BAB I
Latar Belakang
telah terbiasa untuk membaca Kitab ini dengan mata pinjaman selama
ratusan tahun”.1
kurang lebih 20 tahun ini akhirnya membuka pikiran uamt Islam yang sudah
yang terjadi didalam masyarakat Islam didaerahnya pada saat itu. Nama
1
Muhammad Syahrur, Divine Text and Pluralism in Moslem Society.
beliau adalah Muhammad Syahrur al Dayyub, yang selanjutnya akan kita
BAB II
Pembahasan
bernama Deib ibnu Deib Syahrur dan ibu beliau bernama Siddiqah binti
Science pada tahun 1969 dan gelar Philosophy Doctor pada tahun 1972
M.
Hingga saat ini beliau masih menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil
Selain itu beliau juga medirikan biro konsultasi teknik Dar al Isytisyarat
2
Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an
ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007, hal. 137-139
Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami; dan
Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World
akan tidak nyaman apabila belum meraba teori batasnya. Apa yang
Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut lahirlah sebuah teori yang
3
http://id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammad-syahrur/
aplikatif, yakni nazhariyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori
selama ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternative pemahaman lain
Beberapa kata kunci mengenai teori batas Syahrur yang harus dipahami,
4
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, Cet 1, (Yogyakarta:LKIS), Hal 12.
Syahrur dengan rumusan teori ḥudūd-nya mendasarkan dari Q.S an-
Adapun term al-istiqāmah, yang mustaq dari “qaum” yang memiliki dua
arti: kumpulan manusia laki-laki, dan berdiri tegak (al-intiṣab) dan atau
kuat (al-’azm). Dari lafal al-intiṣab ini muncul kata al-mustaqīm dan al-
5
Burhanudin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudūd) Muhammad Syahrur dalam
pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia”, (Yogyakarta: Penerbit
Islamika),2003, hal 152.
6
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Damaskus: Dar al-
Ahali, 1990, hal 448.
al-’azm muncul kata al-dīn al-qayyim (agama yang kuat). Syahrur
Hal ini selanjutnya mengantarkan Syahrur pada sebuah ayat dalam Q.S
sebagai batas-batas yang telah ditetapkan Allah SWT dalam nash al-
7
ibid
Qur’an. Di samping analisis paradigma sintagmatis ini, Syahrur juga
istiqāmah, dengan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah
sumbu X. Namun gerakan ini dibatasi dengan batasan hukum yang telah
kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap
adalah bahwa Allah SWT (dalam al-Qur’an atau al-Kitab dalam bahasa
8
Esha, M. In’am,“M. Syahrur: Teori Batas” dalam A. Khudhori Saleh. Pemikiran Islam
Kontemporer. (Yogyakarta: Jendela), 2003, hal 308.
istiqāmah), dan manusia senantiasa bergerak dari dua batasan ini (al-
1. Batas Minimal
9
Muhammad Syahrur, Al-Kitab…. Hal 453-466.
bagian anak perempuan adalah batasan minimal. Untuk itu,
kemungkinan terjadinya akselerasi pembagian waris antara batas
maksimal dan minimal tersebut tidak ada masalah.
4. Batas Minimal dan Maksimal sekaligus tapi dalam satu titik
koordinat
Dalam posisi batas maksimumnya juga menjadi batas minimumnya,
dan ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat atau
ringan. Contoh kasus perzinaan, hukuman untuk pelaku zina dalam
al-Qur’an yaitu berupa cambukan 100 kali ini merupakan batas
maksimum dan batas minimumnya. Karena dalam QS. an-Nur 4: 2-
10. Tidak terdapat keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka bagi
saksi, bukan bagi hukumannya.
5. Batas Maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati
garis lurus tapi tidak ada persentuhan
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan antara pria dan
perempuan, dalam batas paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an
namun karena tidak ada persentuhan dengan batas maksimum maka
hukuman belum dapat ditetapkan yaitu hukuman zina, yang menurut
Syahrur dipahami sebagai hubungan laki-laki dan perempuan akan
tetapi tidak adanya persentuhan secara maksimal yaitu berupa
hubungan kelamin (nikah/coitus), dan adanya keterangan dari empat
orang saksi. Dalam hal ini, Syahrur memahami zina adalah hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan dan disertai dengan empat
saksi, apabila tidak adanya empat saksi tersebut maka disebut
fahisyah yaitu yang pertanggung-jawabanya lebih bersifat moral
individual antara pribadi pelaku dan tuhan dengan cara beristighfar
dan bertaubat.
6. Batas Maksimal Positif dan tidak boleh dilewati, Batas Minimal
Negatif boleh dilewati
Teori ini diterapkan dalam masalah distribusi (tassaruf) harta, yang
dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu zakat, sadaqah dan
riba. Batas atas yang tidak boleh lewati adalah riba; batas bawah yang
boleh dilampaui adalah zakat sebagai batas minimal negatif. Karena
ia adalah batas minimal harta yang harus/wajib dikeluarkan. Bentuk
tassharuf yang dapat melewati batas minimal (zakat) adalah sadaqah.
Posisi ini selain memiliki dua batas, juga memiliki batas tengah yang
tepat berada di antara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan
titik nol pada persilangan kedua sumbu yang mengimplementasikan
konsep qard al-hasan atau pinjaman dengan bunga 0 %. Dengan
demikian, ada tiga kategori besar untuk memberikan uang;
Pembayaran pajak, pemberian hutang bebas bunga, dan pemberian
hutang dengan bunga.
Kesimpulan
Kegelisahan Syahrur berawal dari berhentinya pemahaman ayat-ayat
muhkamat yang seharusnya terus berkembang sesuai dengan keadaan
zaman, menurut Syahrur pemahaman tersebut terpengaruhi oleh
pemikiran ulama terdahulu yang masih terbelenggu dari konsep Fiqh
tradisional maka, Syahrur mencoba meredefinisi dan merekonstruksi
kembali terhadap teori pemahaman yang lama seperti pemahaman
terhadap al Qur’an dan Hadis dengan pendekatan hermenetik, dan
linguistic. Dalam meredefinisi hukum-hukum yang berkenaan dengan
manusia, Syahrur tidak menggunakan qiyas dan ijma’ para ulama,
sehingga pemahaman pada al-Qur’an murni dari pendekatan teks.
Syahrur berpendapat bahwa tidak ada sinonimitas di dalam at Tanzil,
sehingga setiap teks berdiri sendiri dan mempunyai makna sendiri.
Sedangkan Sunnah merupakan bentuk pertama dari pemahaman nabi
Muhammad, dengan kata lain bahwa pemahaman nabi merupakan
langkah awal terhadap pemahaman al-Qur’an dan masih terbukanya
pemahaman-pemahaman berikutnya sesuai dengan konteks dan
zaman dimana at Tanzil itu berada.