Anda di halaman 1dari 27

Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 2

Kalam secara istilah menurut para Ulama ahli Nahwu adalah ungkapan bagi lafadz
yang punya faidah yang sempurna sehingga berhenti berbicara padanya itu tepat.

Lafadz itu jenis yang mencangkup kalam, kalimah (kata), dan kalim, dan juga
mencakup yang tidak terpakai dalam kalimat seperti: (DAIZ) dan juga
mencangkup yang digunakan dalam kalimat seperti: ('AMER)

Dan mufid/berfaidah itu mengeluarkan kata yang tidak digunakan.

Dan faaidatan yahsunus sukuutu ‘alaiha (Faidah yang sempurna sehingga diam
padanya itu tepat) itu mengeluarkan kata dan sebagian kalim. Dan kalim yang yang
dimaksud di sini (yang tidak disebut kalam) adalah yang tersusun dari tiga kata atau
lebih tapi tidak tepat berhenti padanya, contoh : (Jika Zaid berdiri).

Dan kalam hanya tersusun dari dua isim, misal : (Zaid adalah orang yang
berdiri). Atau tersusun dari fi’il dan isim, seperti : (Zaid telah berdiri). Dan
juga seperti perkataan Mushonnif (penyusun kitab) (istiqomahlah engkau).
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 3

Karena sesungguhnya itu adalah kalam yang tersusun dari fi’il amer dan fa’il yang
tersimpan, yang taqdirnya (perkiraannya) adalah : (istiqomahlah engkau).

Maka dengan contoh tersebut, dianggap cukup untuk mewakili tentang apa yang
dimaksud dari ungkapan :
(Faidah yang sempurna sehingga diam padanya itu tepat).
Maka seakan-akan mushonnif mengatakan : Kalam adalah lafadz yang berfaidah
yang memberikan makna sempurna seperti sempurnanya kalimat
(istiqomahlah engkau).

Dan sesungguhnya saja Mushonnif mengatakan adalah agar diketahui bahwa


pengertian kalam di sini adalah pengertian kalam menurut Ulama Nahwu bukan
menurut ahli Bahasa karena secara bahasa adalah sebuah nama bagi setiap yang
terucap baik berfaidah ataupun tidak.

Dan Kalim adalah isim jenis yang bentuk satunya adalah /kalimah, dan kalimah
adakalanya berupa isim, adakalanya berupa fi'il dan adakalanya berupa huruf, karena
kalimah(kata) apabila pada dzatnya memilki makna serta tidak ada kaitannya dengan
waktu maka itu adalah ISIM, dan suatu kata apabila pada dzatnya dia memiliki
makna serta berkaitan dengan waktu maka itu adalah FI'IL, dan suatu kata apabila
pada dzatnya dia tidak punya makna melainkan ketika disambungkan dengan yang
lainnya maka itu adalah HURUF.

Dan KALIM adalah kalimat yang tersusun dari 3 kata atau lebih, seperti perkataan
engkau :
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 4

Sedangkan (kata) adalah lafadz yang digunakan untuk satu kata yang memiliki
makna.

Maka perkataan kami (yang digunakan untuk satu makna) itu


mengecualikan kata yang muhmal (tidak digunakan) seperti : (DAIZ), dan
perkataan kami (satu kata) itu mengecualikan KALAM karena yang namanya
KALAM itu digunakan untuk kalimat yang bukan satu kata serta mengandung
makna yang sempurna.

Kemudian Mushonnif rahimahullah menyebutkan bahwa qoul itu bisa mencakup


semuanya, baik kalam, kalim, maupun kalimah disebut sebagai qoul.

Sebagian ada yang menganggap bahwa aslinya qoul itu digunakan untuk kata yang
sendirian.

Kemudian mushonnif menyebutkan bahwa terkadang kalam disebut dengan kalimah


seperti ucapan mereka tentang disebut kalimah ikhlas.

Dan terkadang kalam dan kalim benar-benar berkumpul dalam satu kalimat, dan
terkadang salah satu dari keduanya berdiri sendiri.

Contoh dari berkumpulnya kalam dan kalim terdapat pada kalimat ini
disebut kalam karena memiliki makna yang sempurna dan tepatnya berhenti pada
kalimat tersebut, dan juga disebut sebagai kalim karena ungkapan tersebut tersusun
dari 3 kata.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 5

Dan contoh ungkapan yang hanya disebut sebagai kalim dan bukan kalam adalah
, dan contoh ungkapan yang hanya disebut sebagai kalam dan bukan kalim
adalah .

Dengan jar, tanwin, nida, al dan musnad, isim bisa dibedakan dari yang
lainnya.

Di dalam bait ini Mushonnif rahimahullah menyebutkan tanda-tanda isim.

Diantaranya adalah jar, dan itu mencakup jar dengan huruf, dengan idhofah, serta
jar dengan taba'iyyah (mengikut pada isim yang dijar), dan ketiga hal tersebut
terangkum dalam sebuah contoh kalimat : Saya telah melewati
pembatunya Zaid yang mulia.

Maka itu dijar dengan huruf, dan dijar dengan idhofah, dan dijar
dengan taba'iyyah.

Dan penyebutan jar itu lebih luas cakupannya dibandingkan perkataan selain
mushonnif dengan menyebutkan "dengan huruf jar", karena kalau dikatakan "dengan
huruf jar" maka hal ini tidak termasuk di dalamnya jar yang dengan idhofah, dan
tidak pula jar yang dengan taba'iyyah.

Diantara tanda isim adalah TANWIN, dan tanwin ada 4 macam : yaitu TANWIN
TAMKIN adalah tanwin yang terdapat pada isim mu'rob, seperti dan , dan
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 6

dikecualikan dari ini adalah tanwin yang ada pada jamak muannats salim seperti
, dan dikecualikan juga tanwin yang terdapat pada contoh semisal /
budak-budak wanita/perahu-perahu, dan (kain penutup / peristiwa yang
dahsyat) dan akan datang tentang penjelasan hukum dari dua hal ini.

Dan tanwin tankir yaitu tanwin yang terdapat pada isim yang mabniy untuk
membedakan ma'rifah dan nakirohya, contoh : . Saya
melewati Sibawaih dan Sibawaih yang lain.

Yang berikutnya tanwin muqobalah, yaitu tanwin yang ada pada jamak muannats
salim, contoh , disebut tanwin muqobalah karena tanwinnya sebagai
perbandingan huruf yang ada pada jamak mudzakkar salim seperti .

Dan tanwin 'iwadh (pengganti), dan itu ada 3 macam : Pengganti dari jumlah, dan
itu tanwin yang terdapat pada sebagai pengganti dari jumlah yang ada setelahnya,
seperti Firman Allah ta'ala : "dan kalian ketika itu melihat," (QS.
Al-Waqi'ah: Ayat 84). Maksudnya ketika itu adalah ketika nyawa sampai di
kerongkongan. Maka dihilangkan kalimat : dan didatangkan
tanwin sebagai pengganti dari kalimat yang dihilangkan tersebut.

Dan sebagiannya adalah mengganti dari isim yaitu yang terdapat pada lafadz
yang mana tanwinnya sebagai pengganti dari apa yang diidhofahkan kepadanya,
contoh : . Semuanya berdiri. Maknanya “Semua manusia
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 7

berdiri”. Kemudian dihilangkan lafadz dan didatangkan tanwin pada


sebagai ganti dari lafafz yang dihilangkan.

Dan sebagian yang lain adalah sebagai pengganti dari huruf, dan itu adalah tanwin
yang terdapat pada dan dan yang semacam dari keduanya ketika dalam
keadaan rofa' dan jar, contoh : “Mereka adalah para budak
perempuan, dan saya melewati para budak perempuan”. Kemudian dihilangkan
ya'nya dan didatangkan tanwin sebagai pengganti dari ya' yang dihilangkan tersebut.

Dan tanwin tarannum adalah tanwin yang terdapat pada qowafiy muthlaqoh (sajak
syair yang mutlak dibaca huruf terakhirnya) yang diperpanjang dengan huruf ‘illah,
seperti yang terdapat pada ungkapan seorang penyair :
tinggalkanlah mencela dan memaki olehmu wahai perempuan yang suka mencela,
dan katakanlah olehmu jika aku benar maka sungguh aku
telah berbuat benar.

Maka didatangkan tanwin sebagai pengganti alif (huruf ‘illah) untuk tujuan
tarannum (keindahan bunyi huruf pada akhir bait syair). Dan juga seperti perkataan
yang lainnya : telah dekat waktu
pemberangkatan, hanya saja kendaraan kami belum berangkat, seakan-akan waktu
perpisahan telah terjadi.

Dan yang berikutnya tanwin gholiy dan ini telah ditetapkan oleh Imam Akhfasy
yaitu tanwin yang terdapat pada qowafiy muqoyyadah (sajak syair yang dibaca
dengan sukun huruf terakhirnya) seperti perkataan seorang penyair :
, banyak pedalaman yang jauh tidak ada yang bisa menempuhnya.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 8

Secara lahiriyah dari perkataan mushonnif menunjukkan bahwa tanwin semuanya


merupakan ciri khas dari isim, padahal kenyataannya tidaklah demikian, karena
tanwin yang merupakan ciri khas dari isim itu hanyalah tanwin tamkin, tankir,
muqobalah, dan ‘iwadh, adapun tanwin tarannum dan tanwin gholiy itu bisa terdapat
pada isim, fi’il, dan huruf.

Dan termasuk ciri khas isim adalah nida’, contoh : Wahai Zaid ! Dan alif lam,
contoh : (orang laki-laki), dan musnad ilaih, contoh : (Zaid orang yang
berdiri).

Maka makna dari bait ini adalah : Isim bisa dibedakan dari fi’il dan huruf itu dengan
adanya jar, tanwin, nida, alif lam, dan musnad ilaih yaitu yang dikhabarkan.

Dan Mushonnif menggunakan istilah AL untuk mengganti istilah alif lam, ungkapan
seperti ini pernah digunakan oleh Ulama Mutaqoddimin seperti Imam Khalil. Dan
Mushonnif menggunakan istilah musnad pengganti dari isnad lahu.

Dengan adanya ta’ pada lafadz dan dan ya’ pada lafadz dan nunnya
lafadz fi’il menjadi jelas.

Kemudian mushonnif menyebutkan bahwa fi’il bisa dibedakan dari isim dan huruf
dengan adanya ta’ pada lafadz dan yang dimaksud adalah ta’ fa’il. Dan ta’ fa’il
apabila berharakat dhommah maka untuk menunjukkan makna mutakallim, contoh:
(Saya telah berbuat), dan apabila berharakat fathah maka untuk menunjukkan
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 9

makna mukhathab, contoh: (Maha suci Engkau), dan apabila berharakat


kasrah maka untuk menunjukkan mukhathabah, contoh: (kamu (perempuan)
telah berbuat).

Dan juga dibedakan fi’il dari isim dan huruf dengan adanya ta’ pada lafadz dan
yang dimaksud di sini adalah ta’ ta’nits saakinah, contoh: (sebaik-baik), dan
(sejelek-jelek). Dan kami membatasi dengan istilah (huruf yang
bersukun) dari apa yang terdapat pada isim-isim, karena ta’ yang terdapat pada isim-
isim itu ta’ ta’nits tapi berharakat (tidak bersukun) dengan harakat yang
menunjukkan i’robnya, contoh : (Ini seorang muslimah = ), (Saya melihat
seorang muslimah = ), (Saya melewati seorang muslimah= )

Dan dari yang terdapat pada huruf, contoh : (tidak), (jarang),


(Kemudian), adapun sukun pada lafadz dan itu jarang, contoh: dan .

Dan juga fi’il dibedakan dari isim dan huruf dengan adanya ya’ pada lafadz dan
yang dimaksud dengannya adalah ya’ fa’ilah ( ya’ yang berkedudukan sebagai fa’il).

Dan ya’ fa’ilah itu terdapat pada fi’il amer, contoh : (pukullah oleh engkau
(perempuan)), dan terdapat juga pada fi’il mudhari’ contoh : (engkau
(perempuan) sedang/akan memukul), dan tidak terdapat pada fi’il madhi.

Dan sesungguhnya saja Mushonnif mengatakan ya’ pada lafadz dan tidak
mengatakan ya’ dhomir, karena yang namanya ya’ dhomir itu masuk di dalamnya
ya’ mutakallim dan ini bukan termasu ciri khas bagi fi’il meskipun ada juga yang
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 10

bersambung dengan fi’il, contoh : (dia memuliakanku), dan juga ada yang
bersambung dengan isim, contoh : (pembantuku), serta ada juga yang
bersambung dengan huruf, contoh : (sesungguhnya saya), berbeda dengan ya’
nya karena yang dimaksud dengannya adalah ya’ fa’ilah sebagaimana
penjelasan yang suah lewat, dan ya’ fa’ilah itu hanya terdapat pada fi’il.

Dan yang termasuk membedakan fi’il adalah adanya nun pada lafadz dan yang
dimaksud dengannya adalah nun taukid, baik nun taukid khofiifah ( yang ringan )
maupun nun taukid tsaqiilah ( yang berat ).

Contoh yang khofiifah adalah firman Allah ta’ala : (Niscaya Kami


tarik ubun-bunnya) {Al ‘Alaq:15}.

Dan contoh nun taukid Tsaqiilah adalah firman Allah ta’ala :


(Benar-benar kami akan mengusirmu wahai Su’aib) {al A’raf:88}

Maka makna bait kali ini adalah : Fi’il dapat dibedakan dari isim dan huruf secara
jelas dengan adanya ta’ fa’il, ta’ ta’nits sakinah, ya’ fa’ilah dan nun taukid.

“Selain dari keduanya (isim dan fi’il) adalah huruf, seperti , , dan .

Fi’il mudhori’ terletak setelah , seperti (tidak mencium aroma),


Bedakanlah fi'il madhi dengan adanya ta' dan tandailah fi'il amer dengan adanya nun
apabila hal tersebut mengandung makna perintah."

Mushonnif mengisyaratkan bahwa huruf dibedakan dari isim dan fi’il dengan tidak
adanya tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il, kemudian memberikan contoh dengan
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 11

, , dan , agar diketahui bahwa huruf itu terbagi menjadi dua, yaitu yang
mukhtash ( khusus) dan ghoiru mukhtash (tidak khusus).

Dan mengisyaratkan dengan untuk yang tidak khusus artinya bisa masuk pada
isim dan fi’il, contoh : (Apakah Zaid itu orang yang berdiri), dan
(Apakah Zaid telah berdiri)

Dan mengisyaratkan dengan dan untuk yang khusus. Dan yang khusus itu ada
dua : yang khusus masuk pada isim seperti , contoh: (Zaid di dalam
rumah), dan yang khusus masuk pada fi’il seperti , contoh: (Zaid tidak
berdiri).

Kemudian mushonnif mulai menjelaskan bahwa fi’il itu terbagi menjadi fi’il madhi,
mudhori’, dan amer, dan menjadikan tanda bagi fi’il mudhori’ adalah bisa masuknya
padanya, seperti perkataanmu dalam contoh (mencium aroma) menjadi
(tidak mencium aroma), dan dalam contoh (memukul) menjadi
(tidak memukul), terhadap hal ini musshonnif mengisyaratkan dengan perkataannya
: (fi’il mudhori terletak setelah , seperti (tidak
mencium aroma)

Kemudian Mushonnif mengisyaratkan kepada sesuatu yang bisa membedakan fiil


madhi dari yang lainnya dengan perkataan beliau : Dan bedakanlah fiil madhi itu
dengan adanya ta’, dan yang dimaksud dengan ta’ di sini adalah ta’ fa’il dan ta’nits
sakinah karena keduanya itu hanya masuk pada lafadz fi’il madhi, contoh :
(Maha Suci Engkau wahai dzat yang memiliki kebesaran dan
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 12

kemuliaan), dan (Sebaik-baik orang perempuan adalah Hindun), dan


(sejelek-jelek orang perempuan adalah Da’dun).

Kemudian di bagian akhir sisa dari bait Mushonnif menyebutkan tanda yang dimiliki
oleh fi’il amer, yaitu bisa menerima nun taukid sekaligus menunjukkan makna
perintah berkaitan dengan bentuk lafadz tersebut, contoh : (pukullah oleh
engkau dengan sungguh-sungguh), dan (keluarlah engkau dengan sungguh-
sungguh), sehingga apabila ada satu kata yang menunjukkan makna perintah tapi
tidak bisa menerima nun taukid, maka itu bukan fi’il amer tapi isim fi’il, dan kepada
hal ini Mushonnif mengisyaratkan dengan perkataannya :

Dan lafadz yang mengandung makna perintah jika tidak menerima nun taukid maka
itu adalah isim, contoh: (diamlah), dan (kemarilah)

Maka dan keduanya adalah isim meskipun menunjukkan makna perintah


karena keduanya tidak bisa menerima nun taukid, maka engkau tidak berkata:
dan meskipun maknanya “diamlah” dan maknanya “kemarilah” .
.

Maka yang membedakan antara keduanya adalah bisa menerima nun taukid dan
tidak bisa menerima nun taukid, contoh: (benar-benar diamlah engkau), dan
(benar-benar kemarilah engkau), dan tidak boleh pada lafadz: dan .
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 13

Isim sebagiannya ada yang mu’rob dan sebagiannya ada yang mabniy karena
kemiripannya dekat dengan huruf.

Mushonnif mengisyaratkan bahwa isim itu terbagi menjadi dua bagian :


Pertama, isim mu’rob, yaitu isim yang bebas dari kemiripannya dengan huruf.
Kedua, isim mabniy, yaitu isim yang menyerupai huruf. Dan itu yang dimaksud
dengan perkataan Mushonnif : (karena kemiripannya isim dekat
dengan huruf), maksudnya karena isim tersebut kemiripannya mendekatkan kepada
huruf. Maka mabninya isim, menurut mushonnif, itu terbatas karena kemiripannya
dengan huruf.

Kemudian Mushonnif membagi bentuk-bentuk kemiripannya isim dengan huruf


pada dua bait berikutnya setelah bait ini, dan apa yang dijelaskan oleh Mushonnif
ini dekat dengan apa yang menjadi pendapatnya Abu ‘Aliy Alfarisiy di mana beliau
menjadikan penyebab mabninya isim itu terbatas pada kemiripannya terhadap huruf
atau sesuatu yang mengandung makna huruf.

Dan Imam Sibawaih Rahimahullah menentukan bahwa mabninya isim semuanya


kembali pada kemiripannya dengan huruf, demikan juga hal ini diisebutkan oleh
yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abi Rabi’.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 14

“Hal itu seperti kemiripan isim mabniy terhadap huruf dari segi bentuknya
yang terdapat pada dua isimnya lafadz , dan kemiripannya dari segi
makna yang terdapat pada lafadz dan

Dan karena menggantikan kedudukan fi'il tanpa terpengaruh, dan seperti


membutuhkan pada yang lain yang merupakan sambungannya".

Dalam dua bait ini, mushonnif menyebutkan bentuk-bentuk kemiripannya isim


terhadap huruf dalam empat tempat :

Yang pertama, kemiripannya isim terhadap huruf dari segi bentuk, seperti isim itu
dibentuk pada satu huruf seperti ta’ pada lafadz atau dua huruf seperti pada
lafadz

Dan terhadap hal tersebut mushonnif mengisyaratkan dengan perkataannya :


(dalam dua isim yang terdapat pada lafadz ji’tanaa),

Maka ta’ pada lafadz ji’tanaa merupakan isim karena dia adalah fa’il dan dia mabniy
disebabkan menyerupai huruf dari sisi bentuknya pada satu huruf, demikian juga naa
merupakan isim karena dia merupakan maf’ul, dan dia mabniy karena menyerupai
huruf dari sisi bentuknya pada dua huruf.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 15

Yang kedua, menyerupainya isim mabniy terhadap huruf dari sisi makna, dan itu ada
dua : yang pertama isim yang menyerupai huruf yang ada, dan yang kedua yang
menyerupai huruf yang tidak ada.

Contoh yang pertama adalah , maka termasuk isim mabniy karena


menyerupai huruf secara makna, ia digunakan untuk istifham (pertanyaan) contoh :
(kapan engkau berdiri?). Dan digunakan untuk syarat, contoh :
(kapan saja engkau berdiri, maka saya juga berdiri).

Maka dalam dua keadaan contoh tersebut dia menyerupai huruf yang ada, karena di
dalam istifham seperti hamzah, dan di dalam syarat seperti .

Dan contoh yang kedua , maka dia termasuk isim mabniy, maka dia termasuk isim
mabniy karena dia menyerupai huruf yang selayaknya ada huruf ditempatkan untuk
perbandingan baginya tetapi tidak ada huruf yang bisa ditempatkan untuk
perbandingan baginya, mengingat isyarat adalah salah satu makna dari makna-
makna yang ada, maka seharusnya ada satu huruf yang ditempatkan untuknya yang
menujukkan pada isyarat.

Sebagaimana mereka menempatkan untuk makna nafi(meniadakan), dan


menempatkan untuk makna nahi (melarang), dan untuk makna tamanni
(angan-angan), dan untuk makna tarajji (harapan), dan yang lainnya. Maka isim
isyarah itu dihukumi mabniy karena menyerupainya dia secara makna terhadap
huruf yang dikira-kirakan.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 16

Ketiga : keserupaan isim mabniy dengan huruf dalam hal menggantikan kedudukan
fi’il dan dia tidak terpengaruh oleh ‘amil, seperti isim-sim fi’il, contohnya :
(susullah Zaid).

Maka lafadz itu mabniy karena menyerupainya dengan huruf dari sisi dia bisa
memperngaruhi yang lainnya tapi yang lainnya tidak bisa mempengaruhinya,
sebagaimana huruf juga seperti itu.

Dan mengecualikan dengan perkataan mushonnif (tanpa terpengaruh) dari


isim yang menggantikan kedudukan fi’il akan tetapi dia terpengaruh oleh ‘amil yang
masuk padanya, contoh lafadz (pukullah Zaid), maka lafadz di sini
menggantikan (pukullah) dan tidak mabniy, dikarenakan dia terpengaruh
oleh ‘amil yang masuk padanya, karena hakikatnya dia dinashob oleh fi’il yang
dibuang, berbeda dengan meskipun dia menggantikan fi’il tapi dia tidak
terpengaruh oleh ‘amil.

KESIMPULAN dari apa yang disebutkan oleh Mushonnif bahwa mashdar yang
ditempatkan pada tempatnya fi’il, dan isim-isim fi’il keduanya itu punya kesamaan
dari sisi menggantikan fungsi fi’il, akan tetapi mashdar itu terpengaruh oleh ‘amil
sehingga dihukumi mu’rob karena tidak menyerupai huruf, sedangkan isim-isim fi’il
itu tidak terpengaruh oleh ‘amil sehingga dia dihukumi mabniy karena dia
menyerupai huruf , berupa isim fi’il itu menggantikan kedudukan fi’il , dan dia tidak
terpengaruh oleh ‘amil.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 17

Dan ini yang disebutkan oleh Mushonnif hukumnya mabniy dan juga isim-isim fi’il
tidak punya posisi di dalam i’rob, dan masalah ini ada perbedaan pendapat, dan akan
kami sebutkan pada isim-isim fi’il (insya Allah).

Keempat : menyerupai huruf dalam hal membutuhkan pada yang lain sebagai
sambungannya.

Dan hal ini diisyaratkan oleh mushonnif dengan perkataannya : (dan


seperti membutuhkan pada yang lain sebagai sambungannya), dan hal itu seperti
isim-isim maushul. Contoh : karena isim maushul dalam seluruh keadaannya
membutuhkan kepada shilahnya (shilah maushul) sehingga isim-isim maushul itu
menyerupai huruf dari sisi selalu membutuhkan pada yang lain oleh karena itu
dihukumi mabniy.

Dan kesimpulan dari dua bait di atas adalah isim mabniy itu ada enam macam, yaitu:
isim dhomir, isim syarat, isim istifham, isim isyarah, isim fi’il, dan isim maushul.

“Dan isim yang mu’rob adalah isim yang selamat dari menyerupai huruf,
seperti (bumi) dan (nama)”.

Yang dikehendaki oleh mushonnif adalah isim mu’rob itu berbeda dengan isim yang
mabniy, dan penjelasannya sudah lewat bahwa isim mabniy adalah isim yang
menyerupai huruf maka isim mu’rob itu isim yang tidak menyerupai huruf.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 18

Dan isim mu’rob itu ada yang shohih yaitu isim yang huruf akhirnya bukan huruf
‘illah seperti dan ada yang mu’tal yaitu isim yang huruf akhirnya berupa huruf
‘illah seperti .

Dan secara bahasa bermakna nama, dan itu ada enam bacaan, yaitu ada yang
membaca usmun, ismun, sumun, simun, dan suman, siman.

Dan isim mu’rob juga ada yang mutamakkin amkan yaitu isim mu’rob yang
munshorif seperti dan dan ada yang mutamakkin ghoiru amkan yaitu isim
mu’rob yang ghoiru munshorif, contoh: , , dan . Maka ghoiru
mutamakkin adalah isim mabniy, dan mutamakkin adalah isim mu’rob, dan itu ada
dua yaitu mutamakkin amkan dan mutamakkin ghoiru amkan.

Fi’il amer dan madhi keduanya hukumnya mabniy, dan mereka ahli nahwu
menghukumi mu’rob pada fi’il mudhori’ jika tidak terdapat pada fi’il
mudhori’ tersebut nun taukid yang langsung bertemu dan nun inats seperti
pada lafadz (mereka perempuan banyak takuta pada orang yang
tergoda)

Setelah Mushonnif selesai menjelaskan isim-isim yang mu’rob dan mabniy


kemudian beliau mulai menjelaskan fi’il-fi’il yang mu’rob dan mabniy.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 19

Menurut ulama Bashrah, i’rob itu asal di dalam isim, dan cabang di dalam fi’il, maka
asal di dalam fi’il adalah mabniy menurut mereka.

Sedangkan ulama Kufah berpendapat bahwa i’rob itu asal baik di dalam isim dan
fi’il, dan pendapat yang pertama itulah yang benar.

Dhiyauddin ibnu ‘ilaj di dalam kitabnya Albashith menukil bahwa sebagian ahli
nahwu berpendapat i’rob itu asal di dalam fi’il dan cabang di dalam isim.

Mabniy dari fi’il itu ada dua:

1. Yang disepakati mabninya yaitu fi’il madhi dan tanda mabninya adalah fathah,
contoh: (telah berangkat), dan (telah berangkat), selama dia tidak bertemu
dengan wawu dhomir jamak, maka ketika itu dia didhommah, atau dhomir rofa’
mutaharrik, maka ketika itu dia disukun.

2. Yang diperselisihkan mabninya meskipun pendapat yang kuat dia adalah mabniy,
dan itu adalah fi’il amer contoh: ْ‫( اِض ِْرب‬pukullah), maka menurut ulama Bashrah fi’il
amer itu adalah mabniy dan menurut ulama Kufah fi’il amer itu mu’rab.

Dan Fi’il yang mu’rob adalah fi’il mudhari’ dan dia dihukumi mu’rob hanya ketika
tidak bersambung dengan nun taukid maupun nun inats.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 20

Contoh ketika bertemu dengan nun taukid secara langsung adalah :


(Apakah benar-benar engkau memukul?) dan fi’il mudhari’ yang bersambung denga
nun taukid itu hukumnya mabniy fathah, dan tidak ada bedanya baik nun taukid
khofifah maupun tsaqilah.

Jika tidak bersambung dengan nun taukid secara langsung, maka tidak mabniy, hal
itu misalnya ketika ada pemisah berupa alif istnain antara fi’il mudhori dan nun
taukid, contoh : (Apakah engkau berdua benar-benar sedang/akan
memukul?).

Asalnya maka di sini terkumpul tiga huruf nun kemudian dibuang nun yang
pertama yang merupakan nun tanda rafa’nya untuk mencegah beriringannya tiga
huruf nun dalam satu lafadz, sehingga menjadi: .

Demikian pula fi’il mudhori’ dihukumi mu’rob apabila ada wawu dhomir jamak atau
ya mukhothobah yang memisahkan antara fi’il mudhori’ dengan nun taukid.

Contoh : ‫؟‬ (apakah benar-benar kalian sedang/akan memukul wahai


para Zaid?) dan contoh (apakah engkau benar-benar sedanglakan
memukul wahai Hindun?).

Dan asal dari adalah kemudian dibuang nun yang pertama karena
berurutannya tiga huruf yang sama (huruf nun) sebagaimana yang sudah lewat, maka
menjadi , kemudian huruf wawunya dibuang karena bertemunya dua huruf
yang bersukun, maka menjadi , demikian pula asalnya kemudian
disederhanakan sebagaimana disederhanakannya lafadz .
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 21

Dan ini yang dimaksud dengan perkataan mushonnif


(dan mereka ahli nahwu menghukumi mu’rob pada fi’il mudhori’ jika
tidak terdapat pada fi’il mudhori’ tersebut nun taukid yang langsung bertemu).

Maka mushonnif mensyaratkan mu’robnya fi’il mudhori’ itu apabila kosong dari hal
tersebut (nun taukid yang langsung bertemu), dengan kata lain apabila fi’il mudhori
tidak kosong dari nun taukid yang langsung bertemu maka dia dihukumi mabniy.

Maka dapat diketahui dari pendapat mushonnif ini bahwa fi’il mudhori’ itu
dihukumi mabniy hanyalah apabila bertemu langsung dengan nun taukid.

Contoh: (apakah engkau benar-benar sedang/akan memukul wahai


Zaid)

Sehingga jika nun taukid tidak bertemu langsung dengan fi’il mudhori’ maka
dihukumi mu’rob, dan ini pendapatnya kebanyakan ahli nahwu.

Dan Imam Akhfasy berpendapat bahwa fi’il mudhori’ itu hukumnya mabniy ketika
bertemu dengan nun taukid baik langsung maupun tidak.

Dan ada pendapat lain yang dinukil dari sebagian ahli nahwu bahwa fi’il mudhori’
itu mu’rob meskipun bersambung dengan nun taukid.

Contoh bersambungnya nun inats pada fi’il mudhori’ adalah : (para


hindun mereka sedang/akan memukul), fil mudhori’ yang bersambung dengan nun
inats itu hukumnya mabniy sukun.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 22

Mushonnif menukil di beberapa kitabnya bahwa tidak ada perbedaan tentang


mabninya fi’il mudori’ ketika bersambung dengan nun inats, padahal kenyataannya
tidaklah demikian, bahkan perbedaan tersebut ada sebagaimana yang dinukil oleh
Ustadz Abul Hasan ibnu ‘Ushfur di dalam syarh Al-iidhooh.

“Semua huruf itu berhak untuk dimabnikan, dan asal dari mabniy adalah
menggunakan sukun, dan diantara mabniy itu ada yang menggunakan
fathah, kasroh,dan dhommah, seperti dan contoh yang sukun
adalah ْ‫ كَم‬.”

Semua huruf mabniy, karena tidak berubah padanya yaitu dia selalu membutuhkan
dari sisi ma’na yang dikandungnya membutuhkan pada i’rob.

Contoh : ‫( أ َ َخذتْ ِمنَْ الد ََّرا ِهي ِْم‬Aku mengambil sebagian dirham), maka ma’na
SEBAGIAN itu diambil dari lafadz tanpa i’rob.

Asalnya mabniy itu adalah menggunakan sukun, karena sukun itu lebih ringan dari
harakat, dan sesuatu yang mabniy itu diberi harakat hanya apabila ada penyebab
seperti menghindar dari bertemunya dua huruf yang bersukun.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 23

Dan terkadang harakat yang mabniy itu fathah seperti (dimana) , (telah
berdiri), ‫( إِن‬sesungguhnya).

Dan terkadang kasroh seperti (kemarin) dan (iya).

Dan terkadang dhommah seperti (dimana) dan dia isim, dan (sejak) dan dia
huruf apabila engkau menjadikannya sebagai huruf jar.

Dan adapun yang sukun contohnya (berapakah), (pukullah), dan (iya).

Dan bisa diketahui dari apa yang sudah kita contohkan bahwa mabniy menggunakan
kasroh dan dhommah hanya terdapat pada isim dan huruf dan tidak ada pada fi’il.

Sedangkan mabniy menggunakan fathah ataupun sukun itu terdapat pada isim, fi’il,
dan huruf.

“Jadikanlah rofa’ dan nashob sebagai i’rob bagi isim dan fi’il, contoh: ْ
(sama sekali saya tidak takut).

Dan isim memiliki i’rob khusus berupa jarr, sebagaimana fi’il memiliki i’rob
khusus berupa jazem.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 24

Maka rofa’kanlah dengan dhommah dan nashobkanlah dengan fathah, dan


jarkanlah dengan kasroh, dan contoh dari tiga i’rob tersebut adalah seperti
lafad ْ ْ ْ (Allah mengingat hambaNya itu membuat gembira).

Dan jazemkanlah dengan sukun, selain dari apa yang disebutkan itu ada yang
menggantikan, contoh: ْ ْ ْ (Telah datang sudaranya bani namir)”

I’rob itu ada 4 macam: rofa’ nashob, jarr, dan jazem.

Adapun rofa’ dan nashob itu ada pada isim dan fi’il,

Contoh : (Zaid sedang/akan berdiri) dan (Sesungguhnya Zaid


itu tidak akan pernah berdiri).

Dan adapun jarr itu khusus hanya pada isim, contoh:

Dan adapun jazem itu khusus hanya pada fi’il, contoh: (Dia tidak memukul)

Rofa’ itu tandanya dengan dhommah, nashob dengan fathah, jarr dengan kasroh, dan
jazem tandanya itu dengan sukun.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 25

Dan selain dari tanda tersebut maka itu merupakan tanda gantian darinya,
sebagaimana wawu menggantikan dhommah pada lafadz dan ya’ menggantikan
kasroh pada lafadz dari perkataan Mushonnif

Dan Mushonnif akan menjelaskan setelah ini tempat-tempat bagi tanda gantian.

Rafa'kanlah dengan wawu, dan nashabkanlah dengan alif, serta


majrurkanlah dengan ya' pada isim-isim yang akan disebutkan.

Mushonnif mulai menjelaskan isim-isim yang i'robnya menggunakan tanda gantian


dari apa yang sudah disebutkan sebelumnya.

Dan yang dimaksud dengan isim-isim tersebut yang akan dijelaskan adalah
ASMAUS SITTAH, yaitu : (ayahmu) = , (Saudara lelakimu) = , (iparmu) = ,
(anu/sesuatu) = , (mulutnya) = , (orang yang berharta)=

Maka ini semua dirofa' dengan wawu, contoh : (telah datang ayahnya
Zaid)

Dan dinashab dengan alif, contoh : (saya melihat ayahnya)

Dan dijarr dengan ya' , contoh : (saya melewati ayahnya)


Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 26

Dan pendapat yang mashur isum-isim yang enam tersebut dii'robi dengan huruf,

Sehingga wawu sebagai gantian dari dhammah, alif gantian dari fathah, dan ya'
gantian dari kasrah.

Dan hal itu yang diisyaratkan oleh mushonnif dengan perkataannya :


(rafa'kanlah dengan wawu sampai selesai bait tesebut)

Dan yang benar adalah Asmaus sittah tersebut dii'robi dengan harakat yang dikira-
kirakan pada wawu, alif, dan ya'.

Maka rafa'nya dengan dhammah yang dikira-kirakan pada wawu. Nashabnya


dengan fathah yang dikira-kirakan pada alif. Jarrnya dengan kasrah yang dikira-
kirakan pada ya'.

Maka menurut pendapat yang benar ini tidak ada istilah ADANYA SESUATU
YANG MENGGANTIKAN SESUATU YANG LAIN, sebagaimana penjelasan
yang sudah lewat.
Kajian Ustadz Abu Muhammad Agus Waluyo 27

LAMPIRAN
SOAL DAN JAWABAN EVALUASI KAJIAN ALFIYYAH
1. Berikan contoh ‫ أمس‬yang mu'rob.
 Jawaban :
2. Terjemahkan ke dalam bahasa arab : “Apakah mereka (laki-laki banyak) benar-
benar akan memukulmu wahai Muhammad?”. Gunakan taukidnya menggunakan
nun taukid dan tulislah menggunakan harakat sempurna.
 Jawaban :
3. Berikan contoh kalimat (bukan dari ayat dan bukan dari hadits) yang di dalamnya
terdapat tanwin 'iwadh dari jumlah.
 Jawaban :
4. Apa perbedaan antara (merupakan isim fi'il amer) dan (fi'il amer) ?
 Jawaban : Perbedaannya tidak bisa menerima nun taukid sedangkan
bisa menerima nun taukid, misal :
5. Buatlah kalimat yang di dalamnya terdapat isim ghairul mutamakkin !
 Jawaban : "Ini adalah sebuah kitab". Isim ghoiru mutamakkin adalah
isim mabniy dan pada contoh tersebut adalah lafadz

Anda mungkin juga menyukai