebuah ayat dalam Q.S

al-An’am 6: 161. Q.S al-An’am 6: 161 tersebut, secara bersama-sama

memuat al-istiqāmah dan al-hanīfiyyah sekaligus. Hal ini bagi Syahrur,

membuahkan pertanyaan, sebab betapa mungkin Islam, agar menjadi

kuat dapat terakumulasi dalam dua hal yang kontradiktif. Pertanyaan

inilah yang mendorong Syahrur untuk mengadakan penelitian lebih

lanjut. Di sinilah ia menerapkan analisis paradigmatis-sintagmatis.

Analisa paradigmatisnya tampak ketika dibandingkannya hanafa dengan

janafa yang artinya condong kepada kebagusan (QS. al-Baqarah: 182).7

Syahrur mengumpamakan al-Hanīfīyah sebagai kondisi sosial yang

meliputi nash-nash al-Qur’an dalam perjalanan sejarahnya, sejak

dturunkan pada abad VII H sampai sekarang. Sedang al-Istiqāmah

sebagai batas-batas yang telah ditetapkan Allah SWT dalam nash al-

7
ibid
Qur’an. Di samping analisis paradigma sintagmatis ini, Syahrur juga

merumuskan teori-teorinya dengan analisis matematik.8

Syahrur menggambarkan hubungan antara al-ḥanīfiyah dan al-

istiqāmah, dengan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah

matriks. Di mana sumbu X menggambarkan zaman, sejarah. Sedang

sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah SWT. Kurva

(al-ḥanīfīyah) menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan

sumbu X. Namun gerakan ini dibatasi dengan batasan hukum yang telah

ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara

kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap

dan yang berubah senantiasa saling berkait. Dialektika adalah kemestian

untuk menunjukkan bahwa hukum adaptabel terhadap kontek ruang dan

waktu (Syahrur, 1990: 450-452). Dari sinilah kemudian Syahrur

memperkenalkan teori batasnya (naẓārīyah al-ḥudūd). Asumsi dasarnya

adalah bahwa Allah SWT (dalam al-Qur’an atau al-Kitab dalam bahasa

syahrur), menetapkan batas-batas hukum maksimum dan minimum (al-

8
Esha, M. In’am,“M. Syahrur: Teori Batas” dalam A. Khudhori Saleh. Pemikiran Islam
Kontemporer. (Yogyakarta: Jendela), 2003, hal 308.
istiqāmah), dan manusia senantiasa bergerak dari dua batasan ini (al-

hanifiyyah) Teori ini memuat enam poin (Syahrur, 1990: 453-466).9

D. Aplikasi Teori Batas Muhammad Syahrur

1. Batas Minimal

Contohnya yaitu berkaitan dengan perihal makanan, yaitu bangkai,


darah yang mengalir dan daging babi sebagaimana tersirat dalam Q.S.
al-Màidah [5]: 3. Dalam hal ini, Shahrur juga menegaskan bahwa
terbuka peluang adanya pengharaman jenis makanan tertentu selain
yang tersurat dalam ayat ini.
2. Batas Maksimal
Contohnya adalah Q.S. al-Màidah [5]: 38. Dalam pandangan Shahrur,
potong tangan (qat’u al-yad) sebagai hukuman atas tindak pencurian
dalam ayat ini merupakan hukuman yang paling tinggi (al-’uqùbah al-
quêwà). Tidak boleh lagi mengenakan hukuman melebihi potong
tangan terhadap pelaku pencurian. Artinya, alternatif jenis hukuman
lain yang lebih rendah darinya bisa diterapkan sesuai kondisi.
3. Menyatukan Batas Minimal dan Batas Maksimal Secara
Bersamaan
Hal ini banyak terkait dengan ayat-ayat kewarisan seperti Q.S. al-
Màidah [5]: 11; an-Nisà’ [4]: 12. Menurut Syahrur, pembagian dua
kali lipat anak-laki-laki merupakan batasan maksimal, sedangkan satu

9
Muhammad Syahrur, Al-Kitab…. Hal 453-466.
bagian anak perempuan adalah batasan minimal. Untuk itu,
kemungkinan terjadinya akselerasi pembagian waris antara batas
maksimal dan minimal tersebut tidak ada masalah.
4. Batas Minimal dan Maksimal sekaligus tapi dalam satu titik
koordinat
Dalam posisi batas maksimumnya juga menjadi batas minimumnya,
dan ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat atau
ringan. Contoh kasus perzinaan, hukuman untuk pelaku zina dalam
al-Qur’an yaitu berupa cambukan 100 kali ini merupakan batas
maksimum dan batas minimumnya. Karena dalam QS. an-Nur 4: 2-
10. Tidak terdapat keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka bagi
saksi, bukan bagi hukumannya.
5. Batas Maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati
garis lurus tapi tidak ada persentuhan
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan antara pria dan
perempuan, dalam batas paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an
namun karena tidak ada persentuhan dengan batas maksimum maka
hukuman belum dapat ditetapkan yaitu hukuman zina, yang menurut
Syahrur dipahami sebagai hubungan laki-laki dan perempuan akan
tetapi tidak adanya persentuhan secara maksimal yaitu berupa
hubungan kelamin (nikah/coitus), dan adanya keterangan dari empat
orang saksi. Dalam hal ini, Syahrur memahami zina adalah hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan dan disertai dengan empat
saksi, apabila tidak adanya empat saksi tersebut maka disebut
fahisyah yaitu yang pertanggung-jawabanya lebih bersifat moral
individual antara pribadi pelaku dan tuhan dengan cara beristighfar
dan bertaubat.
6. Batas Maksimal Positif dan tidak boleh dilewati, Batas Minimal
Negatif boleh dilewati
Teori ini diterapkan dalam masalah distribusi (tassaruf) harta, yang
dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu zakat, sadaqah dan
riba. Batas atas yang tidak boleh lewati adalah riba; batas bawah yang
boleh dilampaui adalah zakat sebagai batas minimal negatif. Karena
ia adalah batas minimal harta yang harus/wajib dikeluarkan. Bentuk
tassharuf yang dapat melewati batas minimal (zakat) adalah sadaqah.
Posisi ini selain memiliki dua batas, juga memiliki batas tengah yang
tepat berada di antara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan
titik nol pada persilangan kedua sumbu yang mengimplementasikan
konsep qard al-hasan atau pinjaman dengan bunga 0 %. Dengan
demikian, ada tiga kategori besar untuk memberikan uang;
Pembayaran pajak, pemberian hutang bebas bunga, dan pemberian
hutang dengan bunga.
Kesimpulan
Kegelisahan Syahrur berawal dari berhentinya pemahaman ayat-ayat
muhkamat yang seharusnya terus berkembang sesuai dengan keadaan
zaman, menurut Syahrur pemahaman tersebut terpengaruhi oleh
pemikiran ulama terdahulu yang masih terbelenggu dari konsep Fiqh
tradisional maka, Syahrur mencoba meredefinisi dan merekonstruksi
kembali terhadap teori pemahaman yang lama seperti pemahaman
terhadap al Qur’an dan Hadis dengan pendekatan hermenetik, dan
linguistic. Dalam meredefinisi hukum-hukum yang berkenaan dengan
manusia, Syahrur tidak menggunakan qiyas dan ijma’ para ulama,
sehingga pemahaman pada al-Qur’an murni dari pendekatan teks.
Syahrur berpendapat bahwa tidak ada sinonimitas di dalam at Tanzil,
sehingga setiap teks berdiri sendiri dan mempunyai makna sendiri.
Sedangkan Sunnah merupakan bentuk pertama dari pemahaman nabi
Muhammad, dengan kata lain bahwa pemahaman nabi merupakan
langkah awal terhadap pemahaman al-Qur’an dan masih terbukanya
pemahaman-pemahaman berikutnya sesuai dengan konteks dan
zaman dimana at Tanzil itu berada.

Anda mungkin juga menyukai