Anda di halaman 1dari 6

TAFSIR NURUL BAYAN

Yuni Yuliasari (1161030193)


IAT 6-E

Tafsir adalah suatu upaya untuk memahami Al-Qur’an. Dalam sejarah kajian
Al-Qur’an di Nusantara, studi terhadap tafsir nusantara cenderung menjadi tren di
kalangan para sarjana. Sejak awal abad ke-20 Indonesia sudah menjadi produsen
terhadap produk-produk tafsir dan di dalam produk-produk itu terdapat keunikan yang
memadukan antara keislaman dan literatur. Adapun keunikan tafsir nusantara yaitu
dipadukannya nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai keindonesiaan. Kemudian setelah
banyaknya ulama-ulama atau para sarjanawan yang menulis tafsir, maka dengan begitu
Indonesia dapat menjadi destinasi wisata kajian ilmiah alternatif bagi masyarakat Islam
di seluruh penjuru negeri.

Telah kita ketahui bahwa dalam menulis tafsir ada beberapa ketentuan
meskipun memang tafsir bersifat subjektif sesuai kadar keilmuan dan latar mufassirnya.
Motif setiap mufassir dalam mengarang tafsir juga berbeda-beda. Terutama di
Indonesia yang mengalami perkembangan yang signifikan dalam kajian tafsir. Ada
beberapa motif orang Indonesia menulis tafsir, diantaranya adalah (1)
Vernakularization, yaitu karena orang Indonesia ingin menerjemahkan tafsir-tafsir
kuno yang telah ada ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat, singkat kata
vernakularisasi adalah pembahasa lokalan tafsir, (2) Domestication, secara singkat
domestikasi adalah motif dimana si pengarang tafsir memang memiliki tujuan
menjinakkan Al Quran, (3) Literacy, yaitu karya-karya orang-orang yang mampu dalam
bidangnya, (4) Democratization of Understanding, awamisasi Al-Qur’an, (5)
Education, yaitu dimana si penulis tafsir bertujuan untuk mendidik masyarakat awam
dalam kajian tafsir, (6) Politization, penulis tafsir mempunyai tujuan politik, (7)
Commodification, untuk tujuan ekonomi misalnya pencetakan ulang tafsir. Dan motif-
motif yang lain.

Motif-motif diatas sangatlah menarik untuk dibahas. Penulis akan mengambil


salah satu motif, yaitu motif vernakularisasi. Vernakularisasi (pembahasa lokalan)
dalam tradisi Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak ada dua
alasan, yaitu Pertama, sebagai bentuk sosialisasi damn pembumian kitab suci Al-
Qur’an kepada masyarakat Muslim Indonesia yang tidak paham bahasa Arab sehingga
Al-Qur’an tetap menjadi kitab pegangan dan petunjuk. Kedua, adalah sebagai upaya
untuk melestarikan warisan budaya lokal yaitu bahasa daerah. Dapat diambil
kesimpulan bahwa pertama, Al-Qur’an merupakan kitab pedoman petunjuk sehingga
bisa tersampaikan kepada masyarakat Muslim Indonesia. Kedua, bahasa daerah
merupakan bukti kekayaan budaya lokal, dengan beragamnya bahasa dan aksara dalam
penulisan para mufassir di Nusantara. Ketiga, bertujuan menyampaikan nilai-nilai Al-
Qur’an, melalui proses vernakularisasi dapat menggambarkan kondisi sosiokultural
karya tafsir tersebut ditulis. Tafsir Nusantara yang dibahas disini yaitu tafsir Nurul
Bayan.

Sekilas tentang penulis Tafsir Nurul Bayan

Tafsir Nurul Bayan ditulis oleh M. Romli. Ia bernama lengkap K.H Muhammad
Romli bin H. Sulaiman, lahir di Kadungora Garut pada tahun 1889. Dan Romli
meninggal di usianya yang ke 95 tahun atau sekitar tahun 1990-an di Sindangpalay
Bandung dan dimakamkan di kampung halamannya Kampung Haurkuning Desa
Hegarsari Kecamatan Kadungora Garut. Ia memiliki tiga orang anak dan satu anak asuh
dari kakaknya.
Romli menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat dan beberapa pesantren di
Jawa Barat salah satunya yaitu Pesantrén Gunung Puyuh Sukabumi yang dipimpin oleh
K.H. Abdurrakhim, ayahnya Ahmad Sanusi. Ia kemudian pegi ke Mekah selama
sebelas tahun. Romli pernah aktif fi Sarekat Islam (SI) atau PSI. Pada era pra
kemerdekaan, ia juga dikenal sebagai ulama yang ikut aktif dalam organisasi MASC.
Sebuah organisasi kaum reformis yang tidak kalah agresif dan keras sebagaimana Persis
dalam memperjuangkan ideologi al-Ruju ila Al-Qur’an wa as-Sunnah (kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah). Romli pernah juga menjadi camat di Kadungora Garut pada
tahun 1948. Kemudian sempat diasingkan di Nusakambangan pada masa orde lama
karena aktivitas dakwahnya. Aktivitas selanjutnya sebagai ulama tidak ikut ke dalam
organisasi apapun. Meskipun secara ideologi keagamaan memiliki kesamaan visi dalam
pembaharuan islam dan banyak bergaul bersama aktivis Muhammadiyah dan Persis.
Romli mendirikan Pesantren Nurul Bayan di kediamannya. Pergaulannya dengan para
aktivis Muhammadiyah dan Persis inilah dianggap cenderung dianggap berpengaruh
pada tulisannya yang secara jelas bermuatan ideologi Islam pembaharu.
Karya-karyanya umumnya ditulis dalam bahasa Sunda, antara lain Tafsir Nurul-
Bajan (Bandung: (N.V. Perboe, 1960), Al-Kitabul Mubin Tafsir Basa Sunda (Bandung:
Penerbit al-Ma’arif, 1974), Al-Hujaj al-Bayyinah dina Hukum Salat Jum’ah (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1975), Haqqul Janazah, Al-Jami al-Shahih Mukhtashar Hadits Shahih
Bukhari Terjemah Basa Sunda, Tungtunan Sholat (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1982),
cet. ke-2. dan lain-lain.
Dalam mempublikasikan tafsir Nurul Bayan, Romli tidak sendiri. Ia didampingi
oleh H.N.S. Midjaja (Hj. Neneng Sastra Midjaja) atau lebih dikenal dengan Jaksa
Neneng. Lahir di Ciamis 15 Desember 1903 dan meninggal di Bandung pada 03 Juni
1975. Ia dikenal sebagai jaksa dan pengusaha. Pada tahun 1938 ia mendirikan
perusahaan Perboe (Perusahaan Bumiperta). Jaksa Neneng sempat ditangkap Belanda
pada Perang Dunia II karena Belanda berpendapat bahwa ia terlalu dekat dengan
Jepang. Pada saat itu ia sudah mulai memperdalam pengetahuannya tentang Islam
engan berguru kepada Tuan A. Hassan dari Persis. Selama masa tahanan ia mempelajari
Al-Qur’an dalam terjemahan bahasa Belanda oleh Sudewo. Kemudian ia dibebaskan
setelah Jepang datang. Dan selama orde baru ia sempat tinggal di Belanda.
Kedekatan Romli dengan Jaksa Neneng kemungkinan besar selain karena
keduanya memiliki kesamaan ideologi Islam pembaharu juga karena keberadaan Jaksa
Neneng sebagai pengusaha percetakan. Jaksa Nenenglah yang membiayai penerbitan
Tafsir Nurul Bayan.

Epistemologi Tafsir Nurul Bayan


Tafsir Nurul Bayan ditulis dengan tulisan ejaan lama yang belum
disempurnakan dan hanya sampai pada juz tiga. Satu jilid tafsirnya membahas tafsir
Al-Qur’an sebanyak satu juz. Banyak sumber yang digunakan dalam tafsir ini,
diantaranya tafsir-tafsir berbahasa Arab standar baik klasik maupun modern, seperti
Tafsir At-Thabari, Ibn Katsir, Al-Maraghi, Al-Manar dan lain sebagainya. Termasuk
beberapa sumber tulisan berbahasa Inggris dan Belanda. Adapun tafsir berbahasa
Sunda yang digunakannya adalah Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan, Al-Nur karya M.
Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’an Karim karya Mahmud Yunus. Melihat beberapa
sumber tafsirnya tersebut setidaknya dalam menulis tafsir Nurul Bayan tersebut Romli
mengetahui berbagai aturan ketat dalam prosedur penafsiran. Karena selain adanya
kemampuan yang harus dimiliki oleh mufasir, juga ada syarat penggunaan sumber-
sumber penafsiran yang standar. Penggunaan sumber-sumber tafsir standar itu
ditekankan agar produk tafsir yang dihasilkan tidak melenceng dari apa yang
seharusnya, baik secara substansi maupun metodologi.
Salah satu pendorong ditulisnya tafsir Nurul Bayan ini menurut Romli
dikarenakan belum ada tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda yang lengkap 30 juz.
Walaupun sebenarnya sudah ada tafsir yang berbahasa Sunda tetapi tidak lengkap dan
hanya terdiri dari satu surat atau beberapa surat. Dan pada akhirnya tanpa ada alasan
yang jelas Romli pun tidak lengkap pula menyelesaikan tafsirnya.

Dalam menulis tafsirnya, Romli tidak hanya mengutip pendapat para mufasir
yang telah disebutkan diatas, pendekatan dan metode penafsirannya pun cenderung
mengikuti tafsir tersebut, yaitu tafsir bil ra’yi dengan metode tahlili. Corak tafsirnya
pun termasuk tafsir adab al-ijtima’i dan cenderung berorientasi pada paham mayoritas
yaitu Sunni. Dalam konteks wacana Islam pembaharu, bisa dikatakan tafsir Nurul
Bayan adalah Al-Manar versi bahasa Sunda. Bahasa yang digunakan juga cenderung
memiliki karakter yang halus dalam mendeskripsikan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.

Sistematika penulisannya dilakukan dengan cara membagi pembahasan tafsir


ayat berdasarkan ruku’, setiap ruku’ terdiri dari beberapa ayat. Setelah itu barulah
dibahas satu-persatu ayatnya. Diawali dengan mencantumkan teks ayat berbahasa
Arab, lalu setiap ayat ditafsirkan dengan cara diterjemah perkata disertai transliterasi
Latin, diikuti terjemah ayat keseluruhan dan diakhiri dengan penafsirannya.1

Pembahasan surah Al-Baqarah ayat 30

Allah SWT berfirman:

‫ض َخ ِليفَة قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها‬ ِ ‫َوإِ ْذ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة إِ ِني َجا ِع ٌل فِي ْال َ ْر‬
‫ِس لَكَ قَا َل إِنِي أ َ ْعلَ ُم‬ُ ‫س ِب ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَد‬
َ ُ‫الد َما َء َونَحْ ُن ن‬
ِ ُ‫س ِفك‬ ْ َ‫س ُد فِي َها َوي‬ ِ ‫َم ْن يُ ْف‬
َ ‫َما ََل ت َ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami

1
M. Romli dan H. N. S. Midjaja, Nurul Bayan : Tafsir Qur’an Basa Sunda (Bandung : Perboe, 1960) hlm.
31
bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Agar dapat lebih mudah memahami ayat ini, maka pertama-tama akan
dijelaskan sedikit demi sedikit mengenai pendapat para ulama perihal malaikat dan
kholifah. Karena keduanya sangatlah penting dalam ayat ini.

Pertama, Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang hakikatnya untuk
kaum muslimin yang bersabar dan berserah diri kepada Allah. Para malaikat
dimuliakan oleh Allah SWT. zatnya, perbuatannya, sifat-sifatnya, malaikat sangat
berbeda dengan manusia. Manusia tidak dapat melihat malaikat, firman Allah SWT

َ ‫ب الَّذ‬
‫ِين َكفَ ُروا‬ َ ‫َوأ َ ْن َز َل ُجنُودا لَ ْم ت َ َر ْو َها َو‬
َ َّ‫عذ‬
Dan dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia
menimpakan azab kepada orang-orang kafir. (Q.S. At-Taubah : 26)

Malaikat berbeda dengan manusia sebagaimana firman Allah SWT dalam surah
Az-Zukhruf ayat 19. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Diciptakannya malaikat
dari cahaya dan jin diciptakan dari api.

Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan perihal malaikat, tetapi


semua pada hakikatnya termasuk ke dalam ayat-ayat mutasabihat, apabila kita berbicara
kepada hal yang ghaib para ulama salaf pun tidak dapat menakwilkan, cukup diserahkan
saja kepada Allah, karena hal yang ghaib apalagi malaikat hanyalah Allah SWT yang
tahu karena malaikat termasuk kedalam ghaib yang mutlak.

Kedua, Kholifah oleh para ulama tidaklah sama ditafsirkannya, para ulama
terbagi menjadi dua madzhab.

Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: bahwasanya yang pertama
kali mengisi bumi yaitu bangsa jin. Tetapi bangsa jin tersebut malah membuat
kerusakan dan saling bertumpah darah, saling membunuh. Setelah mereka hancur lebur,
Allah SWT menciptakan Adam untuk ditempatkan di bumi ini dan menjadi menjadi
kholifah pengganti makhluk yang sebelumnya yang telah menempati bumi ini
(pengganti bangsa jin).2 Tetapi belum ditemukan sanad yang shohih yang dapat
dijadikan hujjah.

Para ulama mufassirin (madzhab kedua) menafsirkan: “akan mengangkat


kholifah dari bumi ini” yaitu akan mengangkat perwakilan Allah SWT yang akan
menjalani dan melaksanakan perintah dan hukum-hukum-Nya. Seperti firman Allah
SWT dalam Q.S. Sad ayat 26:

“wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka
berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil...”

Imam Ala’uddin dalam tafsirnya Lubab at-Takwil, berkata:

Mengikuti madzhab yang shohih, sesungguhnya Adam (manusia), disebut khalifah


karena ia menjadi utusan Allah SWT di bumi-Nya, untuk menjalani batas-batas dan
hukum-hukum Allah SWT.

Wallahu a’lam.....

2
M. Romli dan H. N. S. Midjaja, Nurul Bayan : Tafsir Qur’an Basa Sunda (Bandung : Perboe, 1960)
hlm.175

Anda mungkin juga menyukai