Anda di halaman 1dari 13

UTS : FAHMUL MAQRU’ AL-ADABY

HARI/TANGGAL : Kamis, 29 Maret 2018


NAMA : Muhammad Rizqi Fathoni
NIM : 17101010065

TERJEMAHAN CERPEN KARYA MAHMUD TAIMUR

Cerita (dikereta) Mahmoud Taimur

Pagi yang cerah hilangkan kesedihan dan kegelapan dari hati, orang tua berasa muda
kembali, dan angin lembut segarkan hati dan hilangkan gundah dalam diri, dan di taman
pohon-pohon melambai ke kanan dan ke kiri seolah menari menyambut datangnya pagi
hari, orang-orang berjalan di jalan dengan semangat kerja yang membara, dan aku
tertekan, aku melihat keindahan alam dari jendela, dan aku bertanya pada diriku sendiri
tentang penyebab aku tertekan, tapi tidaklah aku dapatkan jawaban apa pun. Aku
berurusan dengan biro "Musa" dan mencoba membaca, aku tak berhasil kemudian ku
lemparkan itu ke meja makan dan menyerah untuk berpikir seolah-olah aku adalah korban
di antara cakar-cakar waktu.

Aku tetap di sana berpikir dan kemudian aku bangkit. Aku mengambil tongkat dan ku
tinggalkan rumahku. Aku tidak tahu di mana, kakiku menuntunku sampai aku mencapai
pintu gerbang besi dan di sana aku berdiri sejenak lalu berpikir dan kemudian aku
mendapat ide untuk pergi menenangkan diriku. Aku membeli tiket dan naik kereta ke
sebuah Desa untuk menghabiskan hari-hariku disana.

Aku duduk di salah satu gerbong kereta di sebelah jendela, dan tidak ada seorang pun
selain aku dan aku tetap di tempatku sampai aku mendengar suara dari penjual surat kabar
berdengung di telinga aku "Wadi an-Nil, Al-Ahram, Mokattam." Lalu ku beli sebuah koran
lalu aku membacanya.. Tiba-tiba pintu gerbong terbuka dan masuklah orang tua Tinggi,
berkulit cerah, berjenggot tebal, dengan mata, seolah dia belum terbangun dari
tidurnya. Ustadz ini duduk tidak jauh dariku. Kemudian dia melepas sepatu merahnya
sebelum menyilangkan kakinya ketika duduk. Kemudian dia meludah tiga kali di lantai,
kemudian mengusap bibirnya dengan sapu tangan merah yang lebih layak di jadikan
tudung bagi anak kecil. Kemudian dia mengeluarkan tasbih dari sakunya yang berisi 100
manik-manik dan dia mengulang ulang menyebut nama Tuhan, Nabi, Para Sahabat, para
wali dan orang yang saleh. Seraya kupalingkan pandanganku darinya, sehingga aku
melihat seorang pemuda di sebuah gerbong, yang ku tak tahu dari mana dia
berasal. Mungkin aku sibuk memperhatikan profesor yang menghalangiku untuk melihat
pria muda itu ketika dia masuk. Ku lihat anak laki-laki itu dan terlintas dalam pikirku
bahwa dia adalah seorang siswa pedesaan yang telah menyelesaikan ujiannya dan kembali
ke kampungnya untuk menghabiskan liburannya dengan keluarga dan kerabatnya. Aku
melihat pemuda itu ketika dia melihat aku dan kemudian mengeluarkan dari tasnya sebuah
novel dari kisah-kisah konspirasi orang-orang dan dia membacanya setelah dia
memandangi sekitarku dan melihat profesor, berharap kereta akan berangkat sebelum
penumpang keempat tiba. Kemudian Effendi Wadah al-Tala'a, Hassan al-Hendam,
memasuki gerbong kami. Dia berjalan seraya menyanyikan lagu berulang-ulang, yang
pernah aku dengar dari para pedagang lobak dan turmus. Al-Effendi tersenyum kemudian
duduk bersila setelah kita memberi salam. Lalu kita membalasnya sebagai orang asing.

Ada keheningan di ruangan itu sementara si pelajar membaca novelnya dan profesor
membaca kalimat tasbih dalam ketidaksadarannya, dan Afandi memandangi pakaiannya
berkali-kali dan kadang memandangi musafir lainnya, dan aku membaca surat kabar
“wadi an-niil” sambil menunggu kereta berangkat sebelum kedatangan penumpang
kelima.

Kami diam sejenak, kami tak berbicara seolah kami sedang menunggu seseorang
datang. Pintu kamar terbuka dan seorang pria berumur enam puluh tahun masuk.
Wajahnya kemerahan, matanya berkilau Kulitnya itu menunjukkan bahwa dia orang
Sirkasia asli, dan dia membawa payung yang tampak usang termakan usia. Adapun Tepi
sisi topinya mencapai ujung telinganya. Dia duduk di depanku sembari mengamati wajah
teman-teman seperjalanannya seolah dia menanyakan dari mana mereka berasal dan ke
mana tujuan mereka pergi, dan kemudian kami mendengar sirene kereta api yang
menandakan kepada orang-orang bahwa kereta akan berangkat, kemudian setelah itu
kereta berangkat mengantar orang-orang yang ada di dalamnya ke tempat tujuan mereka.

Kereta itu berjalan dan kami duduk tanpa berbicara sedikitpun, seolah-olah di kepala
kami ada burung yang membebani sampai mendekati stasiun Shubra, tiba-tiba syarkasi
melirikku lalu berkata kepadaku:

Apakah ada berita baru wahai Effendi?


Lalu aku menjawab sambil memegang koran di tanganku Hari ini tidak ada berita
apapun yang menarik perhatian, demi Allah, selain berita dari Kementerian Pendidikan
untuk menyamaratakan pendidikan dan melawan buta huruf.

Pria itu tidak membiarkanku untuk menyelesaikan perkataanku, dia merampas surat
kabar dari tanganku tanpa izin dan mulai membaca apa yang ada di depan matanya, dan
aku tidak heran dengan apa yang dia lakukuan, karena aku lebih tahu batasan-batasan
orang syarkasi. Tak lama setelah itu, kereta api sampai di stasiun Shubra, dan salah satu
walikota Qalioubiya naik ke kereta, dia adalah seorang pria berbadan besar dengan hidung
pesek, berkumis, hidung, wajah dengan bekas cacar kecil, menunjukkan tanda-tandal
kekuatan dan juga ketidaktahuan. Walikota itu duduk di sebelahku setelah dia membaca
Surat Al-Fatihah dan berdoa kepada Nabi, lalu kereta itu pergi ke Qalyub.

Syarkasi berhenti membaca koran dan kemudian melipatnya dan melemparkannya ke


lantai karena terbakar rasa sakit dan berkata:

Mereka ingin menyebarkan pendidikan dan memerangi buta huruf sehingga petani
naik ke jajaran tuannya dan mereka tidak menyadari bahwa mereka melakukan kejahatan
besar.

Aku mengambil Koran dari lantai dan berkata:

Adakah kejahatan?

Kamu masih muda kamu tidak tahu solusi efektif untuk mendidik petani.

Solusi apa yang Kamu maksud? Apakah ada solusi yang lebih efektif dari pada
pendidikan?

Maka Syarkasi pun mengerutkan kedua alisnya dan berbicara dengan nada marah:

Ada solusi lain....

Apaitu?

Dia berteriak sambil tenganga sahingga profesor terbangun dari tidurnya dan berkata:

Cambuk. Sesungguhnya cambuk itu sama sekali tidak membebani pemerintah, tetapi
pendidikan membutuhkan banyak dana dan jangan lupa bahwa petani tidak tunduk
kecuali kepada pukulan karena mereka sudah membiasakannya sejak lahir sampai liang
lahat.

Dan aku ingin menjawab Syarkasi,tetapi sang Wali kota yang dilindungi Allah
mencegahku untuk membalas perkataan Syarkasi, lalu ia berkata pada Syarkasi dan dia
tersenyum dengan senyuman yang amat cemerlang.

” Kamu benar tuan, kamu benar bahkan jika kamu sedang dalam kerugian sekalipun
kamu akan mengatakan lebih dari itu. Kita lebih menderita daripada seorang petani yang
menahan penderitaan dan mencegah kejahatan.

Syarkasi menatapnya dengan curiga dan berkata:

“Apakah Anda tinggal dipedesaan?”

“ Aku dilahirkan disana tuan.”

“MasyaAllah.”

Pembicaraan inipun berlangsung, dan kemudian profesor mengakhiri dengan tidurnya,


dan Affandi dengan kebaikan sikapnya memperhatikan pakaiannya, kemudian melihat
kami dan diapun tertawa. Namun dalam wajahnya, sang pelajar menampakkan suatu
kebencian. Sebetulnya berulang kali dia ingin bicara tapi rasa malu dan usianya yang
masih kecil mencegahnya untuk bicara dan aku tidak akan diam atas apa yang dikatakan
Syarkasi. Maka aku berkata padanya :

“wahai tuan, kaum tani seperti kita, haram bagi manusia untuk tidak memperlakukan
sesama manusia selayaknya. Maka aku menoleh pada sang Wali kota seolah-olah aku
sedang berhadapan dengannya dan dia berkata:

“Aku adalah orang yang lebih tahu soal petani, dan aku mendapat kehormatan untuk
menjadi walikota di negeri diamana didalamnya terdapat ribuan orang dan jika anda
berkenan mengetahui urusan-urusan petani, aku akan menjawabmu. Sesungguhnya para
petani, yang mulia Affandi, tidak akan sejahtera kecuali dengan suatu pukulan. Dan
perkataan ini benar.”

Dia menunjuk Syarkasi,

“Dan tidak menyembunyikan sebuah berita seperti orang yang memberitakan.


Maka Pelajar itu bangun dengan geram, dan tidak berhenti diam, katanya sambil gemetar:

Petani, wahai Wali kota yang agung.

Sang walikota menyela perkataan lalu dia berkata:

"katakan dengan senang hati, karena aku telah disedihkan oleh pangkat itu selama dua
puluh tahun.

Pelajar itu berkata:

wahai walikota yang mulia, Petani ,tidak tunduk pada perintahmu kecuali dengan pukulan
karena anda tidak membiasakannya selain dengan itu, jika Anda memperlakukannya
dengan baik, maka Anda benar benar akan menemukan seorang saudara saling mendukung
dan membantu mu. Tetapi sayangnya anda menyakitinya dengan sengaja dan menjadikan
kerusakan sebagai solusi dari kekerasan anda. Ini sungguh mengejutkan, Anda seorang
petani, dan menyalahkan saudara-saudara petani Anda.

Sang Walikota menggelengkan kepalanya, melihat Syarkasi dan berkata : Inilah hasil
pendidikan. Syarkasi berkata:

Dia tidur lalu bangkit, dan mendapati dirinya berdiri di sana.

Sedangkan Affandi dengankebaikan sikapnya, dia tertawa terbahak bahak sambil bertepuk
tangan dan berkata kepada pelajar .

Bravo wahai Affandi ,Bravo,Bravo... .

sarkasi melihat Affandi dia membengkak dan sulit bernafas. Dia berkata:

Siapa kamu?

Putra keberuntungan dan kemanusiaan,wahai manusia.

Dia tertawa terbahak bahak dan berkali-kali.

tidak ada seorang pun yang berpihak kepada sarkasi lalu dia berteriak dan berkali-kali
meludah di lantai, professor, dan sepatu sang walikota.

Kelakuan petani dari Sis.


Lalu si Syarkasi diam dan orang-orang yang hadir pun diam, dan keributan itu mulai
mereda karena sang Walikota menoleh ke arah Proffesor dan berkata:

engkau adalah sebaik baik hakim wahai tuan kami . maka tetapkanlah hukum pada kami
dari permasalah ini, professor menggelengkan kepalanya dan dia berdeham lalu meludah
dilantai dan berkata:

Kasus apa yang harus aku beri hukum, dengan izin Allah?

Apa yang lebih berfaedah bagi petani? Pendidikan atau Pukulan?

Profesor itu berkata:

Dengan nama Tuhan Yang Maha Pemurah Maha Penyayang "Sesungguhnya kami telah
memberikan kemenangan kepadamu, kemenangan yang nyata. "Nabi SAW berkata : ”
Jangan kau ajari ilmu anak anak para rakyat rendahan? Sang Professor kembali menutup
kelopak matanya, si Pelajar itu tertawa dan berkata: Engkau haram berkata seperti itu
wahai Proffesor. Sungguh perbandingan antara orang kaya dan orang faqir adalah yang
agung budi pekertinya, sehingga diantara mereka ada yang di tingkatan paling bawah.
Proffesor terbangun dari kelalaiannya dan berkata : Sesungguhnya semenjak kalian belajar
berbicara bahasa asing, rusaklah budi pekerti kalian, urusan-urusan agama kalian
terlupakan, dan kalian menjadi begitu sombong dan tidak memepercayai keberadaan Sang
Pencipta. Syarkasai dan sang Walikota berseru : "Anda Tuhan, profesor" Sirkasia
mengatakan: Seorang anak takut makan bersama ayahnya, dan hari ini dia mencium dan
ingin menamparnya. Sang Walikota berkata: Anak lelaki itu tidak dapat melihat wajah
pamannya dan sekarang dia duduk bersama istri saudaranya. Dan kereta berhenti di
Qalyub, aku mengucapkan salam lalu meninggalkan mereka dan berjalan menuju sebuah
desa, aku hampir tidak bisa mendengar suara kereta kereta berjalan di antara padang
rumput hijau karena banyak nya teriakan keras di telinga ku.
‫في القطار‬
‫صباح ناصع الجبين يجلي عن القلب الحزين ظلماته‪ ,‬ويرد للشيخ شبابه‪ ,‬ونسيم عليل ينعش‬
‫الفئدة ويسري عن النفس همومها‪ ,‬وفي الحديقة تتمايل الشجار يمنة ويسرة كأنها ترقص‬
‫لقدوم الصباح‪ ،‬والناس تسير في الطريق وقد دبت في نفوسهم حرارة العمل‪ ،‬وأنا مكتئب النفس‬
‫أنظر من النافذة لجمال الطبيعة‪ ،‬وأسأئل نفسي عن سر اكتئابها فل أهتدي لشيء‪ .‬تناولت ديوان‬
‫“موسيه” وحاولت القراءة‪ ،‬فلم أنجح فألقيت به على الخوان وجلست على مقعد واستسلمت‬
‫للتفكير كأني فريسة بين مخالب الدهر‪.‬‬

‫مكثت حينا ا أفكر ثم نهضت واقفاا‪ ،‬وتناولت عصاي وغادرت منزلي وسرت وأنا ل أعلم إلى أي‬
‫مكان تقودني قدماي‪ ،‬إلى أن وصلت إلى محطة باب الحديد وهناك وقفت مفكراا ثم اهتديت‬
‫للسفر ترويح اا للنفس‪ ،‬وابتعت تذكرة‪ ،‬وركبت القطار للضيعة لقضي فيها نهاري بأكمله‪.‬‬

‫وجلست في إحدى غرف القطار بجوار النافذة‪ ،‬ولم يكن بها أحد سواي وما لبثت في مكاني‬
‫حتى سمعت صوت بائع الجرائد يطن في أذني “وادي النيل‪ ،‬الهرام‪ ،‬المقطم “فابتعت إحداها‬
‫وهممت بالقراءة وإذا بباب الغرفة قد انفتح ودخل شيخ من المعممين‪ ،‬أسمر اللون طويل‬
‫القامة‪ ،‬نحيف القوام كث اللحية‪ ،‬له عينان أقفل أجفانهما الكسل‪ ،‬فكأنه لم يستيقظ من نومه بعد‪.‬‬
‫وجلس الستاذ غير بعيد عني‪ ،‬وخلع مركوبه الحمر قبل أن يتربع على المق‪ ،‬ثم بصق على‬
‫الرض ثلثا ماسحا شفتيه بمنديل أحمر يصلح أن يكون غطاء لطفل صغير‪ ،‬ثم أخرج من جيبه‬
‫مسبحة ذات مائة حبة وحبة وجعل يردد اسم ا والنبي والصحابة والولياء الصالحين‪ .‬فحولت‬
‫نظري عنه فإذا بي أرى في الغرفة شاباا ل أدري من أين دخل علينا‪ .‬ولعل انشغالي برؤية‬
‫الستاذ منعني أن أرى الشاب ساعة دخوله‪ .‬نظرت إلى الفتى وتبادر إلى ذهني أنه طالب ريفي‬
‫انتهى من تأدية امتحانه‪ ،‬وهو يعود إلى ضيعته ليقضي إجازته بين أهله وقومه‪ .‬نظرت إلى‬
‫الشاب كما ينظر إل يي ثم أخرج من حافظته رواية من روايات مسامرات الشعب وهم بالقراءة بعد‬
‫أن حول نظره عني الستاذ‪ ،‬ونظرت إلى الساعة راجياا أن يتحرك القطار قبل أن يوافينا مسافر‬
‫رابع‪ ،‬فإذا بأفندي وضاح الطلعة‪ ،‬حسن الهندام‪ ،‬دخل غرفتنا وهو يتبختر في مشيته ويردد‬
‫أنشودة طالما سمعتها من باعة الفجل والترمس‪ .‬جلس الفندي وهو يبتسم واضعا ا رجل على‬
‫رجل بعد أن قرأنا السلم‪ ،‬فرددناه رد الغريب على الغريب‪.‬‬

‫وساد السكون في الغرفة والتلميذ يقرأ روايته‪ ،‬والستاذ يسبح وهو غائب عن الوجود‪,‬‬
‫والفندي ينظر لملبسه طور اا وللمسافرين تارة أخرى‪ ،‬وأنا أقرأ وادي النيل منتظراا أن يتحرك‬
‫القطار قبل أن يوافينا مسافر خامس‪.‬‬
‫مكثنا هنيهة ل نتكلم كأنا ننتظر قدوم أحد فانفتح باب الغرفة ودخل شيخ يبلغ الستين‪ ،‬أحمر‬
‫الوجه براق العينين‪ ،‬يدل لون بشرته على أنه شركسي الصل‪ ،‬وكان ماسكا ا مظلة أكل عليها‬
‫الدهر وشرب‪ .‬أما حافة طربوشه فكانت تصل إلى أطراف أذنيه‪ .‬وجلس أمامي وهو يتفرس في‬
‫وجوه رفقائه المسافرين كأنه يسألهم من أين هم قادمون وإلى أين ذاهبون ثم سمعنا صفير‬
‫القطار ينبئ الناس بالمسير‪ ،‬وتحرك القطار بعد قليل‪ ،‬يقل من فيه إلى حيث هم قاصدون‪.‬‬

‫سافر القطار ونحن جلوس ل ننبس ببنت شفة‪ ،‬كأنما على رءوسنا الطير‪ ،‬حتى اقترب من‬
‫محطة شبرا‪ ،‬فإذا بالشركسي يحملق في ثم قال موجها كلمه إلي‪:‬‬

‫ـ هل من أخبار جديدة يا أفندي؟‬

‫فقلت وأنا ممسك الجريدة بيدي ـ ليس في أخبار اليوم ما يستلفت النظر اللهم إل خبر وزارة‬
‫المعارف بتعميم التعليم ومحاربة المية‪.‬‬

‫ولم يهمني الرجل أن أتم كلمي لنه اختطف الجريدة من يدي دون أن يستأذنني وابتدأ بالقراءة‬
‫ما يقع تحت عينيه‪ ،‬ولم يدهشني ما فعل لني أعلم الناس بحدة الشراكسة‪ .‬وبعد قليل وصل‬
‫القطار محطة شبرا وصعد منها أحد عمد القليوبية وهو رجل ضخم الجثة‪ ،‬كبير الشارب أفطس‬
‫النف‪ ،‬وله وجه به آثار الجدري‪ ،‬تظهر عليه مظاهر القوة والجهل‪ .‬جلس العمدة بجواري بعد‬
‫أن قرأ سورة الفاتحة وصلى على النبي ثم سار القطار قاصداا قليوب‪.‬‬

‫مكث الشركسي قلي ا‬


‫ل يقرأ الجريدة ثم طواها وألقى بها على الرض وهو يحترق من اللم وقال‪:‬‬

‫ـ يريدون تعميم التعليم ومحاربة المية حتى يرتقي الفلح إلى مصاف أسياده وقد جهلوا أنهم‬
‫يجنون جناية كبرى‪.‬‬

‫فالتقطت الجريدة من الرض وقلت‪:‬‬

‫ـ وأية جناية ؟‬

‫ـ إنك مازلت شاباا ل تعرف العلج الناجع لتربية الفلح‪.‬‬

‫ـ وأي علج تقصد؟ وهل من علج أنجع من التعليم؟‬

‫فقطب الشركسي حاجبيه وقال بلهجة الغاضب‪:‬‬

‫ـ هناك علج آخر…‪.‬‬

‫ـوما هو ؟‬

‫فصاح بملء فيه صيحة أفاق لها الستاذ من نومه وقال‪:‬‬


‫ـالسوط‪ .‬إن السوط ل يكلف الحكومة شيئاا أما التعليم فيتطلب أموال طائلة ول تنس أن الفلح ل‬
‫يذعن إل للضرب لنه اعتاده من المهد إلى اللحد‪.‬‬

‫وأردت أن أجيب الشركسي‪ ،‬ولكن العمدة حفظه ا كفاني مئونة الرد فقال للشركسي وهو‬
‫يبتسم ابتسامة صفراء‪:‬‬

‫ـ صدقت يا بيه صدقت ولو كنت تسكن الضياع لقلت أكثر من ذلك‪ .‬إنا نعاني من الفلح ما نعاني‬
‫لنكبح جماحه‪ ،‬ونمنعه من ارتكاب الجرائم‪.‬‬

‫فنظر إليه الشركسي نظرة ارتياب وقال‪:‬‬

‫ـ حضراتكم تسكنون الرياف؟‬

‫ـ أنا مولود بها يا بيه‪.‬‬

‫ـ ما شاء ا‪.‬‬

‫جرى هذا الحديث والستاذ يغط في نومه والفندي ذو الهندام الحسن ينظر لملبسه ثم ينظر لنا‬
‫ويضحك‪ ،‬أما التلميذ فكانت على وجهه سيم الشمئزاز‪ ،‬ولقد هم بالكلم مراراا فلم يمنعه إل‬
‫حياؤه وصغر سنه‪ ،‬ولم أطق سكوتا ا على ما فاه به الشركسي‪ ،‬فقلت له‪:‬‬

‫ـ الفلح يا بيه مثلنا وحرام أل يحسن النسان معاملة أخيه النسان‪ .‬فالتفت إلى العمدة كأني‬
‫وجهت الكلم إليه وقال‪:‬‬

‫ـ أنا أعلم الناس بالفلح‪ ،‬ولي الشرف أن أكون عمدة في بلد به ألف رجل وإن شئت أن يقف‬
‫على شئون الفلح أجيبك‪ .‬إن الفلح يا حضرة الفندي ل يفلح معه إل الضرب‪ ،‬ولقد صدق البك‬
‫فيما قال‪ .‬وأشار بيده إلى الشركسي‪:‬‬

‫ـ ول ينبئك مثل خبير‪.‬‬

‫فاستشاط التلميذ غضباا‪ ،‬ولم يطق السكوت‪ ،‬فقال وهو يرتجف‪:‬‬

‫ـ الفلح يا حضرة العمدة‪..‬‬

‫فقاطعه العمدة قائلا‪:‬‬

‫ـ قل يا سعادة البك لني حزت الرتبة منذ عشرين سنة‪.‬‬

‫قال التلميذ‪:‬‬
‫ـ الفلح يا حضرة العمدة ل يذعن لوامركم إل بالضرب لنكم لم تعودوه غير ذلك‪ ،‬فلو كنتم‬
‫أحسنتم صنيعكم معه لكنتم وجدتم فيه أخا يتكاتف معكم ويعاونكم‪ ،‬ولكنكم مع السف أسأتم إليه‬
‫فعمد إلى الضرار بكم تخلصاا من إساءتكم‪ .‬وإنه ليدهشني أن تكون فلحا ا وتنحي باللئمة على‬
‫إخوانك الفلحين‪.‬‬

‫فهز العمدة رأسه ونظر إلى الشركسي وقال‪:‬‬

‫ـ هذه هي نتائج التعليم‪.‬‬

‫فقال الشركسي‪:‬‬

‫ـ نام وقام فوجد نفسه قائم مقام‪.‬‬

‫أما الفندي ذو الهندام الحسن فإنه قهقهه وصفق بيديه وقال للتلميذ‪.‬‬

‫ـ برافو يا أفندي‪ ،‬برافو‪ ،‬برافو…‬

‫ونظر إليه الشركسي وقد انتفخت أوداجه وتعسر عليه التنفس وقال‪:‬‬

‫ـ ومن تكون أنت؟‬

‫ـ ابن الحظ والنس يا أأنس‪.‬‬

‫وقهقهه عدة ضحكات متوالية‪.‬‬

‫ولم يبق في قوس الشركسي منزع فصاح وهو يبصق على الرض طورا وعلى الستاذ وعلى‬
‫حذاء العمدة تارة‪:‬‬

‫ـ أدب سيس فلح‪.‬‬

‫ثم سكت وسكت الحاضرون‪ ،‬وأوشكت أن تهدأ العاصفة لول أن التفت العمدة إلى الستاذ وقال‪:‬‬

‫ـ أنت خير الحاكمين يا سيدنا فاحكم لنا في هذه القضية‪ .‬فهز الستاذ رأسه وتنحنح وبصق على‬
‫الرض وقال‪:‬‬

‫ـ وما هي القضية لحكم فيها بإذن ا جل وعل؟‬

‫ـ هل التعليم أفيد للفلح أم الضرب؟‬

‫ـفقال الستاذ ‪:‬‬


‫ـ بسم ا الرحمن الرحيم “إنا فتحنا لك فتحا مبينا‪“ .‬قال النبي عليه الصلة والسلم ل تعلموا‬
‫أولد السفلة العلم”‪.‬‬

‫وعاد الستاذ إلى خموله وإطباق أجفانه مستسلماا للذهول‪ ،‬فضحك التلميذ وهو يقول‪:‬‬

‫ـ حرام عليك يا أستاذ‪ .‬إن بين الغني والفقير من هو على خلق عظيم فما أن بينهم من هو في‬
‫الدرك السفل‪.‬‬

‫فأفاق الستاذ من غفلته وقال‪:‬‬

‫ـ واحسرتاه إنكم من يوم ما تعلمتم الرطن فسدت عليكم أخلقكم ونسيت أوامر دينكم ومنكم من‬
‫تبجح واستكبر وأنكر وجود الخالق‪.‬‬

‫فصاح الشركسي والعمدة “لك ا يا أستاذ ” وقال الشركسي‪:‬‬

‫ـ كان الولد يخاف أن يأكل مع أبيه‪ ،‬واليوم يشتمه ويهم بصفعه‪.‬‬

‫وقال العمدة‪:‬‬

‫ـ كان الولد ل يرى وجه عمته والن يجالس امرأة أخيه‪.‬‬

‫ووقف القطار في قليوب وقرأت الجميع السلم وغادرتهم وسرت في طريقي إلى الضيعة وأنا‬
‫أكاد ل أسمع دوي القطار وصفيره وهو يعدو بين المروج الخضراء لكثرة ما يصيح في أذني‬
‫من صدى الحديث‪.‬‬

Anda mungkin juga menyukai