Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
periode mutaqaddimin ialah zaman dimana para penulis tafsir Al-
Qur’an gelombang pertama, yang mulai memisahkan tafsir dari hadits.
Boleh juga disebut geenerasi ketiga setelah generasi pertama (Nabi dan
sahabat) dan generasi kedua (Tabi’in dan tabi’inat tabi’in) sehingga tafsir
menjadi ilmu yang berdiri sendiri, tidak lagi seperti periode periode dua
generasi sebelumnya (sahabat dan tabi’inat tabi’in), yang memisahkan
tafsir dari hadits, seperti yang ditentukan dalam Shahih Bukhari. Periode
mutaqaddimin dimulai dari akhir zaman tabi’inat-tabi’in sampai akhir
pemerintahan dinasti Abbasiyah, kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai
tahun 656H/1258 M. penafsiran Al-Qur’an masih sama seperti pada masa
para sahabat. Pada masa sahabat ini belum menaruh perhatian dari segi
nahwu dan i’rab, juga belum mengadakan kajian terhadap suatu lafadz Al-
Qur’an, susunan-susunan kalimat, washal dan qatha, serta ninda’ dan
istisna’.
Al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari hadits
Nabi atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir
ayat Al-Qur’an. Penafsiran mereka yang lakukan itu sesuai dengan
sistematika urutan ayat di dalam mushaf, mulai dari surat Al-Fatihah
sampai surat An-Nas. Tafsir Mutaqaddimin memiliki beberapa sumber
yang berkaitan, diantara sumber tersebut terdapat Perkataan, Ijtihad, dan
Cerita-cerita Israiliyaat. Tafsir Mutaqaddimin ini memiliki dua bentuk
antaralain bentuk al-ma’sur dan bentuk ar-ra’yu, yaitu dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, para mufasirnya lebih banyak mendasarkan akal
pikiran, ijtihad, atau instinbat dari pada riwayat. dari segi metode yang
diterapkan, penafsiran pada periode ini banyak memakai metode tafsir
itnabi. ruang lingkup tafsir mulai terfokus sehingga banyak kitab tafsir
yang penafsirannya difokuskan kepada bidang pembahasan tertentu,
seperti Tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Tafsir Pada Massa Periode Mutaqaddimin dan
perkembangan Tafsir pada massa Mutaqaddimin?
2. Apa saja saja sumber Tasfir Mutaqaddimin?
3. Bagaimana Bentuk, Sistematika, dan Ruang Lingkup Tafsir
Mutaqaddimin?
4. Siapa Ahli Tafsir pada periode Mutaqaddimin?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Pada Massa Periode Mutaqaddimin
Yang dimaksud dengan periode mutaqaddimin ialah zaman dimana
para penulis tafsir Al-Qur’an gelombang pertama, yang mulai memisahkan
tafsir dari hadits. Boleh juga disebut geenerasi ketiga setelah generasi
pertama (Nabi dan sahabat) dan generasi kedua (Tabi’in dan tabi’inat
tabi’in) sehingga tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri, tidak lagi seperti
periode periode dua generasi sebelumnya (sahabat dan tabi’inat tabi’in),
yang memisahkan tafsir dari hadits, seperti yang ditentukan dalam Shahih
Bukhari. Di dalam kitab itu terdapat topik khusus yang berisi tafsir Al-
Qur’an. Periode mutaqaddimin dimulai dari akhir zaman tabi’inat-tabi’in
sampai akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah, kira-kira dari tahun 150
H/782 M sampai tahun 656H/1258 M atau mulai dari abad VII H.1
Pada periode ini tak ada satu kitab pun yang didapati, kecuali
kitab-kitab yang ditulis oleh orang terakhir di antara mereka, ialah orang-
orang yang masih hidup pada masa tabi’inat tabi’in. Sesudah datang
angkatan tabi’inat tabi’in barulah ditulis buku-buku tafsir yang
melengkapi semua surat-surat Al Qur’an. Buku tafsir yang mereka tulis itu
mengandung perkataan sahabat dan tabi’in. Di antara tabi’inat tabi’in
yang menulis kitab tafsir itu seperti, Sufyan bin Uyaimah, Yazid bin
Harun Al Kalbi, Muhammad ibnu Ishaq, Muqathil ibnu Sulaiman, Al-
Waqdi dan banyak yang lainnya. Para penafsir yang datang kemudian
banyak yang mengutip dan mengambil bahan dari tafsir Ibnu Jarir.2
Dalam periode ini setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., dikenal
sepuluh sahabat yang ahli menafsirkan Al Qur’an yaitu Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abas, Ubai bin Ka’ba, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin
Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan ‘Amr

1
Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia, (Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri), hlm.13.
2
S Sholichah, “Pengertian Tafsir, Methode Dan Sumber Penafsiran Dan Perkembangan
Tafsir” (http://digilib.uinsby.ac.id/11522/5/Bab.%2011.pdf, Diakses pada 31 Januari 2020, 1985)
bin’As. Setelah berakhir masa sahabat maka dilanjutkan oleh tabi’in, yaitu
orang Islam yang bertemu dengan sahabat yang masih hidup dan berguru
dengan sahabat tersebut. Ulama tafsir pada masa tabi’in ini umumnya
mereka yang belajar kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Kemudian
dilanjutkan lagi oleh tabi’inat tabi’in.3
Pada masa ini dibagi menjadi tiga periode yaitu periode awal (Raul
dan sahabat), periode tabi’in , dan periode tabi’inatt tabi’in. Sumber
penafsiran pada tiga periode ini lebih cenderung pada penafsiran bil
ma’tsur.
1. Masa Rasul dan Sahabat
Pada saat Rasulullah saw., masih hidup para sahabat tidak ada yang
berani menafsirkan Al-Qur’an. Setiap kali para sahabat tidak
memahami suatu makna lafadz atau ayat dalam Al-Qur’an, mereka
segera menanyakannya secara langsung kepada Nabi. Hal ini karena
Nabi Muhammad saw., adalah sang penerima wahyu, orang pertama
yang berhak untuk menafsirkan Al-Qur’an, yang secara otomatis
memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an untuk memberi pemahaman
kepada umatnya.4
Corak dan metodelogi yang digunakan oleh Rasul dalam
menafsirkan masih sangat global dan ringkas. Tafsir yang diterima dari
Nabi kepada para sahabat sedikit sekali dan hanya beberapa ayat saja
menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril. Ini disebabkan karena
pada masa itu penguasaan bahasa Arab yang murni cukup untuk
memahamai gaya dan susunan dalam Al-Qur’an.
Adapun masa sahabat, corak dan metodelogi yang dipakai dalam
menafsirkan Al-Qur’an menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:

3
Mohd Ikbal bin Ahmad Zohdi, “Metode Basmeh Dalam Menafsirkan Ayat Dalam Tafsir
Pimpinan Al-Rahman” (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2009), hlm. 39.
4
S Af’idah, “Metodelogi Tafsir Pergerakan Al Qur’an
(http://eprints.walisongo.ac.id/7020/BAB%20II.pdf, Diakses pada 30 Januari 2020, 2017)
a. Pendekatan Qurani: para sahabat menjelaskan ayat yang masih
bersifat global dan mutlak, dengan menggunakan ayat-ayat yang
lain, yang dapat menjadi qayyid (mengkhususkan).
b. Penafsiran yang dikembalikan kepada Nabi: para sahabat
menjelaskan ayat atau lafadz yang sulit menggunakan riwayat yang
diterimanya secara langsung dan terdapat penjelasannya dari Nabi.
c. Pemahaman dan Ijtihad: para sahabat mendiskusikan suatu ayat
untuk mengkaji kandungan maknanya yang sangat dalam ketika
tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitab Allah dan juga
tidak menemukannya dari penjelasan Nabi.

Sulit dipungkiri kebenaranya bahwa para sahabat memiliki


kedudukan, peran, dan keterlibatan yang sangat istimewa dalam
pengembangan tafsir Al-Qur’an. Sebagian ahli tafsir dan hadits, antara
lain, al-Hakim dalam karya besarnya yang berjudul al-Mustadrak
menyatakan bahwa tafsir as-shahabi yang pemiliknya (para sahabat)
menyaksikan secara langsung proses penurunan wahyu Al-Qur’an
menduduki derajat marfu’ hadits yang sanadnya sampai kepada
Rasulullah saw. Jadi, tafsir para sahabat itu seolah-oleh diriwayatkan
dari Nabi Muhammad Saw. Beberapa ciri khas tafsir masa sahabat,
antara lain:
a. Penafsiran Al-Qur’an tidak secara keseluruhan karena sahabat
hanya menafsirkan sebagaian dari ayat Al-Qur’an yang benar-
benar mereka dalami dan kuasai. Namun, seiring dengan terjadi
interaksi yang intensif antar sesama mereka. Tafsir Al-Qur’an pun
utuh dan padu, juga belum banyak masalah yang dihadapi.
b. Perbedaan penafsiran Al-Qur’an diantara mereka relatif sedikit
karena selain secara politis para sahabat masih tetap utuh dan padu,
juga belum banyak masalah yang dihadapi.
c. Penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekannkan
pendekatan pada al-mana al-ijmali (pengertian kosa kata secara
global), tidak dengan penafsiran panjang lebar dan mendetil.
Mereka beranggapan menafsirkan Al-Qur’an cukup secara umum
sekedar membantu mereka untuk bisa memahami makna asli ayat
Al-Qur’an.
d. Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughawi dengan
gaya ungkapan yang sederhana, singkat, dan tidak menggunakan
metodologi penafsiran yang rumit seperti yang berkembang
kemudian.
e. Tidak melakukan isthimbath atas hukum-hukum fiqih dari ayat-
ayat Al-Qur’an, apalagi jika isthimbath hukum itu lebih
mengedepankan semangat pembelaan kepada mazhab-mazhab fiqh
yang saat itu belum terjadi.
f. Tafsir Al-Qur’an sama sekali belum dibukukan.
g. Penafsiran Al-Qur’an umumnya dilakukan dengan menguraikan
hadits, bahkan tafsir itu merupakan bagian dari hadits.5
2. Pada Tabi’in dan Tabi’inat Tabi’in.
Pada masa ini, perkembangan dalam melakukan penafsiran Al-
Qur’an masih sama seperti pada masa para sahabat. Pada masa sahabat
ini belum menaruh perhatian dari segi nahwu dan i’rab, juga belum
mengadakan kajian terhadap suatu lafadz Al-Qur’an, susunan-susunan
kalimat, washal dan qatha, serta ninda’ dan istisna’. Tabi’in dan
Tabi’inat tabi’in secara turun temurun hanya menafsirkan Al-Qur’an
menggunakan riwayat yang diterimanya dari para sahabat. Sumber-
sumber penafsiran tabi’in adalah tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh
para sahabat, hasil ijtihad sahabat, serta riwayat ahli kitab (cerita
Israiliyat dan Nashraniyyat). Sedangkan dengan tabi’inat tabi’in selain
bersumber dari tiga hal itu, juga mendapat tambahan dari ijtihad dan
atsar tabi’in.6

5
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: tafakur). Hlm. 20.
6
S Af’idah, “Metodelogi Tafsir Pergerakan Al Qur’an
(http://eprints.walisongo.ac.id/7020/BAB%20II.pdf, Diakses pada 30 Januari 2020, 2017)
Pada periode ketiga ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan
tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi atau riwayat sahabat yang lain yang
tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran mereka yang
lakukan itu sesuai dengan sistematika urutan ayat di dalam mushaf, mulai
dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas. Keistimewaan tafsir pada
zaman ini adalah disebutkannya sanad (musnad) dari tabi’in, sahabat,
samapi Rasulullah saw.7
Ada beberapa ciri utama tafsir yang berhasil dikembangkan pada
periode tabi’in hingga awal tabi’inat tabi’in, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Nilai posistifnya ialah mereka mewarisi cara dan corak
penafsiran para sahabat, sedangkan negatifnya sebagai berikut.
1. Dalam hal tertentu, tafsir Al Qur’an telah banyak disusupi oleh kisah-
kirah Israiliyyat, baik dari kalanganNashrani maupun Yahudi. Pada
masa itu, banyak tokoh Yahudi dan Nasrani yang memeluk Islam,
sementara pada saat yang sama, mereka masih merasa sulit untuk
meninggalkan berbagai kisah yang diwarisi dari agama lamanya.
2. Penafsiran Al Qur’an yang mereka lakukan dengan sistem hafalan dan
periwayatannya, sehingga mengalami kesulitan dalam pengontrolan.
3. Tidak lagi utuh seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat dalam
periwayatan informasi yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad
saw. Periode inilah yang oleh Syekh al-Maraghi disebut sebagai
periode tafsir yang menghilangkan sanad.
4. Penafsiran Al Qur’an banyak diwarnai oleh perbedaan pendapat baik
teologi maupun fikih, terutama bidang politik yang sedikit banyak
(llangsung dan tidak langsung) mempengaruhi perkembangan aliran
ilmu keislaman, termasuk tafsir Al Qur’an.8
B. Sumber Tafsir Mutaqaddimin
Adapun sumber-sumber dari tafsir mutaqaddimin diantaranya
adalah sebagai berikut:
7
Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia, (Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri), hlm.13.
8
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: tafakur). Hlm. 22.
1. Perkataan, perbuatan, taqrir, dan jawaban Rasulullah saw., terhadap
soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak
dapat memahami maksud suatu ayat Al-Qur’an. Tafsiran yang berasal
dari Rasulullah ini disebut Tafsir manquul”.
Seperti diriwayatkan bahwa Rasulullah saw., bersabda: “Ashshalaatul
wus-thaa” dalam surat Al-Baqarah ayat 238, maksudnya ialah,
sembahyang ashar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata:
“Aku menanyakan kepada Rasulullah saw., tentang Yau,ul Hajjil
Akbar”, dalam surat At Taubah ayat 3. Rasulullah saw., menjawab
“Yaumu nashr”.
Tafsir yang berasal dari sabda, perbuatan, taqrir, dan jawaban
Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk
hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya
hadits, maka sanad ini ada yang sahih, yang hasan, dhaif, maudhu’ dan
sebagainya. Begitu pula sering didapat ma’nanya bertentangan khabar
yang mutawatir, bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab
itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an, perlu diadakaan penelitian lebih dahulu, apakah dapat
dijadikan hujjah atau tidak.
2. Ijtihad. Di antara para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Al-
Qur’an, di samping menggunakan hadits-hadits Nabi, juga
menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing mereka berijtihad
dalam menentukan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena
mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab,
mengetahui tentang sebab-sebab suatu ayat di turunkan, mengetahui
adat istiadat Arab Jahiliyah dan tentang cerita-cerita Israiliyaat dan
sebagainya.
Contohnya: kata “Ath thuur” dalam surat Al-Baqarah ayat 63
ditafsirkan dengan tafsiran yang berbeda. Mujahid menafsirkannya
dengan “gunung” sedangkan Ibnu Abbas menafsirkannya dengan
“gunung Thuur” dan sebagainya.
Disamping itu ada pula diantara sahabat dan tabi’in yang tidak mau
menafsirkan Al Qur’an menurut ijtihad mereka, seperti Said bin
Musayyab ketika ditanya tentang menafsirkan Al Qur’an dengan
ijtihad, beliau menjawab, “Saya tidak akan mengatakan sesuatu
tentang Al Qur’an.”
3. Cerita-cerita Israiliyaat ialah berita yang berasal dari orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari
Israiliyaat, sebab Nabi Muhammad saw., sendiri pernah berkata “Bila
dikisahkan kepadamu tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan
jangan pula dianggap dusta.” Maksuudnya ialah supaya kaum
Muslimin menyelidiki terlebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita
yang dikemukakan oleh ahli kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah
diambil sebagai pegangan.9
C. Bentuk, Metode, Sistematika, dan Ruang Lingkup Tafsir
Mutaqaddimin
Dari segi sumber-sumber penafsirannya, tafsir mutaqaddimin ini
mempunyai dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah al-ma’sur dan
bentuk yang kedua adalah ar-ra’yu, yaitu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an, para mufasirnya lebih banyak mendasarkan akal pikiran, ijtihad,
atau instinbat dari pada riwayat atau peninggalan-peninggalan yang
diterima dari Nabi dan sahabat sahabatnya.
Kalau ditinjau dari segi metode yang diterapkan, penafsiran pada
periode ini banyak memakai metode tafsir itnabi atau metode tahlili, yaitu
dalam menafsirkan ayat menggunakan penjelasan yang rinci sekali, tidak
sekedar memberikan penjelasan kata muradif (sinonim). Tidak jarang pula
ditemukan perbandingan tafsir satu ayat dengan ayat yang lain. Dengan
demikian, periode ini boleh disebut juga telah menggunakan metode
tahlili dan muqarin (koperatif) walaupun dalam bentuk yang masih
sederhana, seperti kitab Darurrah at-Tanzil wa Gurrah al-Burhan fi
Taujih Mutasabihil-Qur’an, karangan Tajul-Qurra’ al-Karmani (550 H).

9
Raja Fahd ibnu ‘Abdal’ Aziz Al Sa’Ud, Al Qur’an Dan Terjemah, (jakarta: Yayasan
Penyelenggara Peterjemah Al Qur’an, 1971). Hlm 26-27.
Sistematika penafsiran masih sama dengan periode tabi’in dan
tabi’inat tabi’in, yaitu sesuai dengan urutan ayat di dalam mushaf. Jadi,
belum banyak perubahan.
Pada periode ketiga ini ruang lingkup tafsir mulai terfokus
sehingga banyak kitab tafsir yang penafsirannya difokuskan kepada bidang
pembahasan tertentu, seperti Tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari
yang difokuskan dalam bidang bahasa dan pemikiran teologis, khususnya
paham Muktazilah.10
D. Ahli Tafsir Pada Periode Mutaqaddimin
Pada zaman sahabat terkenal beberapa seorang penafsir Al Qur’an
termasuk para Khalifah sendiri, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Sahabat-sahabat yang
paling banyak menggambil riwayat dari padanya ialah, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas’ud dan Ubayy bin ka’bah. Yang kurang mengambil
riwayat dari padanya ialah, Zazid bin Tsabit, Abu Musa al Asy’ary,
Abdullah bin Zubair, dan sahabat-sahabat yang lainnya.
Para tabi’in yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
masyhur ialah Mujahid, ‘Atha bin Rabah, Ikhrimah, dan Sa’id bin Jubair,
semuanya adalah murid-murid Ibnu Abbas sendiri. Tentang murid-murid
Ibnu Abbas yang emapat orang ini para ulama mempunyai penilaian yang
berlainan. Mujahid adalah orang yang mendapat kepercayaaan dari ahli
hadits. Imam Syafi’i, Bukhari, dan imam-imam yang lain banyak yang
mengambil riwayat darinya. Selain itu ada juga yang melakukan kritikan
karena sering berhubungan dengan ahli kitab, tapi dengan kritikan itu
tidak mengurangi nilai beliau. Demikian pula halnya ‘Atha bin Rabah dan
Sa’id bin Jubair. Adapun Ikhrimah banyak orang yang mengambil riwayat
darinya. Ikhrimah berasal dari suku Barbar di Afrika Utara, serta bekas
budak Ibnu Abbas. Para ahli tafsir mempunyai penilaian yang berbeda
terhadap Ikhrimah. Pada umumnya para ahli tafsir mengambil riwayat
beliau setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti. Bukhari sendiri juga
banyak mengambil riwayat dari ‘Ikhrimah.
Di antara para tabi’in yang banyak meriwayatkan dari Abdullah
bin Mas’ud ialah Masruq bin Ajda’, seseorang yang zuhud lagi
kepercayaan, keturunan Arab dari Bani Hamdan, bertempat tinggal di
Kuffah. Kemudian Qatadah bin Di’aamah, seorang Arab bertempat tinggal
di Basrah. Keistimewaan Qatadah sendiri ialah menguasai bahasa Arab,
pengetahuannya yang luas tentang sya’ir-sya’ir, peperangan-peperangan
Arab Jahiliyah. Beliau adalah orang yang ahli tentang silsilah bangsa Arab

10
Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia, (Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri), hlm. 15.
Jahiliyah. Qatadah adalah seorang kepercayaan, hanya saja sebagian ahli
tafsir keberatan menerima riwayat beliau yang berhubungan dengan Qadha
dan Qadar.
Pada periode ini belum didapati kitab-kitab tafsir, kecuali kitab-
kitab tafsir yang ditulis oleh orang-orang yang terakhir diantara mereka,
yaitu orang-orang yang mendapati masa tabi’inat tabi’in, seperti Mujahid
dan yang lainnya.
Sesudah datang masa tabi’inat tabi’in barulah ditulis buku-buku
tafsir yang melengkapi semua surat-surat Al Qur’an. Buku-buku tafsir
yang mereka tulis itu mengandung perkataan-perkatan sahabat dan tabi’in.
Di antara tabi’inat tabi’in yang menulis tafsir itu ialah Al Waqidi, sesudah
itu Ibnu Jarir Aththabary. Tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir mutaqaddimin
yang paling besar dan sampai ke tangan generasi sekarang, namanya ialah
Jaami’ul Bayaan. Para penafsir yang datang kemudian banyak yang
menguti dan mengambil bahan dari tafsir Ibnu Jarir.11

11
Raja Fahd ibnu ‘Abdal’ Aziz Al Sa’Ud, Al Qur’an Dan Terjemah, (jakarta: Yayasan
Penyelenggara Peterjemah Al Qur’an, 1971). Hlm 27.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir pada masa periode mutaqaddimin adalah zaman dimana
tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan tak lagi seperti pada zaman
sahabat dan tabi’inat tabi’in. Dalam perkembangan tafsir mutawaddimin
dibagi menjadi tiga periode yaitu, pertama pada masa Rasulullah dan
sahabat. Pada masa Nabi, apabila seorang sahabat tidak memahami suatu
makna lafadz Al Qur’an, mereka segera langsung bertanya langsung
kepada Nabi. Kemudia pada masa sahabat, cara yang dipakai dalam
menafsirkan Al Qur’an menggunakan pendekatan, yaitu melalui
pendekatan Qur’ani, penafsiran yang dikembalikan kepada Nabi dan
pemahaman dan ijtihad. Dan yang terakhir, periode yang ketiga, tafsir Al
Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dengan hadits Nabi
tetapi dilengkapi dengan disebutkannya sanad dari tabi’in, sahabat, sampai
Rasulullah saw.
Sumber tafsir mutaqadimmin yang pertama dari perkataan,
perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah saw., terhadap pertanyaan para
sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud lafadz Al
Qur’an. Ijtihad, menggunakan hasil pikiran mereka, masing-masing untuk
menentukan maksud lafadz Al Qur’an yang sulit. Kemudian dengan
mengambil cerita Israiliyaat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Tafsir mutaqaddimin memiliki dua bentuk, pertama, Al-Ma’sur
dan kedua Ar-Ra’yu. Kedua bentuk tafsir mutaqaddimin menggunakan
sistematika yang sama dengan periode tabi’in dan tabi’inat tabi’in yaitu
dengan dengan urutan ayat di dalam mushaf. Ruang lingkup yang dibahas
dalam bidang bahasa dan pemikiran teologis.
Ahli tafsir mutaqaddimin yaitu Ibnu Jarir Aththabary dan Al
Waqidi. Dimana tafsir Ibnu Jariri ini tafsir mutaqaddimin yang paling
besar dan sampai ke tangan generasi sekarang, yang bernama Jaami’al
Bayan.
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashrudin, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia, (Solo:


PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri).
Sholichah, Sholichah, “Pengertian Tafsir, Methode Dan Sumber
Penafsiran Dan Perkembangan Tafsir” (http://digilib.uinsby.ac.id/11522/5/Bab.
%2011.pdf, Diakses pada 31 Januari 2020, 1985).
Mohd Ikbal bin Ahmad Zohdi, “Metode Basmeh Dalam Menafsirkan Ayat
Dalam Tafsir Pimpinan Al-Rahman” (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2009).
Af’idah, S,“Metodelogi Tafsir Pergerakan Al Qur’an
(http://eprints.walisongo.ac.id/7020/BAB%20II.pdf, Diakses pada 30 Januari
2020, 2017)
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: tafakur).
Raja Fahd ibnu ‘Abdal’ Aziz Al Sa’Ud, Al Qur’an Dan Terjemah,
(jakarta: Yayasan Penyelenggara Peterjemah Al Qur’an, 1971).

Anda mungkin juga menyukai