Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun
dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang
diambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra,
sedangkan kata al-ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat
atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-
Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.

Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada
sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang menitik
beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya.
Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta
dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual. Corak Adabi Ijtima’i sebagai
corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan
ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas
dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah
yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan
keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara
universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.

Corak tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran
dari segi balaghah dan kesastraannya serta berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-
Quran itu sebagai sebuah mu’jizat mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan
kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi
kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran
dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Quran
itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan
kebudayaan manusia sampai akhir masa yang nantinya dapat mengugah hati untuk
memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan
rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.

B. Latar Belakang Muncul Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas dari
tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani. Hal ini wajar kiranya mengingat
bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap
tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang
sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim
modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya.
Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan
kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan
oleh Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita. Wanita
dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.

Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial


politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-Afgani
yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan
umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia
Islam terhadap dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani
dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif
terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti
luas.

Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak mereka,
termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin merosotnya
keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut,
dirumuskanlah Tafsir al-Manar oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan
oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat
Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan
bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah
kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh
animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu
diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi
bodoh.

Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki
sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang
terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah
ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh
Abduh. Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang
belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang
nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha
menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid
Ridha itu kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.

C. Karakteristik Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-
Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati,
dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat. Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi
balaghahnya untuk kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya
dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan
mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk
dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.
D. Tokoh-tokoh

Mengenai tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtimai dalam


penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa
kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
dalam tafsir al-Manar,Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi, dan
sebagainya. Namun dalam makalah ini, akan dibahas mengenai beberapa tokoh yang menjadi
pelopor dari adanya corak penafsiran ini, yakni diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Syaikh Muhammad Abduh

Biografi Syaikh Muhammad Abduh

Syaikh Muhammad Abduhbin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di


kabupaten Al-Buhairah, mesirpada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namunayahnyadikenal sebagai orang terhormat yang
sukamemberipertolongan. Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga petani di
pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola pertanian, kecuali Muhammad
Abduh yang oleh ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan. Pilihan ini mungkin
hanya suatu kebetulan atau mungkin juga ia sangat di cintai oleh ayah dan ibunya. Hal
tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad
Abduh kedesa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah dating menjenguk
dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada tahun 1865,
pada waktu itu ia baru berusia 16 tahun.

Pendidikan Muhammad Abduh

Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahma diThantha


(sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan sangat
menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana, Muhammad Abduh
memutuskan untuk kembali kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum
kerabatnya. Muhammad Abduh lalu pergi kedesa Syibral Khit, di desa inilah banyak paman
dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy
Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan
menganut Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah pandangan Muhammad
Abduh yang semula seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang
menggemarinya.

Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar, yaitu
pada bulan Februari 1866. Di perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal dengan sekian
banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain: Syaikh Hasan Al-Thawil yang
mengajarkan kitab-kitab filasafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain
sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Al-Azhar pada waktu itu dan juga
Muhammad Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra
bahasa, bukan melalui pengajaran bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan
mempraktikkannya.
Karya-karya dalam bidang Tafsir

Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir terbilang sedikit jika diukur dengan
kemampuan tokoh ini. Karya-karya tersebut adalah: Tafsir Juz’ ‘Amma, yang dikarangnya
untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Marokko pada tahun 1321 H, TafsirWal-‘Ashr,
Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 3, Tafsir
Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang
disampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan
pertengahan Muharram 1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung
oleh Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karen amuridnya
(RasyidRidha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir menunjukkan artikel yang dibuatnya itu
kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu
atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.

Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh

a. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.


b. Ayat al-Qur’an bersifa tumum.
c. Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum.
d. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.

2. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari
Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan
arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina husain, putra Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW. Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah
gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal
oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu
agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “syaikh”. Dalam perjalanan pulang dari
kota suez di mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja
saudi arabia), mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak.
Selama dalam perjalanan, beliau hanya membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya,
tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman, pada 23 Jumadil-‘Ula
1354/22 Agustus 1935.

Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha

Di samping orang tuanya sendiri, beliau belajar juga ke sekian banyak guru. Di masa
kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-kuttab,
disana ia beliau diajarkan membaca al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung. Setelah
tamat beliau dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (lebanon) untuk belajar di madrasah
ibtidaiyyah yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih, berhitung, dan ilmu bumi.
Bahasa yang digunakan daerah tersebut adalah bahasa turki, mengingat lebanaon itu berada
di bawah kekuasaan kerajaan ustmaniyyah.

Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah islam negeri, yang merupakan
sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, di samping
diajarkan pula bahasa turki dan prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama besar
syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada tahun 1314 H/1897 M, syaikh al-jisr
memberikan ijazah kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Selain
belajar pada Syaikh Husain al-Jisr beliau juga belajar pada guru yang lain, diantaranya:
Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, Syaikh Abdul-Gani Ar-Rafi, Al-
Ustadz Muhammad Al-Husaini, dan Syaikh muhammad kamil ar-rafi.

Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh

Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui
pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media massa,
muhammad abduh mempin pula gerkan pembaruan Mesir. Majalah al-urwah al-wutsqo yang
di terbitkan oleh jamaluddin al-afghani dan muhammad abduh di paris, yang tersebar ke
seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh
yang sangat besar pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini
menjadi seorang pemuda yang penuh semangat. Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha
hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan
mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah
tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk
melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu
pengetahuan dan industri.

Pada tahun 1315 H/18 januari 1898 Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk
menerbitkan suatu surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama.
Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup
banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian
umum. Namun rasyid ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian
material selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui dan
memilih al-manar dari sekian banyak nama yang di usulkan oleh rasyid ridha. Al-manar terbit
pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan
halaman dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau negara-negara arab
sekitarnya saja, tetapi sampai ke eropa bahkan ke indonesia.[12]

Karya-karya ilmiah muhammad rasyid ridha

Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-azhar dan al-


manar Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ciri-ciri Pokok Tafsir Rasyid Ridha

a. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi


SAW.
b. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
c. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun
pemecahan problem-problem yang berkembang.
d. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan
pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

E. Kelebihan dan Kekurangan

Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan tersendiri. Adapun kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi
ijtima’i bisa dirinci bahwa kelebihannya adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir
bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan
kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk
dipahami ole siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi
ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman
tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap
oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu
tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal).
Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai
dengan keadaan yang ada pada masyarakat lain.

F. Contoh Tafsir Adabi Ijtimai

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya menitik beratkan
hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat, namun penafsiran
dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik,
tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul
pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang
memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi
masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan
titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh Muhammad
Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.

“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong”. Kata


‫ أبابيل‬ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok
mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud dengan ‫ طيرا‬ialah hewan yang
terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata
ataupun tidak (3). “yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”.
Kata ‫ سجيل‬berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti
tanah yang membatu (4).

Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh ‫ طيرا‬tersebut merupakan


dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh ‫بحجارة‬
itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel
di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh
seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang
pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.

Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial
masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-
ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan
redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama era
klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan
corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni
hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-
riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial
atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan
mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafadh ‫ طيرا‬berarti
burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana
yang diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur
(riwayat Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafadh ‫ بحجارة‬dalam tafsir
tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan
pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhakatasnya.

Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi ijtimai
mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir
tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang
berkembang pada masa modern.

Anda mungkin juga menyukai