Anda di halaman 1dari 24

KRITIK MATAN HADITS

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits


Diseminarkan Dalam Presentasi Kelas Semester Satu pada
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh :

ST. RABIYATUL ADAWIAH NUR


NIM. 80100220003

IRMAWATI HASYIM
NIM. 80100220004

DosenPemandu:

Dr. La Ode Ismail Ahmad, M.Th.I

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di

samping Al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian
terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja umat Islam, tetapi oleh siapaupn

yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang

semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau

hujah. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan

tentang kaidah atau metodenya.

Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru teruji dari segi

sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadis sendiri

mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih tentulah hadis shahih dari segi sanad

maupun matannya. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah

hadis sehat atau shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi

yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.

Hadis telah berkontaminasi oleh pemalsuan karena sebagai kepentingan

seperti politik, fanatik aliran dan lain. Dokumen atau catatan hadis karena tidak

terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas hadisnya pun

bergam. Maka munculnya aksi kritik hadis tidak dimaksudkan menguji ajaran

Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para riwayat. Menolak hadis

bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari

1
2

Rasulullah. Maka kritik hadis memberi kontribusi pemilahan hadis yang berasal dari

Rasulullah atau bukan.

Kritik terhadap hadits datang dari dua arah yang berlainan, arah pertama

datang dari dalam Islam dan yang kedua dari luar Islam. Kelompok yang pertama

bertujuan untuk mencari kebenaran esensial suatu hadits. Artinya untuk menguji

kebenaran suatu hadits, apakah ia sungguh-sungguh datang dari Rasulullah Saw, atau

bukan. Sedangkan yang datang dari luar Islam jelas tujuannya untuk menggugat
eksistensi hadits sebagai sumber hukum dan ajaran Islam yang diantaranya adalah

umat Islam sendiri dan orientalis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kritik matan hadis?

2. Bagaimana sejarah kritik matan hadis?

3. Bagaimana metode kritik matan hadis?

C. Tujuan dan Kegunaan Makalah

1. Tujuan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini

adalah:

a. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kritik matan hadis.

b. Untuk mengetahui sejarah kritik matan hadis.

c. Untuk mengetahui metode kritik matan hadis.


3

2. Kegunaan Makalah

Secara teoritis, makalah ini memberikan sumbangsih ilmu maupun

pengetahuan dan referensi bagi penulis maupun pembaca yang nantinya mampu

memahami tentang kritik matan hadis.


BAB II

PEMABAHASAN

A. Defenisi Kritik Matan Hadis

Kata “kritik” berasal dari bahasa Inggris yaitu critic yang berarti pengecam,

pengeritik, pengupas dan pembahas.1 Kata “kritik” juga berasal dari bahasa Yunani

yaitu krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti

“dasar penghakiman”. Secara terminologis, istlah kritik ialah pertimbangan yang

membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, antara yang indah dan yang

jelek, yang bernialai dan yang tidak bermutu.2

Term kritik dalam bahasa Arab adalah naqd. Tidak sedikit ulama abad ke-2

Hijriyah yang menggunakan kata ini. Lebih lanjut, terdapat juga beberapa ungkapan

yang menggunakan kata naqd dengan arti berbeda misalnya, “naqada al kalam, wa

naqada al syi‟r”, yakni “Dia telah mengkritik bahasanya dan juga puisinya”. Juga

ungkapan “naqada al darahim” yang berarti “Dia memisahkan uang yang baik dari

yang buruk”.3

Kata “matan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah naskah

asli; teks (pidato dan sebagainya).4 Secara bahasa, matan atau al-matn berarti irtafa‟a
1
John M. Echols dan hasan Sahdily, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XXIII; Jakarta:
Gramedia, 1996), h. 155. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis,
h. 138.
2
Tasbih, “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis”, Jurnal Al-Ulum 11, no. 1
(Juni 2011), h. 155
3
Muhammad Musthafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, penj, A. Yamin,(Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1992), h. 81. Dikutip dalam: Munawwir Haris, “Kritik Matan Hadis: Versi Ahli-ahli Hadis”,
Jurnal Al Irfani 1, no. 1 (2011), h. 2.
4
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline, QT Media, 2013.

4
5

min al-ardhi (tanah yang keras dan tinggi), punggung jalan (muka jalan). Jamaknya

ialah mutun. Sedangkan menurut istilah matan adalah suatu kalimat tempat

berakhirnya sanad atau juga penghujung sanad (gayah as-sanad).5 Disebut demikian

karena matan (materi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad.

Lebih jelasnya, matan ialah materi berita yakni lafal (teks) hadis yang berupa

perkataan, perbuatan atau ketetapan (taqrir), atau sifat-sifat baik yang disandarkan

kepada Nabi Saw., sahabat maupun tabi‟in, yang letaknya dalam suatu hadis pada
penghujung sanad.6

Dari uraian di atas dapat disimpukan, bahwa kritik matan hadis merupakan

sebuah upaya untuk mengetahui atau cara kerja yang bersistem yang mengupas,

menganalisa dan mengeritik (meneliti) matan (redaksi) suatu hadis guna

menghasilkan hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujjah atau dapat dipedomani.

B. Sejarah Singkat Kritik Matan Hadis

Perhatian umat Islam terhadap hadis Nabi, tidak hanya dimulai pada zaman

tabi‟in melainkan sejak zaman Nabi. Kritik hadis yang dilakukan pada zaman Nabi,

sama dengan kritik para tabi‟in pada masanya. Namun makna kritik pada masa Nabi
berarti “pergi menemui Nabi untuk membuktikan sesuatu yang telah dilaporkan atau

dikatakn beliau”. Tahap ini merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar umat

Islam merasa tenang dalam mengamalkan kandungan hadis tersebut. Kritik hadis

pada masa Nabi misalnya, Dimam bin Tsa‟labah datang menemui Nabi Saw. dan

5
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, h. 148. Dikutip dalam: Munzier Suparta,
Ilmu Hadis, (Cet. IX; Depok: Rajawali Pers, 2014), h. 46-47.
6
Idri, Hadis & Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi,
h. 127.
6

bertanya: “Muhammad utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu. Nabi

menjawab: Dia berkata benar”.7 Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat

yang lain seperti „Umar, Ali, Ubay, bin Ka‟b, Abdullah bin Amr dan lain-lain.

Asumsi ini menunujukkan bahwa kritik hadis sudah ada sejak zaman Nabi

saw., tetapi lebih kepada konfirmasi akan betul atau tidaknya yang disampaikan Nabi

tersebut. Kegiatan kritik pada masa Nabi tidak disebabkan oleh rasa kecurigaan

mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta, namun lebih


disebabkan oleh adanya sikap untuk meyakinkan bahwa berita yang berasal dari Nabi

Saw. itu memamng benar-benar ada.8

Pada masa sahabat, Abu Bakar al-Shiddiq selaku khalifah pertama yang

merintis kegiatan kritik hadis.S elanjutnya diikuti oleh khalifah selanjutnya serta

sahabat-sahabat, seperti „Aisyah, Ibnu Umar dan lainnya. Senada dengan itu, al-

Adlibi mengafirmasi peran Asiyah dalam kritik matan. Dengan kecerdasan dan daya

hafalan yang kuat serta memiliki banyak riwayat, ia juga menafsirkan hadis

Rasulullah kepada sahabat-sahabat wanita yang lain yang tidak paham. Hal ini terjadi

dihadapan Rasulullah Saw. sendiri.9 Setelah semakin tersebarnya Islam ke berbagai

negeri (terutama luar jazirah Arab), kritik hadis semakin intens dilakukan.10

7
M. Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh A.
yamin dengan judul: Metodologi Kritik Hadis, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h.
82.Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 142.
8
Ali Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 2. Dikutip dalam:
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 142.
9
Salahuddin ibn Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd Matn „Inda „Ulama al-Hadith al-Nabawi,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadid, 1983), h. 85. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis:
Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, Jurnal Holistic al-Hadis 2, no. 1 (Januari-
Juni 2016), h. 49.
10
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 143.
7

Kemudian pada masa tabi‟in, kritik lebih kepada mengunjungi langsung

daerah-daerah yang mempunyai banyak ulama hadis seraya melihat latar belakang

para ulama. Artinya, sejak awal abad ke-2 sampai awal abad ke-3 merupakan periode

penyempurnaan, sedang masa berikutnya yakni abad ke-4 H merupakan masa

pembukuan walaupun masih secara parsial.11

C. Metode Kritik Matan Hadis

Kritik matan hadis bertujuan untuk mengetahui apakah matan suatu hadis,

sahih atau tidak. Jika diketahui suatu matan hadis tidak sahih, maka hadis itupun

tidak dapat dijadikan hujjah dalam persoalan-persoalan agama. Kritik matan

dilakukan setelah dinyatakan bahwa sanadnya sahih. Jika dinyatakan sanadnya lemah,

kritik matan tidak perlu lagi karena sama dengan mengkritik sesuatu yang tidak jelas

dari mana sumber berita. Dalam arti kata, setiap matan hadis mutlak memerlukan

sanad.12 Lebih lanjut, beberapa ulama berbeda pandangan mengenai pengertian

umum tersebut. Olehnya, penulis menguraikan pendangan para tokoh mengenai kritik

matan hadis sebagai berikut:

1. Al-Azami

Pandangan al-Azami mengenai metode kritik matan ialah terbagi menjadi; 1)

metode muhaddithin mutaqaddimin, dan; 2) muhaddithin muta‟akhkhirin. Metode

pertama meliputi metode muqaranah dan mu‟aradah yang dilakukan oleh para

11
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 143.
12
M. Suyudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
122-123. , Dikutip dalam: h. 147-148. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat
Ilmu Hadis, h. 147-148.
8

sahabat Nabi saw terutama „Aisyah r.a. dan metode al-Taufiq yang cetuskan oleh

Imam al-Syafi‟i (w. 204 H.). Sedangkan yang metode kedua dikembangkan Ysusuf

Qardawi.13

a. Metode Muqaranah dan Mu‟aradah

Metode Muqaranah (Perbandingan) sangat pentig dilakukan. Metode ini

dilakukan sebagai perbandingan antara hadis satu dengan yang lain, dari segi lafal

dan periwayatnya. Dengan metode ini akan dapat diketahui perbedaan lafal pada
matan apakah masih bisa ditoleransi atau tidak. Selain mengonfirmasi hasil penelitian

yang telah ada, juga sebagai upaya untuk mencermati susunan matan yang lebh dapat

dipertanggungjawabkan keaslian dan validitasnya.14

Sedangkan metode mu‟aradah (pencocokan konsep) ialah menguji

kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan antara hadis dengan dalil syari‟at

yang lain. Langkah metodologis mu‟aradah serupa dengan pendekatan kritik pada

penulisan pemikiran tokoh. Konsep dan seluruh aspek pemikiran tokoh dianalisis

secara tepat dan mendalam keselarasannya satu sama lain.15 Dari pola analisis

tersebut didapat koherensi intern atau pertautan antar narasi pemikiran tokoh yang

diteliti.16

13
Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A.
Juynboll”, h. 49.
14
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
15
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan penulisan Ilmu-ilmu Usluhuddin, (Jakrta: Raja
Cratindo Persada, 2000), h. 69. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi
Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 50.
16
Hasjim „Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 30. Masrukhin Muhsin,
“Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 50.
9

b. Metode al-Taufiq

Yang dimaksud dengan metode al-Taufiq disini adalah metode menyatukan

antara beberapa dalil yang tampak bertentangan, baik dengan cara al-jam‟u, al-naskh

atau al-tawaqquf. Diakhir mukaddimah dalam kitab Ikhtilaf al-Hadith, Imam al-

Syafi‟i menegaskan keutamaan mengkmpromikan antara dua dalil (al-jam‟u)17,

mengamalkan keduanya dan tidak mengabaikan salah satunya atau kedua-duanya,

dimana dalam hadis-hadis yang tampak bertentangan sama-sama diamalkan dengan

melihat segi dan fungsinya masing-masing.18 Dari metode ini dapat dilihat kandungan

suatu hadis antara yang bersifat global (mujmal) dan rinci (mufassar), serta mungkin

yang satu sebagai penghapus (al-nasikh) dan yang lainnya sebagai yang dihapus; atau

mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan.19

c. Metode kontra Illat(cacat) dan Shadh/Syudzudz (janggal).

Nasir al-Din al-Albani (w. 1999 M)20 adalah ulama hadis abad modern yang

memiliki kemampuan metodologi dalam mengkritik hadis.Kritik yang dibangun al-

Albani pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan ulama terdahulu.Metode yang

17
Al-Jam‟u menurut (kompromi) menurut istilah adalah menjelaskan persamaan antara dua
hadis yang bertentangan, keduanya bisa dipakai untuk hujjah, satu masa, dengan menjadikan keduanya
dalil yang sahih.Lihat: Nafidh Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith Bain al-Fuqaha wa al-
Muhaddithin, (Mansurah: Dar a‟-Wafa‟, 1993), h. 141-145. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik
Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 51.
18
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Ikhtilaf al-Hadith, tahqiq „Amir Ahmad Haidar (Ttp:
Mu‟assasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1405 H), h. 64. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan
Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 51. Dan Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 126.
19
Abu „Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis,(Beirut: Dar al-Fikr,
1403 H/1983 M), h. 598-599 (diterbitkan bersama al-„Umm). Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,h. 126.
20
Al-Albani dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M, di kota lama Albania.
10

digunakan Albani ialah menggunakan kaidah kesahihan matan yaitu tidak terdapat

kejanggalan dan kecacatan.Untuk mengetahuishadh dan illat pada matan, al-Albani

biasanya memaparkan hadis-hadis lain yang memiliki kesamaan tema kemudian

meneliti redaksinya.21 Pada intinya, hampir semua ulama hadis sepakat bahwa

penelitian hadis harus terhindar dari syadh dan illat.

2. Muhammad al-Gazali

Al-Gazali membangi lima kriteria dalam menguji kesahihan hadis, yakni: 3


berkaitan dengan sanad dan 2 berkaitan dengan matan. Kriteria yang berkaitan

dengan sanad ialah; 1) Periwayat dhabit, 2) Adil dan 3) Poin satu dan dua harus

dimiliki seluruh rawi dalam sanad. Adapun 2 kriteria yang berkaitan dengan matan,

adalah:

1. Matan hadis tidak syadz (janggal).

2. Matan hadis tidak mengandung illat qadihah..22

Sebenarnya, kriteria matan oleh al-Gazali ini sama dengan pendapat ulama

hadis pada umumnya, tetapi dalam ketersambungan sanad, al-Gazali tidak

memasukkan sebagai kriteria kesahihan hadis. Menurut al-Gazali, diperlukan

sinergitas pandangan antar muhaddis dengan ulama, fuqaha mufassir dan lainnya,
agar kriteria hadis tersebut bisa terealisasi dengan baik, ini karena matan hadis

merupakan hal yang riskan dan memupunyai banyak cabang disiplin ilmu didalamnya

seperti mengenai akidah, syariat, muamalah, ibadah dan lainnya.23

21
Muhammad Zaki, Metode Kritik Hadis Syaikh Muhammad Nasir Din Albani, (Jakarta: Sps
UIN, 2008), h. 242. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara
al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 52.
22
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, AT-
TAHDIS: Journal of Hadith Studies 1, No. 1, (Januari-Juni 2017), h. 88.
23
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 88.
11

Terkait dengan itu, al-Gazali memberikan empat metode memahami hadis

sesuai dengan prinsip dasaryang yang hendak dipenuhi ketika berinteraksi dengan

sunnah, yaitu:

a. Pengujian dengan Alquran

Metode pertama ini merupakan inti dari keempat metode yang akan dijelaskan

nantinya. Bahkan oleh Quraisy Shihab meskipun al-Gazali menetapkan empat

metode, pengujian Alquran dianggap paling sentral.24Al-Gazali secara konsisten


menggunakan pengujian Alquran sebagai metode kritik hadis. Menurutnya, hadis

yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim pun bisa saja sanadnya

dianggap dhaif tetapi secara matan sesuai dengan kandungan makna Alquran. Pun

sebaliknya, bisa saja sanadnya shahih tetapi kandungan matannya tidak sesuai dengan

Alquran.25 Contohnya hadis tentang mayat yang akan disiksa akibat tangisan

keluarganya. Walaupun terdapat jalur shahih Bukhari dan Muslim dalam

periwayatnnya, tetapi hadis tersebut perlu dikaji matannya karena menurut Aisyah

sendiri bahwa Nabi saw tidak pernah mengucapkan hadis tersebut dan tidak sesuai

dengan Alquran yang berkata “Tidaklah seorang menanggung dosa orang lain”.26

b. Pengujian dengan Hadis


Dalam hal ini, secara mutawatir hadis yang diuji sedapatnya tidak

bertentangan dengan hadis lainnya yang tingkat kesahihannya lebih kuat. Menurut al-

Gazali, hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis

yang terpisah dengan hadis lainnya, tetapi hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya,

24
Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A.
Juynboll”, h. 89.
25
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 89.
26
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 90.
12

kemudian hadis yang bersambung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukan

oleh Alquran. Contohnya hadis tentang larangan wanita salat berjamaah di masjid,

yang dimana tidak sedikit juga hadis yang meriwayatkan bahwa wanita boleh salat

berjamaah di masjid dengan tempat yang terpisah.27

c. Pengujian dengan Fakta Historis

Lahirnya suatu hadis tidak bisa dipsahkan dengan waktu atau setiap peristiwa

sehingga hadis itu lahir. Olehnya, hadis dan sejarah tidak bisa dipisahkan karena
akan saling berkaitan satu sama lain. Relevansi antara hadis dengan fakta sejarah

akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula

sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu

diantara keduanya diragukan kebenarannya.28

d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah

Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh

bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa

keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Olehnya, adalah tidak

masuk akal jika hadis Nabi saw. bertentangan dengan perilaku serta kebaikan dan

kebenaran yang dibawa oleh Nabi saw. Bagaimanapun kuatnya suatu hadis jika sudah
bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, maka hadis tersebut lemah dan

tidak layak dijadikan sandaran.29

27
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 90.
28
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 92.
29
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 93.
13

3. Muhammad Syuhudi Ismail

Setidaknya ada lima langkah metode kritik sekaligus penelitian yang

dikemukakan oleh Muhammad Syuhudi Ismail, ialah sebagai berikut:

a. Kaidah kesahihan matan sebagai acuan

Jika dalam penelitian sanad hadis, unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan ilat

dimasukkan sekedar berstatus kaidah minor semata, kaidah minor untuk periwayat

yang dhabit. Maka dalam penelitian matan, unsur-unsur kaidah mayor tidak hanya
terhindar dari syudzudz dan illat saja.30 Penelitian terhadap syudzudz hadis lebih sulit

daripada penelitian terhadap illat hadis.31

Jika sanad yang mengandung syudzudz dilihat dari periwayatnya yang tsiwah

menyalahi banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah, maka matn yang mengandung

syudzudz dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh orang tsiqah bertentangan dengan

hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.Dengan

demikian, dapat dinyatakan bahwa kaidah minor dari matan yang tidak mengandung

syudzudz adalah matan yang diriwayatkan oleh orang tsiqah tidak bertentangangan

dengan matan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang juga bersifat tsiqah

(mahfuzh).Argument ini didasrkan pda pendpat Syafi‟i dan umumnya ulama hadis
tentag syadz.32

30
Muhammad Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.134-135. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 109.
31
Al-Suyuti, Tadbrib al-Rawi, Juz I, h. 233. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, h. 150.
32
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 110.
14

b. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanadnya

Dalam urutan kegiatan penelitian, ulama hadis mendahulukan penelitan sanad

atas penelitian matan. Setiap matan harus mempunyai sanad, tanpa adanya sanad

maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah saw.

kualitas sanad dan matan hadis cukup bervariasi, ada yang sanadnya sahih tetapi

matannya dhaif, atau sebaliknya. Begitu pula ada yang sanad dan matannya

berkualitas sama, yakni sama-sama sahih atau sama-sama dhaif.


Menurut al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/ 1072 M), suatu matan hadis

berulah dapat dinyatakan sebagai maqbul (diterima) apabil tidak bertentangan dengan

akal sehat, tidak bertentangan dengan hukum Alquran,33

Salahuddin al-Adlabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian matan

ada 4 macam yakni:

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat

3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah

4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda ke-Nabian.

c. Meneliti Susunan Lafal Matan yang Semakna


Penelitian terhadap susunan hadis yang semakna perlu dilakukan karena

kenyataan dalam matan hadis telah terjadi perbedaan lafal.Perbedaan itu terjadi

karena adanya periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma‟na).34 Misalnya hadis

tentang perdamaian:

33
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, UIN Malang Press, Malang,
2008. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 69.
34
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 131. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 121.
15

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda: “Perdamaian (membuat kesepakatan) itu

diperbolehkan diatara orang-orang muslim, kecuali perdamaian (kesepakatan)

untuk mengharamkan sesuatu yang halal atau yang menghalalkan sesuatu

yang haram”.”. (HR. Ibnu Majah).

Dan pada riwayat yang lain:

“Telah memberitahukan kepada kami Sulaiman bin Daud al-Mahri, katanya:

telah member kabar kepada kami Ibnu Wahab, katanya: telah memberitahukan

kepadaku Sulaiman bin Bilal dan telah memberitahukan kepada kami Ahmad

bin Abdul Wahid Ad-Dimasyqi katanya: telah memberitahukan kepada kami

Marwan yaitu Ibnu Muhammad katanya: telah memberitakan kepada kami

Sulaiman bin Bilal atau Abdul „Aziz bin Muhammad Syakku Syaikh dari

Katsir bin Zaid dari Al-Walid bin Rabbah dari Abu Hurairah r.a, katanya:

Rasulullah saw telah bersabda: Perdamaian (membuat kesepakatan) itu

diperbolehkan antara orang-orang Muslim. Ahmad menambahkan: kecuali

perdamaian (kesepakatan) untuk mengharamkan sesuatu yang halal atau

menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal. Sulaiman

bin Daud menambahkan: Rasulullah saw. bersabda: Orang-orang Muslim

(dalam perdamaian tersebut) bergantung pada syarat-syarat mereka”.35

Akibat dari perbedaan lafal itu, maka diadakan perbandingan dengan metode

Muqarranah (perbandingan) untuk mengetahuai apakah perbedaan pada lafal

keduanya dapat ditoleransi atau tidak, kemudian ziyadah (tambahan pada ataupun

35
http://sukmanila.multiply.com/journal/item/22. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik
Sanad dan Matan Hadis”, h. 75.
16

kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh

periwayat tertentu, sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya), idraj

(sisipan) dan lain-lain.36

d. Meneliti Kandungan Matan Hadis

Dalam langkah ini perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil yang

mempunyai topik yang sama. Untuk keperluan itu, diperlukan kegiatan takhrij al-

hadis bi al-maudhu‟37 dan jika sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan


muqaranah (perbandingan) perlu dilakukan.38

Karena kegiatan yang dimaksud memerlukan metode muqarran, maka

kandungan matan yang dikandungnya mungkin sama dan mungkin dan mungkin

tampak bertentangan. Apabila knadungan matn yang diperbandingkan teryata sama,

maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian berakhir. Tetapi dalam praktik,

kegiatan biasanya masih perlu dilanjutkan, misalnya memeriksa penjelasan masing-

masing matan diberbagai kitab syarah.39

e. Menyimpulkan Hasil Penelitian

Karena kualitas matan hadis hanya dikenal dua macam saja, sahih dan dhaif,

maka kesimpulan penelitian matan hadis akan berkisar pada dua kemungkinan

36
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
36
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
37
Yang dimaksud dengan takhrij al-hadis bi al-maudhu‟ adalah kegiatan penelusuran hadis
berdasarkan topik yang sama untuk mengetahui; 1) ada atau tidak adanya riwayat lain yang memiliki
topik yang sama, 2) ada atau tidak adanya riwayat yang semakna, 3) ada atau tidaknya coorboration
(pendukung), baik berupa syahid (pendukung pada tingkat periwayat pertama), dan 4) ada atau tidak
adanya riwayat yang tampak bertentangan dengan hadis yang sedang diteliti. Lihat: Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 154.
38
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 125. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 125.
39
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 141. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 126.
17

tersebut. apabila argument-argumen yang diajukan untuk matan hadis bersangkutan

telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis bersangkutan

adalah sahih (untuk kualitas matan hadis tidak dijumpai istilah hadis hasan,

sebagaimana dalam kualitas sanad hadis), dan begitupun sebaliknya.40

40
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 141. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 145.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, penulis

dapat memberikan kesimpulan bahwa:

1. Kata “kritik” berasal dari bahasa Inggris yaitu critic yang berarti pengecam,

pengeritik, pengupas dan pembahas. Kata “kritik” juga berasal dari bahasa
Yunani yaitu krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”,

kriterion berarti “dasar penghakiman”. Secara terminologis, istlah kritik ialah

pertimbangan yang membedakan antara yang benar dan yang tidak benar,

antara yang indah dan yang jelek, yang bernialai dan yang tidak bermutu. Kata

“matan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah naskah asli; teks

(pidato dan sebagainya). Secara bahasa, matan atau al-matn berarti irtafa’a

min al-ardhi (tanah yang keras dan tinggi), punggung jalan (muka jalan).

kritik matan hadis merupakan sebuah upaya untuk mengetahui atau cara kerja

yang bersistem yang mengupas, menganalisa dan mengeritik (meneliti) matan

(redaksi) suatu hadis guna menghasilkan hadis yang sahih yang dapat
dijadikan hujjah atau dapat dipedomani.

2. kritik hadis sudah ada sejak zaman Nabi saw., tetapi lebih kepada konfirmasi

akan betul atau tidaknya yang disampaikan Nabi tersebut. Kegiatan kritik

pada masa Nabi tidak disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap

pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta, namun lebih disebabkan oleh

adanya sikap untuk meyakinkan bahwa berita yang berasal dari Nabi Saw. itu

memamng benar-benar ada. Pada masa sahabat, Abu Bakar al-Shiddiq selaku

18
19

khalifah pertama yang merintis kegiatan kritik hadis.S elanjutnya diikuti oleh

khalifah selanjutnya serta sahabat-sahabat, seperti „Aisyah, Ibnu Umar dan

lainnya. Senada dengan itu, al-Adlibi mengafirmasi peran Asiyah dalam kritik

matan. Kemudian pada masa tabi‟in, kritik lebih kepada mengunjungi

langsung daerah-daerah yang mempunyai banyak ulama hadis seraya melihat

latar belakang para ulama. Artinya, sejak awal abad ke-2 sampai awal abad

ke-3 merupakan periode penyempurnaan, sedang masa berikutnya yakni abad


ke-4 H merupakan masa pembukuan walaupun masih secara parsial.

3. Metode kritik matan hadis sebagai berikut, metode pertama meliputi metode

muqaranah dan mu‟aradah, pengujian dengan alquran, pengujian dengan

hadis, pengujian dengan fakta historis, pengujian dengan kebenaran ilmiah,

kaidah kesahihan matan sebagai acuan, meneliti matan dengan melihat

kualitas sanadnya, meneliti susunan lafal matan yang semakna, meneliti

kandungan matan hadis dan menyimpulkan hasil penelitian.

B. Implikasi

Dengan demikian kita bisa mengetahui mengenai kritik matan hadis, mudah-
mudahan bisa menjadi pelajaran bagi kita, dan umumnya yang membaca makalah ini.

Masih banyak kekurangan dalam makalah ini, tentunya kritik dan saran yang sifatnya

membangun dibutuhkan untuk memperbaiki makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2004.

Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis.

Ahmad al-Adlibi, Salahuddin ibn. Manhaj Naqd Matn „Inda „Ulama al-Hadith al-

Nabawi. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadid, 1983.

Ali Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Dikutip dalam:

Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis.

Al-Jam‟u menurut (kompromi) menurut istilah adalah menjelaskan persamaan antara

dua hadis yang bertentangan, keduanya bisa dipakai untuk hujjah, satu masa,

dengan menjadikan keduanya dalil yang sahih.Lihat: Nafidh Husain Hammad,

Mukhtalaf al-Hadith Bain al-Fuqaha wa al-Muhaddithin. Mansurah: Dar a‟-

Wafa‟, 1993. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi

Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll

Al-Suyuti. Tadbrib al-Rawi, Juz I. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma


Baru Memahami Hadis Nabi.

Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline, QT Media, 2013.

Azami, M. Mustafa. Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan

oleh A. yamin dengan judul: Metodologi Kritik Hadis. Cet. II; Bandung:

Pustaka Hidayah, 1996.


Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis, penj, A. Yamin, Jakarta:

Pustaka Hidayah, 1992. Dikutip dalam: Munawwir Haris, “Kritik Matan

Hadis: Versi Ahli-ahli Hadis”, Jurnal Al Irfani 1, no. 1 2011.

Harahap, Syahrin. Metodologi Studi dan penulisan Ilmu-ilmu Usluhuddin. Jakrta:

Raja Cratindo Persada, 2000. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik

Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll.

http://sukmanila.multiply.com/journal/item/22. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode

Kritik Sanad dan Matan Hadis”,

Idri, Hadis & Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis

Nabi

Idris al-Syafi‟i, Abu „Abdillah Muhammad bin. Kitab Ikhtilaf al-Hadis. Beirut: Dar

al-Fikr, 1403 H/1983 M (diterbitkan bersama al-„Umm). Dikutip dalam:

Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi.

Idris al-Syafi‟i, Muhammad bin. Ikhtilaf al-Hadith, tahqiq „Amir Ahmad Haidar. Ttp:

Mu‟assasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1405 H. Dikutip dalam: Masrukhin


Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A.

Juynboll. Dan Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi.

Ismail, M. Suyudi. Metodologi Penelitian Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,

1992. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu

Hadis, h. 147-148.
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”,

AT-TAHDIS: Journal of Hadith Studies 1, No. 1, Januari-Juni 2017.

Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G.

H. A. Juynboll.

Muhsin, Masrukhin “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G.

H. A. Juynboll.

Sahdily, John M. Echols dan Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XXIII; Jakarta:

Gramedia, 1996 Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad,

Filsafat Ilmu Hadis

Sumbulah, Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, UIN Malang Press,

Malang, 2008. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan

Hadis”.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cet. IX; Depok: Rajawali Pers, 2014.

Syuhudi, Muhammad Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Dikutip dalam: Arifuddin


Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi.

Syuhudi, Muhammad. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan

Bintang, 1992. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru

Memahami Hadis Nabi.

Tasbih, “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis”, Jurnal Al-Ulum

11, no. 1 Juni 2011


Yang dimaksud dengan takhrij al-hadis bi al-maudhu‟ adalah kegiatan penelusuran

hadis berdasarkan topik yang sama untuk mengetahui; 1) ada atau tidak

adanya riwayat lain yang memiliki topik yang sama, 2) ada atau tidak adanya

riwayat yang semakna, 3) ada atau tidaknya coorboration (pendukung), baik

berupa syahid (pendukung pada tingkat periwayat pertama), dan 4) ada atau

tidak adanya riwayat yang tampak bertentangan dengan hadis yang sedang

diteliti. Lihat: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi.

Zaki, Muhammad. Metode Kritik Hadis Syaikh Muhammad Nasir Din Albani.

Jakarta: Sps UIN, 2008. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan

Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll.

Anda mungkin juga menyukai