MAKALAH
Oleh :
IRMAWATI HASYIM
NIM. 80100220004
DosenPemandu:
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
samping Al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian
terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja umat Islam, tetapi oleh siapaupn
semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau
hujah. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan
Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru teruji dari segi
sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadis sendiri
mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih tentulah hadis shahih dari segi sanad
maupun matannya. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah
hadis sehat atau shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi
yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.
seperti politik, fanatik aliran dan lain. Dokumen atau catatan hadis karena tidak
terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas hadisnya pun
bergam. Maka munculnya aksi kritik hadis tidak dimaksudkan menguji ajaran
Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para riwayat. Menolak hadis
bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari
1
2
Rasulullah. Maka kritik hadis memberi kontribusi pemilahan hadis yang berasal dari
Kritik terhadap hadits datang dari dua arah yang berlainan, arah pertama
datang dari dalam Islam dan yang kedua dari luar Islam. Kelompok yang pertama
bertujuan untuk mencari kebenaran esensial suatu hadits. Artinya untuk menguji
kebenaran suatu hadits, apakah ia sungguh-sungguh datang dari Rasulullah Saw, atau
bukan. Sedangkan yang datang dari luar Islam jelas tujuannya untuk menggugat
eksistensi hadits sebagai sumber hukum dan ajaran Islam yang diantaranya adalah
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini
adalah:
2. Kegunaan Makalah
pengetahuan dan referensi bagi penulis maupun pembaca yang nantinya mampu
PEMABAHASAN
Kata “kritik” berasal dari bahasa Inggris yaitu critic yang berarti pengecam,
pengeritik, pengupas dan pembahas.1 Kata “kritik” juga berasal dari bahasa Yunani
yaitu krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti
membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, antara yang indah dan yang
Term kritik dalam bahasa Arab adalah naqd. Tidak sedikit ulama abad ke-2
Hijriyah yang menggunakan kata ini. Lebih lanjut, terdapat juga beberapa ungkapan
yang menggunakan kata naqd dengan arti berbeda misalnya, “naqada al kalam, wa
naqada al syi‟r”, yakni “Dia telah mengkritik bahasanya dan juga puisinya”. Juga
ungkapan “naqada al darahim” yang berarti “Dia memisahkan uang yang baik dari
yang buruk”.3
Kata “matan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah naskah
asli; teks (pidato dan sebagainya).4 Secara bahasa, matan atau al-matn berarti irtafa‟a
1
John M. Echols dan hasan Sahdily, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XXIII; Jakarta:
Gramedia, 1996), h. 155. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis,
h. 138.
2
Tasbih, “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis”, Jurnal Al-Ulum 11, no. 1
(Juni 2011), h. 155
3
Muhammad Musthafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, penj, A. Yamin,(Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1992), h. 81. Dikutip dalam: Munawwir Haris, “Kritik Matan Hadis: Versi Ahli-ahli Hadis”,
Jurnal Al Irfani 1, no. 1 (2011), h. 2.
4
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline, QT Media, 2013.
4
5
min al-ardhi (tanah yang keras dan tinggi), punggung jalan (muka jalan). Jamaknya
ialah mutun. Sedangkan menurut istilah matan adalah suatu kalimat tempat
berakhirnya sanad atau juga penghujung sanad (gayah as-sanad).5 Disebut demikian
karena matan (materi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad.
Lebih jelasnya, matan ialah materi berita yakni lafal (teks) hadis yang berupa
perkataan, perbuatan atau ketetapan (taqrir), atau sifat-sifat baik yang disandarkan
kepada Nabi Saw., sahabat maupun tabi‟in, yang letaknya dalam suatu hadis pada
penghujung sanad.6
Dari uraian di atas dapat disimpukan, bahwa kritik matan hadis merupakan
sebuah upaya untuk mengetahui atau cara kerja yang bersistem yang mengupas,
menghasilkan hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujjah atau dapat dipedomani.
Perhatian umat Islam terhadap hadis Nabi, tidak hanya dimulai pada zaman
tabi‟in melainkan sejak zaman Nabi. Kritik hadis yang dilakukan pada zaman Nabi,
sama dengan kritik para tabi‟in pada masanya. Namun makna kritik pada masa Nabi
berarti “pergi menemui Nabi untuk membuktikan sesuatu yang telah dilaporkan atau
dikatakn beliau”. Tahap ini merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar umat
Islam merasa tenang dalam mengamalkan kandungan hadis tersebut. Kritik hadis
pada masa Nabi misalnya, Dimam bin Tsa‟labah datang menemui Nabi Saw. dan
5
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, h. 148. Dikutip dalam: Munzier Suparta,
Ilmu Hadis, (Cet. IX; Depok: Rajawali Pers, 2014), h. 46-47.
6
Idri, Hadis & Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi,
h. 127.
6
bertanya: “Muhammad utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu. Nabi
menjawab: Dia berkata benar”.7 Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat
yang lain seperti „Umar, Ali, Ubay, bin Ka‟b, Abdullah bin Amr dan lain-lain.
Asumsi ini menunujukkan bahwa kritik hadis sudah ada sejak zaman Nabi
saw., tetapi lebih kepada konfirmasi akan betul atau tidaknya yang disampaikan Nabi
tersebut. Kegiatan kritik pada masa Nabi tidak disebabkan oleh rasa kecurigaan
Pada masa sahabat, Abu Bakar al-Shiddiq selaku khalifah pertama yang
merintis kegiatan kritik hadis.S elanjutnya diikuti oleh khalifah selanjutnya serta
sahabat-sahabat, seperti „Aisyah, Ibnu Umar dan lainnya. Senada dengan itu, al-
Adlibi mengafirmasi peran Asiyah dalam kritik matan. Dengan kecerdasan dan daya
hafalan yang kuat serta memiliki banyak riwayat, ia juga menafsirkan hadis
Rasulullah kepada sahabat-sahabat wanita yang lain yang tidak paham. Hal ini terjadi
negeri (terutama luar jazirah Arab), kritik hadis semakin intens dilakukan.10
7
M. Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh A.
yamin dengan judul: Metodologi Kritik Hadis, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h.
82.Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 142.
8
Ali Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 2. Dikutip dalam:
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 142.
9
Salahuddin ibn Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd Matn „Inda „Ulama al-Hadith al-Nabawi,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadid, 1983), h. 85. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis:
Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, Jurnal Holistic al-Hadis 2, no. 1 (Januari-
Juni 2016), h. 49.
10
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 143.
7
daerah-daerah yang mempunyai banyak ulama hadis seraya melihat latar belakang
para ulama. Artinya, sejak awal abad ke-2 sampai awal abad ke-3 merupakan periode
Kritik matan hadis bertujuan untuk mengetahui apakah matan suatu hadis,
sahih atau tidak. Jika diketahui suatu matan hadis tidak sahih, maka hadis itupun
dilakukan setelah dinyatakan bahwa sanadnya sahih. Jika dinyatakan sanadnya lemah,
kritik matan tidak perlu lagi karena sama dengan mengkritik sesuatu yang tidak jelas
dari mana sumber berita. Dalam arti kata, setiap matan hadis mutlak memerlukan
umum tersebut. Olehnya, penulis menguraikan pendangan para tokoh mengenai kritik
1. Al-Azami
pertama meliputi metode muqaranah dan mu‟aradah yang dilakukan oleh para
11
Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 143.
12
M. Suyudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
122-123. , Dikutip dalam: h. 147-148. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat
Ilmu Hadis, h. 147-148.
8
sahabat Nabi saw terutama „Aisyah r.a. dan metode al-Taufiq yang cetuskan oleh
Imam al-Syafi‟i (w. 204 H.). Sedangkan yang metode kedua dikembangkan Ysusuf
Qardawi.13
dilakukan sebagai perbandingan antara hadis satu dengan yang lain, dari segi lafal
dan periwayatnya. Dengan metode ini akan dapat diketahui perbedaan lafal pada
matan apakah masih bisa ditoleransi atau tidak. Selain mengonfirmasi hasil penelitian
yang telah ada, juga sebagai upaya untuk mencermati susunan matan yang lebh dapat
kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan antara hadis dengan dalil syari‟at
yang lain. Langkah metodologis mu‟aradah serupa dengan pendekatan kritik pada
penulisan pemikiran tokoh. Konsep dan seluruh aspek pemikiran tokoh dianalisis
secara tepat dan mendalam keselarasannya satu sama lain.15 Dari pola analisis
tersebut didapat koherensi intern atau pertautan antar narasi pemikiran tokoh yang
diteliti.16
13
Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A.
Juynboll”, h. 49.
14
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
15
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan penulisan Ilmu-ilmu Usluhuddin, (Jakrta: Raja
Cratindo Persada, 2000), h. 69. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi
Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 50.
16
Hasjim „Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 30. Masrukhin Muhsin,
“Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 50.
9
b. Metode al-Taufiq
antara beberapa dalil yang tampak bertentangan, baik dengan cara al-jam‟u, al-naskh
atau al-tawaqquf. Diakhir mukaddimah dalam kitab Ikhtilaf al-Hadith, Imam al-
melihat segi dan fungsinya masing-masing.18 Dari metode ini dapat dilihat kandungan
suatu hadis antara yang bersifat global (mujmal) dan rinci (mufassar), serta mungkin
yang satu sebagai penghapus (al-nasikh) dan yang lainnya sebagai yang dihapus; atau
Nasir al-Din al-Albani (w. 1999 M)20 adalah ulama hadis abad modern yang
Albani pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan ulama terdahulu.Metode yang
17
Al-Jam‟u menurut (kompromi) menurut istilah adalah menjelaskan persamaan antara dua
hadis yang bertentangan, keduanya bisa dipakai untuk hujjah, satu masa, dengan menjadikan keduanya
dalil yang sahih.Lihat: Nafidh Husain Hammad, Mukhtalaf al-Hadith Bain al-Fuqaha wa al-
Muhaddithin, (Mansurah: Dar a‟-Wafa‟, 1993), h. 141-145. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik
Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 51.
18
Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Ikhtilaf al-Hadith, tahqiq „Amir Ahmad Haidar (Ttp:
Mu‟assasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1405 H), h. 64. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan
Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 51. Dan Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 126.
19
Abu „Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis,(Beirut: Dar al-Fikr,
1403 H/1983 M), h. 598-599 (diterbitkan bersama al-„Umm). Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,h. 126.
20
Al-Albani dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M, di kota lama Albania.
10
digunakan Albani ialah menggunakan kaidah kesahihan matan yaitu tidak terdapat
meneliti redaksinya.21 Pada intinya, hampir semua ulama hadis sepakat bahwa
2. Muhammad al-Gazali
dengan sanad ialah; 1) Periwayat dhabit, 2) Adil dan 3) Poin satu dan dua harus
dimiliki seluruh rawi dalam sanad. Adapun 2 kriteria yang berkaitan dengan matan,
adalah:
Sebenarnya, kriteria matan oleh al-Gazali ini sama dengan pendapat ulama
sinergitas pandangan antar muhaddis dengan ulama, fuqaha mufassir dan lainnya,
agar kriteria hadis tersebut bisa terealisasi dengan baik, ini karena matan hadis
merupakan hal yang riskan dan memupunyai banyak cabang disiplin ilmu didalamnya
21
Muhammad Zaki, Metode Kritik Hadis Syaikh Muhammad Nasir Din Albani, (Jakarta: Sps
UIN, 2008), h. 242. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara
al-Azami dan G. H. A. Juynboll”, h. 52.
22
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, AT-
TAHDIS: Journal of Hadith Studies 1, No. 1, (Januari-Juni 2017), h. 88.
23
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 88.
11
sesuai dengan prinsip dasaryang yang hendak dipenuhi ketika berinteraksi dengan
sunnah, yaitu:
Metode pertama ini merupakan inti dari keempat metode yang akan dijelaskan
yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim pun bisa saja sanadnya
dianggap dhaif tetapi secara matan sesuai dengan kandungan makna Alquran. Pun
sebaliknya, bisa saja sanadnya shahih tetapi kandungan matannya tidak sesuai dengan
Alquran.25 Contohnya hadis tentang mayat yang akan disiksa akibat tangisan
periwayatnnya, tetapi hadis tersebut perlu dikaji matannya karena menurut Aisyah
sendiri bahwa Nabi saw tidak pernah mengucapkan hadis tersebut dan tidak sesuai
dengan Alquran yang berkata “Tidaklah seorang menanggung dosa orang lain”.26
bertentangan dengan hadis lainnya yang tingkat kesahihannya lebih kuat. Menurut al-
Gazali, hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis
yang terpisah dengan hadis lainnya, tetapi hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya,
24
Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G. H. A.
Juynboll”, h. 89.
25
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 89.
26
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 90.
12
kemudian hadis yang bersambung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukan
oleh Alquran. Contohnya hadis tentang larangan wanita salat berjamaah di masjid,
yang dimana tidak sedikit juga hadis yang meriwayatkan bahwa wanita boleh salat
Lahirnya suatu hadis tidak bisa dipsahkan dengan waktu atau setiap peristiwa
sehingga hadis itu lahir. Olehnya, hadis dan sejarah tidak bisa dipisahkan karena
akan saling berkaitan satu sama lain. Relevansi antara hadis dengan fakta sejarah
akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula
sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh
bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa
keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Olehnya, adalah tidak
masuk akal jika hadis Nabi saw. bertentangan dengan perilaku serta kebaikan dan
kebenaran yang dibawa oleh Nabi saw. Bagaimanapun kuatnya suatu hadis jika sudah
bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, maka hadis tersebut lemah dan
27
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 90.
28
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 92.
29
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”, h. 93.
13
Jika dalam penelitian sanad hadis, unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan ilat
dimasukkan sekedar berstatus kaidah minor semata, kaidah minor untuk periwayat
yang dhabit. Maka dalam penelitian matan, unsur-unsur kaidah mayor tidak hanya
terhindar dari syudzudz dan illat saja.30 Penelitian terhadap syudzudz hadis lebih sulit
Jika sanad yang mengandung syudzudz dilihat dari periwayatnya yang tsiwah
menyalahi banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah, maka matn yang mengandung
syudzudz dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh orang tsiqah bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa kaidah minor dari matan yang tidak mengandung
syudzudz adalah matan yang diriwayatkan oleh orang tsiqah tidak bertentangangan
dengan matan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang juga bersifat tsiqah
(mahfuzh).Argument ini didasrkan pda pendpat Syafi‟i dan umumnya ulama hadis
tentag syadz.32
30
Muhammad Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.134-135. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 109.
31
Al-Suyuti, Tadbrib al-Rawi, Juz I, h. 233. Dikutip dalam: Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, h. 150.
32
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 110.
14
atas penelitian matan. Setiap matan harus mempunyai sanad, tanpa adanya sanad
maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah saw.
kualitas sanad dan matan hadis cukup bervariasi, ada yang sanadnya sahih tetapi
matannya dhaif, atau sebaliknya. Begitu pula ada yang sanad dan matannya
berulah dapat dinyatakan sebagai maqbul (diterima) apabil tidak bertentangan dengan
kenyataan dalam matan hadis telah terjadi perbedaan lafal.Perbedaan itu terjadi
tentang perdamaian:
33
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, UIN Malang Press, Malang,
2008. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 69.
34
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 131. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 121.
15
Artinya:
telah member kabar kepada kami Ibnu Wahab, katanya: telah memberitahukan
kepadaku Sulaiman bin Bilal dan telah memberitahukan kepada kami Ahmad
Sulaiman bin Bilal atau Abdul „Aziz bin Muhammad Syakku Syaikh dari
Katsir bin Zaid dari Al-Walid bin Rabbah dari Abu Hurairah r.a, katanya:
Akibat dari perbedaan lafal itu, maka diadakan perbandingan dengan metode
keduanya dapat ditoleransi atau tidak, kemudian ziyadah (tambahan pada ataupun
35
http://sukmanila.multiply.com/journal/item/22. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik
Sanad dan Matan Hadis”, h. 75.
16
kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh
mempunyai topik yang sama. Untuk keperluan itu, diperlukan kegiatan takhrij al-
kandungan matan yang dikandungnya mungkin sama dan mungkin dan mungkin
maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian berakhir. Tetapi dalam praktik,
Karena kualitas matan hadis hanya dikenal dua macam saja, sahih dan dhaif,
maka kesimpulan penelitian matan hadis akan berkisar pada dua kemungkinan
36
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
36
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis”, h. 75-76.
37
Yang dimaksud dengan takhrij al-hadis bi al-maudhu‟ adalah kegiatan penelusuran hadis
berdasarkan topik yang sama untuk mengetahui; 1) ada atau tidak adanya riwayat lain yang memiliki
topik yang sama, 2) ada atau tidak adanya riwayat yang semakna, 3) ada atau tidaknya coorboration
(pendukung), baik berupa syahid (pendukung pada tingkat periwayat pertama), dan 4) ada atau tidak
adanya riwayat yang tampak bertentangan dengan hadis yang sedang diteliti. Lihat: Arifuddin Ahmad,
Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 154.
38
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 125. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 125.
39
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 141. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 126.
17
telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis bersangkutan
adalah sahih (untuk kualitas matan hadis tidak dijumpai istilah hadis hasan,
40
Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 141. Dikutip dalam: Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 145.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Kata “kritik” berasal dari bahasa Inggris yaitu critic yang berarti pengecam,
pengeritik, pengupas dan pembahas. Kata “kritik” juga berasal dari bahasa
Yunani yaitu krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”,
pertimbangan yang membedakan antara yang benar dan yang tidak benar,
antara yang indah dan yang jelek, yang bernialai dan yang tidak bermutu. Kata
“matan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah naskah asli; teks
(pidato dan sebagainya). Secara bahasa, matan atau al-matn berarti irtafa’a
min al-ardhi (tanah yang keras dan tinggi), punggung jalan (muka jalan).
kritik matan hadis merupakan sebuah upaya untuk mengetahui atau cara kerja
(redaksi) suatu hadis guna menghasilkan hadis yang sahih yang dapat
dijadikan hujjah atau dapat dipedomani.
2. kritik hadis sudah ada sejak zaman Nabi saw., tetapi lebih kepada konfirmasi
akan betul atau tidaknya yang disampaikan Nabi tersebut. Kegiatan kritik
pada masa Nabi tidak disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap
adanya sikap untuk meyakinkan bahwa berita yang berasal dari Nabi Saw. itu
memamng benar-benar ada. Pada masa sahabat, Abu Bakar al-Shiddiq selaku
18
19
khalifah pertama yang merintis kegiatan kritik hadis.S elanjutnya diikuti oleh
lainnya. Senada dengan itu, al-Adlibi mengafirmasi peran Asiyah dalam kritik
latar belakang para ulama. Artinya, sejak awal abad ke-2 sampai awal abad
3. Metode kritik matan hadis sebagai berikut, metode pertama meliputi metode
B. Implikasi
Dengan demikian kita bisa mengetahui mengenai kritik matan hadis, mudah-
mudahan bisa menjadi pelajaran bagi kita, dan umumnya yang membaca makalah ini.
Masih banyak kekurangan dalam makalah ini, tentunya kritik dan saran yang sifatnya
Ahmad al-Adlibi, Salahuddin ibn. Manhaj Naqd Matn „Inda „Ulama al-Hadith al-
Ali Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Dikutip dalam:
dua hadis yang bertentangan, keduanya bisa dipakai untuk hujjah, satu masa,
Wafa‟, 1993. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi
oleh A. yamin dengan judul: Metodologi Kritik Hadis. Cet. II; Bandung:
Idri, Hadis & Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis
Nabi
Idris al-Syafi‟i, Abu „Abdillah Muhammad bin. Kitab Ikhtilaf al-Hadis. Beirut: Dar
Idris al-Syafi‟i, Muhammad bin. Ikhtilaf al-Hadith, tahqiq „Amir Ahmad Haidar. Ttp:
1992. Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu
Hadis, h. 147-148.
Kasban, Achyar zein dan Aridansyah, “Kritik Matan Syaikh Muhammad Al-Gazali”,
Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G.
H. A. Juynboll.
Muhsin, Masrukhin “Kritik Matan Hadis: Studi Komparatif antara al-Azami dan G.
H. A. Juynboll.
Sahdily, John M. Echols dan Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XXIII; Jakarta:
Gramedia, 1996 Dikutip dalam: Abustani Ilyas & La Ode Ismail Ahmad,
Sumbulah, Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, UIN Malang Press,
Malang, 2008. Dikutip dalam: Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan
Hadis”.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cet. IX; Depok: Rajawali Pers, 2014.
Tasbih, “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis”, Jurnal Al-Ulum
hadis berdasarkan topik yang sama untuk mengetahui; 1) ada atau tidak
adanya riwayat lain yang memiliki topik yang sama, 2) ada atau tidak adanya
berupa syahid (pendukung pada tingkat periwayat pertama), dan 4) ada atau
tidak adanya riwayat yang tampak bertentangan dengan hadis yang sedang
Zaki, Muhammad. Metode Kritik Hadis Syaikh Muhammad Nasir Din Albani.
Jakarta: Sps UIN, 2008. Dikutip dalam: Masrukhin Muhsin, “Kritik Matan