Anda di halaman 1dari 10

FENOMENA KITAB TAFSIR BERBAHASA

LOKAL DI NUSANTARA

Muhammad Burhanuddin
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
burhanuddyn09@gmail.com

Abstrak
Fenomena penafsiran Al-Qur’an di Nusantara telah muncul sejak abad ke-
19 M, diantaranya dengan menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Fenomena penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa lokal ini
sangat menarik untuk dikaji karena bahasa lokal di Nusantara sendiri
memiliki muatan makna simbolis tersendiri dari dunia materi. Demikian
pula Al-Qur’an yang keberadaannya merupakan wacana kebahasaan.
Penelitian ini membahas dan mengkaji jenis tafsir Al-Quran yang
berbahasa lokal di Nusantara. Di balik penulisan tafsir berbahasa lokal ini,
ada beberapa aspek yang menjadi penggeraknya, yaitu pengajaran agama
Islam, semangat pemurnian Islam, peneguhan Islam tradisional, dan
kepentingan dakwah. Sedangkan masalah inti dalam penelitian ini adalah
bagaimana terjadinya proses penafsiran Al-Qur’an di Nusantara dan apa
pengaruh kitab tafsir berbahasa lokal bagi masyarakat setempat (tempat
pengarang tinggal atau tempat ketika pengarang menulis tafsir)? Penelitian
ini berjenis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Sumber data
utama penelitian ini ialah kitab-kitab tafsir yang berbahasa lokal. Adapun
hasil penelitian ini adalah: 1) Sejarah penulisan kitab-kitab tafsir Al-
Qur’an berbahasa lokal di Nusantara yang berkaitan dengan masalah
yang dihadapi oleh penulis tafsir. Peristiwa dan problema yang muncul di
lingkungan penulis tafsir juga menyertai pola penulisan tafsir Al-Qur’an
berbahsa lokal. 2) Pengaruh yang disebabkan ketika kitab tafsir berbahasa
lokal ini muncul terhadap masyarakat setempat dan dampaknya bagi
kehidupan mereka.

Kata kunci: Penafsiran Al-Qur’an, berbahasa, lokal, Nusantara.

Pendahuluan

Perkembangan tafsir al-Qur‟an di Nusantara tidak lepas dipengaruhi oleh


sosial, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Tafsir al-Qur'an di Nusantara
sudah ada sejak abad ke-16, yakni setelah ditemukannya kitab Tafsīr Sūrat al-
Kahfi ([18]: 9). Walaupun belum jelas pengarangnya, tafsir tersebut ditulis
dengan menggunakan bahasa Melayu-Jawi. Pada abad ke-17 juga sudah
ditemukan tafsir Abd. al-Rauf as-Sinkili yang berjudul Tafsīr Tarjumān al-Mustafīd

1
(1675 M). Tafsir tersebut ditulis lengkap 30 Juz, sehingga beliau dikenal seorang
mufassir Melayu-Indonesia pertama yang mampu menulis 30 Juz.,selanjutnya pada
abad ke 19, muncul karya tafsir yang berjudul Kitab Fars’idul Qur’an, ditulis
menggunakan bahasa Melayu- Jawi. Muncul juga sebuah tafsir yang berjudul
Tafsīr Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl ditulis oleh Muhammad Nawawi al-Bantani
(1813-1879 M) seorang ulama asli Indonesia. Tafsirnya ditulis dengan bahasa Arab,
karena ia menulis ketika tinggal di Makkah dan diselesaikan pada Rabu, 5 Rabi‟ul
Akhir 1305 H.1

Pada awal abad ke-20 , tafsir al-Qur‟an yang pertama kali yang diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia adalah Tafsīr Qur’an Karīm oleh Mahmud Yunus. Tafsir tersebut
ditulis secara berangsur- angsur, yang kemudian dilanjutkan oleh H. Ilyas
Muhammad Ali dan H. M. Kasim Bakry (1938 M). Selain itu, pada era ini
juga muncul kitab tafsir yang berjudul Al-Furqān Tafsīr al-Qur’ān yang ditulis
oleh A. Hassan. Tafsīr al-Qur’ān al-Nūr (1956 M) karya tafsir yang ditulis T.M.
Hasbi ash-Shiddieqy. Selanjutnya baru muncul Tafsīr al-Ibrīz (1960 M) oleh KH.
Bisri Mustofa, yang ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon;
Tafsīr al-Azhar lengkap 30 juz (1967 M) ditulis oleh Hamka dengan bahasa Indonesia;
tafsir berbahasa Jawa berjudul Tafsīr al-Hudā pada 1972 M, yang ditulis oleh Bakri
Syahid.

Setelah itu, tafsir-tafsir baru kemudian muncul pada abad ke-21, seperti Tafsīr al-
misbah karya M. Quraish Shihab, sebuah tafsir yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian agama dan karya tafsir tematik yang dikeluarkan oleh
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama R.I.

Perkembangan penafsiran al-Qur‟an sekaligus dengan penyebaran Islam,karena


dalam penerjemahan dan penafsiran al-Qur‟an ditulis dan disampaikan sesuai
dengan bahasa lokal. Penerjemahan dan penafsiran al-Qur‟an yang semakin
berkembang di berbagai negara, sehingga dalam penulisannya ada yang

1
Lilik Faiqoh, “Vernakuralisasi Dalam Tafsir Nusantara”, Jurnal Living Islam, 1 (2018), h.87.

2
menggunakan bahasa Inggris, Jerman, Indonesia, dan lain-lain. Islam di Indonesia
mempunyai ciri khas sendiri, terutama sebab proses akulturasi budaya (suku, tradisi,
dan bahasa).2

Tafsir al-Qur‟an di Nusantara telah mengalami perkembangan dengan


ditemukannya literatur tafsir dalam bahasa Melayu, Jawa, Batak, Sunda dan
bahasa lokal lainnya. Dengan banyaknya muslim pribumi yang menyusun tafsir,
maka muncul istilah tafsir pribumi, untuk menyebut literatur karya tafsir para
Muslim Nusantara baik pribumi asli maupun keturunannya. Menurut Gusmian,
proses adaptasi dan adopsi seperti dalam penggunaan bahasa dan aksara termasuk
proses penulisan tafsir al-Qur‟an di Nusantara. Hal ini tidak hanya untuk
menunjukkan keragaman dalam bahasa dan aksara saja, tetapi juga bertujuan untuk
kepentingan para mufassir terhadap masyarakat muslim melalui bahasa tafsir yang
sesuai konteks masyarakat lokal.

Sebuah tafsir yang ditulis ulama Nusantara dengan berbagai ragam bahasa
bertujuan untuk mengisi kebutuhan literatur pada zamannya. Misalnya Tafsīr
Tarjumān Mustafīd karya ‟Abd Rauf Singkel ditulis dalam Bahasa Melayu Tafsīr al-
Qur’an Basa Sunda karya A. Hassan terbit pada 1937; Tafsīr Ayat Suci Lenyepaneun
karya Moh. E. Hasim yang terbit pada 1984 ditulis dalam bahasa Sunda; Tahrīf fī
Qulūb al-Mu’minīn fī Tafsīr Kalimat Sūrat Yāsīn karya Ahmad Sanusi ibn ‟Abd
Rahim; Tarjamanna Nenniya Tafeserena karya Anre Gurutta Daud Ismail dan Tafsīr
al-Qur’ān al-Karīm yang ditulis oleh Tim Majelis Ulama Indonesia Wilayah Sulawesi
Selatan.3

Kitab Tafsir yang ada di Indonesia merupakan kitab tafsir yang mempunyai
karakteristik atau kekhasan lokal Indonesia. Yang dimaksud karakteristik dan
kekhasan lokal Indonesia merupakan sebuah kitab tafsir yang ditulis dengan
menggunakan bahasa lokal Indonesia, baik dari bahasa daerah maupun bahasa
nasional. Pada umumnya karakteristik yang terdapat dalam tafsir Indonesia lebih
2
Ibid.,h.88.
3
Edi Komarudin “Tafsir Qur’an berbahasa Nusantara”, al-Tsaqofa, 2 (2018), h.182.

3
memiliki warna keindonesian dengan aspek sosial, politik, pemerintahan, dan
lainnya. Akan tetapi, ada tafsir Indonesia yang lebih memiliki kaya unsur-unsur
lokalitas, yang mencakup bahasa, suku, tradisi, adat-istiadat dan budayanya.

Tafsir Faidhur Rohman

Salah satu kitab Tafsir yang sangat monumental yang ditulis oleh K.H Sholeh
Darat al-Samarani pada tahun 1892 M yang berjudul Tafsir Faidh ar-Rohman
Rohman fi Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.

Penulisan tafsir Faidh Rohman dilatar belakangi oleh keinginan KH. Sholeh
Darat sendiri, sebagaimana telah dijelaskan dalam muqaddimah bahwa "...ngalebete
wong ajam ora ono podo angen-angen ing maknane qur’an kerono arah ora ngerti
corone lan ora ngerti maknane, kerono qur’an temurune kelawan boso arab...” Jadi,
KH. Sholeh Darat menulis tafsir dengan menggunakan bahasa Jawa (Arab
Pegon) sebab pada umumnya orang-orang awam dan mereka yang tidak mau
memikirkan ayat-ayat al-Qur‟an, tidak mengetahui bahasa dan makna al-Qur‟an yang
berbahasa Arab. Oleh karena itu, K.H Sholeh Darat menulis tafsir al-Qur‟an
menggunakan bahasa Jawa (Arab Pegon) agar masyarakat awam bisa mempelajari
al-Qur‟an dengan mudah.4

K.H Sholeh Darat memberi nama kitab tafsirnya, dengan judul Tafsir
Faidhur Rohman fi Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan. Judul ini memperlihatkan bahwa
kitab ini memiliki nuansa sufi. Ditinjau dari bahasa, kata Faidh ar-Rohman berarti
limpahan zat yang maha kasih, sebagai isyarat bahwa kandungan tafsir tersebut
merupakan limpahan kasih sayang tuhan yang tercemin dalam uraian-uraian
tafsirnya. Adapun metode penafsiran yang digunakan oleh K.H Sholeh Darat ialah
metode Tahlili.

Tafsir Faidh ar-Rohman merupakan kitab tafsir al-Qur‟an yang ditulis dengan
menggunakan tulisan aksara Arab pegon bahasa Jawa al-Maraki. Tentang hal ini
4
Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat mahaguru Ulama’ Nusantara, Yogyakarta:
Global press.2016. h. 37.

4
disebutkan dalam beberapa kitab kiai Sholeh Darat bahwa setidaknya terdapat dua
pendapat. Pertama, al-Maraki menunjukkan sebuah daerah yaitu Semarang dan
sekitarnya. Dan kedua, dibaca al-meriki, dalam bahasa Indonesia artinya “disini”,
maka berasumsi bahwa Kiai Sholeh Darat menggunakan bahasa daerah sini
(kampong Semarang). Atau dengan istilah khusus untuk menyebut pegon, yaitu “Bi
lisanil Jawi al-Mrikiyah,” yakni bahasa Jawa yang sehari-hari dipakai dan mudah
dimengerti oleh masyarakat di kawasan pesisir Utara pulau Jawa. K.H Sholeh Darat
menulis Tafsir Faidhur Rohman dalam dua jilid, mulai dari surat al-Fatihah sampai
surat an-Nisa‟. Jilid I diawali dengan muqaddimah, lalu dilanjutkan surat al-Fatihah
sampai surat al-Baqarah, yang mencapai 503 halaman. Jilid I mulai ditulis pada
malam Kamis, 20 Rajab 1309 H (19 Februari1892 M) dan selesai pada malam
Kamis, 19 Jumadil al-Awal 1310 H (9 Desember 1892 M) dan dicetak di
Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 27 Rabi‟ul Akhir 1311 H. (7
November 1893 M). Jilid II dimulai dari Surat Ali „Imron sampai Surat al-Nisā‟
dengan berjumlah 705 halaman. Jilid II ini selesai ditulis pada Selasa 17 Safar 1312
H (20 Agustus 1894 M), dan dicetak oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada
1312 H/1895 M.5

Kitab Tafsir Faidh ar-Rohman ini ditulis belum lengkap 30 juz, dan masih
proses hanya sampai dua jilid, karena K.H Sholeh Darat sudah wafat,sebelum
tafsirnya selesai ditulis. Oleh karena itu K.H Sholeh Darat sangat berharap Tafsir
Faidh ar-Rohman menjadi sempurna, seperti Tafsir Jalalain yang menjadi sumber
rujukan utamanya. Yaitu ketika Imam Jalaludin al-Mahalli wafat (864 H/1460 M)
sebelum menyelesaikan karyanya, maka dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Jalaluddin
al- Suyuti (w. 911 H/1505 M), sehingga kitab tafsir tersebut dikenal dengan Tafsīr
Jalālain, yang dikarang dua orang oleh Imam Jalalain. Maka, K.H. Sholeh Darat
sangat mengagumi dan mengapresiasi karya Imam Jalalain. KH. Sholeh Darat
berkata, “Lan ora wenang nafsiri qur’an kelawan tafsir isyari’ utowo asrari yen
durung weruh kelawan tafsir asli dzahiri koyo tafsir Imamain

5
Ibid,.h.40.

5
Jalalain.”6.Dengan demikian, menurutnya, tidak diperbolehkan jika
menafsirkan al-Qur‟an dengan corak tafsir isyari atau asrori, jika belum menguasai
tafsir zahir-nya, ungkapan ini sama halnya seperti tafsirnya Imam Jalalain.

Salah satu pengaruh munculnya Tafsir Faidh ar-Rohman ini adalah


memberikan kemudahan dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an bagi masyarakat
setempat dan juga cocok untuk dijadikan sebagai langkah awal untuk mempelajari
ilmu tafsir, terutama bagi kalangan yang baru belajar.

Tafsir Raudhat al-Irfan

Selanjutnya ialah Salah satu karya tafsir yang dikenal di masyarakat


Nusantara adalah kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al- Qur’ân karya KH.
Ahmad Sanusi bin Abdurrahman dari Sukabumi, Jawa Barat. Beliau adalah salah
satu dari tiga ulama Nusantara (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab
asli Nusantara yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd.
Ma‟mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat dan ulama
plus penyair „Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya- karya penting
tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al- Ghazali. Martin Van
Bruinessen, peneliti pesantren asal Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis
karya orisinil dan bukan pen-syarah atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana
umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX.

Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua
berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Nusantara,
ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan
tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja
membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat
Nusantara umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta
pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan

6
K.H Sholeh Darat al-Samarani, Tafsir Faidh ar-Rahman fi tarjamah kalam malik ad-dayyan,
Singapura: percetakan Haji Muhammad Amin, 1893 . h.2.

6
tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat.
Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan
setiap lembarnya.

Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi


kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu
turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), jumlah ayat, serta huruf-hurufnya. Kemudian,
disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran „Asy‟ari dan masalah fikih
yang mengikuti madzhab Syafi‟i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut
oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat. Dari sini terlihat
bagaimana KH. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam
menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham
masyarakat pada umumnya.

Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh
Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddîn al- Suyûthî dan Jalâluddîn al-Mahallî yang banyak
dipergunakan di lingkungan pesantren Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat
al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât (tafsiran
kata per kata) yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak
atas diri KH. Ahmad Sanusi ketika meracik tafsirannya untuk setiap kata
dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang
dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyarakat muslim
nusantara yang belum terbentuk kesadarannya secara sempurna akan teks kitab
suci. Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang terpikat karena gaya
penafsiran perkata itu.

Kelebihan kitab ini terletak pada kemudahan pesan dan kesan yang
disampaikan oleh penulisnya. Meski mempergunakan tulisan Arab dengan bacaan
Nusantara, tapi para peserta pengajian dapat menyerapnya dengan mudah.
Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai dengan kosakata keseharian yang
mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyerap isinya. Begitu juga,

7
pengalih- istilahan arti yang disesuaikan dengan simbol-simbol makna bahasa
Nusantara. Seperti mengartikan kata dzarrah dengan biji sawi, yang diakui
dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi bahasa Nusantara.

Model tafsir yang mempunyai dialektika dengan simbol- simbol makna yang
disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu mempunyai titik fungsional
tersendiri. Seorang pembaca diajak menelusuri makna yang memang hadir di dalam
kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa getarannya. Kontekstualisasi tafsir
semakin terlihat dalam karya KH. Ahmad Sanusi manakala membaca setiap arti
kata yang berusaha dikorelasikan dengan padanan bahasa Nusantara. Dan, beliau
berhasil menelorkan karya itu di tengah masyarakat yang haus akan kebutuhan
pesan-pesan Qur‟ani yang relevan dengan realitas keseharian mereka.

Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari seseorang yang bergelut
lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren. Bacaan atas teks-teks tafsir
Arab yang ada di lingkungannya telah menginspirasikan KH. Ahmad Sanusi untuk
membuat sebuah karya yang sampai sekarang layak dijadikan contoh oleh para
pengkaji tafsir, khususnya yang berbahasa Nusantara. Karena tafsir adalah nalar
kita atas kitab suci yang dibentuk oleh lokus budaya dan bahasa yang terus
bergerak. Intelektual muslim nusantara sedianya melanjutkan estafet KH. Ahmad
Sanusi, sehingga Al-Quran akan sesuai dengan perubahan ruang dan waktu
(shâlihun li kulli zamân al makân).

Inilah yang menjadikan kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al- Qur’ân


mempunyai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang
kurang respek atas usaha untuk menelorkan karya ilmiah yang utuh. Tidak kurang
dari sekian banyak pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab ini dalam
kurikulum pendidikannya. Begitu juga, “pengajian kampungan” di lingkungan
masyarakat yang dibimbing oleh para almuni pesantren-pesantren di Jawa Barat,
baik yang dilakukan secara rutin maupun pada waktu tertentu.

8
Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah, bahwa perkembangan tafsir al-Qur‟an


di Nusantara tidak lepas dipengaruhi oleh sosial, budaya, dan bahasa masing-
masing daerah di Nusantara. Munculnya kitab-kitab tafsir berbahasa lokal ini
berpengaruh pada lingkungan masyarakat sekitar (tempat pengarang menulis tafsir),
sehingga masyarakat setempat tidak mengalami kesulitan dan dapat memahami serta
mengamalkan isi kandungan al-Qur‟an dengan baik.

9
Daftar Pustaka

faiqoh, lilik. 2018” Vernakularisasi Dalam Tafsir Nusantara: kajian atas Tafsir Faidh
ar-Rahman karya K.H Sholeh Darat al-Samarani”. Living Islam, 1 (1): 87-88.

Komarudin, Edi. 2018. “Tafsir Qur‟an Berbahasa Nusantara: Studi historis terhadap
tafsir berbahasa Sunda, Jawa dan Aceh”. Al-Tsaqafa, 15 (2): 182.

Ulum, Amirul. 2016. KH. Muhammad Sholeh Darat al-Samarani: Maha Guru
Ulama Nusantara, Yogyakarta: Global Press.

al-Samarani, Muhammad Shaleh ibnu Umar. 1893. Tafsir Faidh ar-Rahman fi


Tarjamah Tafsir kalam Malik ad-Dayyan, Singapura: Percetakan Haji
Muhammad Amin.

10

Anda mungkin juga menyukai