Anda di halaman 1dari 100

SKETSA GENEALOGI KAJIAN HADIS

DI INDONESIA
dari Masa Kerajaan Hingga Pascakemerdekaan

i
ii
Abdul Aziz Muslih

SKETSA GENEALOGI KAJIAN HADIS


DI INDONESIA
dari Masa Kerajaan Hingga Pascakemerdekaan

iii
SKETSA GENEALOGI KAJIAN HADIS DI INDONESIA
dari Masa Kerajaan Hingga Pascakemerdekaan

Abdul Aziz Muslih

Sanjemedia, 2016

Editor:
Perancang Sampul:
Pewajah Isi:

Cetakan Pertama, September 2016

Penerbit:
Sanjemedia Kebumen
Jalan Raya Sokka-Petanahan Km. 12 Jogomertan Petanahan
Kebumen Jawa Tengah
Telp/Faks: 085786229910
Layanan SMS: 085868447433
E-mail: radenaziz@ymail.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All Rights reserved

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam


bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit Sanjemedia
Kebumen

iv
Daftar Isi

Daftar Isi --v


Pengantar Penulis --vi

Bab I
Pendahuluan --1

Bab II
Munculnya Kajian Hadis di Indonesia --7
A. Hubungan Ekonomi-Dagang Nusantara dengan Timur
Tengah --9
B. Hubungan Politik-Keagamaan Nusantara dengan Timur
Tengah --12
C. Hubungan Intelektual-Keagamaan Nusantara dengan
Timur Tengah --21

Bab III
Literatur Nusantara Seputar Kajian Hadis --30
A. Indikasi Awal Kajian Hadis di Nusantara --31
B. Indikasi Awal Penulisan Hadis di Nusantara --36
C. Literatur Penulisan Kitab Hadis di Nusantara --44

Bab IV
Periodisasi Kajian Hadis di Indonesia --59
A. Periode Pertama: Permulaan Abad ke XX hingga Tahun
1965-an --65
B. Periode Kedua: Tahun 1965-1995 --71
C. Periode Ketiga:: Tahun 1995-2005 --73
D. Periode Keempat: Dawarsa 2005 hingga sekarang --77

Bibliografi --84
Tentang Penulis --90
v
Pengantar Penulis

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi,
serta kesejahteraan dan keselamatan semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabatnya dan semua
pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Selayaknya penulis
ungkapkan pertama-tama sekali sebagai rasa syukur yang terdalam
dari seorang hamba yang hina dengan segenap kekurangan dan
kebodohan. Adalah hanya pertolongan dan izin Allah sesungguhnya
penulis mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk menyusun
buku ini, Sketsa Genealogi Kajian Hadis di Indonesia: dari Masa
Kerajaan hingga Pascakemerdekaan.
Tidak lupa penulis haturkan banyak terimakasih kepada kedua
orang tua penulis, guru-guru dan teman-teman yang telah
membantu penulis dalam menelaah dunia keilmuan dan keislaman
sehingga mendorong penulis ke arah yang lebih baik. Terimakasih
juga kepada Dr. Islah Gusmian yang telah memotivasi penulis dalam
rangka menyusun tulisan ini ke arah yang tepat. Karena awalnya
tulisan ini merupakan bagian atau sub bab dari penelitian skripsi
penulis yang tersingkirkan. Namun tersingkirkannya tulisan ini dari
skripsi tersebut bukan karena tidak sesuainya tema skripsi dengan
tulisan ini. Melainkan karena terlalu melebarnya kajian yang
berkaitan dengan kesejarahan hadis di Indonesia. Padahal
seharusnya dalam skripsi tersebut hanya mengulas sejarah singkat
perkembangan hadis di Indonesia, yang seharusnya tidak
membutuhkan halaman banyak. Oleh karena itu, tulisan ini
dianjurkan oleh Bapak Dr. Islah (selaku pembimbing skripsi penulis)
untuk digunakan dalam tulisan yang lain (selain skripsi). Dari ini
lah penulis mempunyai inisiatif untuk menyusun tulisan yang
vi
berkaitan dengan geneaologi kajian hadis di Indonesia ini sebagai
kajian yang mandiri dan terbukukan. Tujuannya adalah tidak lain
agar topik kajian ini dapat dimanfaatkan oleh para pembaca,
khususnya pada pemerhati hadis dan sejarah Islam Indonesia,
beserta penggiat ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Buku ini diberi judul Sketsa Genealogi Kajian Hadis di
Indonesia: dari Masa Kerajaan hingga Pascakemerdekaan
dikarenakan buku ini memaparkan tentang proses masuk dan
berkembangnya hadis di Indonesia, mulai era transisi kerajaan non-
Islam ke Islam, seperti dari Kerajaan Sriwijaya di abad VIII-an M.
hingga Kerajaan Samudera Pasai abad ke-XIII-an M., yang mana
kerajaan-kerajaan tersebut merupakan sebagian kerajaan di masa
silam yang sangat tersohor di Indonesia. Disebut sketsa, karena pada
dasarnya kajian genealogi hadis di Indonesia baru langkah awal
pemarapan yang dapat dibilang masih cukup minim dari kajian
yang komprehensif, atau masih sebatas sketsa. Dengan demikian,
penulis berikan judul Sketsa Genealogi Kajian Hadis di Indonesia.
Sementara pada pemaparan kajian hadis masa pascakemerdekaan di
sini, memaparkan secara umum tentang kajian hadis di era setelah
Indonesia merdeka (1945) hingga sekarang.
Namun demikian, penulis sangat berharap bahwa buku ini
dapat memberi manfaat kepada para pembaca, walaupun tentu di
dalamnya masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, melalui kata
pengantar ini penulis sangat terbuka menerima kritik serta saran
yang membangun sehingga secara bertahap penulis dapat
memperbaikinya. Semoga bermanfaat dan selamat mengambil
hikmah dari buku ini!

Penulis,

Solo, September 2016


vii
BAB I
Pendahuluan

viii
Bab I

Pendahuluan

Kajian hadis di Indonesia merupakan salah satu bidang


keilmuan yang sangat menarik untuk diteliti. Di samping karena
kajian historisitas terhadap hadis di Indonesia lambat laun semakin
meluas, ia juga salah satu kajian yang cukup terlantar dalam
pergumulan studi hadis. Walaupun memang ada beberapa pustaka
yang berkaitan dengan kajian kesejarahan hadis di Indonesia, seperti
M. Tasrif dengan penelitiannya tentang Kajian Hadis di Indonesia:
Sejarah dan Pemikiran; Tsalis Muttaqin, Dinamika dan
Perkembangan Kajian Hadis Dan Ulumul Hadis Pada Perguruan
Tinggi di Brunei Darussalam dan juga Khazanah Pemikiran Hadis
di Indonesia. Di antara buku-buku penelitian mengenai sejarah
hadis di Indonesia di atas sebagian besar merupakan buku yang
membahas mengenai kajian historis hadis di Indonesia mulai abad
XVII hingga XXI. Bahkan buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,
juga dapat dimasukkan ke dalam kategori buku penelitian mengenai
kajian historis hadis di Indonesia, karena memang di dalamnya
banyak memaparkan jaringan ulama hadis Indonesia. Akan tetapi,
kajian terhadap sejarah hadis di masa awal Islam masuk ke
Nusantara, belum terlihat secara signifikan di dalam karya-karya
cendikiawan Muslim Indonesia tersebut. Oleh karenanya, tulisan
mengenai sejarah hadis di Indonesia sejak masa awal (yang dalam
hal ini mulai abad ke-XIII M) dan masa-masa di era awal Kerajaan
Islam di Indonesia sangat perlu untuk dikaji.
Perbedaan yang dapat dibilang cukup signifikan antara tinjuan
pustaka di atas dengan kajian yang digalakkan oleh penulis di sini,
1
adalah bahwasanya penelitian ini lebih mengacu kepada alur
genealogisitas atau embrio awal kajian hadis di Indonesia dilakukan.
Bahkan penelitian ini juga mencoba memaparkan perkenalan
masyarakat Melayu-Indonesia dengan Islam dan hadis Nabi Saw.
yang notabene tidak bisa lepas dari dakwah Islamiyah yang telah
terjadi di Indonesia.
Sumber yang menjadi acuan dalam memaparkan kajian
genalogi kajian hadis di Indonesia ini tentunya mengacu kepada
sumber-sumber pustaka. Utamanya pada tulisan-tulisan hasil
penelitian seperti jurnal, artikel, laporan penelitian, maupun buku
yang senada dengan obyek kajian ini. Sumber dari manuskrip Islam
yang telah disunting, juga cukup sangat membantu dalam
menuntaskan kajian ini, mengingat kajian ini adalah kajian sejarah
keislaman.
Masuknya Islam di Nusantara yang dalam hal ini Indonesia,
barangkali sudah cukup banyak ditemukan di dalam buku-buku
sejarah keislaman. Walaupun sudah barang tentu, jika menelisik
dalam buku-buku sejarah tersebut terdapat beberapa sudut pandang
yang berbeda dalam berbicara tentang awal mula Islam masuk ke
Indonesia. Namun hal ini merupakan sesuatu yang perlu dimaklumi,
mengingat para sejarawan dalam memaparkan hasil penelitiannya
tersebut mempunyai argumentasi dan data validasi yang berbeda-
beda. Mengingat metodologi dan kerangka teori yang masing-
masing mereka gunakan dalam penelitian pun boleh jadi berbeda
antara satu dengan yang lain.
Terlepas dari pelbagai pendapat mengenai sejarah masuknya
Islam di Indonesia, ataupun pertanyaan tentang: siapa dan darimana
pembawa Islam ke Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam
buku sejarah Islam di Indonesia, para intelektual Muslim sepakat
bahwa Islam sudah mulai ada di Indonesia sejak abad ke-XIII M. dan
baru berkembang secara meluas pada abad ke-XII M ke atas. Akan
tetapi, apakah Islam di masa-masa tersebut sudah mampu
beradaptasi dengan masyarakat Nusantara? Mengingat membawa
label Islam berarti juga tidak terlepas dari pegangan dan ajaran
pokok (doktrin) dari agama Islam itu sendiri, yang dalam hal ini
adalah al-Qur`an dan sunnah.
2
Boleh jadi masyarakat Indonesia pada masa silam sudah
mengenal dan menerima Islam sebagai sebuah agama praktis.
Walaupun tidak menutup kemungkinan, bahwa masyarakat masih
banyak yang belum mengenal secara serius teori-teori yang
ditawarkan oleh Islam melalui kitab pedomannya secara langsung
yaitu, al-Qur`an dan sunnah Nabi Saw. (hadis). Ini dibuktikan
karena mereka lebih mengenal Islam sebagai agama yang sopan,
santun, dan sederhana, sesuai dengan filosofi pandangan hidup
masyarakat Indonesia pada waktu itu, tidak terkecuali di Jawa. Oleh
karenanya, tidak heran jika Islam mampu beradaptasi dengan
masyarakat Indonesia secara cepat, terutama sejak era Walisongo.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa Islam tidak berseberangan
dengan kearifan kultur masyarakat Indonesia.
Nah, melihat sebagian kultur masyarakat Indonesia yang arif
(sopan, santun, terbuka dan toleran) tersebut, tentu mengingatkan
kita kepada ajaran-ajaran Islam itu sendiri yang telah termaktub
dalam al-Qur`an dan juga hadis-hadis Nabi Saw. Dengan demikian,
sesungguhnya kearifan budaya di Indonesia tidak terlepas dari
hidupnya ayat-ayat al-Qur`an maupun hadis-hadis Nabi. Berbicara
mengenai al-Qur`an dan hadis dalam konteks kesejarahan umat
(Islam) Indonesia, tentu saja berbicara juga mengenai waktu (sejak
kapan), cara (bagaimana) dan siapa yang membawa sekaligus
memperkenalkan kedua pedoman pokok umat Islam tersebut ke
Indonesia.
Jika menelisik tentang sejak kapan al-Qur`an diajarkan dan
berkembang di Indonesia, tentu sudah banyak peneliti yang meneliti
akan hal ini. Sehingga banyak dijumpai buku-buku, artikel dan
jurnal berbahasa Indonesia maupun asing (khususnya bahasa
Inggris) yang memaparkan tentang seluk-beluk sejarah kajian al-
Qur`an di Indonesia. Mulai sejak masa Islam masuk dan
berkembang di Indonesia, hingga masa kontemporer di abad XXI ini.
Misalnya, karya Howard M. Federspiel, Moch. Nur Ichwan,
Nashruddin Baidan, Islah Gusmian, dan banyak lagi intelektual
Muslim --atau bahkan orientalis-- lainnya telah mempublikasikan
hasil penelitiannya berkaitan dengan genaologi kajian al-Qur`an
dan tafsir di Indonesia.

3
Akan tetapi, jika menelisik hadis, sebagai sumber referensi
kedua setelah al-Qur`an, belum diketahui secara mendalam tentang
geneaologi kajian hadis di Indonesia, utamanya sejak kurun waktu
abad ke-VIII M (era Kerajaan). Karena data-data yang diperoleh
cukup sulit untuk menelisik lebih dalam kajian hadis di masa Islam
baru masuk di Indonesia, oleh karena itu tulisan ini akan
menguraikan sebatas sketsa genaologi kajian hadis di Indonesia.
Tentunya kekurangan tersebut di samping memang karena adanya
kebelum kematangan dari penulis pribadi, sebab lain adalah bahwa
untuk menelisik lebih jauh dan komprehensif mengenai tema yang
diusung dalam tema ini, harus membutuhkan penelitian beserta
pengumpulan data yang amat serius. Namun demikian, pemaparan
melalui sketsa geneaologi kajian hadis di Indonesia ini secara
sederhana diharapkan cukup bisa membantu para penggiat sejarah
keislaman Indonesia dalam memahami alur sejarah masuk dan
berkembangnya kajian hadis di Indonesia. Utamanya mulai dari
masa Kerajaan (abad ke-VIII M), hingga pascakemeredekaan (abad
XXI M) sebagai pelengkap.
Setidaknya ada tiga hal pokok problem yang akan disinggung
dalam kajian ini. Pertama, sejak kapan hadis mulai ada dan beredar
di Indonesia? Kemudian siapa saja sebagian orang atau instansi yang
berperan penting dalam mengkembangkan kajian hadis di
Indonesia? Dan apa saja kontribusi yang dapat dirasakan di masa
kini dari tersebarnya hadis di Indonesia pada masa lalu?
Berdasarkan problematika tersebut, kajian ini mempunyai tujuan di
antaranya; Pertama, untuk mengetahui proses masuknya hadis ke
Indonesia beserta para penyebarnya, Kedua, mengetahui seperti apa
kajian hadis di Indonesia pada masa Kerajaan silam, dan Ketiga,
untuk merefleksikan alur perkembangan kajian hadis di Indonesia
masa pascakemerdekaan beserta kontribusinya bagi umat Islam
Indonesia di masa kini.
Secara teoritis, kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi
wacana baru dalam pergumulan sejarah dan dinamika kajian hadis
di Indonesia. Sementara dari segi manfaat praktis, tulisan ini dapat
dimanfaatkan masyarakat untuk memahami proses alur masuk dan
hidupnya hadis ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, serta
perkembangannya di masa Kerajaan dan pascakemerdekaan.
4
Sehingga mereka dapat tetap mempertahankan eksistensi kehidupan
hadis-hadis maupun sunnah Nabi Muhammad Saw. yang masih
hidup dan bahkan berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Pendekatan sejarah (sosial-intelektual) juga sangat penting
digunakan sebagai teori untuk membedah kajian ini. Tujuannnya
adalah untuk melihat change dan continuiti-nya. Pendekatan sejarah
(historical approach) adalah teori atau ilmu yang mengkaji peristiwa
masa lampau manusia dengan berbagai dimensinya (sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan sebagainya). Sehingga melalui pengkajian itu,
diupayakan menghadirkan kembali (merekonstruksi) masa
lampau seutuh mungkin pada masa kini (meskipun keutuhan itu
hampir tidak mungkin dapat dicapai). Keutuhan rekonstruksi itu
sangat bergantung pada seberapa banyak peristiwa masa lalu
menyisakan jejak (traces), yang kemudian oleh para ahli metodologi
jejak ini disebut sumber (sources) atau bukti (evidence).1 Dalam
wacana lain, sejarah intelektual menurut Stevan Collini yang dikutip
oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa dalam bukunya Sejarah
Intelektual: Sebuah Pengantar, merupakan upaya meneliti dan
mencari jejak pemahaman tokoh, dengan tetap melakukan
penyelidikan tentang berbagai konteks sosial. Lebih dari itu, sejarah
intelektual tidak hanya dilihat dari sejarah mengenai disiplin
penyelidikan intelektual. Oleh karenanya, sejarawan intelektual
harus melihat secara serius kontribusi dari berbagai disiplin ilmu.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kontribusi-kontribusi tersebut
dapat menyediakan bahan baku yang membantu untuk memperoleh
penjelasan yang lebih baik mengenai paduan logika dan peristiwa
(the mixture of logic and accident) dari periode tertentu.2

1 Mumuh Muhsin Z, Studi Lapangan Bagi Penelitian Sejarah, dalam


Makalah disampaikan dalam kegiatan Bimbingan Teknis Penelitian,
diselengggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung,
di Hotel Agusta Jl. Cipanas No. 57 Garut, pada hari Sabtu, (7 Februari 2009), h.
1.
2 Lihat misalnya, Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Sejarah Intelektual:
Sebuah Pengantar (Sidoarjo: UruAnnaBooks, 2014), h. 4.
5
BAB II
Munculnya Kajian Hadis
di Indonesia

6
Bab II

Munculnya Kajian Hadis di Indonesia

Keberadaan kajian hadis di Indonesia sekarang ini


sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar
genealogisnya dapat ditarik jauh ke belakang, yaitu ketika pertama
kali Islam masuk dan berkembang di Nusantara (antara abad ke-XIII
sampai XVII). Ini dapat dibuktikan dengan adanya hukum Islam
yang telah hidup (living law) di awal islamisasi di Indonesia. Moh.
Mukri menyebutkan bahwa hukum Islam dapat hidup pada saat itu,
bukan saja karena hukum Islam (fiqih) merupakan entitas agama
yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi
dari dimensi amaliahnya di beberapa daerah ia telah menjadi bagian
dari adat (tradisi) masyarakat yang dianggap sakral.3
Kaitannya antara hukum Islam (disebut juga dengan fiqih)
dengan hadis, pada mulanya adalah sama-sama berasal dari satu
sumber, yakni Nabi SAW. Hukum Islam muncul, karena adanya
hadis. Seorang yang paham akan hadis, bisa dipastikan ia juga
memahami hukum Islam, bahkan hingga ahli tafsir. Ulama
(Nusantara) yang dapat dipakai sebagai permisalan dalam hal ini
adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Oleh karenanya, masuknya
beberapa pembawa Islam di dan ke Nusantara juga dapat dikatakan
membawa hadis ke Nusantara.
Jika ditelisik ke belakang, ternyata hubungan kaum Muslim di
kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak

3 Lihat, Moh. Sukri, Dinamika Pemikiran Fikih Mazhab Indonesia:


Perspektif Sejarah Sosial, dalam Jurnal Analisa, Volume XI, Nomor 2 (Desember
2011, IAIN Raden Intan Lampung), h. 190.
7
masa-masa awal Islam. Azra menyebutkan, para pedagang Muslim
dari Arab, Persia dan Anak Benua India yang mendatangi kepulaun
Nusantara tidak hanya berdagang, melainkan dalam batas tertentu
juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.4 Tentunya
dengan adanya Islamisasi seperti ini, sekitar abad ke XV sampai
XVIII M, secara tidak langsung hadis-hadis Nabi juga mulai
berkembang di masyarakat (Muslim) Indonesia, bahkan boleh jadi
pada saat itu pula hadis mulai ditransmisikan --secara bebas-- oleh
para pendengarnya ke orang lain.
Proses dan alur historis transmisi keilmuan Islam (hadis) yang
terjadi dalam perjalanan Islam di Nusantara dalam hubungan
dengan Timur Tengah, setidaknya telah melalui beberapa tahapan
perubahan. Dalam hal ini Azyumardi Azra menyebutkan, ada tiga
tahapan perubahan-perubahan penting dalam bentuk-bentuk
interaksi yang terjadi antara Muslim Nusantara dengan Timur
Tengah: awalnya hubungan itu lebih berbentuk hubungan ekonomi
dan dagang, kemudian disusul hubungan politik-keagamaan, dan
untuk selanjutnya diikuti hubungan intelektual keagamaan.5
Hubungan intelektual keagamaan di sini misalnya, adanya jaringan
ulama (hadis) Nusantara dengan Timur Tengah, yang terjadi secara
besar-besaran ketika memasuki abad ke-IXX M.
Selanjutnya untuk mengetahui secara mendalam sampai pada
akarnya mengenai awal masuknya hadis ke Nusantara, sebagaimana
tahapan yang di bagi oleh Azra di atas, perlu pula dikaji ulang
sejarah Islam masuk ke Nusantara. Lebih dari itu, hubungan antar
Kerajaan Nusantara dengan Timur Tengah juga perlu diungkap. Ini
tidak lain bertujuan untuk menyelidiki proses (indikasi) masuknya
hadis ke Nusantara. Kerajaan Nusantara abad pertama Hijriyah (VII
M) seperti Sriwijaya, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan
kerajaan Timur Tengah masa itu, yakni Dinasti Umayyah dan yang
lainnya, sampai pada hubungan intelektual keagamaan antara
ulama Nusantara dengan Timur Tengah.

4 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-III, 2007), h. xix.
5 Ibid., h.1.
8
A. Hubungan Ekonomi-Dagang Nusantara dengan Timur Tengah

Proses alur historis transmisi keagamaan dalam perjalanan


peradaban Islam di Nusantara dapat di lihat melalui hubungan
awal antara orang-orang Nusantara (pribumi) dengan Timur
Tengah. Hubungan ekonomi (perdagangan) merupakan tahap
awal yang paling utama untuk menggambarkan hubungan
masyarakat pribumi dengan Timur Tengah. Sebab dalam
berbagai literatur sejarah, Islam datang di Nusantara (Indonesia)
disebarkan oleh para kaum saudagar dari Timur Tengah, yang
mana mereka adalah orang-orang Muslim Arab.
Sejak abad ke-I H, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya
selat Malaka, telah mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional,
karena posisinya yang menghubungkan negeri-negeri di Asia
Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Disela
berkembangnya pelayaran dan perdagangan internasional yang
terbentang mulai dari Teluk Persia sampai China melalui Selat
Malaka, bersamaan dengan itu berkembang pula kekuasaan
besar, yaitu Kekaisaran China di bawah Dinasti Tang (618-907
M), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-VII-XIV M), Dinasti Umayyah
(660-749 M), dan Dinasti Abbasiyyah (750-870 M).6
Sehingga pada abad pertama dan kedua Hijriyyah, atau
sekitar mulai abad ke-VII dan VIII M, para Muslim dari Persia
dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran sekaligus
perdagangan sampai ke negeri China, yang secara otomatis
melewati Selat Malaka di wilayah Nusantara. Jika menelisik
historisnya, Malaka merupakan selat yang sangat strategis dalam
sejarah perdagangan dunia. Oleh karenanya, Malaka juga
gerbang utama masuknya Islam ke Asia Tenggara.7 Tentunya

6 Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2010), h. 6-7.
7 Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 286.
9
sebagai kawasan yang strategis, daerah-daerah maupun kerajaan
yang berada di dekatnya pun mendapat keuntungan yang besar.
Dengan adanya pedagang-pedangan Islam yang berdatangan,
atau minimal hanya singgah (melewati) Selat Malaka tersebut,
dari sektor ekonomi-perdagangan, daerah (kerajaan) di kawasan
ini diuntungkan dengan tumbuhnya hubungan dagang dengan
saudagar dari mancanegara.
Menurut Taufik Abdullah, sebagaimana yang dirujuk oleh
Saifullah dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia
Tenggara, catatan China menyebutkan bahwa masa
pemerintahan dari Dinasti Tsung (627-650 M) --kaisar kedua
Dinasti Tang-- telah datang empat Muslim dari Jazirah Arabia.
Muslim yang pertama diketahui bernama Saad Ibn Ab
Waqqsh8 (mubaligh sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW),
yang kala itu bertempat tinggal di Canton (Guangzhou). Sahabat
Nabi SAW ini, tidak hanya dikenal sebagai pembawa al-dn al-
Allh (agama Islam) pertama ke Negeri Tirai Bambu itu, tetapi
juga berjasa mendirikan masjid di Canton, yang disebut dengan
Masjid Wa-Shin-zi (Masjid Kenangan atas Nabi). Kemudian
Muslim yang kedua (tanpa disebutkan namanya) menetap di

8 Ia merupakan salah satu sahabat Nabi yang juga seringkali


meriwayatkan hadis. Ia termasuk juga paman Nabi, dari jalur Ibu Nabi. Bahkan
ia tidak jarang diberi keistimewaan tersendiri oleh Nabi SAW, seperti misalnya,
Ibu dan Ayahanda Rasulullah SAW sebagai jaminannya masuk surga, ketika
Saad hendak memanah musuh. Karena perlu diketahui ia adalah orang Muslim
pertama yang menggunakan panahnya untuk jihad f sablillh. Disebutkan
dalam Thabaqat al-Kubra, bahwa Saad bin Ab Waqqsh mengundurkan diri ke
Akik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, serta menghabiskan masa
pensiunnya dengan tenang dan damai. Ia meninggal pada tahun 670 M,
jenazahnya dibawa dan dimakamkan ke Madinah. Periksa, Muhammad Ibn
Saad Ibn Man al-Zuhr, Al-Thbaqt al-Kubr (Madinah: Maktabah Al-
Khanji, Jilid III, 2001), h.129-138. Jadi, bisa dimungkinkan jikalau ia sempat
singgah ke China atas perintah Khalifah Utsman bin Affan (650 M),
sebagaimana para sejarawan menyebutkan. Lihat misalnya, Mumuh Muhsin Z,
Islam: di antara Arab, Cina dan Nusantara, dalam makalah yang
disampaikannya dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh SELASAR
Pusat Kajian Lintas Budaya Fakultas Sastra Universitas Pdjadjaran (Kamis, 26
April 2007), h. 7.
10
kota Yang Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Couang
Chow.9
Kedatangan Islam di Asia Tenggara (khususnya ke China,
sebagaimana diatas), tanpa dipungkiri telah melalui Selat
Malaka. Sehingga besar kemungkinan kala itu para saudagar
Muslim yang disebutkan di paragraf sebelumnya, termasuk salah
satunya adalah Saad Ibn Ab Waqqsh (seorang sahabat Nabi
SAW), juga telah singgah terlebih dahulu di kawasan Selat
Malaka.10 Hal ini dapat dihubungankan dengan pemberitaan
dari I-ching, seorang musafir Buddha, yang mengadakan
perjalanan dengan kapal yang disebutnya kapal Po-sse di Canton
pada 671 M.11 Ia kemudian berlayar menuju ke arah selatan ke
Bhoga (diduga daerah Palembang di Sumatra Selatan).
Selanjutnya, dalam Hsin-Tang-Shu, dari masa Dinasti Tang,
terdapat laporan yang menceritakan bahwa orang Ta-Shih
mempunyai niat untuk menyerang Kerajaan Ho-Ling di bawah
pemerintahan Ratu Sima (674 M). Karena pemerintahan Ratu
Sima sangat kuat dan adil, maka orang Ta-Shih mengurungkan
niatnya untuk menyerang Kerajaan Ho-Ling.12
Kerajaan Ho-Ling merupakan sebutan lain dari Kerajaan
Kalingga, yang berada di Jawa Tengah. Bahkan dalam sebagian
riwayat menyebutkan, jika ada seorang yang mencuri maka Ratu
9 Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara..., h. 7. Pada
periode ini para pedagang dan mubaligh Muslim membentuk komunitas-
komunitas Islam. Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi
dan persamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawa
menekankan perbedaan derajat manusia. Walau begitu, Kerajaan Sriwijaya
pada waktu itu melindungi komunitas Muslim yang berada disana. Lengkapnya
lihat sejarah masuk dan berkembangnya Islam di masa awal dalam, Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 194.
10 Mengenai persinggahan sahabat Nabi SAW di Malaka, dapat diperiksa
dalam, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, Cet. ke-
II, 2010), h. 302-304.
11 Uka Tjandrasaswita menyebut bahwa kapal yang ditumpangi oleh I-
ching ini merupakan kapal milik orang-orang Ta-Shih (Arab) dan Po-See
(Persia). Dalam pemberitaan China (Tionghoa) lainnya, disebutkan bahwa ada
sekitar 35 kapal Po-Sse (Persia) sampai pula di kota Palembang. Ini lah yang
kemudian menjadikan adanya kontak hubungan politik-diplomatik antara
Sriwijaya dengan Timur Tengah. Baca, Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), h. 82.
12 Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara..., h. 8.
11
Sima kan memberlakukan hukuman potong tangan bagi si
pencuri tersebut. Karena dalam mengelola pemerintahannya,
Ratu Sima berasaskan pada prinsip kejujuran.13

B. Hubungan Politik-Keagamaan Nusantara dengan Timur Tengah

Makkah dan Madinah (Haramain, bagian dari Arab), juga


dunia Islam lainnya seperti Persia dan lainnya, telah hadir dalam
pikiran penduduk Nusantara sebelum mereka memeluk Islam.
Perdagangan internasional yang telah terjadi sejak abad ke-VII
dan VIII M, telah membawa konektifitas Nusantara dengan
Timur Tengah semakin akrab. Selat Malaka, sebagai bagian dari
pusat perdagangan kala itu, merupakan celah yang sangat
strategis untuk menuju islamisasi Nusantara. Bahkan dalam
sejarah disebutkan, kerajaan Nusantara pada masa tersebut
seperti Sriwijaya sempat menjalin hubungan diplomatik dengan
kerajaan kawasan Timur Tengah, misalnya dengan Bani
Umayyah.
Kaum Muslimin yang seringkali berlabuh, melintasi
wilayah kekuasaan Sriwijaya, tidak jarang mereka bermukim
disana. Sehingga memungkinkan sekali bagi Sriwijaya untuk
mempercayai dan mengangkat mereka sebagai duta-dutanya.
Bukti historis bagi hubungan politik dan diplomatik
internasional Sriwijaya dengan Timur Tengah dapat dilihat
dengan adanya bukti surat menyurat antara Maharaja Sriwijaya,
Sri Indrawarman dengan Khalifah Bani Umayyah Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M). Bahkan sebelumnya, Raja Sriwijaya
juga sempat mengirim surat kepada Muawiyyah Ibn Ab Sufyan
(661 M).14 Surat tersebut berisi mengenai keinginan Raja

13 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,


(Yogyakarta: Kanisius, Cet. ke-V, 1988), h. 37.
14 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII..., h. 26-28, 29; Atau lihat dalam, Marwati
12
Sriwijaya agar diutuskan seorang ulama (ahli keislaman) dari
Timur Tengah ke Sriwijaya, untuk menjelaskan tentang agama
Islam.
Surat tersebut pun diberitakan dengan jalan isnad
(transmisi), sebagaimana tradisi periwayatan berita (hadis) pada
masa itu. Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa surat pertama
(di bagian pendahuluan surat) dikutip oleh al-Jhizh (Amr al-
Bahr, 783-869 M) yang terkenal dengan karyanya Kitb al-
Haywan, atas dasar otoritas tiga isnad yang terpercaya. Al-Jhizh
mendengar berita tentang surat Maharaja yang ditujukan kepada
Khalifah Muawiyyah (661 M) dari al-Haytsm Ibn d (732-
822 M), yang mendengar tentangnya dari Ab Yaqb al-
Tsaqaf, yang pada gilirannya mendengar tentang surat itu dari
Abd al-Malik Ibn Umayr (653-753 M) yang melihat surat itu
pada diwn (sekretaris) Muawiyyah setelah wafatnya. Al-Jhizh,
sebagaimana yang dikutip Azra, hanya mengutip pembukaan
surat tersebut, sehingga isinya tidak diketahui secara jelas.
Tetapi, pendahuluan surat tersebut menunjukkan gaya tipikal
surat-surat resmi penguasa Nusantara. Pembukaan surat tersebut
adalah sebagai berikut:
(Dari Raja Al-Hind atau tepatnya Kepulauan India) yang kadang
binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari
emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi
pohon gaharu (al-oes), kepada Muawiyyah...15

Surat kedua, mempunyai nada yang sama dan jauh lebih


lengkap. Baik pembukaan dan isi surat itu terselamatkan oleh
Ibn Abd al-Rabbih (860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd al-
Fard. Surat ini ditujukkan kepada Khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz (717-720 M), yang (juga) dikutip oleh Azra dalam
Jaringan Ulama-nya, berbunyi sebagai berikut:

Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosantoso, Sejarah Nasional Indonesia:


Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), h. 45.
15 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII..., h. 27-28.
13
Nuaym bin Hammad menulis:Raja Al-Hind (kepulau-an) mengirim
sepucuk surat kepada Umar bin Abdul Aziz, yang berbunyi sebagai
berikut: Dari Raja di Raja (Mlik al-Mlik= Maharaja); yang adalah
keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu
raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di
wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu,
bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak
wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab
(Umar bin Abdul Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain
dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar
tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya
seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam
versi lain, yang akan mengajarkan Islam dan menjelaskannya kepada
saya).16

Surat ini dapat pula dikonfirmasi dengan berbagai sumber


sejarah Arab yang ditulis oleh pakar-pakar tarikh. Ibnu
Taghribirdi (1410-1470 M) dalam bukunya al-Nujum al-
Zhhirah f Muluk Misr wa al-Qshirah (Perbintangan Terang
Raja Mesir dan Kairo), melalui otoritas Ibn Askir (1105-1176
M) mempunyai tambahan untuk akhir surat kepada Khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz tersebut:
Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian,
sawo, kemenyan dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya
adalah saudara Anda dalam Islam.17

Diperkirakan surat di atas diterima Khalifah Umar Ibn


Abdul Aziz sekitar tahun 100 H atau 718 M, dimana Sriwijaya

16 Ibid., h. 28.
17 Ibid., h. 28-29. Walaupun pada masanya, Umar Ibn Abdul Aziz
banyak memerintahkan kepada seluruh gubernur dan kerajaan Islam untuk
menyuruh para ulama penghafal hadis agar menuliskan hadis kemudian
dibukukan, namun dalam hadiahnya kepada Raja Sriwijaya, dalam surat
tersebut tidak disebutkan hadiah berupa kitab hadis. Barangkali dengan
pertimbangan bahwa Sriwijaya pada masa itu belumlah sepenuhnya
mengetahui (secara dalam) akan keilmuan Islam. Apalagi, mengingat bahwa
kajian terhadap hadis adalah kajian yang dibutuhkan akan penguasaan ilmu
keislaman (lain) yang sangat dalam. Mengenai usaha pembukuan hadis besar-
besaran yang dilakukan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz ini dapat dilihat
dalam, Saifuddin Zuhri Qudsy, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan
Hadis, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, No. 2 (Oktober 2013), h. 270.
14
tengah dirajai oleh Sri Indrawarman. Walau dalam surat itu
bertulis saudara Islam-mu, namun belum ada bukti
peninggalan bahwa, Sri Indrawarman sendiri (pernah) memeluk
Islam. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz sendiri besar
kemungkinan (juga) memberikan hadiah untuk utusan
Sriwijaya, karena mereka kembali juga dengan membawa zanji
(budak wanita berkulit hitam).18
Berdasarkan penelitian Fatimi, dua surat ini memberikan
bukti kuat tentang kontak awal antara Nusantara dengan Timur
Tengah. Di dalam surat-surat itu, seraya menyatakan dirinya
sebagai Raja Nusantara (the King of al-Hind), raja Sriwijaya
menyapa Umar Ibn Abdul Aziz sebagai Raja Arab,
menjelaskan fakta bahwa raja tersebut telah akrab dengan
Arab.19 Ini merupakan salah satu indikasi ada interaksi Islam
dengan Hindi (Sriwijaya). Dimana jika melihat sekilas,
tampaknya raja Sriwijaya berkeinginan kuat untuk mengetahui
sekaligus mempelajari Islam lebih dalam dari bangsa Arab pada
waktu itu.
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz sebagai sosok umara
sekaligus ulama yang sangat menitik beratkan pada tadwn al-
hads, hingga terjadinya pengumpulan dan pembukuan hadis
besar-besaran pada saat itu. Artinya, ketika masa Umar Ibn
Abdul Aziz banyak pula terdapat ulama-ulama hadis. Sehingga
dimungkinkan sekali ia juga mengirimkan ulama yang
mempunyai ilmu di bidang hadis yang diakui kredibilitasnya ke
Nusantara khususnya Sriwijaya. Walaupun dalam literatur
sejarah belum dipastikan siapa yang dikirim sang khalifah untuk
mengajarkan Islam di Sriwijaya (Nusantara).
Terlepas dari siapa utusan dari Khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz yang dikirim ke Nusantara untuk memperkenalkan Islam,
setidaknya para sejarawan Islam Indonesia seperti Hamka, telah
bersepakat bahwa pada sekitar abad ke-VIII M telah ada
pedagang-pedagang Muslim dari Arab dan Persia di pesisir-

18 Ibid., h. 29.
19 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim
dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), h. 29.
15
pesisir utara Sumatera yang bermukim disana.20 Bisa jadi juga,
sebagian masyarakat Sriwijaya pun telah ada yang memeluk
Islam. Mengingat telah adanya hubungan ekonomi-politik yang
terjalin di antara Sriwijaya dengan Bani Umayyah di Timur
Tengah. Bahkan sebagian orang berasumsi jikalau Sri
Indrawarwan telah memeluk Islam. Asumsi mereka didasarkan
pada surat Sri Indrawarwan yang mengatakan saudara Islam-
mu, kepada Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz. Wallahualam.
Setelah hubungan ekonomi-perdagangan Nusantara-Timur
Tengah dilakukan, dengan tidak bisa melepaskan hubungan
politik diantara kedua belah pihak, dalam tahap selanjutnya
islamisasi lebih kentara setelah adanya hubungan politik-
diplomatik (antar kerajaan). Dan ini lah salah satu cara yang
paling ampuh dalam alur islamisasi di Nusantara. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Aziz dalam penelitiannya mengenai
Islamisasi Nusantara dalam perspektif naskah Sullat al-
Salthn atau Sejarah Melayu, bahwa Islam sudah dipeluk oleh
masyarakat Nusantara jauh sebelum abad ke XIII M. Akan tetapi,
islamisasi secara masif terjadi setelah adanya Kerajaan Samudera
(Pasai) dan Kerajaan Malaka. Kedua kerajaan Islam ini
merupakan kerajaan yang berhasil melakukan dakwah al-
Islamiyyah di Nusantara. Kerajaan Malaka berhasil menyebarkan
agama Islam ke Nusantara baik dengan cara yang damai, dan
(sebagian kecil) dengan peperangan.21
Lebih lanjut dalam hasil penelitiannya, Aziz menjelaskan
bahwa pola islamisasi yang terjadi di Nusantara (Indonesia)
menggunakan pola top-down (dari atas ke bawah). Artinya,
Islam pertama-tama dipeluk oleh kalangan Raja (Sultan),
kemudian diikuti oleh seluruh rakyatnya. Karena pada masa itu,
Raja memiliki kedudukan yang sangat tinggi dihadapan
rakyatnya. Bahkan di antara raja-raja tersebut ada yang memiliki
gelar sebagai bayangan Tuhan, sesembahan rakyat, dan

20 Lihat, Hamka, Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional PTE


LTD Singapura, Cet. IV, 2002), h. 675.
21 Lihat, Aziz, Islamisasi Nusantara dalam Perspektif Naskah Sejarah
Melayu (Skripsi S-1, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), h. 7.
16
keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Kebijakan Raja dan dibantu
oleh ulama dalam menjalankan roda pemerintahannya
merupakan kunci sukses dilakukannya islamisasi. Selain sebagai
guru agama, para ulama juga mendapat kedudukan penting
dalam pemerintahan, yakni sebagai Penasihat Raja atau Qadhi.22
Sebab di mata penguasa, ulama (kiai) berada di tempat pertama
sebagai guru independen dan pengkhotbah Islam kepada siapa
saja, termasuk bangsawan yang datang untuk belajar
(pendidikan) agama.23
Hubungan politik-kerajaan antara masyarakat Nusantara
dengan Timur Tengah dapat dilihat lebih jelas ketika mulai
melemahnya Kerajaan Sriwijaya. Kemajuan Sriwijaya di bidang
ekonomi dan politik hanya berlangsung sampai abad ke-XII M.
Pada akhir abad ke-XII, kerajaan ini mulai memasuki masa
kemunduran. Berbagai cara pun dilakukan Sriwijaya untuk
mempertahankan kemapanannya, seperti membuat peraturan
cukai yang lebih berat bagi kapal-kapal dagang yang singgah ke
pelabuhan-pelabuhannya. Namun, usaha itu tidak
mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, bahkan justru
sebaliknya banyak kapal-kapal asing seringkali menyingkir.24
Sehingga secara otomatis, kemunduran ekonomi ini berdampak
negatif terhadap perkembangan politik Sriwijaya.
Kemunduran Sriwijaya di bidang politik dan ekonomi
bahkan dipercepat oleh usaha-usaha Kerajaan Singasari yang
sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi
Pamalayu tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan Kerajaan
Melayu di Sumatera. Keadaan itu mendorong daerah-daerah di
Selat Malaka yang dikuasai Sriwijaya melepaskan diri dari
kekuasaan kerajaan tersebut. Dengan kondisi melemahnya
Sriwijaya seperti ini, tentunya para pedagang Muslim
memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan

22 Ibid.
23Muhammad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Javanese
Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942 (Jakarta: INIS,
2001), h. 72.
24 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), h. 194.
17
politik dan perdagangan.25 Di bidang politik, setidaknya mereka
menginginkan terbentuknya kerajaan bercorak Islam yang ada
disana. Dan cita-cita mereka pun semakin menjadi nyata ketika
mulai tumbuhnya Kerajaan Samudera Pasai di Timur Laut Aceh.
Tidak mengherankan ketika para pedagang Muslim ini
menginginkan terbentuknya kerajaan bercorak Islam di kawasan
Malaka (Sumatera), karena daerah ini dari segi ekonomi
merupakan daerah yang sangat cocok dan baik bagi usaha
pengembangan tanaman perdagangan lada. Sehingga dalam
waktu yang relatif singkat Aceh tumbuh menjadi daerah
penghasil sekaligus pengekspor terbesar hasil lada. Dan Perlak
dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian
Utara.26 Ini lah salah satu hal yang barangkali menginspirasi
komunitas (pedagang) Muslim disana untuk mendirikan
kerajaan Islam. Dengan berdirinya kerajaan Islam disana, maka
dakwah Islam pun akan lebih mudah tersebar luaskan. Boleh jadi
itu pula pemikiran komunitas Muslim disana pada waktu itu.
Hal ini senada dengan yang disebutkan A. Daliman:
...Bandar Perlak akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi kota
perdagangan yang sifatnya internasional. Banyak pula kota ini
didatangi oleh pedagang-pedagang dari Mesir, Arab, Persi dan
Gujarat. Akhirnya Kota Perlak ini pulalah berdiri kerajaan Islam
pertama di Indonesia.27

Kerajaan Perlak berdiri sejak abad ke-XII M. Kitab


Nagakertagama menyebut-nyebut negeri itu dengan nama
Parlak. Marco Polo yang berkunjung ke negeri itu tahun 1292
mencatatnya sebagai Negeri Ferlec. Pendirinya merupakan
keturunan Arab dari suku Quraisy. Seorang pedagang Arab
kawin dengan putri pribumi keturunan Raja Perlak, hingga
lahirlah putra bernama Sayyid Abdul Aziz. Ia kemudian

25 Ibid., h. 195. Tentang kemunduran Sriwijaya dan munculnya kerajaan


Islam di Nusantara dapat pula dibaca lebih detail dalam, A. Daliman, Islamisasi
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2012), h. 19-22.
26 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia..., h. 99.
27 Lihat, Ibid.
18
ditahtakan sebagai Sultan Perlak pertama dengan nama Sultan
Alaiddin Syah, yang memerintah pada tahun 1161-1186 M.28
Melihat munculnya kerajaan bercorak Islam ini, dapatlah
dinilai bahwa pihak Kerajaan Perlak (dengan raja pribumi-nya)
sudah menjalin persahabatan dengan para saudagar Muslim
(dan kaum Sayyid) dari Arab. Sehingga sampai-sampai sang raja
berani menikahkan putrinya dengan Sayyid tersebut. Ini
bukanlah hal yang mudah, ketika raja menikahkan putrinya
dengan orang lain. Kecuali memang sang raja sudah sangat
akrab dengan si calon menantu tersebut, atau si calon menantu
tersebut juga merupakan seseorang yang mulia, sehingga sang
raja pun menghormatinya. Dengan melihat kondisi pedagang
Muslim sebagai keturunan ahlu bait, tidak mustahil jika sang
Raja Perlak itu pun rela menjadikannya sebagai menantu.
Sebelum Perlak diperintah oleh Sayyid Abdul Aziz
(keturunan Indonesia dari putri Perlak dengan Sayyid dari Arab),
kerajaan ini diperintah oleh raja pribumi yang bergelar mohrat
atau meurah atau marah yang berarti raja. Penegasan genealogis
Arab ini jelas dimaksudkan untuk memantapkan kedudukannya
sebagai raja atau sultan yang beragama Islam, walaupun
berideologi Syiah. Kerajaan ini sanggup bertahan lebih dari satu
abad (sejak awal abad ke-XII sampai akhir abad ke-XIII M)
dengan delapan generasi, sebelum pada akhirnya mengalami
kemunduran ketika Samudera Pasai sedang naik daun.29 Jika
memang ayah Sayyid Abdul Aziz merupakan keturunan Quraisy
(ahlu bait/syarif), maka yang disebutkan Muhammad Hasan al-
Aydrus dalam karyanya Asyraf Hadramaut, bisa jadi akan
senada.
Muhammad Hasan mengutip L. Stoddard-Syakib Arsalan,
menerangkan bahwa Syarif Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Abubakar al-Syili merupakan Syarif dari Hadramaut yang
termasuk pertama datang ke Aceh. Dan seketika Kerajaan Aceh
memuliakannya dan seorang menterinya menikahkannya
dengan anak gadisnya. Bahkan sebelum itu ada beberapa

28 Ibid.
29 Ibid., h. 99-100.
19
kalangan Syarif yang telah memasuki Aceh seperti Syarif
Abubakar Ibn Huseni (w. 1000 M), dan Syarif Muhammad bin
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Umar Ibn Alwi al-Syatiri (abad ke-
XI M).30 Dengan melihat maraknya kaum Sayyid atau Syarif
yang berimigrasi ke daerah Sumatera tersebut, besar
kemungkinan jika ayah Sayyid Abdul Aziz adalah salah satu dari
beberapa Syarif tersebut. Melihat kurun waktu yang relatif tidak
jauh, yakni abad ke-XI M mereka datang ke Aceh, kemudian
awal abad ke-XII Sayyid Abdul Aziz memerintah sebagai sultan.
Bukti lain adanya hubungan langsung antara Indonesia
dengan Arab (Haramain) telah terjadi sejak birokrasi di kerajaan
(kesultanan) Nusantara dikuasai oleh Raja-raja yang religius, di
antaranya seperti Kesultanan Aceh, Malaka, Demak, Cirebon,
Banten, Buton, Mataram, Palembang dan Banjar. Abad ke-XVII,
misalnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh orientalis asal
Belanda, Snouck Hurgronje, yang dikutip oleh A. Daliman,
bahwa bukti ini bisa dilihat setelah adanya utusan-utusan dari
Kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram dan Banten ke
Mekkah.31 Tercatat bahwa sejak masa Samudera Pasai di abad
ke-XIII M, hingga masa Mataram Islam di abad ke-XVIII M dan
seterusnya, adalah masa islamisasi yang paling subur. Selain
hubungan keakraban di antara kesultanan-kesultanan Nusantara
dengan Timur Tengah yang ditandai dengan adanya ulama-
ulama kawasan Arabia (sebagai pendamping sekaligus penasihat
raja atau istana), serta datangnya para wali yang belakangan
dikenal dengan Walisongo di Jawa, mengindikasikan bahwa
pada masa tersebut hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
sudah terjalin dengan baik.
Sejak saat itu pula para raja dan kalangan birokrasi
kerajaan menjadi kelompok pertama orang yang mendalami dan
memahami Islam dalam komunitasnya. Maka, tidak mustahil jika
mayoritas kalangan kesultanan menjadi ulama. Beberapa sultan

30 Muhammad Hasan al-Aydrus, Asyraf Hadramaut, diterjemahkan oleh


Ali Yahya dengan judul, Sejarah Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Asyraf
Hadramaut dan Peranannya (Jakarta: Lentera, 1997), h. 56.
31 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia..., h. 36.
20
yang bisa dijadikan contoh disini seperti Sultan Iskandar Muda
di Aceh, Raden Fatah Demak, Sunan Gunung Djati di Cirebon,
hingga Pangeran Diponegoro dari Mataram.32 Sejalan dengan
itu, kajian keislaman di Nusantara pun berkembang dengan baik.
Beberapa sarana juga digunakan dalam memperlancar
berkembangnya kajian keislaman seperti didirikannya pesantren.
Selain masjid dan langgar (surau) tempat untuk mengaji
babagan keislaman, para ulama seperti Walisongo juga
mendirikan pesantren, sejenis padepokan yang khusus
digunakan untuk mengaji, mengkaji sekaligus mengkader
masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang sejati.

C. Hubungan Intelektual-Keagamaan Nusantara dengan Timur


Tengah

Setelah kekuasaan Islam merata di Hindustan sendiri,33


misalnya dalam abad ke-XIII dan seterusnya, memanglah bukan
bangsa Arab saja lagi yang mengembara ke negeri-negeri
Melayu. Dan cara berpikir pada masa-masa yang demikian,
jauhlah berbeda dengan zaman sekarang. Setiap yang datang
menunjukkan betapa hubungannya dengan Arab. Banyak
keturunan kaum Sayyid, keturunan Rasulullah datang dari
Hindustan atau dari Persi dan banyak pula keturunan sahabat-
sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Dan pada saat itu
orang-orang Melayu sendiri mulai berhubungan langsung

32 Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam Indoensia


(Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 22.
33 Ini sejalan dengan teori Thomas W. Arnold, yang didukung oleh
Marisson, bahwa Islam dibawa ke Nusantara (juga) oleh pedagang Muslim dari
India, tepatnya dari wilayah Coromandel dan Malabar. Meneurutnya, pedagang
Muslim dari wilayah tersebut mempunyai peranan penting dalam perdagangan
antara India dan Nusantara. Dasar persamaan madzhab fiqih (Syafii) diantara
kedua negar tersebut merupakan salah satu argumen yang diberikan Arnold.
Jelasnya baca, Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2015), h. 4-5.
21
dengan Tanah Arab sendiri, sehingga seorang guru Sufi yang
besar Syekh Abu Masud Abdullah Ibn Masud al-Jawi telah pergi
ke Tanah Arab, sampai dia sendiri pun menjadi guru disana dan
memberikan ijazah kepada murid-muridnya (mentransmisikan
ilmunya). Di antara murid yang diberi ijazah ialah Abdullah al-
Yafiiy, seorang ulama tasawuf yang besar (1300-1376 M),
pengarang kitab Raudhur Raiyahn f Hikayat al-Shlihn.34
Oleh karenanya sudah menjadi kepercayaan turun-
temurun orang Melayu, bahwa Islam datang ke Nusantara
langsung dibawa oleh orang-orang dari Tanah Arab, atau dari
salah seorang Syekh atau seorang Sayyid atau Waliyullah dari
Arab.35 Walaupun kebanyakan mereka datang dari Haramain
dengan terlebih dahulu singgah di India, namun nasab mereka
tetap terjaga hingga datang dan berkembangnya mereka (para
Syarif/Sayyid) di pulau-pulau kawasan Nusantara,36 seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Ketika sebelumnya hubungan masyarakat (kerajaan)
Nusantara dengan Timur Tengah hanya terjalin melalui
ekonomi-politik, pada tahap selanjutnya Islam di Nusantara
semakin berkembang setelah adanya hubungan intelektual-
keagamaan. Khususnya oleh kerajaan-kerajaan bercorak Islam di
Nusantara dengan Timur Tengah. Ini terjadi sejak abad ke-XIII

34 Hamka, Sejarah Umat Islam..., h. 675.


35 Ibid.
36 Tentang masuknya para Syarif atau Sayyid, atau Habib (dalam bahasa
Melayu), bisa dilihat selengkapnya dalam bukunya, Muhammad Hasan al-
Aydrus, Asyraf Hadramaut, diterjemahkan oleh Ali Yahya dengan judul, Sejarah
Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Misalnya, baca di halaman 37 dan 39.
Disana Muhammad Hasan al-Aydrus, dengan mengutip buku Al-Madkhl il
Tarkh al-Islmy f Asy-Syarq al-Aqsa karya Alwi bin Thohir al-Haddad,
menyebut diantara keluarga Arab yang hijrah ke Asia Tenggara, khususnya ke
Indonesia, diantaranya adalah keluarga al-Qadri, al-Muthahhar, al-Haddad, al-
Basyaiban, Khaneman, al-Aydrus, bin Syahab, bin Syeikh Abubakar, as-Saqqaf,
Bafaqih, Jamalullail, al-Habsyi, asy-Syatiri, al-Baidh, Aidid, dan al-Jufri.
Keluarga ini semuanya adalah keturunan dari Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa.
Imam al-Muhajir bernama asli Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-
Auradhy bin Jafar Ash-Shiddiq (keturunan Ali bin Abi Thallib, menikah dengan
Fatimah binti Rasulullah SAW), yang masyhur sebagai cikal bakal sekaligus
guru dari para Habaib di Asia Tenggara (bahkan Dunia), makamnya di
Hadramaut Yaman.
22
M hingga abad ke XVIII M. Yaitu ketika kerajaan-kerajaan besar
Islam terlahir di Nusantara. Seperti Kerajaan Samudera Pasai,
Malaka, Kerajaan Demak, dan Kerajaan Mataram Islam.
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam tersebut, menjadikan
hubungan Nusantara dengan Timur Tengah semakin mapan.
Kehadiran ulama dari Timur Tengah dan dunia Islam yang lebih
besar, khususnya Makkah, merupakan langkah penting dalam
memperkenalkan Islam ke Nusantara. Dengan demikian
perkenalan hadis ke Nusantara pun mempunyai indikasi yang
signifikan. Sebab hadis tidak bisa dinafikan dari perkataan-
perkataan para dai. Walaupun boleh jadi pengkajian terhadap
hadis secara formal pada waktu itu belum begitu terlihat atau
menonjol seperti sekarang.
Hubungan (intelektual-keagamaan) Nusantara dengan
Timur Tengah menjadi lebih kuat di Kerajaan Aceh pada abad
ke-XVII. Hubungan ini dibuktikan dengan terbentuknya sebuah
jaringan ulama, yang kemudian membuat Makkah memainkan
peranan penting dalam diskursus intelektual di Nusantara pada
periode tersebut. Ulama-ulama terkenal pada periode tersebut
antara lain, al-Raniri (1608 M), Abdrrauf al-Singkili (1615-
1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1627-1699 M), belajar di
Makkah. Mereka membentuk lingkaran komunitas Jawi (ashb
al-jawiyyn) dengan ulama Makkah yang mengajar mereka, dan
kemudian bertanggung jawab dalam mendiseminasikan
pemikiran Islam yang berkembang di Makkah masa itu, neo-
sufisme, kenusantaraan. Ulama-ulama yang disebutkan diatas
menjadikan kerajaan sebagai tempat untuk melaksanakan misi
pembaruan mereka. Al-Raniri dan al-Singkili berkarier di
Kerajaan Aceh, sementara al-Maqassari yang lahir di Sulawesi
Selatan, membangun karier di Kerajaan Banten, Jawa Barat.37
Selain Aceh, di Jawa bagian Selatan yang kala itu dikuasai oleh
Mataram Islam juga sudah melakukan interaksi dengan ulama-
ulama dari Timur Tengah, Gujarat maupun Maghribi. Ini
dibuktikan dengan ditemukannya makam-makam tua sekitar

37 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim


dalam Sejarah Indonesia..., h. 31.
23
abad ke XV-XVII yakni makam para Syarif atau Sayyid (Syekh)
yang berada di sepanjang pesisir Pantai Selatan Jawa seperti
Banten, Kebumen dan Yogyakarta.38
Apalagi setelah dibukanya terusan Zuez di Mesir pada abad
ke-XIX, dan perhubungan Indonesia dengan Mekkah lebih
dipercepatkan dengan adanya kapal api. Ini merupakan langkah
beruntung bagi ulama-ulama Nusantara untuk pergi haji
sekaligus ngangsu kawruh ke Mekkah. Disana mereka
berkenalan dengan berbagai pemikiran yang tengah aktual pada
masanya, yang berada di tanah Arab dan Timur Tengah pada
umumnya.39 Sehingga dalam studinya tersebut menghasilkan
beberapa buah karya dalam berbagai bidang keilmuan
intelektual Islam seperti ilmu al-Quran dan tafsir, hadis dan
ulm al-hads, fiqih dan ushul fiqih, tasawuf dan lain
sebagainya. Salah satu dari sekian banyak ulama Nusantara yang
patut dihargai sebagai ulama tak berkeringat adalah Syekh
Nawawi al-Bantani. Karena warisan intelektual yang didapat
dari Syekh Nawawi lah, mulai dapat menyebabkan
berkembangnya intelektualitas Islam di Bumi Khatulistiwa.
Misalnya dalam bidang hadis, terdapat dua buah karya
utama yang dihasilkan di akhir pertengahan kedua abad ini
yaitu, Tanqh al-Qawl al-Hadts oleh Syekh Nawawi al-Jawi al-
Bantani (w. 1314 H/ 1897 M) dan al-Jawhar al-Mawhb oleh
Syekh Wan Ali Kutan al-Kalantani (w. 1331 H/ 1913 M).
Keduanya merupakan syarah atas karya bertajuk Lubb al-Hadts
karangan Jalal al-Dn al-Shuyuth (w. 911 H/ 1505 M). Kitab ini
ditulis oleh dua orang ulama Nusantara tersebut yang
berdomisili di Makkah dan hidup pada kurun waktu yang sama.
Karya-karya hadis ulama ini juga amat berpengaruh dalam
kalangan masyarakat Nusantara dan masih digunakan sebagai
teks pengajian agama hingga kini.40

38Abdul Aziz, Jejak Sang Wali Urut Sewu: Kilas Sejarah Perjuangan
Syekh Muhammad Najmuddin Ali Mubin (Kebumen: Sanjemedia, 2015), h. 19.
39 Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dari Masa Kemasa (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1980), h. 244.
40 Muhammad Mustaqim Mohd Zarif, Penulisan Karya Hadis Nusantara
Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan Seyikh Ali Kutan al-Kalantani
24
Pada akhirnya, kontak intelektual ini ditandai dengan
maraknya kaum Muslimin dari Indonesia yang belajar ke
Mekkah dan Madinah (Haramain), bebarengan setelah mereka
melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni haji, pada abad
ke-XVII sampai IXX. Kontak intelektual-keagamaan ini terjadi
setelah islamisasi di Nusantara merebak hampir ke seluruh
pelosok daerah di Indonesia.
Mahmud Yunus menyebutkan, bahwa pada abad ke-XVII
(1680 M), telah banyak terdapat ulama-ulama ahli syariat
(hadis dan fiqih, termasuk ahli ilmu al-Quran) yang berada di
Indonesia. Di Minangkabau misalnya, ada Syekh Abdurrauf al-
Singkili dan muridnya Syekh Burhanuddin. Sementara ulama
tasawuf disana semakin melemah, seperti Syekh Ahmad Qusyasy
(murid Syekh Abdul Qadir Jaelani dari Madinah) yang terpaksa
pindah ke Palembang dalam menyebarkan ilmu tarekatnya.41
Muslim Indonesia yang berhubungan dengan Haramain
(Timur Tengah) dapat dilihat --secara masif-- setidaknya sejak
abad ke-XVI, ketika hubungan politik dan perdagangan di antara
Nusantara dan Timur Tengah terjalin. Dalam mengkategorikan
atau menerangkan berbagai segmen imigran dan ulama
internasional yang bermukim di Haramain, dapatlah meminjam
teori Voll yang dikutip oleh Azyumardi Azra, yang
menggolongkan tiga tipe hubungan Muslim Nusantara dan
Haramain.
Tipe pertama, yang disebut dengan little imigrants, yakni
orang-orang yang datang dan bermukim di Haramain, dan
dengan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan
setempat. Mereka umumnya ke Haramain untuk melaksanakan
ibadah haji, namun karena disana mereka kehabisan bekal, maka
mereka menetapkan diri mereka untuk bermukim disana.
Mereka hidup sebagai penduduk biasa, dan tidak harus
merupakan ulama. Seperti Said Ibn Ysuf al-Hindi, seorang

dalam Sunnah Nabi Realiti dan Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-
Quran dan al-Hadith), h. 366.
41 Lihat, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1984), h. 24.
25
farassy, pembentang tikar di Masjid Nabawi, dan Rayhan al-
Hindi yang mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci, serta
mewakafkan hampir seluruh hartanya untuk membangun
sarana-sarana di Madinah.42
Tipe kedua, adalah grand imigrants. Mereka adalah ulama
par excellent. Kebanyakan imigran kategori ini telah mempunyai
dasar yang baik dalam kehidupan Islam, bahkan sebagian
mereka sangat alim dan terkenal. Kelompok ini dikelompokkan
oleh Azra sebagai jaringan ulama internasional di Haramain.43
Tipe ketiga, adalah ulama dan murid pengembara, yang
menetap di Mekkah dan Madinah dalam perjalanan panjang
mereka menuntu ilmu. Mereka umumnya datang ke Haramain
untuk haji dan meningkatkan ilmu kepada ulama-ulama (grand
imigrants Nusantara dan Timur Tengah). Ketika mereka telah
merasa mempunyai ilmu yang memadai dan telah memperoleh
otoritas untuk mengajar (ijazah) dari guru-guru mereka,
kemudian mereka kembali ke negeri asal masing-masing.
Mereka yang pulang membawa ilmu, gagasan dan metode yang
dipelajari di Haramain.44 Dengan begitu mereka menjadi
transmitters utama tradisi keagamaan, khususnya ilmu hadis
dari Haramain ke Nusantara.
Maka dari itu, salah satu pusat pendidikan Islam yang
banyak dikunjungi oleh para pencari ilmu dari berbagai belahan
dunia Islam, termasuk dari Indonesia, ialah lembaga pendidikan
Islam yang berada di Haramain, yaitu Mekkah dan Madinah.
Para ulama menyelenggarakan halaqah-halaqah di Masjidil
Haram (di Mekkah) dan Masjid Nabawi (di Madinah), untuk
membahas kitab-kitab keislaman seperti, fiqih, tafsir dan hadis,
hingga tasawuf.45 Yang menarik, pembelajaran disana tidak
terpaut dengan satu madzhab saja, melainkan para pencari ilmu

42 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII..., h. 71-72.
43 Ibid., h. 72.
44 Ibid., h. 72-73.
45 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan di Indonesia:
Pascakemerdekaan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 7.
26
bebas memilih guru atau ulama yang mana sesuai dengan
kehendak (minat ilmu) yang ingin diperdalaminya.
Abad ke-XVI M merupakan abad embrio terjalinnya
hubungan intelektual antara Nusantara dengan Timur Tengah,
yakni antara Kerajaan Aceh dengan Haramain. Ini disebabkan
karena wilayah (Aceh) merupakan tempat persinggahan bagi
para kaum Muslimin Nusantara ketika mereka pergi dan
kembali dari bumi Haramain. Selain dari pada itu, kala (abad ke-
XVI M) Aceh juga menjadi Serambi Mekkah, yakni salah satu
pusat pendidikan agama Islam di dunia. Oleh karenanya, jalinan
intelektual sekaligus diplomatik terjalin dengan baik antara
Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Ustmani.46
Selanjutnya di abad ke-XVII M, signifasi jaringan ulama
Nusantara dengan Timur Tengah semakin terlihat konkrit.
Dalam penelitian Jaringan Ulama-nya, Azra menjelaskan bahwa,
pada periode itu beberapa ulama terkemuka mempunyai
hubungan dengan inti jaringan. Al-Fs, misalnya, ia adalah
murid dan teman baik Ibn Hajar al-Asqaln dan Syihb al-
Raml, dua muhaddis besar yang hidup di Mesir. Kemudian al-
Nahrawl, alim terkemuka dalam abad ke-XVI M di Haramain,
mempunyai hubungan-hubungan eksistensif tidak hanya dengan
ulama terdahulu, seperti Ibn Hajar al-Asqaln, tetapi juga
dengan ulama abad ke-XVII M, semacam Ibrhm al-Kurani.
Bahkan disana Azra memberi pemaparan, bahwa di abad XVII M
ini hampir seluruh ulama yang menjadi inti jaringan memiliki
isnad hadis dan silsilah tarekat yang melibatkan ulama
terkemuka ini.47 Dimana di halaman-halaman berikutnya Azra
mengkaitkan jaringan (transmisi keilmuan hadis) mulai dari Ibn
Hajar al-Asqaln ke Ibrhm al-Kurani, turun ke Sibghat al-
Allh, turun ke Ahmad al-Sinnaw dan Ahmad Qusyasy, turun
ke al-Singkili dan al-Maqassari (keduanya merupakan ulama

46 Ali Mohammad, Peranan Ulama dalam Memartabatkan Tamadun


Islam di Nusantara: Tumpuan terhadap Abdur Rauf Singkel, dalam Jurnal Al-
Tamaddun, Bil. 4, Universitas Malaya (2009, h. 81-98), h. 82.
47 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII..., h. 85.
27
Nusantara).48 Mereka semua adalah ahli dalam bidang hadis,
selain juga ahli bidang keislaman lain seperti tafsfir, fiqih dan
tasawuf. Lebih lanjut dalam penjelasan Azra, bahwa mereka ini
lah beberapa ulama yang paling bertanggung jawab atas
penyebaran seni studi hadis, periwayatan hadis, termasuk isnad-
nya di dunia Muslim49 Bahkan kalau jika dilihat dan ditelusuri
lebih mendalam, mereka tidak hanya berkontribusi di dunia
Muslim (Timur Tengah) saja, melainkan di tanah air mereka
kawasan Melayu al-Jawi (Nusantara; Indonesia). Mereka lah
para embrio ulama hadis di Nusantara, sehingga hadis dan
kajiannya dapat berkembang pesat hingga saat ini.
Ulama-ulama sebagaimana disebutkan di paragraf
sebelumnya pula yang menjadi isnad (transmitters) keilmuan
keislaman, khususnya hadis kepada ulama Nusantara di abad
berikutnya. Misalnya, pada akhir abad ke-IXX M muncul
beberapa ulama kelahiran Indoensia yang diakui ketinggian
ilmunya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di
Masjid Mekkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (dari Banten),
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz al-
Tirmasi (dari Tremas Pacitan). Satu hal yang cukup menarik dari
perkembangan ini ialah, bahwa para pelajar dari berbagai
daerah yang melanjutkan pelajaran di Mekkah biasanya baru
dianggap dapat menyempurnakan pelajaran mereka setelah
memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran
Indonesia tersebut.
Sejumlah ulama dari Indonesia mendirikan sendiri
madrasahnya di Mekkah dan Madinah, misalnya Madrasah
Darul Ulum ad-Diniyyah. Pada waktu Snouck Hurgronje
melakukan penelitian selama 6 bulan di Mekkah, ia mencatat
jumlah mahasiswa Indoensia disana mencapai lebih dari 5.000
orang, mewakili 50 persen dari seluruh mahasiswa asing di
Saudi. Para kiai dan calon kiai yang lama belajar di Mekkah,
dalam rangka meningkatkan mutu keilmuan, juga menyebabkan

48 Ibid., h. 89-93
49 Ibid., h. 94.
28
mutu pesantren meningkat,50 hingga dapat mengundang santri
lebih banyak lagi. Para kiai juga banyak yang mulai
memperkenalkan semangat dan sistem baru dalam pendidikan.51
Sementara itu di abad XX dan XXI M, para santri dan calon
kiai (ulama) yang belajar di Haramain terus meningkat. Bahkan
tidak hanya di Haramain, mereka menyebar hingga ke Benua
Afrika seperti Mesir, Yaman, dan Sudan. Ada pula yang ke India,
Syiria, Pakistan, Irak dan (sebagian) Iran. Dalam abad yang
dapat disebut dengan abad kontemporer ini, salah satu ulama
yang menjadi Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (abad XXI)
adalah al-Muhaddis as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
(1946-2004 M). Masih dengan menggunakan tradisi isnad,
hingga pengaruhnya tersebar ke berbagai pelosok dunia,
termasuk di kawasan negara Melayu seperti Indonesia dan
Malaysia.
Sehingga terbentuknya Haiah Ash-Shofwah Al-
Malikyyah, yaitu komunitas para murid, santri (sebagian
muhibbin) alumni Ribath Al-Malikiyyah di Haramain, yang di
sana pernah belajar --dan tentunya terpengaruh-- (pemikiran)
Sayyid Muhammad Alaw al-Mlik al-Hasan al-Makk. Haiah
Ash-Shofwah di Indonesia saat ini di ketuai oleh KH. Ihya
Ulumiddin, pengasuh Mahad Nurul Haromain Pujon Malang,
Jawa Timur.

50 Misalnya, Pesantren Daarut Tauhid Purworejo Jawa Tengah. Bahkan


pesantren ini sudah mempunyai 10 cabang pesantren yang berada di berbagai
pelosok penjuru Indoensia, khususnya di Jawa.
51 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai
dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Yogyakarta: LP3ES, 2011), h. 69.
Contoh nyata dari perkenalan sistem baru dalam pendidikan di pesantren
adalah sistem pendiikan (kurikulum yang diajarkan) di Pondok Pesantren Nurul
Haromain Pujon Malang, asuhan KH. Ihya Ulumiddin.
29
BAB III
Literatur Nusantara Seputar
Kajian Hadis

30
Bab III

Literatur Nusantara Seputar Kajian Hadis

A. Indikasi Awal Kajian Hadis di Nusantara

Hadispada zaman Rasulullah belum dilembagakan secara


resmi, sebagaimana al-Quran. Di saat itu hadis masih berupa
hafalan para sahabat, yang disampaikan dari lisan ke lisan, dari
satu generasi ke generasi berikutnya.52 Dalam sejarah Islam,
salah satu hal yang menyebabkan hadis lebih terlambat untuk
ditulis secara massal adalah karena kebijakan Nabi yang terkesan
lebih mengutamakan al-Quran. Oleh karena itu, naskah-naskah
(shuhuf) hadis sangat sedikit jumlahnya. Naskah-naskah hadis
itu sendiri ada yang diberi nama dan ada pula yang tidak.
Pada masa Nabi dikenal sedikit naskah hadis, bahkan
sejarawan hanya mengenal empat naskah (shahifah)53 dan
hanya satu yang dapat dilacak keberadaannya. Seperti shahifah
ash-shahihah, yaitu kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah (w. 59 H) yang disampaikan kepada salah seorang
muridnya yakni Hammam Ibn Munabbih (40-131 H). Manna
al-Qaththan menerangkan bahwa ada juga shahifah ash-
shadiqah yang ditulis oleh Abdullah Ibn Amr Ibn Ash dari

52 Musthofa Assibai, As-Sunnah Wa Makanatuha F at-Tasyrii al-Islami,


diterjemahkan oleh Djafar Abd. Muchith dengan dujul, Al-Hadits Sebagai
Sumber Hukum: Serta Latar Belakang Historisnya (Bandung: Diponegoro,
1979), h. 165.
53 Hadis yang ditulis oleh sebagian sahabat Rasulullah SAW yang
berbentuk lembaran-lembaran kecil.
31
Rasulullah Saw. Para ahli sirah menyebutkan bahwa shahifah
tersebut berisi sekitar 1000 hadis.54 Ini menjadi bukti bahwa
pada saat itu telah ada penulisan hadis yang dilakukan oleh para
sahabat.
Melihat sejarah penulisan hadis di masa Rasulullah dan
sahabat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa
sahabat tidak semuanya menulis hadis. Terlihat disana hanya
sebagian sahabat yang benar-benar mempunyai kemampuan
ilmiah saja yang menulis hadis, seperti Abdullah Ibn Amr Ibn
Ash, dan itu pun tidak dilarang oleh Rasulullah Saw.,
sebagaimana sahabat-sahabat yang lainnya. Dengan demikian
para penulis pada masa itu merupakan benar-benar seorang
yang unggul. Dan biasanya mereka merupakan orang-orang
yang terdekat dengan orang nomor satu pada saat itu, seperti
khalifah, Rasulullah Saw. Mereka lebih banyak berada di
lingkungan pemerintahan (kerajaan; istana), dari pada sebagai
penduduk (masyarakat) biasa.
Sama halnya di Nusantara, hadis boleh jadi sudah beredar
di (sebagian kawasan) Nusantara bersamaan datangnya
saudagar serta utusan dari umat Islam Arab. Sebagaimana
disebutkan Hamka, bahwa:
...Saudagar-saudagar dan pernah juga utusan dari umat Islam, yang
berintikan bangsa Arab telah datang berbondong-bondong ke negeri
Melayu. Ada yang singgah saja dan ada juga yang menetap, sehingga
mereka mendirikan perkampungan kecil supaya mereka tidak
terganggu mengerjakan agama mereka.55

Sementara dari pada itu, hadis hanya menjadi pembicaraan


dari lisan ke lisan saja, terutama dikawasan perkampungan
Muslim kecil disana. Sejarawan menyebutkan bahwa
perkampungan Muslim tersebut terletak di Sumatera Barat, di
dekat Malaka. Sebab pada masa itu (abad ke-VII-an M) Malaka
sudah menjadi salah satu pusat perdagangan dunia Timur
Tengah dengan Timur Jauh (Melayu-China). Kemudian setelah

54 Manna al-Qaththan, Mabhits fi Ulm al-Hadits, diterjemahkan oleh


Mifdhol Abdurrahman dengan judul, Pengantar Ilmu Hadis..., h. 50.
55 Hamka, Sejarah Umat Islam..., h. 697.
32
berkembanya Islam di Indonesia mulai abad ke-XII sampai XIII
M yang ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan bercorak
Islam, maka pengkajian terhadap hadis pun mulai serius
digalakkan. Khususnya di kawasan istana kerajaan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kondisi dalam
istana Kerajaan Samudera (Pasai), yang pada abad ke-XIV M
(sekitar tahun 1330-an) menjadi pusat diskusi masalah-masalah
keagamaan. Dengan ditopang data dari hasil ekspedisi Ibnu
Batutah yang pernah singgah ke Nusantara (khususnya ke
Kerajaan Samudera Pasai) pada abad tersebut, menjadi
bertambah kuat indikasi bahwa, hadis mulai menjadi bahan
diskusi pada saat itu.
Sultan Kerajaan Samudera Pasai, yaitu zaman al-Malikuz
Zhahir II (1326-1348), bernama Raja Ahmad. Sebagaimana
raja-raja sebelumnya, gelar Malikuz Zhahir masih dipakai
sampai Raja Ahmad (Malikuz Zhahir II) ini, walaupun namanya
tersebut berganti-ganti. Dalam abad ini lah seorang pengembara
bernama Ibnu Batutah singgah ke Nusantara dan memberikan
beberapa keterangan mengenai Islam di Nusantara pada saat itu,
sebagaimana yang di ungkap Hamka:
...Sangat besar kemungkinan bahwa Sultan (Malikuz Zhahir II) ini
lah yang ditemui oleh pengembara Ibnu Batutah ketika ia singgah di
negeri Pasai itu tatkala dia diutus oleh Sultan Delhi56 ke Tiongkok
pada tahun 1345 M., demikian yang seketika dia telah selesai
melakukan tugasnya dan hendak kembali pulang setahun kemudian
1346 M... 57

Keterangan yang diberikan Hamka tersebut rupanya tepat,


sesuai dengan data yang diberikan Ibnu Batutah dalam kisah
perjalanannya tentang Sultan Malikuz Zhahir (II). Ibnu Batutah
menceritakan, sebagaimana yang dikutip Hamka, bahwasanya

56 Menurut Hamka, kalimat Delhi asalnya adalah Dehli, dan kalau


seseorang dibangsakan kepadanya disebut Ad-Dahlawiy, sebagai Syah
Waliyullah Ad-Dahlawiy. Tetapi orang Barat menyebutnya Delhi, jadi terbalik
huruf H dengan L. Masalah Delhi dan Kerajaannya, bisa dibaca dalam Barbara
D. Metcalf, A Historical Overview of Islam in South Asia, dalam arikel
Introduction (t.dt.), h. 6-8.
57 Hamka, Sejarah Umat Islam..., h. 704.
33
Sultan itu sangatlah teguh memegang agama dan baginda
bermadzhab Syafii. Madzhab itu diketahuinya dengan
mendalam dan sanggup baginda bertikar fikiran dengan para
ulama ketika membicarakan masalah-masalah agama dalam
madzhab Syafii tersebut.58 Dengan adanya proses diskusi
tersebut, pada masa ini dapat ketahui bahwa telah ada Raja
sekaligus ulama-ulama yang ahli dalam ilmu keislaman, baik
dari fiqih maupun hadis.
Selanjutnya Hamka menyebutkan bahwa, ketika Ibnu
Batutah masih melaksanakan tugasnya di Kerajaan disana, Ibnu
Batutah kerapkali melihat baginda (Sultan) ketika akan pergi ke
Jumat baginda berjalan kaki dan pulangnya baru naik
kendaraan gajah atau kuda. Baginda juga suka sekali
mengembangkan agama ke negeri-negeri yang berdekatan dan
ke negeri-negeri yang belum memeluk Islam.
Diceritakan pula oleh Ibnu Batutah bahwa disana dia
bertemu dengan dua orang ulama, yang seorang datang dari
Syiraz dan yang seorang lagi datang dari Isfahan. Yang datang
dari Syiraz merupakan keturunan bangsa Sayyid. Dia diangkat
oleh baginda Sultan menjadi Qadhi dalam Kerajaan Pasai. Ini
tidaklah mengherankan, karena tidak sedikit pula ulama-ulama
Syafii di negeri Iran itu, misalnya Syekh Ab Ishaq al-Syirz,
pengarang kitab Al-Muhadzdzab yang terkenal, karena ia pun
menjadi guru besar di Madrasah Nidzhamiyyah.59
Setelah sekembalinya Ibnu Batutah ke negerinya di Afrika
Utara (Tunisia), ia menceritakan semuanya mengenai kealiman

58 Melihat keterangan Ibnu Batutah ini, besar kemungkinan bahwa pada


masa Sultan (Malikuz Zhahir II) ini, hadis sudah mulai berkembang (setidaknya
di lingkungan Kerajaan). Sangat tidak mungkin kalau seorang yang sudah
faham secara mendalam madzhab Syafii, ia belum menguasai ilmu-ilmu
keislaman (termasuk hadis). Apalagi dalam keterangannya Ibnu Batutah
menyatakan bahwa, sang Sultan berdiskusi --mengenai problematika
keagamaan-- dengan para ulama (yang ahli ilmu agama, bermadzhab Syafii) di
lingkungan Kerajaannya, sangat mengindikasikan bahwa disana pun terjadi
tukar pendapat dengan juga menawarkan atau setidaknya menyertakan dalil-
dalil (ayat-ayat al-Quran dan hadis) sebagai tawaran dalam menyelesaikan
permasalahan agama tersebut.
59 Hamka, Sejarah Umat Islam..., h. 704.
34
dan keistimewaan dari Raja Pasai pada masa itu. Sehingga
dengan demikian mengundang hati para ulama (khususnya yang
bermadzhab Syafii) dari penjuru negeri untuk berziarah atau
mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai. Kealiman Sultan dan
kemajuan madzhab Syafii dalam negerinya, selain mengundang
daya tarik para ulama Islam dari negeri lain seperti, Mesir,
Mekkah, Madinah, Pantai Yaman, Hadramaut dan Malabar.
Kerajaan juga diuntungkan dengan dijadikannya sebagai bandar
yang besar dalam perniagaan. Selanjutnya, Pasai pun menjadi
salah satu pusat mempelajari agama Islam (bagian dari Serambi
Mekkah). Sehingga pada akhirnya walaupun dari segi politik
Kerajaan Pasai telah surut, namun disana tetap menjadi pusat
dalam mempelajari agama Islam, khususnya madzhab Syafii.
Bahkan Hamka menuturkan, sebagaimana dalam Sejarah
Melayu, bahwa tatkala ulama di Malaka musykil memutuskan
permasalahan agama, maka ia meminta fatwa (keputusan) ke
ulama-ulama yang berada di Pasai.60
Melihat perkembangan sekaligus pertumbuhan keilmuan
Islam yang berada di Pasai tersebut, walaupun tidak disebutkan
secara eksplisit ilmu-ilmu apa saja yang dipelajari atau dikaji
disana, namun sekiranya dapat besar dimungkinkan bahwa
kajian-kajian ilmu dasar Islam sudah jauh dikusai secara
mendalam disana. Itu artinya ilmu-ilmu Islam yang musykil
seperti ushul fiqh, mantiq, musthalah al-hadts maupun tafsir
dan ilmunya, sudah dikaji (sekaligus berkembang) disana. Ini
dibuktikan dengan adanya ulama Malaka yang meminta fatwa
ke Pasai jika memang tidak bisa memutuskan perkara-perkara
yang sulit (musykil; problematik) dalam agama. Walaupun juga,
boleh jadi pada saat itu belum adanya pemikiran-pemikiran para
ulama Pasai yang berhasil ditanamkan dalam sebuah karya (tulis
atau buku), namun kajian terhadap bidang keislaman
(khususnya hadis) sangat dimungkinkan sudah diberlakukan.
Karena dalam sejarah tradisi kepenulisan --babagan keislaman--
dimulai pada abad ke XVII-an oleh ulama-ulama (intelektual
Muslim) besar masa itu seperti Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf

60 Hamka, Sejarah Umat Islam..., h. 705.


35
al-Singkili, Hamzah Fansuri dan Syekh Yusuf Tajul Khalwati
Makasasar. Yang pada abad tersebut pula ilmu syariat mulai
tertimbun dengan muncul serta tumbuhnya ilmu tasawuf.
Bahkan banyak dituliskan kitab-kitab tarikh-politik bernuansa
sufi pada masanya seperti, Tj al-Saltn (1603/1604 M) oleh
Bukhari al-Jauhari, Sullt al-Saltn oleh Tun Seri Lanang
(1612-1617 M), dan Bustn al-Saltn oleh Nuruddin al-Raniri
al-Gujarati al-Quraishy (1638-1641 M).

B. Indikasi Awal Penulisan Hadis di Nusantara


Penulisan seputar kajian hadis di Nusantara, agaknya dapat
dilihat dengan cara menarik akar genealogi penulisan literatur
sastra keislaman di Nusantara. Dimana hal ini menjadi indikasi
awal penulisan hadis di kawasan Melayu-Indonesia.
Sebagaimana yang telah disebutkan, geliat penulisan sastra
keislaman yang dalam hal ini adalah bidang sejarah, tidak lepas
dari geliat penulisan terhadap hadis dan ilmunya. Karena dalam
sejarah sejarah Islam, penulisan buku atau naskah sejarah mulai
ada dan berkembang ketika geliat penulisan (ilmu) hadis mulai
dilakukan. Ketika penulisan masalah para perawi hadis
misalnya, secara otomatis penulisan sejarah mengenai kehidupan
para perawi hadis tersebut pun dilakukan.
Meminjam Kuntowijoyo, ketika ia melihat kondisi tradisi
historiografi tradisional Indonesia dalam bentuk hikayat dan
babad, sangat lemah dalam hal ketepatan faktual dan semangat
kritis. Sehingga Kuntowijoyo dalam hal ini sangat mengapresiasi
sejarah (tradisi) yang telah dilakukan oleh (para pembawa) ilmu
hadis.61 Memang dalam sejarah peradaban Islam, salah satu hal
yang paling menonjol dalam hal tradisi historiografi adalah
dimulai ketika para ulama beserta khalifah (Umar Ibn Abdul
Aziz) melakukan kodifikasi terhadap hadis, yang kemudian
berkembang pula penulisan-penulisan terhadap hadis dan
ilmunya.

61 Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi


(Bandung: Mizan, 2008), h. 259.
36
Berkembangnya agama sekaligus Kerajaan Islam di
Nusantara yang lebih bercorak demokratik pada abad ke-XVI
dan XVII M, masih belum mampu menghancurkan benteng
pemisah antara budaya kaum istana dan rakyat jelata,
sebagaimana budaya feodal yang telah berkembang pada masa
kerajaan Hindu di Nusantara di masa sebelumnya. Oleh
karenanya, karya sastra yang hidup di daerah yang pedesaan
tidak didukung oleh tradisi tulis, menghasilkan sastra lisan.
Tradisi lisan yang ada di masyarakat pedesaan lebih luas
penyebarannya karena tidak terikat penciptaan kembali oleh
penyalin. Tradisi ini juga lebih mudah diterima oleh masyarakat
tanpa melibatkan kemampuan tulis-menulis, sehingga tradisi
lisan ini dapat dijadikan sumber dan rujukan bagi penulis
istana.62
Sejarah mencatat, bahwa dalam abad XVI dan XVII
sebagaimana disebutkan di atas, di Indonesia sudah terjadi
Islamisasi yang besar-besaran. Bahkan pada era ini kerajaan-
kerajaan (Islam) di Nusantara banyak yang meminta kiriman
mubaligh (dai; ulama) dari Timur Tengah, sebagaimana
Kerajaan Samudera, Malaka dan Mataram Islam. Sehingga, besar
kemungkinan tradisi sastra lisan berupa babagan keislaman pun
tersebar dan berkembang di masyarakat. Baik dalam masyarakat
kerajaan yang biasanya di dampingi oleh ulama (sebagai
penasihat raja), maupun masyarakat pedesaan. Ketika tradisi
sastra keislaman lisan banyak yang berkembang di masyarakat
(pedesaan), dengan demikian hadis-hadis pun turut
berkembang. Walaupun, boleh jadi hadis-hadis yang
berkembang pada saat itu masih sepenggal-sepenggal dan tidak
utuh dengan sanad dan perawinya. Namun, esensi hadisnya
sangat dimungkinkan telah banyak yang beredar.
Apalagi ketika penyebaran Islam di Tanah Jawa (Nusantara)
oleh Walisongo, yang mana sebagian dari mereka ada yang
membuat tembang-tembang berbahasa Jawa seperti Lir-Ilir dan
62 Maharsi, Memahami Islam Nusantara: Kajian Simbolisme Struktural
Terhadap Naskah Sejarah Melayu, dalam Himayatul Ittihadiyah (ed.), Islam
Indonesia: Dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya (Yogyakarta: PKSBi, 2011),
h. 224.
37
Gundul-Gundul Pacul ciptaan Sunan Kalijaga, yang mempunyai
nilai (filosofis) keislaman yang dalam, yang apabila dikaji secara
komprehensif dan mendalam, tembang-tembang tersebut
sebenarnya berdasar kepada al-Quran dan hadis. Selain itu,
pada masa ini juga sudah ada pesantren di Jawa, seperti
pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel (Raden
Rahmat). Sementara di Kerajaan, menurut Martin van
Bruinessen, hadis yang dikaji pada masa ini adalah kitab hadis
yang menjadi milik koleksi pribadi Kerajaan, seperti kitab
Bukhr.63 Jadi, tidak semua orang pada masa ini bisa
mempelajari kitab-kitab hadis, karena ia dipelajari hanya di
lingkungan Kerajaan saja.
Bahkan secara tidak langsung cara dakwah yang dilakukan
oleh Walisongo kepada penduduk Jawa juga mengacu pada
metode dakwah ala Rasulullah Saw. Yakni dengan metode
maidah hasanah wamujadalah billati hiya ahsan, metode al-
hikmah, metode tadarruj atau tarbiyatul ummah, metode
pembentukan dan penanaman kader, dan metode penyebaran
juru dakwah ke berbagai daerah.64 Oleh karenanya, penulis
memberikan konsepsi bahwa sebelum masyarakat Jawa
(Nusantara) bergeliat dalam penyampaian dan kajian terhadap
sunnah (hadis Nabi), mereka terlebih dahulu mempraktekkan
sunnah Nabi Saw. tersebut. Dengan demikian living sunnah pun
sudah ada di Nusantara khususnya Jawa, pada era Walisongo
(sekitar abad ke-XV-XVI-an), atau bersamaan dengan
dilakukannya islamisasi.
Selain tradisi sastra lisan yang berkembang di Nusantara,
tradisi tulis-menulis (keislaman) juga mulai ada dan
berkembang di abad ke-XVII M, walaupun boleh jadi pada masa
ini karya tulis di Nusantara masih di dominasi oleh karya-karya

63 Martin van Bruinnessen, Pesantren And Kitab Kuning: Maintenance


And Continuation of A Trasition of Religion Learning, dalam Wolfgang
Marschall (ed.), Text from the Island: Oral and Written Traditions of Indonesia
and the Malay Word (Berne: The University of Berne Institute of Ethnologi,
1994: h. 121-146), h. 18.
64 Baca Muh. Fatkhan, Dakwah Budaya Walisongo: Aplikasi Metode
Dakwah Walisongo di Era Multikultural, dalam Aplikasia, Jurnal Aplikasi
Ilmu-Ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 (Desember 2003: 122-141), h. 123.
38
berbau tasawuf, sejarah dan fiqih. Namun tidak bisa dipungkiri
jika di dalam naskah-naskah itu juga mengutip ayat-ayat al-
Quran (dengan sumbernya) dan hadis-hadis Nabi juga
(sebagian) dengan sumbernya. Itu artinya, literatur penulisan
(kitab) hadis pada masa ini masih bercampur dengan karya di
bidang lain seperti tasawuf dan sejarah. Tidak lain ini terjadi
karena masih dalam perkembangan islamisasi di Nusantara. Jadi,
wajar saja jika kebanyakan karya yang dihasilkan bercorak
tasawuf, karena memang banyak para sufi yang menjadi
penyebar Islam di Nusantara.
Sebagaimana yang dikemukakan Maharsi, bahwa
kedatangan agama Islam di Nusantara membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan karya sastra di Nusantara.
Karya tulis sastra yang dapat dijadikan permisalan dalam hal ini
adalah karya tulis yang berbau sastra-sejarah. Namun, Maharsi
dalam penelitianya mengenai naskah keislaman Nusantara
menyebutkan, ada dua corak yang terdapat dalam karya sastra
klasik di Nusantara. Pertama, karya sastra (sejarah-keislaman)
yang ditulis disaat awal munculnya Islam di Nusantara seperti
Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Babad
Tanah Jawi, dan beberapa karya lain yang mengawali kisahnya
dari masa sebelum Islam. Karya-karya sastra (sejarah) tersebut
ditulis sebagai bentuk perwujudan rasa kagum para penulis
terhadap adanya agama Islam yang mulai muncul di Nusantara.
Mereka menganggap kedatangan Islam di Nusantara merupakan
sesuatu yang sangat mengagumkan, sehingga mereka pun
menulisnya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Dalam karya sastra
tersebut kedatangan Islam merupakan cerita utama. Sehingga
sangat kentara ketika terjadi perubahan nada cerita di dalam
karya tersebut, yakni nada cerita masa sebelum dan sesudah
kedatangan Islam.65
Tidak bisa dipungkiri bahwa, di dalam karya-karya sastra
seperti disebutkan diatas, terdapat sebagian catatan-catatan yang
berisi mengenai keislaman. Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Saw. terkadang pun dikutip dalam bagian cerita tersebut.

65 Ibid., h. 232.
39
Naskah Sejarah Melayu, atau yang mempunyai judul asli Sullat
al-Saltn66 misalnya, ketika akan mengawali kisah, maka
dituliskan Bismillhirrahmnirrahm dan setiap kisah diakhiri
dengan Wallhu alam bi al-shawb, wailihi al-marji
walmab.67 Bahkan banyak penggunaan kata-kata Arab di
dalamnya, yang notabene berasal dari kutipan al-Quran dan
hadis. Seperti, Innallaha maassabirin (Allah beserta orang-orang
yang sabar), ini terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat
153. Ada pula hadis, Kullukum raini wa kullukum masulun an
raiyyatihi (para pemimpin nanti akan ditanyai oleh Allah SWT
tentang rakyat yang dipimpinnya).68 Hadis tersebut diucapkan
oleh Sultan Alauddin dalam wasiatnya kepada bakal
penggantinya, yaitu Raja Mamat yang menaiki tahta sebagai
Sultan Mahmud. Dalam pesan Sultan Alauddin tersebut,
menyuruh penggantinya agar tidak mendzalimi rakyat dan
senantiasa membantu mereka.69

66 Sejarah Melayu atau Sullat al-Saltn, ditulis pada masa Kerajaan


Islam sudah berkembang di Nusantara, dengan demikian unsur-unsur
keislaman sangat terlihat disana. Naskah ini ditulis oleh Tun Muhammad atau
Tun Seri Lanang atas perintah Sultan Abdullah Maayah Syah Ibn Sultan Ala
Jalla Abdul Jalil Syah yang berkerajaan di Johor. Penulis ini adalah bangsawan
yang sehari-hari hidup dalam lingkungan istana Kerajaan Johor-Melayu.
Kemudian naskah ini disunting oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsi, serta
ditransliterasi oleh T.D. Situmorang dan A. Teew dan serta dibantu oleh Amal
Hamzah. Naskah ini sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta
dengan Koder KGB dalam kolofon yang terdapat dalam teks Sejarah Melayu,
disebutkan penulisnya adalah seorang fakir alladi murakkabun ala jahilin
(pepatah bebahasa Arab ini berarti, bodoh sekali atau berlipat ganda
kebodohannya). Kata-kata seperti ini biasa digunakan oleh para pujangga untuk
merendahkan dirinya, terutama dihadapan raja yang menjadi pelindung atau
patronnya. Disamping juga dalam ilmu tasawuf, kata-kata seperti itu memang
sudah lazim digunakan oleh seorang yang arif ketika ia menyusun karya.
Periksa dalam, Maharsi, Memahami Islam Nusantara: Kajian Simbolisme
Struktural Terhadap Naskah Sejarah Melayu..., h. 235 dan 239.
67 Lihat, Ibid., h. 239; Atau buka selengkapnya dalam, A.Samad Ahmad,
Sulalatus Salatin Sejarah Melayu: Edisi Pelajar (Malaysia: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2008), h. 1-3.
68 Ibid., h. 259.
69 Lihat misalnya, Abdur Rahman Mohamed Amin, Sabda Nabi
Muhammad dalam Sulalatus Salatin, dalam Jurnal Melayu: Jurnal Antar
Bangsa Dunia Melayu, Jilid 8 Bil. 1 (2015), h. 54.
40
Kalau dicari dalam sumbernya, jelas ini merupakan hadis
shahih yang diriwayatkan oleh banyak riwayat, seperti Imam
Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Mereka merupakan
mukharrij yang diakui kredibilitasnya dalam (ilmu) hadis
sehingga hadis-hadis yang dikeluarkannya telah disepakati oleh
para ulama dengan hadis yang (sangat dimungkinkan)
keshahihannya. Bahkan Abdur Rahman Mohamed Amin,
seorang intelektual Muslim asal Malaysia yang telah meneliti
naskah Islam tersebut berhasil membuktikannya. Mohamed
Amin melihat bahwa di dalam Sullat al-Saltn atau yang lebih
dikenal dengan Sejarah Melayu, ditemukan dua dari empat hadis
merupakan hadis yang tercatatkan merupakan hadis dengan
kualitas shahih.70
Adanya hadis-hadis yang terpapar dalam beberapa kitab
atau naskah Islam klasik tersebut tidaklah ganjil. Sebab pada
masa itu, kedudukan Malaka merupakan pusat pendidikan dan
pengajaran ilmu-ilmu keislaman. Oleh sebab pengaruh Islam
yang sangat kuat, sudah pasti elemen karya Islam seperti hadis
Nabi akan wujud dalam karya seperti ini.71 Bahkan menurut
Amin, adanya hadis shahih dalam naskah ini membuktikan
perwujudan betapa tingginya peradaban Islam Melayu dalam
bidang kepenulisan saat itu, miskipun dalam karya sastra
sejarah.72
Sedangkan yang Kedua, ada sastra sejarah Nusantara yang
tidak menceritakan tentang kedatangan Islam seperti, Hikayat
Aceh, Misa Melayu, Hikayat Johor, Silsilah Raja-Raja Brunai.
Namun ini menurut Maharsi, disebabkan karena naskah itu

70 Ibid., h. 45. Mohamed Amin menjelaskan, bahwa dua dari empat


hadis yang telah ditelitinya (ditakhrij), diantaranya seperti hadis (1) Min
tawakkal alalLahi kahfi, berstatus dhaif, (2) Kullukum rain wa kullukum
masulun min raiyyati, berstatus shahih, (3) Al-Abdu tinul murabbi, berstatus
bukan hadis (tidak ditemukan sumbernya), (4) Al-Khamru ummul khabais,
berstatus shahih. Lihat, Abdur Rahman Mohamed Amin, Sabda Nabi
Muhammad dalam Sulalatus Salatin..., h. 51-58.
71 Ibid., h. 46.
72 Ibid., h. 45
41
ditulis jauh setelah kedatangan Islam di Nusantara.73 Dan boleh
jadi ini disebabkan karena pada masa itu, Islam sudah menjadi
cara hidup dalam masyarakat. Mereka sudah terbiasa hidup
dalam lingkungan dan konstitusi Islam.
Selain naskah Sejarah Melayu, kitab Islam klasik yang juga
di dalamnya mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadis adalah
kitab Hadis Nusantara (Tj al-Saltn). Disana terdapat kutipan-
kutipan ayat-ayat al-Quran dan hadis. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal yang kesebelas, yang menyatakan peri pekerjaan
segala penyurat itu:74
Qla Allh tala: ...Nun wa al-qalami wa m yasthurun.. (QS. al-
Qalam: 1), artinya: haq Swt. bersumpah mengatakan: demi nun dan
kehendak daripada nun ikan itulah yang sekalian alam di atasnya
dan demi kalam dan barang yang disurat sertanya. Dan pada ayat al-
Quran di surat lain Allah berfirman; ...alladz allama bil qalami
allama al-ins m lam yalam.(QS. al-Alaq: 4-5), artinya:
bahwasanya mengajarkan dengan kalam (pena) itu, mengajarkan
manusia barang yang ia tiada tahu.
Hadis Nabi, qla al-Nabiyyu Saw.: ...awwalu m khalaqa Allhu al-
qalamu..., artinya: pertama yang diajarkan Allah haq Swt. itu kalam.
Bermula segala orang yang berilmu mengatakan: daripada sekian
yang dijadikan Allah taala itu tiada terbesar daripada kalam, karena
sekalian ilmu daripada pertama datang kepada kesudahan itu tiada
dapat diketahui melainkan dengan kalam juga.

Ayat dan hadis diatas merupakan bukti adanya kutipan


ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi di dalam naskah Tj al-
Salatn. Dan pasti masih banyak ayat al-Quran dan hadis
lainnya di dalam naskah tersebut, yang tidak bisa disebutkan
semuanya disini.

73 Maharsi, Memahami Islam Nusantara: Kajian Simbolisme Struktural


Terhadap Naskah Sejarah Melayu..., h. 259.
74 Denys Lombard, Le sultanat dAtjh au temps dIskandar Muda (1607-
1636), diterjemahkan oleh Winarsih Arifin dengan judul, Kerajaan Aceh:
Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia Forum Jakarta-Paris, 2014), h. 281. Buka juga pada halaman
selanjutnya, 282-283.
42
Sementara itu, di Jawa masih pada abad sekitar XVII dan
XVIII M, juga telah terjadi tradisi kepenulisan. Saat itu penulis
produktif Jawa yang terkenal adalah Yudisapura I (w. 1801 M),
Yusadipura II dan Ranggawarsita. Mereka semua merupakan
santri-santri pesantren yang tekun menghasilkan karya seperti
kakawin, serat dan babad. Walaupun secara eksplisit di dalam
karya-karya mereka tidak bisa disebut sebagai karya dalam
bidang hadis, namun kenyataan bahwa karya tersebut tidak bisa
tidak meninggalkan kutipan atas ayat al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad Saw. Sebab di dalam karya para intelektual Jawa
tersebut mengandung cerita roman, sejarah dan realita sosial,
hingga cerita-cerita yang dipenuhi moralitas dan
kepahlawanan. 75

Bahkan menurut Baso, langkah para intelektual pesantren


dalam tradisi kepenulisan tersebut telah menimbulkan kemajuan
tersendiri pada bangsa dan tanah air. Karena secara tidak
langsung, para santri merupakan para kader-kader pemimpin
masa depan. Tradisi pesantren yang ada merupakan tradisi yang
selalu menghargai perjuangan ulama, bangsa, tanah air. Tradisi,
ritual, upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan,
kesenian dan kebudayaan yang menghubungkan satu generasi
ke generasi lainnya, ini menimbulkan solidaritas berbangsa,
persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini
terjaga.76

75 Lengkapnya lihat, Ahmad Baso, Kembali ke Pesantren, Kembali ke


Karakter Ideologi Bangsa, dalam Jurnal KARSA, Vo. 20, No. 1 (2012), h. 6.
76 Ibid.
43
C. Literatur Penulisan (Kitab) Hadis di Nusantara

Ketika sub bab di atas membahas mengenai indikasi


kepenulisan hadis di Nusantara, yakni kepenulisan hadis yang
masih tercecer secara parsial di dalam karya-karya naskah para
intelektual Nusantara, maka dalam kali ini akan dibahas
mengenai literatur penulisan kitab hadis di Nusantara. Artinya
disini kepenulisan hadis secara utuh akan ditampakkan, seperti
kitab hadis dan ilmunya.
Literatur penulisan (kitab) hadis di Nusantara dapat
ditemukan sejak abad ke-XVII M. Sebagaimana yang telah
disinggung di sub bab atau paragraf-paragraf sebelumnya,
bahwa pada abad tersebut merupakan abad kemajuan intelektual
di bumi Nusantara (khususnya di Indonesia). Terbukti pada abad
ini ditemukan beberapa karangan dalam bidang keislaman,
mulai dari tasawuf, fiqih, tafsir, sejarah, hingga hadis.
Akan tetapi, di antara beberapa karya keagamaan yang
dihasilkan oleh para perintis ulama Nusantara, bidang hadis
tampaknya merupakan satu hal yang terlupakan. Sebagaimana
Oman Fathurrahman, seorang cendikiawan Muslim Indonesia,
menyatakan bahwa:
...Nyaris tidak ada sarjana pengkaji Islam Indonesia yang pernah
memberikan perhatian khusus serta menelusuri sejauh mana tradisi
dan perkembangan awal penulisan kitab-kitab hadis di Nusantara
tersebut. Padahal, hadis diyakini oleh semua pemeluk agama Islam,
termasuk Muslim Nusantara, sebagai sumber terpenting kedua setelah
al-Quran.77

Pernyataan Oman Fathurrahman tersebut tidak serta merta


mengungkapkan bahwa karya para ulama Nusantara di bidang
hadis berarti tidak ada. Namun, masih ada beberapa ulama yang
bergiat dalam literasi (kitab) hadis. Walaupun penulisan hadis
ini tidak setenar sebagaimana penulisan kitab sejarah, tafsir,

77 Oman Fathurrahman, The Roots of Writhing Hadith Tradition of


Hadth in Work Nusantara: Hidyat al-Habb by Nr al-Dn al-Rnr, dalam
Jurnal Studia Islamika,Vol. 19, No. 1 (2012), h. 48.
44
fiqih dan tasawuf. Bahkan pada faktanya, penulis-penulis unggul
di Indonesia yang menulis kitab tafsir, fiqih dan tasawuf tersebut
adalah seorang yang ahli dalam bidang hadis. Syekh Abdurrauf
al-Singkili, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasi
dan Syekh Hasyim Asyari merupakan contoh ulama Indonesia
yang berkompeten dalam hal ini. Diakui atau tidak, mereka pada
esensinya merupakan ulama yang memiliki kredibilitas dalam
disiplin ilmu hadis yang unggul, sehingga ilmu-ilmu lain seperti
ilmu al-Quran, ilmu tafsir, fiqih, aqidah dan tasawuf pun
mereka kuasai dengan baik.
Kitab hadis abad ke-XVII M yang dapat diketahui misalnya
adalah kitab karya Syekh Abdurrauf al-Singkili. Al-Singkili
menulis dua kitab hadis, diantaranya yang pertama yaitu
penafsiran (syarah) mengenai Hadts Arban (empat puluh hadis
karya al-Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah
Zakiyyat al-Din. Sedangkan yang kedua adalah Al-Mawiz al-
Bdiah, sebuah koleksi hadis quds, yakni wahyu Tuhan yang
disampaikan kepada orang-orang beriman melalui perkataan
Nabi Muhammad Saw.78
Karya kitab hadis al-Singkili tersebut, menurut Azra
merupakan karya yang ditujukan kepada kaum Muslim yang
masih awam, dengan tujuan tidak lain untuk mengajak mereka
menuju pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam. Dengan
argumen bahwa Hadts Arban al-Nawaw adalah kitab hadis
yang berisi mengenai hadis-hadis menyangkut beberapa
kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim, Azra menyimpulkan
bahwa kitab hadis karangan al-Singkili yang pertama ini
merupakan kitab hadis yang tidak ditujukan kepada para ahli

78 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII..., h. 250. Al-Singkili bernama lengkap
Abdurrauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili (1615-1690/1693 M), merupakan
ulama yang dikenal sebagai penulis (kitab) hadis pertama di kawasan Melayu
(Nusantara, khususnya Indonesia). Kitab pertamanya, Syarh al-Lathf al
Arbain Hadth L al-Imam al-Nwaw dan kemudian ia menyusun Al-Mawiz
al-Bdiah. Ia juga digadang-gadang sebagai awal guru hadis yang berada di
Nusantara. Lebih lengkap lihat, Latifah Abdul Majid, dkk,Hadith Written in
Early Islam in Malay Region, dalam Jurnal Advance in Natural and Applied
Sciences, 6(3): 472-477 (Selangor Malaysia, 2012), h. 473.
45
agama, namun kepada masyarakat awam.79 Simpulan Azra ini
disatu sisi memang tidak dapat untuk disalahkan, sebab
sebagaimana diketahui hadis-hadis dalam kitab Arban al-
Nawaw pada faktanya adalah hadis-hadis (pilihan) yang
bersentuhan langsung dengan paraktik (dasar) kehidupan
sehari-hari kaum Muslimin. Namun, setidaknya kita dapat
mempertimbangkan (atas kualitas) penjelasan-penjelasan dari
al-Singkili mengenai hadis-hadis tersebut.
Sebagai seorang yang multiscience, ahli dalam ilmu-ilmu
keagamaan, boleh jadi syarh yang dituliskan oleh al-Singkili
dalam kitab Arban-nya lebih dari sekedar pemaparan atas teori
dasar kewajiban kaum Muslim, sebagaimana yang terdapat
dalam kumpulan hadis Arban al-Nawaw. Namun (juga) besar
kemungkinan penjelasan hadis tersebut merupakan penjelasan
yang berbobot, sehingga tidak mudah dipahami oleh kalangan
Muslim awam, mengingat al-Singkili adalah seorang penasihat
Raja sekaligus hidup dalam lingkungan istana. Padahal telah
diketahui bahwasanya ilmu-ilmu keislaman tumbuh dan
berkembang awalnya melalui lingkungan istana kerajaan.
Terlepas dari perdebatan mengenai kualitas karya
Abdurrauf al-Singkili Syarh Arban tersebut, yang terpenting
adalah bahwa ia merupakan seorang intelektual Islam Indonesia
yang berkualitas. Bahkan dalam menulis karya-karyanya di
bidang lain, ia pun tidak main-main. Karya tafsir berjudul
Tarjumn al-Mustafid pun ia tulis, dan bahkan pakar tafsir
Nusantara seperti Moch. Nur Ichwan, Islah Gusmian dan
Howard H. Federspiel sependapat bahwa tafsir tersebut
merupakan karya tafsir (terlengkap, 30 juz) pertama yang
ditemukan di Nusantara.80

79Periksa, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..., h. 250.


80Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika
hingga Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 42; Howard M. Federspiel, Kajian
Al-Quran Di Indonesia, Terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996); Moch. Nur
Ichwan, Literatur Quran Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa, Pergeseran,
dan Kematian, dalam Jurnal Visi Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1, No.
1 (Januari 2002), h. 17; Moch. Nur Ichwan, The End of Jawi Islamic
Shcolarship? Kitab Jawi, Quranic Exegesis, and Politics in Indonesia, dalam Md.
46
Mengenai cetakaan kitab hadis karya al-Singkili, dari yang
pertama Syarh Arban al-Nawaw, dalam penelitian Azra kitab
hadis yang satu ini diketahuinya tidak terdapat dalam bentuk
cetakan. Namun karya yang kedua, mengenai hadis-hadis quds
(Al-Mawiz al-Bdiah) yang di dalamnya mengemukakan
ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan,
neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum Muslim
untuk mendapatkan ridha Tuhan. Disana al-Singkili secara
khusus (juga) menekankan perlunya bagi setiap Muslim untuk
menemukan keselarasan antara pengetahuan (ilm) dan
perbuatan baik (amal). Menurutnya, pengetahuan saja tidak
akan membuat seseorang akan lebih baik, dia menghimbau pada
aktivisme kaum Muslim. Al-Mawiz al-Bdiah diterbitkan
(dicetak) di Mekkah pada 1310 H/ 1892 M (edisi keempat atau
kelima). Di kemudian hari karya itu juga diterbitkan lagi di
Penang pada 1369 H/ 1949 M, dan ini mengindikasikan bahwa
kitab ini masih digunakan oleh sebagian kaum Muslimin.81
Selain Abdurrauf al-Singkili, pada masa itu (abad ke-XVII
M) ulama Nusantara yang mempunyai adikarya kitab hadis
adalah Nuruddin al-Raniri. Al-Raniri menulis kitab hadis
berjudul Hidyat al-Habb f al-Targhb wa al-Tarhb, atau
terkadang dikenal dengan nama al-Fawa'id al-Bahiyah f al-
Ahdts al-Nabawiyah.82 Kitab ini ditulis pada 6 Syawal 1045 H/
16 Maret 1636 M. Kitab ini mengandung 831 hadis dari
berbagai sumber, seperti Bukhari, Muslim al-Tirmidz dan lain-
lain.83 Dengan demikian, karya hadis ini patut dikategorikan
sebagai salah satu karya (hadis) yang sangat berkualitas di
Nusantara pada masanya. Dan secara tidak langsung juga
membuktikan betapa tingginya intelektual seorang Nuruddin al-
Raniri.

Salleh Yaapar, Rainbows of Malay Literature and Beyound (Malaysia:


Universitas Sains Malaysia, 2000), h. 85.
81 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..., h. 250-251.
82 Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia (IAIN
Surakarta: EFUDE Press, 2013), h. 34.
83 Oman Fathurrahman, The Roots of Writhing Hadith Tradition of
Hadth in Work Nusantara..., h. 48.
47
Kitab hadis al-Raniri yang berisi risalah singkat ini, di
dalamnya mengandung hadis-hadis Nabi yang diinterpolasikan
dengan ayat-ayat al-Quran. Ini dilakukan guna mendukung
argumen-argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut.84
Namun, sangat disayangkan bahwa sejauh ini kitab hadis
Melayu pertama ini, tidak satu pun dijumpai di perpustakaan-
perpustakaan Negeri ini. Hanya ada satu di PNM (Perpustakaan
Negeri Malaysia) Kuala Lumpur, tercatat dengan kode MS 1042.
Padahal kitab yang memuat 831 hadis shahih itu merupakan
salah satu sumber primer pertama di bidang hadis dalam konteks
sejarah Islam Melayu.85
Latar belakang penulisan kitab hadis tersebut bermula
ketika, al-Riniri mempunyai pandangan bahwa penerapan
syariat (fiqih) tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan yang
mendalam mengenai hadis Nabi Saw. Karena itu, ia
mengumpulkan sejumlah hadis yang diterjemahkannya dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu, yang belakangan dikenal
dengan nama Hidyat al-Habb f al-Targhb wa al-Tarhb.86
Jelas, tujuan penulisan kitab ini tidak lain adalah untuk
memberikan pemahaman yang benar kepada penduduk Muslim
(Nusantara) tentang hadis-hadis Nabi Saw. dan syariat Islam.
Sebab kebiasaan ulama Nusantara dalam menulis suatu risalah
Islam baik dalam karya hadis, tafsir, fiqih maupun tasawuf
(akhlak) biasanya dengan menggunakan bahasa lokal
(daerahnya) masing-masing. Dengan tujuan memberikan
pemahaman kepada masyarakat Muslim setempat yang kurang
menguasai bahasa Arab agar dapat membaca sekaligus
memahami isi kandungan karya tentang Islam tersebut.
Setelah kedua ulama Nusantara (al-Singkili dan al-Raniri)
yang menulis kitab hadis sebagaimana diungkap diatas,
perkembangan (pemikiran) hadis di Indonesia boleh dikatakan

84 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..., h. 226.


85 Oman Fathurrahman, Ulah Malaysia danKetidakpedulian Kita,
dalam Harian Seputar Indonesia, Kamis 27 Agustus 2009, hal. 4; Tulisan Oman
ini juga dikutip oleh, Hedhri Nadhiran, Perkembangan Pemikiran Hadis di
Indonesia: Analisis Teori Hadis Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam artikel (t.dt.), h. 1.
86 Ibid., h. 225.
48
hampir melemah. Para sejarawan dan intelektual Muslim
Indonesia sebagian besar menyatakan bahwa antara abad ke-
XVII (setelah al-Singkili dan al-Raniri) sampai pertengahan abad
ke-IXX M merupakan era gelap kajian hadis di Indonesia.
Kemandekan kajian hadis di Indonesia selama hampir satu
setengah abad ini, menurut Muh. Tasrif disebabkan karena tidak
dikembangkannya penulisan terhadap (kitab-kitab) hadis lagi,
sebagaimana abad sebelumnya.87
Oleh karenanya, kajian hadis di Indonesia baru terlahir
kembali ketika memasuki abad ke-IXX dan XX M, yang
dikembangkan oleh ulama-ulama Nusantara seperti, Syekh
Nawawi al-Bantani (w. 1897 M), Syekh Wan Ali Kutan al-
Kalantani (w. 1913 M), Syekh Mahfudz al-Tirmasi (w. 1919 M),
KH. Hasyim Asyari (w. 1947 M), dan oleh beberapa ulama asal
Banjar (di abad ke-XX M) misalnya, Syekh Muhammad Kasyful
Anwar, Syekh Muhammad (Anang) Syarani Arif, Syekh Ahmad
Fahmi bin Zamzam, Syekh Muhammad Syukeri Unus dan Syekh
Nuruddin Marbu, hingga menjelang akhir abad ke-XX M ada
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqiy dan A. Hasan.
Mandeknya kajian hadis di Indonesia, namun bukan berarti
kajian hadis di Nusantara (selain Indonesia) tidak berkembang.
Bukti masih terpeliharanya kajian hadis di abad ke-XVIII M di
Nusantara yaitu adanya kitab Bisyart al-miln wa Nazart al-
Ghfiln, yang ditulis oleh Ahmad bin Mohammad Zain bin
Mustofa bin Mohammad al-Fatani. Kitab ini lengkap ditulis di
Mekkah, pada malam Minggu tanggal 14 Rabiul Akhir tahun
1304 H/ 1887 M.88 Bisyart al-miln ini merupakan kitab
hadis yang berbentuk riwayah dan dirayah. Bahkan lebih dari
itu, hadis-hadis yang terkandung dalam kitab ini merupakan

87 Lihat misalnya, Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Telaah


Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII-Sekarang, dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No.1 (Januari 2004: 141-166), h. 142;
Atau bisa diperiksa juga dalam, Saifuddin, dkk, Peta Kajian Hadis Ulama
Banjar, dalam Jurnal Tashwir, Vol. 1 No.2, (Juli Desember 2013), h. 19.
88 Lihat, Fauzi Deraman, Wan Mazwati Wan Yusoff, dkk, Sheikh
Ahmad Al-Fatani and His Bisyaratul Amilin wa Nazaratul Ghafilin: A
Contribution in Hadith Studies, dalam Jurnal Middle-East J. Sci. Res., 13 (2):
191-195,( 2013) , h. 192.
49
hadis-hadis yang sudah dianalisis dan dijamin validitasnya
(dapat dipertanggungjawabkan).89
Memasuki abad ke-IXX M di Indonesia, Syekh Nawawi al-
Bantani (1813-1897 M) menulis kitab hadis bernama Tanqh al-
Qawl al-Hadts, yang merupakan syarh (penjelasan atau
penafsiran) atas karya Imam al-Shuyth, Lubb al-Hadts. Selain
Syekh Nawawi, Syekh Wan Ali Kutan al-Kalantani juga menulis
kitab syarh Lubb al-Hadts l al-Imm al-Shuyth, dengan
nama al-Jawhar al-Mawhub. Keduanya merupakan sama-sama
syarh atas karya bertajuk Lubb al-Hadth karangan Jalal al-Dn
al-Shuyth (w. 1505 M). Kitab ini ditulis oleh dua orang ulama
Nusantara (Indonesia) yang berdomisili di Makkah, dan hidup
pada kurun waktu yang sama. Karya-karya hadis ulama ini juga
amat berpengaruh dalam kalangan masyarakat Nusantara,
bahkan masih digunakan sebagai teks pengajian agama hingga
kini.90
Secara umum kitab Tanqh al-Qawl al-Hadts membahas
berbagai amalan fardhu dan sunnah. Baik yang menyangkut
ibadah maupun amalan dan adab yang harus dikerjakan oleh
setiap orang mukmin. Syekh Nawawi al-Bantani dalam
mengarang kitab ini membagi isinya menjadi 40 bab. Dimana
dari 40 bab itu dimulai dengan bab tentang keutamaan ilmu dan
ulama, dan di akhiri dengan bab tentang keutamaan sabar di
kala mendapat musibah. Kitab ini patut dibaca oleh setiap
Muslim yang ingin meningkatkan pengetahuan dan pengalaman
agamanya.91 Sebab disana al-Bantani juga memaparkan
pernyataan di mukaddimahnya, bahwa kitab ini ditulis guna
memberikan pemahaman yang mendalam tentang Islam oleh
para kaum Muslimin yang masih awam.

89 Ibid., h. 194.
Muhammad Mustaqim Mohd Zarif, Penulisan Karya Hadis Nusantara
90
Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan Seyikh Ali Kutan al-Kalantani
dalam Sunnah Nabi Realiti dan Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-
Quran dan al-Hadith), h. 366.
91 Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani, Tanqh al-Qawl Syarh
Lubb al-Hadts, diterjemah oleh Zaid Husin Al-Hami dengan judul Tejemah
Tanqh al-Qawl Syarh Lubb al-Hadts: Berisi 40 Bab yang Membahas Berbagai
Amalan Fardhu dan Sunnah (Mutiara Ilmu, 2012), h. 11.
50
Di antara guru-guru Syekh Nawawi sebagian berasal dari
Haramain, khususnya Mekkah. Karena pada saat itu, Nawawi
muda yang sempat pulang ke kampung halamannya di Jawa
Barat tahun 1833 merasa tidak betah. Barangkali dengan tinggal
di Haramain menurut Nawawi merasa lebih terjanjikan, dan
benar-benar menjadi obsesi Muslim Jawa untuk meninggal
disana. Orang-orang Muslim Jawa menyebut Mekkah,
sebagaimana dikenal secara umum dalam bahasa Arab dengan
al-Mukarramah (kota suci), dan menyebut Madinah dengan al-
Munawwarah (kota yang bersinar). Pada abad XIX di Jawa, kota
Mekkah dan Madinah telah menjadi sebuah pusat kaum Muslim
dunia,92 tak terkecuali Indonesia. Dengan demikian, hubungan
Haramain dengan Indonesia sudah benar-benar terjalin sejak
beratus-ratus tahun yang lalu, bahkan sejak abad ke XVII. Maka,
tidak aneh ketika saat ini masih banyak Muslim Jawa yang
menuntut ilmu ke sana.
Bukti keterpengaruhan Syekh Nawawi dengan ulama dari
Haramain93 adalah dapat dilihat dari beberapa gurunya seperti,
Sayyid Ahmad Ibn Sayyid Abd al-Rahman al-Nahrawi (Mekkah),
Sayyid Ahmad Dimyati (Mekkah), Sayyid Zaini Dahlan
(Mekkah), Syekh Muhammad Khatib Sambas al-Hanbali
(Madinah). Dan ketika di Madinah, Nawawi melakukan
perjalanan dalam rangka menimba ilmu ke Syiria dan Mesir.94
Perjalanan menimba ilmu ini sudah menjadi tradisi ulama-
ulama (salf al-shlih) terdahulu, dan umumnya di antaranya
mereka adalah melakukan perjalanan untuk mendapatkan
(sanad) keilmuan Islam, khususnya bidang ilmu hadis.
Sebagaimana Imam Ahmad Ibn Hambal.
Abad ke-XX M, penulisan literatur kitab hadis pun belum
surut begitu saja. Dengan tampilnya satu lagi ulama Jawa, yaitu

92 Abdurrahman Masud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual


Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006), h. 113.
93 Maksud dari Haramain disini tidak diartikan serta merta dengan
ulama asli dari Haramain, melainkan juga disana terdapat sebagian ulama-
ulama Jawi yang sudah menetap di Haramain, bahkan beberapa diantara
mereka meninggal dan dimakamkan disana, termasuk Syekh Nawawi al-
Bantani.
94 Abdurrahman Masud, Dari Haramain ke Nusantara..., h. 111-112.
51
Mahfudz al-Tirmasi (1868-1919 M) dari Pacitan Jawa Timur,
yang menjadi ulama sekaligus musnid dan muhaddits unggul di
Haramain kala itu, hadis dan (dirayah) ilmunya dapat
tersampaikan di Nusantara, khususnya di Jawa. Syekh
Muhammad Mahfudz al-Tirmasi mengarang kitab hadis
bernama Manhaj Dzaw al-Nadzar. Kitab ini merupakan syarh
Alfiyyah li al-Imam al-Suyth, yang berbentuk syair dan
bersumber dari Mukaddimah Ibn Shalah dengan memberikan
beberapa tambahan.95 Selain itu, Mahfudz Termas juga menulis
kitab (dirayah) hadis mengenai sanad keilmuan yang ia miliki,
yang dikenal dengan nama Kifyat al-Mustafd. Kitab ini sudah
ditahqiq oleh Syekh Yasin al-Fadani (seorang ulama hadis asal
Indonesia), dan sudah tercetak sekaligus tersebar hingga penjuru
dunia (Islam).96
Kemudian ia juga menulis kitab syarh hadts arban, yang
diberi nama al-Minhah al-Fikriyyah f Arban Hadtsan min
Ahdts al-Khairil al-Bariyyah. Sebuah Syarh al-Minhah al-
Khairiyah, karya Syekh al-Qasthallan dalam hadis Bukhr yang
berasal daripada perkataan al-Hafidz Ab Bakr al-Burqan.
Menurut Syekh Mohd. Saghir, sebagaimana yang dikutip oleh
Sabri Mohamad, kitab Syekh Mahfudz Termas yang satu ini
disimpannya dalam bentuk manuskrip, yang merupakan salinan
Haji Ahmad Dahlan bin Muhammad Minhaj, tokoh ulama
Selangor Malaysia. Menurutnya, disalin daripada yang pernah
dicetak oleh Matbaah al-Amiriyyah al-Kainah, Mekkah, 1315 H.
Menurut riwayat, kitab ini terdiri dari 13 bagian.97 Oleh
karenanya, dengan melihat ketinggian kualitas dari beberapa
karya Syekh Mahfudz al-Tirmasi tersebut, ia digadang-gadang
sebagai ulama pertama peletak ilm diryah fi al-hadts di
Nusantara. Pendapat ini dapat diterima, karena memang kitab

95 Moch. Muddofar, Kitab Manhaj Dzaw al-Nadzar karya Muhammad


Mahfudz al-Tirmisi, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol.
8, No. 1 (Januari 2007), h. 184.
96 Muhammad Mahfudz al-Tirmusi al-Jawi, Kifyat al-Mustafd (t.p.:
Dr al-Basyir al-Islam, t.t.).
97 Sabri Mohamad, Wan Nasyrudin Wan Abdullah dkk, Syeikh
Mahfudz al-Tirmusi: Tokoh Ilmu Qiraat Nusantara, dalam Jurnal Prosiding
Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, (25-26 NOVEMBER, 2011), h. 544.
52
hadis diryah (yang membahas mengenai ilmu-ilmu hadis) pada
masa sebelumnya begitu terlihat secara kentara.
Murid dari Syekh Mahfudz al-Tirmasi asal Indonesia, yang
(juga) menuruni sanad keilmuan dalam bidang hadis, yaitu KH.
Hasyim Asyari (1871-1947 M), pendiri organisasi Islam
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama). Ia merupakan putra
Kiai Asyari, yang berasal dari Demak Jawa Tengah, dan memiliki
sebuah pesantren besar. Ayahnya adalah keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada tahun 1568 M, yang
merupakan putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit
pada seperempat pertama abad VXI di Jawa.98
Pada tahun 1893, Hasyim Asyari hijrah ke Mekkah untuk
berhaji dan menuntut ilmu. Disana ia bermukim selama enam
hingga tujuh tahun, dengan berguru kepada (sebagian) ulama
Jawi seperti Syekh Mahfudz al-Tirmasi, Syekh Khatib al-
Minangkabau, Syekh Abdul Hamid al-Durustani dan Syekh
Muhammad Shuaib al-Maghribi.99 Serta berguru kepada Sayyid
Abbas al-Mlik al-Makk (datuk Sayyid Muhammad Alaw al-
Mlik, tokoh yang akan menjadi pembahasan pokok dalam
tulisan ini).
Sebagian besar dari guru-guru Hasyim yang amat
berpengaruh pada keilmuannya merupakan ulama ahli hadis.
Hal ini sangat mempengaruhi disipliner ilmu Hasyim, sehingga
dikemudian ia menulis karya di bidang hadis diantaranya
seperti:

98Abdurrahman Masud, Dari Haramain ke Nusantara..., h. 228.


99Ibid., h. 232; Hartono Margono, KH. Hasyim Asyari dan Nahdlatul
Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer, dalam Jurnal Media
Akademika, Vol. 26, No. 3, (Juli 2011), h. 337.
53
TABEL I
DAFTAR NAMA KITAB HADIS KARYA KH. HASYIM ASYARI
(1871-1947 M)100
No. Nama Kitab Isi
1. Rislah Ahl al-Sunnah Kitab lengkap ini membahas
wa al-Jamah mengenai beragam topik,
seperti kematian dan hari
pembalasan, arti sunnah dan
bidah, dan sebagainya. Di
dalamnya berisi kurang lebih
62 hadis.
2. Muqaddimah al-Qann Karangan ini berisi pemikiran
al-Asas li Jamiyyat dasar NU, terdiri dari ayat-
Nahdht al-Ulam. ayat al-Quran, hadis, dan
pesan-pesan penting yang
melandasi berdirinya
organisasi NU.
3. Arbana Hadtsan Karya ini berisi 40 Hadis
Tataallaqu bi Mabdi tentang pesan ketakwaan dan
Jmiyyah Nahdlt al- kebersamaan dalam hidup,
Ulam. yang harus menjadi fondasi
kuat bagi umat dalam
mengarungi kehidupan.

Oleh karenanya tidak aneh, ketika Abdurrahman Masud


dalam hal ini mengatakan bahwa sebagian besar waktu Hasyim
Asyari (mulai tahun 1899 atau setelah pulang dari Hijaz)
dihabiskan untuk mengajar (hadis) di dalam kompleks pondok

100 Dikutip dari, Marhumah Purmaini, Etika Pelajar Menurut KH.


Hasyim Asyari dalam Kitab Adab al-Alim wa al-Mutaallim, (Skripsi S-1,
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2010), h. 37. Mengenai penjelasan kitab Rislah Ahl al-Sunnah wa
al-Jamah, dapat dilihat dalam, Lutfiyani, Membahas Kitab Hadis Rislah Ahl
al-Sunnah wa al-Jamah: Karya KH. M.Hasyim Asyari, (Skripsi S1, Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010); Atau periksa, Hasyim Asyari, Irsyd al-Sr f Jam'i
Mushannafati asy-Syaikh Hasyim Asy'ari, dalam Muhammad Ishomuddin
Hadziq (ed.), Kumpulan Karya KH. Hasyim Asy'ari (Jombang: Maktabah al-
Masruriyyah, 2013).
54
pesantrennya, di Tebuireng Jombang Jawa Timur. Sampai-
sampai pesantren ini kala itu menjadi salah satu pesantren sentra
pembelajaran hadis dan ilmu hadis, selain juga tetap mengajar
fikih dan tafsir.101
Ulama-ulama Nusantara dari tanah Banjar, ternyata juga
tidak sedikit yang mengkhususkan dalam pengkajian terhadap
hadis. Tercatat sekurangnya ada lima ulama asal Banjar yang
telah menghasilkan karya cukup banyak di bidang hadis.
Saifuddin dalam penelitiannya mengenai kajian hadis ulama
Banjar memaparkan beberapa tokoh ahli hadis, diantaranya
adalah Syekh Muhammad Kasyful Anwar, Syekh Muhammad
(Anang) Syarani Arif, Syekh Ahmad Fahmi bin Zamzam, Syekh
Muhammad Syukeri Unus dan Syekh Nuruddin Marbu.
Pemetaan ulama hadis asal Banjar dan karya-karyanya di abad
ke-XX M, dapat dilihat sebagai berikut:

TABEL II
PETA ULAMA HADIS BANJAR DAN KARYA-KARYANYA PADA ABAD
KE-XX M102

Nama
No Karya-Karyanya Kategori
Ulama Hadis
1. Syekh al-Tabyn al-Raw; Kitab hadis riwayah
Muhammad Syarh Arban dengan metode ijmali.
Kasyful Nawaw.
Anwar
2. Syekh Hidyah al-Zamn Jika melihat dari
Muhammad min Ahdts khir namanya, besar
(Anang) al-Zamn, dan kemungkinan bahwa
Syarani Arif Tanwr al-Thullb f kitab ini lebih mengacu
Mutsthalh al- kepada ilmu hadisnya
Hadts. (diryah), dengan

101 Ibid., h. 237.


102 Lihat, Saifuddin, dkk, Peta Kajian Hadis Ulama Banjar, dalam Jurnal
Tashwir, Vol. 1 No.2, (Juli Desember 2013), h. 20-21.
55
metode ijmali.
3. Syekh 40 Hadis Peristiwa Kitab hadis riwayah
Ahmad Akhir Zaman, 40 disertai diryah, dengan
Fahmi binHadis Akhlak metode maudhui
Zamzam Mulia, 40 Hadis (tematik).
Penawar Hati, dan
40 Hadis Kiamat
Hampir Tiba.
4. Syekh 40 Hadis Kelebihan Kitab hadis riwayah
Muhammad Ilmu dan Ulama disertai diryah, dengan
Syukeri (Hadts al-Arban f metode maudhui
Unus al-Ilm). (tematik).
5. Syekh Adab al- Sebagian besar
Nuruddin Mushfahah, al- merupakan karya kitab
Marbu Ibar f Badh hadis yang berkategori
Mujizt Khayr al- ilmu hadis (diryah),
Basyar, al-Ahdts dengan metode tematis
al-Musalsalah, al- (maudhui), dan corak
Awil wa al- yang beragam seperti,
Awkhir wa al- fiqih, tasawuf, aqidah
Asnd, al-Jawhir dan lain sebagainya.
al-Hisn min
Ahdts Sayyidin
Utsmn Ibn Affn,
al-Kawkb al-Dr
min Hadts Ab Sad
al-Khudr, al-
Nashih al-
Dniyyah wa al-
Washy al-
mniyyah l al-
Habb Abd Allh
bin Alw al-
Haddd, al-
Tamassuk bi al-
Kitb wa al-
Sunnah, al-
56
Walmah, al-Yaqn,
Asm al-Thlib bi
Badh Ahdts
Sayyidin Al Ibn
Ab Thlib,
Bingkisan
Perpisahan 40
Mutiara Hadis dari
40 Buah Kitab,
Faydh al-Ilh min
Ahdts al-Jabr Ibn
Abd Allh, Hul
f Sabl Allh,
Hul f Shahbah
Malikah al-Kirm
alayhim al-Salm,
Hul Hallat
lahum Syafah,
Hul l
Tamassuhum al-
Nr Yawm al-
Qiymah, Hul
Lahum Buyt wa
Qushr f al-
Jannah, Isra Miraj;
Permasalahan,
Tantangan dan
Dakwaan serta
Jawabannya, Majl
al-Shadaqah f al-
Islm, Maknah al-
Ilm wa al-Ulam
wa Adab al-Thlib,
Rahasia Keutamaan
Sholat Subuh.

57
Demikian beberapa karya (kitab) hadis karangan ulama
Banjar pada abad ke-XX M. Disana terlihat bahwa teknis
penulisan hadis sangat beragam, disamping juga bahasa Melayu
sudah mulai muncul di era tersebut. Walaupun dalam fakta
sejarah penulisan hadis di Indonesia, bahasa Melayu dalam
kepenulisan hadis telah dilakukan sejak abad XVII M. Dimana
saat itu Nuruddin al-Raniri menunjukkan kepenulisan hadis
berbahasa Melayu melalui karyanya, Hidyat al-Habb f al-
Targb wa al-Tarhb.
Menjelang akhir abad ini, sekitar tahun 1980-an, T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengarang kitab hadis dan ilmu hadis
dengan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yaitu
Problematika Hadis Nabi sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1964), Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 2002 Mutiara Hadis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1954/1978), dan Koleksi Hadits-hadits
Hukum (Bandung: Al-Maarif, 1981). Sementara A. Hasan juga
mempunyai karya dalam bidang ini seperti, Ilmu Musthalah
Hadits (Bandung: Diponegoro, 1966/1983), Tajamah Bulughul
Maram Ibnu Hajar al-Asqalani (Bandung: Diponegoro,
1968/1984).103 Dan masih banyak lagi literatur kitab hadis di
Nusantara dari abad ke-XVII-XX M.

103 Lihat dalam tabel literatur penulisan hadis Indonesia tahun 1980-an
dalam, Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia..., h. 76-79.
58
BAB IV
Periodisasi Kajian Hadis
di Indonesia

59
Bab IV

Periodisasi Kajian Hadis di Indonesia

Sebelum menelisik lebih jauh mengenai periodisasi kajian


hadis di Indonesia, alangkah baiknya jika menelisik sejarah awal
kajian (pendidikan Islam) hadis di Timur Tengah (Haramain). Kajian
keislaman di Haramain, yang dalam hal ini adalah hadis, dapat
dilihat melalui munculnya madrasah-madrasah terkenal pada masa
awal pendidikan Islam pada abad pertama Hijriyah. Madrasah-
madrasah tersebut diantaranya, Madrasah Mekkah, Madrasah
Madinah, Madrasah Bashrah, Madrasah Kuffah, Madrasah Damsyik
dan Madrasah Fistat di Mesir. Atau dalam istilah lain, kota-kota yang
terdapat madrasah tersebut disebut sebagai kota-kota pusat
pengajaran hadis.

Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Mekkah adalah Muadz bin
Jabal (salah satu sahabat Nabi SAW). Ia mengajarkan al-Quran,
hukum halal dan haram dalam Islam. Pada masa Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (86 H), Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah,
lalu mengajarkan tafsir, hadis, fiqih dan sastra disana. Beberapa
murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru Madrasah
Mekkah ini diantaranya, Mujahid bin Jabbar (seorang ahli tafsir al-
Quran) yang meriwayatkannya dari Ibnu Abbas. Kemudian ada
Atak bin Abu Rabah (ahli ilmu fiqih) dan Tawus bin Kaisan (fuqaha-
Mufti Mekkah). Setelah itu, diteruskan lagi oleh murid-murid
berikutnya yang terkenal seperti, Sufyan bin Uyainah dan Muslim

60
bin Khalid al-Zanji (guru Imam Syafii, sebelum ia berguru ke
Madinah).104

Madrasah Madinah
Madrasah disini lebih termasyhur daripada madrasah-
madrasah lainnya. Karena disinilah pusat ke-Khalifah-an
(pemerintahan Islam) pada saat itu. Dari Khalifah Abu Bakar, Umar
dan Ustman, hingga sahabat-sahabat Nabi SAW banyak yang tinggal
di Madinah ini. Bahkan yang mengajar di madrasah ini adalah
langsung sahabat terdekat Nabi SAW, yakni Umar bin Khathab, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabbit (ahli qiraat dan fiqih) dan Abdullah
bin Umar (tergolong sahabat kecil, yang ahli dalam bidang hadis,
dan ia dianggap sebagai pelopor madzhab ahl al-hads yang
berkembang pada masa-masa berikutnya). Bahkan Muh. Zuhri
menyebutkan, di Madinah ini dikenal dengan pamikiran fiqihnya,
hingga dikenal sebagai fiqih ahli hadis.105 Setelah para ulama
sahabat wafat, digantikan oleh murid-muridnya (kalangan tabiin)
seperti, Saad bin Musyayyab dan Urwah bin Zubair bin Awwan,
yang digenerasi berikutnya muncul seorang ahli hadis dan fiqih,
yaitu Syihab al-Zuhri.106

Madrasah Bashrah
Madrasah Bashrah ini pun kebanyakan guru-gurunya
merupakan seorang ahli dalam bidang hadis. Seperti, Abu Musa al-
Asyari (ahli ilmu fiqih, hadis dan al-Quran), Anas bin Malik (salah
satu periwayat hadis terbanyak, yang tentunya ahli dalam ilmu
hadis), Utbah bin Ghazwan, Imran bin Husain, Abu Barzah al-
Islami, Maqal bin Yassar dan Abdurrahman bin Samurah.107 Guru
lain yang mengajar disini adalah Hasan al-Basri (seorang tabiin
yang ahli fikir, pidato, sejarah dan tasawuf). Hasan al-Basri
digadang-gadang sebagai perintis madzhab Ahl al-Sunnah (dalam
104 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
ke-X, 2010), h. 72-72.
105 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis..., h. 43.
106 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 73.
107 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis..., h. 44.
61
ilmu kalam). Sedangkan disisi lain juga ada Ibn Sirrin, seorang
murid sekaligus pengganti dari Anas bin Malik, yang juga sebagai
ahli hadis dan fiqih.108

Madrasah Kuffah
Ulama dari kategori sahabat yang tinggal di Kuffah adalah
Khalifah Ali bin Abi Thalib (setelah sebelumnya ia juga pernah
tinggal di Madinah), Abdullah bin Masud, Saad bin Abu Waqash
dan Said bin Zaid bin Amr bin Nufail.109 Ali mengurusi politik dan
pemerintahan, sedangkan Abdurrahman bin Masud dan para
sahabat lainnya mengurusi ilmu agama. Sebagai salah satu sahabat
ahli hadis, yang banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW,
Abdurrahman bin Masud juga ahli dalam ilmu fiqih dan ahli tafsir.
Diantara beberapa murid Abdurrahman bin Masud yang kemudian
meneruskan perjuangannya di Kuffah diantaranya seperti, al-
Qamah, al-Aswad, Masruq, al-Harits bin Qais dan Amr bin Syurah.
Dalam perjalanannya, Madrasah Kuffah ini melahirkan sosok dari
salah satu ulama empat madzhab yang terkenal, yaitu Imam Abu
Hanifah.110

Madrasah Damsyik
Madrasah Damsyik didirikan serta dikembangkan atas upaya
Khalifah Umar bin Khathab, setelah ia mengirimkan tiga orang guru
agama ke negeri itu, yaitu Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu
Dardak. Madrasah ini secara geografis (saat ini), masuk dalam
kawasan wilayah Syam (Syiria). Ketiga guru yang dikirimkan Umar
itu pun mengajar di tempat-tempat yang berbeda, walaupun masih
dalam satu cangkup wilayah atau kawasan yang sama. Abu Dardak,
misalnya, mengajar di Damsyik, Muadz bin Jabal mengajar di
Palestina dan Ubadah mengajar di Hims. Pada masa selanjutnya,
mereka digantikan oleh murid-muridnya (dari kalangan tabiin)
diantaranya adalah, Abu Idris al-Khailany, Makhul al-Dimasyki,

108 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 73.


109 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis..., h. 44.
110 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 74.
62
Umar bin Abdul Aziz (seorang khalifah pemprakarsa
pengkodifikasian hadis), dan Raja bin Haiwah. Pada akhirnya
madrasah tersebut juga melahirkan imam penduduk Syam, yaitu
Abdurrahman Auzai yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik
dan Imam Abu Hanifah.111

Madrasah Fistat (Mesir)


Ketika kelima madrasah diatas, rata-rata dikuasai oleh para
ulama (baik dari kategori sahabat maupun tabiin) yang ahli bidang
ilmu hadis, maka di Madrasah Fistat di Mesir pun demikian adanya.
Sahabat Nabi SAW sekaligus seorang yang mempunyai keahlian
ilmiah, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash, merupakan sahabat yang
mula-mula mendirikan Madrsaah Fistat di Mesir ini.112 Sebagai
seorang intelektual Muslim, ia tidak hanya menghafal hadis-hadis
Nabi SAW, namun juga menulisnya dalam catatan-catatan.113
Sehingga dalam sejarah penulisan hadis, terdapat catatan hadis yang
ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash, yang kemudian disebut
sebagai shahiffah Abdullah bin Amr.
Abdullah bin Amr, merupakan ulama hadis yang banyak
meriwayatkan hadis kepada para murid-muridnya. Dengan
memanfaatkan catatan-catatan hadisnya, sehingga ia tidak lupa atau
khilaf dalam meriwayatkan hadisnya. Besar kemungkinan ia juga
salah satu peletak pertama periwayatan hadis (pentransmisi hadis;
transmitter) dengan model bil-kitab. Artinya meriwayatkan
(memberikan sanad atau ijazah) hadis kepada muridnya dengan
model penulisan. Jadi, guru membaca hadis, sedangkan si murid
mencatatnya.

111 Ibid.
112 Lihat misalnya, Hamka, Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran
Islam di Indonesia, dalam naskah pidato yang diucapkan ketika akan
menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Al-Azhar Mesir, pada 21
Januari 1958 (Jakarta: Tintamas, 1958). disana Hamka menjelaskan bahwa
Abdullah bin Amr bin Ash juga merupakan sahabat Nabi SAW yang pertama
menyebarkan Islam di tanah Mesir. Oleh karenanya, ia membuka madrasah
sebagai tempat pendidikan Isalam disana.
113 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 74.
63
Melihat beberapa madrasah-madrasah yang didirikan sekaligus
diajarkan oleh para sahabat Nabi SAW dan para tabiin diatas, dapat
disimpulkan bahwa kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman, baik al-
Quran dan tafsir, fiqih, dan hadis pada khususnya, telah dilakukan
di abad pertama Hijriyyah. Dan pengajaran ini langsung
disampaikan (ditransmisikan) oleh para sahabat dan tabiin, kepada
para murid-muridnya sampai dengan ke generasi berikutnya,
hingga sekarang. Oleh karenanya, tradisi transmisi keilmuan
(sanad) merupakan tradisi yang tetap digunakan dan dipertahankan
oleh para ulama. Baik ulama mutaqaddimin, maupun ulama
mutaakhrin.
Mahmud Yunus, dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam,
menyebutkan:
...ulama-ulama sahabat tersebar ke seluruh kota-kota di
negara Islam yang terus bertambah luas. Mereka itulah pendiri
madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota itu.114

Melihat pernyataan Mahmud Yunus diatas, dapatlah dikatakan


bahwa besar kemungkinan para ulama-ulama yang tersebar
dipelosok Nusantara merupakan ulama yang ahli dalam bidang
hadis. Karena sebagian besar sahabat pada waktu itu adalah ahli
hadis dan fiqih. Sebagaimana sahabat Saad Ibn Ab Waqqash, yang
belabuh di Malaka ketika ia hendak ke China pada masa Khalifah
Utsman Ibn Affan. Bahkan di abad-abad berikutnya, misalnya abad
ke-XII M banyak kaum Sayyid yang berdatangan ke Aceh (Perlak)
dan bermukim serta menikah dengan wanita pribumi. Padahal telah
diketahui bahwa kebanyakan kaum Sayyid, sangat menitik beratkan
hadis, disamping juga menguasai ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti
al-Quran dan tafsir, fiqih, akhlak dan tasawuf. Seperti halnya
Sayyid Muhammad Alaw al-Mlik (ahli hadis abad XX-XXI M),
yang banyak berpengaruh di bumi Nusantara (kawasan Asia
Tenggara), khususnya Indonesia, yang nantinya akan dibahas
sebagai fokus kajian dalam tulisan ini.

114 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (sekitar halaman 29).


64
Setelah melihat sejarah madrasah dalam pengkajian hadis di
masa awal Islam (di Tanah Arab), maka sekarang akan dilihat
mengenai sejarah (periodisasi) kajian hadis di Indonesia. Sejak
permulaan abad ke-XX hingga Dawarsa 2000-an (sekarang, 2016).

A. Periode Pertama: Permulaan Abad ke XX hingga tahun 1965-an

Kajian
hadis di Indonesia pada mulanya dipelopori oleh
dua ulama Nusantara sebagaimana telah disebutkan di sub bab
sebelumnya yaitu, Syekh Abdurrauf al-Singkili dan Syekh
Nuruddin al-Raniri, pada abad ke-XVII M. Dan menurut Tasrif,
kajian hadis pada abad tersebut (XVII M) hingga abad XIX masih
dalam ruang lingkup kajian hadis yang bersifat individual.115
Upaya yang dilakukan oleh kedua ulama diatas lebih
menekankan kepada pembinaan mengenai praktik keagamaan,
terutama fiqih dan akhlak. Penelitian mengenai nilai keotentikan
hadis, baik dari aspek sanad maupun matan (musthalh al-
hadts) sama sekali belum tersentuh. Ini berarti, pada masa itu
kajian mengenaiilm al-mushthalh al-hadts belum
mendapatkan ruang yang luas dari kalangan ulama Nusantara.
Sebagaimana pernyataan Federspiel yang dikutip oleh Tsalis,
mengemukakan bahwa kajian hadis pada masa penjajahan
Belanda, masih sebagai bagian dari kajian fiqih, bukan bidang
ilmu yang berdiri sendiri.116
Kajian hadis di Indonesia, pada awalnya lebih mengacu
kepada kitab-kitab hadis fiqhi, ini terjadi sekitar tahun 1923.
Walaupun pada saat itu, pengajian kitab hadis Bukhr tetap
dijalankan oleh Kiai Hasyim. Bahkan Kiai Kholil Bangkalan (guru
Kiai Hasyim) juga tidak jarang untuk menyempatkan ikut
mengaji kitab tersebut di Jombang.117 Dan pengajian terhadap
hadis (fiqhi) ini, sampai sekarang masih sangat kental di
115 Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 143.
116 Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia..., h. 34.
117 Mochamad Samsukadi, Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren,
dalam Jurnal Religi: Jurnal Studi Islami, Vol. 6, No. 1 (April 2015), h. 63.
65
pesantren Jombang pada khususnya, dan pesantren-pesantren
salaf di Indonesia pada umumnya.
Sekalipun sejak abad ke-XVII sudah ditemukan, kajian hadis
tidaklah begitu pupuler pada masa-masa sebelum abad ke-XX.118
Ketidakpopuleran tersebut menurut Agung Danarto,
sebagaimana yang dikutip oleh Tasrif, disebabkan oleh adanya
kecenderungan kepada tasawuf yang lebih dominan daripada
syariat. Kecenderungan ini akhirnya bergeser menuju syariat
akibat pembaruan dan pemurnian (Islam) yang berlangsung
sejak abad ke-XVII. Begitu pula munculnya tarekat
Naqsabandiyyah pada abad ke-XIX yang lebih berorientasi
kepada syariat daripada tarekat, merupakan bagian dari proses
pergeseran ini. Namun demikian, pembaruan pada abad ke-XVII
belum cukup membawa pergeseran perhatian yang lebih besar
kepada hadis. Baru pada abad ke-XX, munculnya pembaruan
akibat dampak modernisme dengan slogan kembali kepada al-
Quran dan sunnah menandai munculnya perhatian yang
cukup besar kepada hadis.119 Dengan demikian, pada tahun
1900-an keatas, kajian terhadap hadis pun sudah mulai merebak
ke seluruh penjuru lembaga-lembaga pendidikan, maupun
pesantren atau madrasah di Indonesia.
Mahmud Yunus menyebutkan, bahwa beberapa Madrasah
yang didirikan sejak tahun 1900-an kebanyakan mengkaji
tentang nahwu-shorof, tauhid, fiqih dan tasawuf (akhlak).
Sementara hadis dan ilmunya, biasanya diajarkan di kelas-kelas
tertentu (yang teratas). Sebagaimana pengajaran yang terjadi di
Sumatera Thawalib, baik yang didirikan oleh Haji Rasul (Syekh
Abdul Karim Amrullah) pada tahun 1914 di Padang Panjang,
maupun Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, yang didirikan
oleh Syekh Ibrahim Musa tahun 1908, dan dituruti dengan
Sumatera Thawalib Padang Japang serta Minanjau yang
didirikan tahun 1906.120

118 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 39.
119 Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 145.
120 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia..., h. 73.
66
Hadis diajarkan di Madrasah Sumatera Thawalib tersebut
mulai kelas tiga. Untuk melihat lebih jelas mengenai pengkajian
hadis di Sumatera Thawalib, dapat dilihat tabel III dan IV berikut
ini:121
TABEL III
PENGAJARAN HADIS DI SUMATERA THAWALIB TAHUN
1920-an (AWAL ABAD XX M)
No. Kelas Nama Kitab
1. Kelas III Hadth Arban al-Naww
2. Kelas IV Jawhir al-Bukhr
3. Kelas V Jawhir al-Bukhr
4. Kelas VI Shahh Bukhr (Muslim)
5. Kelas VII Shahh Bukhr (Muslim)

TABEL IV
PENGAJARAN ILMU HADIS DI SUMATERA THAWALIB TAHUN
1920-an (AWAL ABAD XX M)
No. Kelas Nama Kitab
Matn Baiqniyyah; Jawhr
1. Kelas IV Maknn (Jawhr al-Balghah,
kitab maani)
Syarh Baiqniyyah; Jawhr
2. Kelas V Maknn (Jawhr al-Balghah,
kitab maani)
3. Kelas VI Talkhs (kitab maani)
4. Kelas VII Talkhs (kitab maani)

Selain yang terdapat dari tabel di atas, beberapa kitab hadis


yang dikaji di Sumatera Thawalib (sebelum Indonesia merdeka)
diantaranya adalah Muthlaah al-Hadtsah, Muhdatsah
Arbiyyah, Musthlah al-Hadts, dan Manthq al-Hadts.122
Sementara itu, di beberapa madrasah dan pesantren lainnya
dalam penelitian Mahmud Yunus antara tahun 1900-1960,
kitab hadis yang diajarkan diantaranya seperti Fath al-Bri

121 Dikutip dari, Ibid., h. 75.


122 Ibid., h. 77.
67
Syarh Shahh Bukhri karya Ibn Hajar al-Asqlan, Tajrd al-
Shrih karya al-Zabidi, Bulgh al-Marm karya Ibn Hajar al-
Asqlan, Riydh al-Shlihn karya Yahya Ibn Sharaf al-Dn al-
Nawaw, Subul al-Salm karya Muhammad Ibn Ismail al-
Kahlan, Nail al-Awthr karya Muhammad Ibn Al al-Syaukan
dan Al-Adab al-Nabawi karya Muhammad Abd al-Azz al-
Khull. Sementara di bidang musthlah al-hadts, yang diajarkan
seperti Minhat al-Mughit karya Hafidz Hasan Masudi, Nubhat
al-Fikr li Ibn Hajar al-Asqaln dan Ilm Musthlah al-Hadts
karya Mahmud Yunus.
Selanjutnya, untuk melihat lebih komprehensif mengenai
beberapa literatur hadis dan ilmu hadis yang pada periode ini
banyak dikaji di lingkungan pesantren di Indonesia, maka dapat
dilihat tabel berikut:

TABEL V
LITERATUR HADIS DAN ILMU HADIS YANG DIGUNAKAN DI
PESANTREN MENURUT TEMUAN MAHMUD YUNUS, TOTO
EDI DKK DAN MARTIN VAN BRUINESSEN BERDASARKAN
PENELITIAN TSALIS MUTTAQIN

No. Nama Kitab Pengarang Kategori


1. Al-Arbain al- Ab Zakariy al- Antologi
Nawawiyah Nawaw
2. Al-Majlis al- Ahmad Ibn Hijzi Syarh al-
Saniyah al-Fasyn Arbain a-
Nawawiyah
3. Mukhtasar Ibn Ab Muhammad Antologi
Ab Jamrah l al- Abdullh Ibn Sad
Bukhr Ibn Abu Jamrah
al-Azdiy
4. Riydh al- Ab Zakariya al- Antologi
Shlihn Nawaw
5. Bulgh al- Ibn Hajar al- Antologi
Marm min Asqaln
Adillah al-Ahkam
68
6. Subul al-Salm Muhammad Ibn Syarh Bulgh
Ismil al-Kahln al-Marm
al-Shann
7. Jawhir al- Musthaf Antologi
Bukhr Muhammad
Imrah
8. Nail al-Awthr Muhammad Ibn Syarh Syarh
Ali Ibn Muntaq^a al-
Muhammad al- Akhbr
Syaukan
9. Al-Adb al- Muhammad Abd Antologi
Nabaw al-Azz al-Khl
10. Al-Tajrd al- Ab al-Abbs Antologi
Sharh l Ahdts Ahmad Ibn Ahmad
al-Jm al-Shahh Ibn Abd al-Lath
al-Syaraj al-
Zabd
11. Shahh Muslim Muslim Ibn Hajjj Kitab induk
al-Naisbur
12. Shahh al- Imam al-Bukhr Kitab induk
Bukhr
13. Fath al-Bri Ibn Hajar al- Syarh Shahh
Asqaln al-Bukhr
14. Durrat al- Utsmn Ibn Hasan Antologi
Nshihn al-Khubuw
15. Tanqh al-Qawl Muhammad bin Syarh Lubb
Umar Nawawi al- al-Hadts
Bantani
16. Ushfriyyah Muhammad Ibn Antologi
Ab Bakr al-
Ushfr
17. Mukhtr al- Ahmad al-Hsyim Antologi
Ahdts al-
Shahhah
18. Al-Muwaththa Mlk Ibn Anas Kitab induk
19. Al-Musnah Ahmad Ibn Kitab induk
Hambal
69
20. Al-Sunan Ab Dwd al- Kitab induk
Sijistn
21. Al-Jmi Al-Tirmidz Kitab induk
22. Al-Sunan al- Al-Nas Kitab induk
Sughra
23. Al-Sunan Ibn Mjjah Kitab induk
24. Al-Sunan Al-Drim Kitab induk
25. Fath al-Qarb al- Alawi Ibn Abbas Antologi
Mujb al al-Mlik al-
Tahdzb al- Hasn al-Makk
Tahdzb wa al-
Targhb
26. Al-Mawzh f Ab Hmd Antologi
al-Ahdts al- Muhammad Ibn
Qudsiyyah Muhammad Ibn
Muhammad al-
Ghazal al-Ths
27. Math al- Umar Ibn Nadhm
Baiqniyyah Muhammad Ibn
Futh al-Baiqn
28. Syarh al- Athiyyah Al- Syarh
Baiqniyyah Ajhur
29. Ilmu Musthalah Mahmud Yunus Ilmu
Hadis Musthalah
Hadis
30. Minhah al- Hfdz Hasan Ilmu
Mughts Masud Musthalah
Hadis
31. Nukhbah al-Fikar Ibn Hajar al- Ilmu
f Musthalh Ahl Asqaln Musthalah
al-Atsr Hadis
32. Al-Qawid al- Muhammad Ibn Ilmu
Assiyyah Alawi al-Mlik Musthalah
al-Hsan al- Hadis
Makk
33. Al-Manhal al- Muhammad Ibn Ilmu Hadis
Lathf f Ushl al- Alawi al-Mlik
70
Hadts al-Syarf al-Hsan al-
Makk

Berdasarkan tabel di atas, di sana menunjukkan bahwa


pesantren pada periode ini sudah mulai menjadikan kajian
terhadap hadis sebagai satu hal yang signifikan. Mulai dari
kitab-kitab klasik hingga kitab-kitab kontemporer seperti
karya Sayyid Muhammad Ibn Alawi al-Mlik pun turut
dikaji. Walaupun terkadang kajian pada kitab-kitab hadis
induk hanya dilakukan pada waktu-waktu atau bulan
tertentu, misalnya bulan Rajab dan Ramadhan,123 Tapi, bukan
berarti kajian kitab hadis di luar waktu-waktu itu tidak
dilakukan. Ini lah bukti, adanya kontribusi dari ulama-ulama
hadis Timur Tengah (Haramain) terhadap perkembangan
kajian hadis di Indonesia.

B. Periode Kedua: Tahun 1965 hingga 1995


Sejalan dengan munculnya gerakan Muslim modernis
pada abad ke-XX, kajian hadis semakin menempati tempat
yang penting. Sebagaimana yang diungkap Muh. Tasrif
dengan mengutip Howard M. Federspiel, dalam penelitiannya
terhadap literatur hadis sampai tahun 1980, banyak hadis-

123 Kegiatan pengkajian terhadap kitab-kitab hadis seperti Bukhr,


Muslim, al-Tirmidz, dan kitab-kitab lain yang tercangkup dalam Kutb al-
Sittah biasanya dikaji di awal bulan Rajab hingga Ramadhan. Hal ini merupakan
tradisi pesantren yang sudah mengakar di Indonesia, terutama di Jawa. Selain
bermaksud ngalap berkah (mengharap mendapatkan berkah) bulan yang
sangat mulia, yakni bulan Rajab dan Ramadhan, para santri biasanya
mengisinya dengan mengkaji kitab-kitab ulama klasik, mulai dari fiqih, tasawuf,
tauhid, tafsir hingga hadis. Di Masjid Riyadh dan Masjid As-Seggaf, daerah
Pasar Kliwon Solo misalnya, kajian kitab hadis Bukhr juga seringkali
dikhatamkan pada bulan-bulan tersebut. Bahkan setiap malam Senin bada
Maghrib, di Masjid As-Seggaf Solo juga diadakan kajian rutinan kitab hadis
Bukhr oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi. Kemudian di PP. Daarut Tauhid
Purworejo, PP. Nurul Haroman Malang dan pesantren-pesantren lainnya di
Jawa, juga seringkali mengkaji sekaligus mengkhatamkan kitab hadis Kutb al-
Sittah. Dalam observasi pribadi penulis pada bulan Rajab dan Ramadhan (Solo)
1438 H/ 2014 M; Purworejo, 14 November 2015; Pujon Malang, 14 Januari
2016.
71
hadis yang ditulis oleh para penulis Indonesia sendiri.124
Sebagaimana yang telah disebutkan pada halaman (sub bab)
sebelumnya.
Namun, setidaknya menurut Federspiel, seperti yang
dikutip oleh Hedhri Nadhiran dan Tasrif, bahwa ia
menggolongkan literatur hadis di Indonesia pada periode ini
menjadi empat genre (jenis); Pertama, literatur ilmu hadis
yang berisi analisis hadis yang berkembang pada masa awal
Islam untuk menentukkan keotentikkan dan kepalsuannya
(ex: IZ Abidin, Mustalah Hadis: Dirayah dan Riwayah.
Surabaya: Setia Karya, 1984), Kedua, literatur terjemahan
terhadap kitab-kitab hadis klasik (620-1250) dan kitab hadis
masa pertengahan Islam tahun 1250-1850 (ex: Fachruddin
HS, Terjemah Hadis Sahih Muslim. Jakarta: Bulan Bintang,
1974), Ketiga, berisi antologi hadis-hadis pilihan yang diambil
dari kitab-kitab kumpulan hadis, yang dipilih dan ditulis
ulang oleh para penulis Indonesia (TM. Hasbi Ash-Shieddiqy,
Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: Al-Maarif, 1981),
Keempat, berisi sumber hadis yang digunakan sebagai hukum
dan materi pelajaran di sekolah-sekolah Islam (Djafar Amin,
Al-Quran dan al-Hadis untuk Madrasah Tsanawiyyah. Solo:
Siti Syamsiyyah, 1978).125
Selain pada masa ini kajian hadis lebih signifikan karena
mulai munculnya sekolah-sekolah Islam, pesantren hadis juga
salah satu hal yang tidak kalah penting dalam menunjang
perkembangan kajian hadis di Indonesia. Pondok Pesantren
Darul Hadits al-Fiqhiyyah Li Ahlus Sunnah Wal Jamaah di
Malang misalnya, juga nampaknya cukup jarang dikaji oleh
para peneliti hadis Indonesia. Padahal pesantren yang
didirikan pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1364 H atau
bertepatan dengan 12 Februari 1945 M, oleh al-Muhaddits al-

124Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 149.


125Ibid., h. 149-150; Hedhri Nadhiran, Perkembangan Pemikiran Hadis
di Indonesia..., h. 1-2. Untuk melihat keseluruhan literatur hadis yang dikaji
pada periode ini, lihat Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 150-152.
72
Habib Abdul Qadir Bilfaqih (1898-1962)126 dan diteruskan
oleh putranya al-Muhaddits al-Habib Abdullah bin Abdul
Qadir Bilfaqih (1936-1991), merupakan pondok (hadis)
pengkader ulama-ulama besar di Indonesia. Sebut saja M.
Quraish Shihab, ahli tafsir dari Indonesia yang diakui oleh
dunia, ia juga berlatarpendidikan dari pondok tersebut.

C. Periode Ketiga: Tahun 1995 hingga 2005


Kajian hadis di Indonesia, dalam periode ketiga ini masih
berjalan cukup dinamis. Ini dapat dibuktikan dengan melihat
setidaknya pada beberapa karya hadis yang ditulis oleh para
penulis Indonesia pada periode ini, tepatnya mulai tahun
1995-2005. Dengan meminjam penelitian yang digalakkan
oleh Tsalis Muttaqin dalam tesisnya, mengenai pemikiran
hadis di Indonesia, disana Tsalis menyebutkan bahwa dalam
periode ini setidaknya terdapat 20 karya mengenai kajian
hadis yang secara keseluruhan dapat mencerminkan adanya
keragaman teknis dalam penulisan mengenai kajian hadis
serta aspek metodologis yang digunakan.127
Dengan demikian, pada periode ini kajian hadis di
Indonesia semakin berkembang secara pesat. Tidak hanya
kajian mengenai kitab hadis saja (baik yang berbahasa Arab,
maupun yang berbahasa Melayu atau Indonesia), namun
kajian ilmu-ilmu hadis hingga kritik sanad dan matan pun
sudah mulai muncul. Jelas, salah satu yang menyebabkan
kajian hadis di Indonesia pada periode ini dapat berkembang
secara pesat adalah pertumbuhan kampus bercorak Islam
(Perguruan Tinggi Agama Islam) yang di dalamnya mengkaji
kepada ilmu-ilmu keislaman, termasuk hadis dan ilmunya.
Selain itu, banyaknya intelektual-intelektual Muslim Indonesia

126 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 2 Pendidik Sejati: Perjalanan dua


ulama besar kebanggaan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam berdakwah dan
membina ummat di Tanah Air (Malang: Pustaka Basma, 2013), h. 41.
127 Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia..., h. 84.
73
yang pulang ke Indonesia setelah beberapa tahun mereka
menimba ilmu keislaman (khususnya hadis) di Timur Tengah,
boleh jadi juga merupakan satu sebab tumbuhnya kajian hadis
di Indonesia.
Berikut ini merupakan beberapa kitab hadis dan ilmu
hadis karya para penulis Indonesia di periode ketiga:
TABEL VI
LITERATUR BUKU HADIS DAN ILMU HADIS TAHUN 1995-
2005, DALAM PENELITIAN TSALIS MUTTAQIN128

Data
No. Nama Buku Penulis
Penerbitan
1. Hadis Ahkam Achmad Usman Surabaya:
Al-Ikhlas,
1996
2. Hadis-hadis Politik Muhibbin Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar,
1996
3. Hadis Tarbawi Abubakar Surabaya:
Muhammad Karya
Abditama,
1997
4. Hadis Nabi: Telaah Muhammad Yogyakarta:
Historis dan Zuhri Tiara
Metodologis Wacana,
1997
5. Sikap Rakyat Danusiri Yogyakarta:
Terhadap Ittaqa Press,
Penguasa, Refleksi 1997
Hadis
6. Amalan Shahih M. Thalib Bandung:
Menurut Hadis Gema
Shahih Risalah
Press, 2000

128 Lihat, Ibid., h. 85-114.


74
7. Pergeseran M. Abdurrahman Jakarta:
Pemikiran Hadis: Paramadina,
Ijtihad Al-Hkim 2000
dalam
Menentukan Status
Hadis
8. Memahami Hadis Nizar Ali Yogyakarta:
Nabi (Metodologis CESaD YPI
dan Pendekatan) Al-Rahmah,
2001
9. Asbabul Wurud: Said Aqil Husin Yogyakarta:
Studi Kritis Hadis al-Munawwar Pustaka
Nabi Pendekatan dan Abdul Pelajar,
Sosio-Historis- Mustaqim 2001
Kontejstual
10. Hadis-Hadis Ali Mustafa Yaqub Jakarta:
Bermasalah Pustaka
Firdaus,
2003
11. Membina Keluarga M. Fatih Yogyakarta:
Mawaddah wa Suryadirlaga PSW Sunan
Rahmah dalam Kalijaga,
Bingkai Sunnah 2003
Nabi
12. Telaah Matan Muhammad Yogyakarta:
Hadis: Sebuah Zuhri LESFI, 2003
Tawaran
Metodologis
13. Dialog-Dialog Ahmad Mudjab Yogyakarta:
Rasulullah Mahalli Menara
Kudus, 2003
14. Kritik Hadis Ali Mustafa Yaqub Jakarta:
Pustaka
Firdaus,
2004
15. Otentitas Hadis: Badri Khaeruman Bandung:
Studi Kritis Atas Remaja
75
Kajian Hadis Rosdakarya,
Kontemporer 2004
16. Hadis-hadis Lemah Ahmad Lutfi Jakarta:
dan Palsu dalam Fathullah Darus
Kitab Durratun Sunnah
Nashihin Press, 2004
(Keutamaan Bulan
Rajab, Syaban dan
Ramadlan)
17. Kritik Matan Hasyim Abbas Yogyakarta:
Hadis: Versi Teras, 2004
Muhadditsn dan
Fuqa
18. Menyibak Rahasia M. Erfan Soebahar Yogyakarta:
Doa Nabi dalam Oasis, 2005
Shahih Al-Bukhari
19. Kontekstualisasi Barmawi Mukri Yogyakarta:
Hadis Rasulullah: Ideal, 2005
Mengungkap Akar
dan
Implementasinya
20. Hadis-Hadis Sekte Sadullah Assaidi Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar,
2006

Terlihat di sana bahwa beberapa penulis buku hadis


merupakan seorang yang berlatarbelakang pendidikan
pesantren dan alumnus universitas (Islam) luar negeri.
Misalnya, nama-nama seperti Said Aqil Husin Munawwar
(alumni Universitas Ummul Qurra Mekkah), Ali Mustafa
Yaqub (alumni Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud,
Riyadh Arab Saudi dan Universitas Nizamia, Hyderabad India)
dan M. Luthfi Fatullah (alumni Universitas Kebangsaan
Malaysia).
Sementara itu, jika dilihat dari segi buku-buku hadisnya,
beberapa hal yang dikaji mengenai hadis di sana di antaranya
76
adalah arti dan pengertian sunnah, sejarah hadis, ilmu kritik
hadis dan metodologi dalam memahami suatu hadis, di mana
dalam memahmi hadis tersebut adalah dengan melhat sisi
kontekstual dari hadis itu. Salah satu corak hadis yang
terdapat disana adalah corak hadis fiqhi (ahkam), walaupun
ini bisa juga dikategorikan dalam kajian hadis dengan model
maudhui (tematik). Artinya buku-buku hadis sebagaimana
yang ada di tabel V di atas, sebagian besar merupakan kajian
hadis yang mengangkat tema-tema tertentu dalam
penulisannya. Misalnya, hadis ahkam, hadis tarbawi, hadis-
hadis politik, kajian mengenai keluarga mawaddah wa
rahmah dalam sunnah Nabi, hadis-hadis tentang keutamaan
bulan Rajab, Syaban dan Ramadhan, serta hadis-hadis sekte,
yang besar kemungkinan di dalamnya menyinggung
mengenai awal mula munculnya ilmu kalam (ranah teologi).
Dari sisi teknik penulisan, rata-rata buku hadis tematis diatas
adalah mengawalinya dengan memaparkan hadis yang
berbahasa Arab terdahulu, baru kemudian dituliskan
terjemahannya, untuk selanjutnya diberi syarh serta
pemahaman terhadap hadis tersebut.

D. Periode Keempat: Dawarsa Tahun 2005 (hingga sekarang)


Kajian hadis pada periode keempat ini semakin
mengalami perkembangan. Munculnya tawaran metode
interpretasi yang terkesan baru dan lebih ngetren seperti
hermeneutika dan kontekstualisasi ayat atau hadis, menjadi
karakteristik tersendiri pada periode ini. Memang pada
sejarahnya metode tersebut merupakan cara yang
dikembangkan oleh sarjana-sarjana Barat (orientalis), namun
pada perkembangannya di Indonesia, cara ini juga dipakai
untuk memahami suatu hadis. Selain itu, juga ada ilm maani
al-hadts, yaitu satu disiplin ilmu yang berusaha memahami
matan hadis secara tepat dengan memperhitungkan faktor-
faktor yang berkaitan dengannya (faktor psiklogis, historis,
sosiologis, antropologis dan lain sebagainya yang terdapat
77
pada Rasulullah SAW bersabda) atau bisa dibilang indikasi
yang melingkupinya.
Tidak semua orientalis Barat dapat bersikap obyektif
terhadap keilmuan Islam, yang dalam hal ini adalah hadis.
Beberapa di antara mereka bahkan menolak hadis. Sebut saja
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, yang menyimpulkan
bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik, terutama hadis-
hadis fiqih.129 Nah, wacana penolakan terhadap hadis ini
diangkat Mustafa Ali Yaqub untuk mengingatkan bahwa hadis
sebagai sumber hukum Islam kedua, tidak terlepas dari
serangan-serangan yang dilancarkan oleh orientalis Barat
maupun kelompok Islam130 sendiri.
Sarjana Muslim Indonesia bidang hadis, seperti Ali
Mustafa Yaqub pun menjawab dan menyanggah serangan
mereka. Ini dibuktikan dalam tulisannya tentang MM Azami
Pembela Eksistensi Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
dan Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004). Dengan
dituliskannya buku-buku tersebut, mengindikasikan bahwa
kajian hadis di Indonesia pada periode ini tidak sekedar hanya
mengkaji hadis dari sisi sejarah, ilmu riwayah, dirayah,
musthalh al-hadts, dan penulisan serta penterjemahan
terhadap hadis belaka, melainkan pada periode ini kajian
hadis sudah mapan dan menyendiri secara total dari ilmu-
ilmu yang lain. Jurusan Tafsir Hadis di PTAI/N yang awalnya
menyatu, saat ini pun mulai dipisahkan menjadi Jurusan Ilmu
Al-Quran dan Tafsir, dan Jurusan Hadis dan Ulumul Hadis.
Seiring perkembangan manusia, yang di era sekarang
merupakan era global yang didukung dengan kemajuan
teknologi informasi memunculkan produk hadis di media
global, seperti buku-buku hadis dan ilmu hadis dalam bentuk
PDF,131 Aplikasi kitab hadis offline maupun online, VCD dan
DVD, Maktabah Syamilah, dan lain sebagainya. Beberapa situs
129 Ibid., h. 261.
130 Dari kelompok Islam yang menolak keotentikkan hadis misalnya,
Ahmad Amn (1929) dan Isml dm (1353 H). Lihat, Ibid., h. 260-261.
131 Muhammad Alfatih Suryadirlaga, Ragam Kajian Hadis di Era
Global, dalam artikel (t.dt.), h. 4.
78
internet (website) yang dapat diakses secara gratis untuk
mencari (kitab dan ilmu) hadis diantaranya;132
a. http://www.omelketab.net/chm/fiqeh/sobolelsalam.zip;
b. http://www.omelketab.net/chm/fiqeh/alawttar.zip;
c. http://www.omelketab.net/chm/hadith/bokhari.zip;
d. http://www.islamic-council.org/programs/Hadith4.zip;
e. http://www.saaid.net/book;
f. http://www.almaktba.com;
g. http://www.yasoob.org;
h. http://www.islamport.com;
i. http://www.islamweb.net;
j. http://www.islamicweb.com/books;
k. http://www.islamsites.net/book;
l. http://www.muhaddith.org;
m. http://www.almeshkat.net/book
n. http://www.al-eman.com;
o. http://www.m3loma.com/maktaba;
p. http://www.islamhouse.com.
Situs (website-website) diatas, merupakan website yang
menyuguhkan kitab dan ilmu hadis. Di dalamnya berisi kitab-
kiab hadis bagaikan perpustakaan yang sangat lengkap. Untuk
mengetahui seperti apa isi dari website diatas, maka berikut
ini adalah gambar dari sebagian website yang disebutkan
diatas dan beberapa kajian hadis yang beredar di youtube atau
di file/VCD/DVD:

132 Lihat, Ibid.; Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di


Indonesia..., h. 64.
79
Gambar 1

Gambar 2

80
Gambar 3

Gambar 4
Kajian Hadis di Youtube/File/VCD/DVD
Oleh Al-Muhaddits Sayyid Muhammad Alawi
al-Mlik al-Hsan

81
Gambar 5

Kajian Hadis oleh Pusat Kajian Hadis Jakarta


Setiap Ahad Pagi di TVRI oleh
Dr. H. M. Lutfi Fathullah, MA

Kajian terhadap hadis di periode ini berkembang dengan


pesat. Penulisan hadis-hadis sains pun pada masa kini telah
menjadi topik yang cukup kontemporer. Buku-buku hadis
dalam bidang ini yang dapat dijumpai misalnya, seperti
ensiklopedi karya Hisham Thalbah, Ensiklopedi Mukjizat Al-
Quran dan Hadis (Jakarta: Sapta Santosa, 2009); Ahmad
Yusuf Al-Hajj, Mausuah Al-Ijaz Al-Ilmiyy Fi Al-Quran Al-
Karim wa As-Sunnah Al-Mutahharah, diterjemahkan
Masturi Irham dkk, dengan judul, Ensiklopedi Kemukjizatan
Ilmu dalam Al-Quran dan Sunah (t.tp.: Kharisma, t.t.);
Zaghlul Raghil al-Najjar, Al-Ijaz Al-ilmi fi Al-Sunnah Al-
Nabawiyah, diterjemahkan oleh Yodi Indrayadi dan Tim
Penerjemah Zaman, dengan judul, Buku Induk Mukjizat
Ilmiah Hadis Nabi (Jakarta: Zaman, 2007); Syamsul Anwar,
Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2011) dan lain sebagainya.
Pengembangan kajian hadis tersebut sesuai dengan
kebutuhan manusia di zaman sekarang. Semua orang tanpa
terkecuali, bisa mengaji dan mengkaji hadis. Dan simpulnya,
menurut Alfatih Suryadirlaga, studi hadis yang berkembang di
82
era global memungkinkan manusia mempermudah dalam
memahami studi hadis.133 Sehingga dengan mempelajari hadis
tersebut, manusia diharapkan akan lebih dekat dengan
sunnah-sunnah Rasulullah Saw.

133 Muhammad Alfatih Suryadirlaga, Ragam Kajian Hadis di Era


Global, h. 14.
83
Bibliografi

Abdul Majid, Latifah, dkk. Hadith Written in Early Islam in Malay


Region, dalam Jurnal Advance in Natural and Applied
Sciences, 6(3): 472-477 (Selangor Malaysia, 2012).
Ahmad, A. Samad. Sulalatus Salatin Sejarah Melayu: Edisi Pelajar
(Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008).
Alfatih Suryadirlaga, Muhammad. Ragam Kajian Hadis di Era
Global, dalam artikel (t.dt.).
Al-Nawawi al-Bantani, Muhammad bin Umar. Tanqh al-Qawl
Syarh Lubb al-Hadts, diterjemah oleh Zaid Husin Al-Hami
dengan judul Tejemah Tanqh al-Qawl Syarh Lubb al-Hadts:
Berisi 40 Bab yang Membahas Berbagai Amalan Fardhu dan
Sunnah (Mutiara Ilmu, 2012).
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, Cet.
ke-II, 2010).
Assibai, Musthofa. As-Sunnah Wa Makanatuha F at-Tasyrii al-
Islami, diterjemahkan oleh Djafar Abd. Muchith dengan dujul,
Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum: Serta Latar Belakang
Historisnya (Bandung: Diponegoro, 1979).
Asy`ari, Hasyim. Irsyd al-Sr f Jam'i Mushannafati asy-Syaikh
Hasyim Asy'ari, dalam Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.),
Kumpulan Karya KH. Hasyim Asy'ari (Jombang: Maktabah al-
Masruriyyah, 2013).

84
Aziz. Islamisasi Nusantara dalam Perspektif Naskah Sejarah
Melayu (Skripsi S-1, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
Aziz, Abdul. Jejak Sang Wali Urut Sewu: Kilas Sejarah Perjuangan
Syekh Muhammad Najmuddin Ali Mubin (Kebumen:
Sanjemedia, 2015).
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-III,
2007).
Baso, Ahmad. Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi
Bangsa, dalam Jurnal KARSA, Vo. 20, No. 1 (2012).
Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim
dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012).
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999).
____________________. Pesantren And Kitab Kuning: Maintenance
And Continuation of A Trasition of Religion Learning, dalam
Wolfgang Marschall (ed.), Text from the Island: Oral and
Written Traditions of Indonesia and the Malay Word (Berne:
The University of Berne Institute of Ethnologi, 1994).
Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012).
Deraman, Fauzi. Wan Mazwati Wan Yusoff, dkk, Sheikh Ahmad
Al-Fatani and His Bisyaratul Amilin wa Nazaratul Ghafilin: A
Contribution in Hadith Studies, dalam Jurnal Middle-East J.
Sci. Res., 13 (2): 191-195,( 2013).
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Yogyakarta:
LP3ES, 2011).
Djamas, Nurhayati. Dinamika Pendidikan di Indonesia:
Pascakemerdekaan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009).
Fathurrahman, Oman. The Roots of Writhing Hadith Tradition of
Hadth in Work Nusantara: Hidyat al-Habb by Nr al-Dn al-
Rnr, dalam Jurnal Studia Islamika,Vol. 19, No. 1 (2012).
85
_________________. Ulah Malaysia danKetidakpedulian Kita,
dalam Harian Seputar Indonesia (Kamis 27 Agustus 2009).
Fatkhan, Muh. Dakwah Budaya Walisongo: Aplikasi Metode
Dakwah Walisongo di Era Multikultural, dalam Aplikasia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 (Desember
2003: 122-141).
Federspiel, Howard M.. Kajian Al-Quran Di Indonesia, Terj. Tajul
Arifin (Bandung: Mizan, 1996).
Hamka. Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di
Indonesia, dalam naskah pidato yang diucapkan ketika akan
menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Al-Azhar
Mesir, pada 21 Januari 1958 (Jakarta: Tintamas, 1958).
______. Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura, Cet. IV, 2002).
Hasbullah, Moeflich. Sejarah Sosial Intelektual Islam Indoensia
(Bandung: Pustaka Setia, 2012).
Hasan al-Aydrus, Muhammad. Asyraf Hadramaut, diterjemahkan
oleh Ali Yahya dengan judul, Sejarah Penyebaran Islam di Asia
Tenggara: Asyraf Hadramaut dan Peranannya (Jakarta: Lentera,
1997).
Hisyam, Muhammad. Caught Between Three Fires: The Javanese
Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942
(Jakarta: INIS, 2001).
Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2015).
Islah Gusmian. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika
hingga Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 2008).
Lombard, Denys. Le sultanat dAtjh au temps dIskandar Muda
(1607-1636), diterjemahkan oleh Winarsih Arifin dengan
judul, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Forum Jakarta-
Paris, 2014).

86
Lutfiyani. Membahas Kitab Hadis Rislah Ahl al-Sunnah wa al-
Jamah: Karya KH. M.Hasyim Asyari, (Skripsi S1, Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
Maharsi. Memahami Islam Nusantara: Kajian Simbolisme Struktural
Terhadap Naskah Sejarah Melayu, dalam Himayatul Ittihadiyah
(ed.), Islam Indonesia: Dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya
(Yogyakarta: PKSBi, 2011).
Mahfudz al-Tirmusi al-Jawi, Muhammad. Kifyat al-Mustafd (t.p.:
Dr al-Basyir al-Islam, t.th.).
Margono, Hartono. KH. Hasyim Asyari dan Nahdlatul Ulama:
Perkembangan Awal dan Kontemporer, dalam Jurnal Media
Akademika, Vol. 26, No. 3, (Juli 2011).
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosantoso. Sejarah
Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).
Mas`ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006).
Metcalf, Barbara D. A Historical Overview of Islam in South Asia,
dalam arikel Introduction (t.dt.).
Mohamed Amin, Abdur Rahman. Sabda Nabi Muhammad dalam
Sulalatus Salatin, dalam Jurnal Melayu: Jurnal Antar Bangsa
Dunia Melayu, Jilid 8 Bil. 1 (2015).
Mohammad, Ali. Peranan Ulama dalam Memartabatkan Tamadun
Islam di Nusantara: Tumpuan terhadap Abdur Rauf Singkel,
dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 4, Universitas Malaya (2009, h.
81-98).
Mohd Zarif, Muhammad Mustaqim. Penulisan Karya Hadis
Nusantara Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan
Seyikh Ali Kutan al-Kalantani dalam Sunnah Nabi Realiti dan
Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-Quran dan al-
Hadith, t.th.).
Muddofar, Moch. Kitab Manhaj Dzaw al-Nadzar karya
Muhammad Mahfudz al-Tirmisi, dalam Jurnal Studi Ilmu-
Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 8, No. 1 (Januari 2007).

87
Muhsin Z, Mumuh. Islam: di antara Arab, Cina dan Nusantara,
dalam makalah yang disampaikannya dalam acara diskusi buku
yang diselenggarakan oleh SELASAR Pusat Kajian Lintas Budaya
Fakultas Sastra Universitas Pdjadjaran (Kamis, 26 April 2007).
Munawwir, Imam. Kebangkitan Islam dari Masa Kemasa (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1980).
Muttaqin, Tsalis. Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia (IAIN
Surakarta: EFUDE Press, 2013).
Nadhiran, Hedhri. Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia:
Analisis Teori Hadis Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam artikel (t.dt.).
Nur Ichwan, Moch. The End of Jawi Islamic Shcolarship? Kitab Jawi,
Quranic Exegesis, and Politics in Indonesia, dalam Md. Salleh
Yaapar, Rainbows of Malay Literature and Beyound (Malaysia:
Universitas Sains Malaysia, 2000).
______________. Literatur Quran Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi
Kuasa, Pergeseran, dan Kematian, dalam Jurnal Visi Islam,
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1, No. 1 (Januari 2002).
Purmaini, Marhumah. Etika Pelajar Menurut KH. Hasyim Asyari
dalam Kitab Adab al-Alim wa al-Mutaallim, (Skripsi S-1,
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010).
Sa`ad Ibn Man al-Zuhr, Muhammad Ibn. Al-Thbaqt al-Kubr
(Madinah: Maktabah Al-Khanji, Jilid III, 2001).
Sabri Mohamad, Wan Nasyrudin Wan Abdullah dkk. Syeikh
Mahfudz al-Tirmusi: Tokoh Ilmu Qiraat Nusantara, dalam
Jurnal Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, (25-26
NOVEMBER, 2011).
Saifuddin, dkk. Peta Kajian Hadis Ulama Banjar, dalam Jurnal
Tashwir, Vol. 1 No.2, (Juli Desember 2013).
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Samsukadi, Mochamad. Paradigma Studi Hadis di Dunia
Pesantren, dalam Jurnal Religi: Jurnal Studi Islami, Vol. 6, No.
1 (April 2015).

88
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,
(Yogyakarta: Kanisius, Cet. ke-V, 1988).
Sukri, Moh. Dinamika Pemikiran Fikih Mazhab Indonesia:
Perspektif Sejarah Sosial, dalam Jurnal Analisa, Volume XI,
Nomor 2 (Desember 2011, IAIN Raden Intan Lampung).
Sulasman dan Suparman. Sejarah Islam di Asia dan Eropa (Bandung:
Pustaka Setia, 2013).
Tasrif, Muh. Kajian Hadis di Indonesia: Telaah Historis terhadap
Studi Hadis dari Abad XVII-Sekarang, dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No.1 (Januari 2004:
141-166).
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010).
Umar Mauladdawilah, Abdul Qadir. 2 Pendidik Sejati: Perjalanan
dua ulama besar kebanggaan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam
berdakwah dan membina ummat di Tanah Air (Malang:
Pustaka Basma, 2013).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006).
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1984).
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
ke-X, 2010).
Zuhri Qudsy, Saifuddin. Umar bin Abdul Aziz dan Semangat
Penulisan Hadis, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, No. 2
(Oktober 2013).

89
Tentang Penulis

Abdul Aziz Muslih adalah putra Kebumen


yang lahir 15 Desember 1993. Ia menjalani
masa lajangnya sebagai mahasiswa IAIN
(Institut Agama Islam Negeri) Surakarta
dengan mengambil Jurusan Ilmu Al-Qur`an
dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah.
Pendidikan formalnya beranjak dari SDN
1 Jogomertan, Petanahan, Kebumen. Dilanjutkan pada tingkat
Tsanawiyah tahun 2006-2009 di MTs Negeri Klirong, Kebumen.
Kemudian melanjutkan studi Islamnya di Pondok Pesantren Al-
Huda, Jetis, Kutosari, Kebumen asuhan Romo KH. Wahib Mahfudz
sembari sekolah formal di MAN Kebumen 2 (2009-2012).
Kini ia tengah menempuh kelulusan sebagai Sarjana Agama di
bidang ilmu Ushuluddin (S.Ag) pada Oktober 2016. Melalui
keberhasilannya dalam mempertahankan penelitian skripsi dengan
judul, Pemikiran Hadis Sayyid Muhammad `Alaw al-Malik di
Indonesia, ia mendapatkan hasil akhir dengan pujian (cumlaude).
Selama kuliah, ia aktif dalam menggerakkan (IMAKE) Ikatan
Mahasiswa Kebumen IAIN Surakarta. Buah karyanya yang pernah
diterbitkan adalah Jejak Para Kyai di Tanah Jawa: Kilas Sejarah
Penyebaran Islam di Masyarakat Kebumen oleh Penerbit Pustaka
Ilmu, Yogyakarta, 2014; Buah Tanganku dari Jakarta; Jejak Sang
Wali Urut Sewu; The Story of Jogomertan, oleh Penerbit Sanjemedia
Kebumen, 2015. Aktif juga menulis artikel, esai dan opini di
berbagai media (surat kabar), baik cetak maupun online.
90
Alamat Desa Jogomertan RT 03 RW 01, Kecamatan Petanahan,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pemuda yang mempunyai hobi
membaca sambil minum kopi ini dapat disapa melalui email:
radenaziz@ymail.com, atau langsung melalui Telp: 085868447433.

91
Catatan:

92

Anda mungkin juga menyukai