DI INDONESIA
dari Masa Kerajaan Hingga Pascakemerdekaan
i
ii
Abdul Aziz Muslih
iii
SKETSA GENEALOGI KAJIAN HADIS DI INDONESIA
dari Masa Kerajaan Hingga Pascakemerdekaan
Sanjemedia, 2016
Editor:
Perancang Sampul:
Pewajah Isi:
Penerbit:
Sanjemedia Kebumen
Jalan Raya Sokka-Petanahan Km. 12 Jogomertan Petanahan
Kebumen Jawa Tengah
Telp/Faks: 085786229910
Layanan SMS: 085868447433
E-mail: radenaziz@ymail.com
iv
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan --1
Bab II
Munculnya Kajian Hadis di Indonesia --7
A. Hubungan Ekonomi-Dagang Nusantara dengan Timur
Tengah --9
B. Hubungan Politik-Keagamaan Nusantara dengan Timur
Tengah --12
C. Hubungan Intelektual-Keagamaan Nusantara dengan
Timur Tengah --21
Bab III
Literatur Nusantara Seputar Kajian Hadis --30
A. Indikasi Awal Kajian Hadis di Nusantara --31
B. Indikasi Awal Penulisan Hadis di Nusantara --36
C. Literatur Penulisan Kitab Hadis di Nusantara --44
Bab IV
Periodisasi Kajian Hadis di Indonesia --59
A. Periode Pertama: Permulaan Abad ke XX hingga Tahun
1965-an --65
B. Periode Kedua: Tahun 1965-1995 --71
C. Periode Ketiga:: Tahun 1995-2005 --73
D. Periode Keempat: Dawarsa 2005 hingga sekarang --77
Bibliografi --84
Tentang Penulis --90
v
Pengantar Penulis
Penulis,
viii
Bab I
Pendahuluan
3
Akan tetapi, jika menelisik hadis, sebagai sumber referensi
kedua setelah al-Qur`an, belum diketahui secara mendalam tentang
geneaologi kajian hadis di Indonesia, utamanya sejak kurun waktu
abad ke-VIII M (era Kerajaan). Karena data-data yang diperoleh
cukup sulit untuk menelisik lebih dalam kajian hadis di masa Islam
baru masuk di Indonesia, oleh karena itu tulisan ini akan
menguraikan sebatas sketsa genaologi kajian hadis di Indonesia.
Tentunya kekurangan tersebut di samping memang karena adanya
kebelum kematangan dari penulis pribadi, sebab lain adalah bahwa
untuk menelisik lebih jauh dan komprehensif mengenai tema yang
diusung dalam tema ini, harus membutuhkan penelitian beserta
pengumpulan data yang amat serius. Namun demikian, pemaparan
melalui sketsa geneaologi kajian hadis di Indonesia ini secara
sederhana diharapkan cukup bisa membantu para penggiat sejarah
keislaman Indonesia dalam memahami alur sejarah masuk dan
berkembangnya kajian hadis di Indonesia. Utamanya mulai dari
masa Kerajaan (abad ke-VIII M), hingga pascakemeredekaan (abad
XXI M) sebagai pelengkap.
Setidaknya ada tiga hal pokok problem yang akan disinggung
dalam kajian ini. Pertama, sejak kapan hadis mulai ada dan beredar
di Indonesia? Kemudian siapa saja sebagian orang atau instansi yang
berperan penting dalam mengkembangkan kajian hadis di
Indonesia? Dan apa saja kontribusi yang dapat dirasakan di masa
kini dari tersebarnya hadis di Indonesia pada masa lalu?
Berdasarkan problematika tersebut, kajian ini mempunyai tujuan di
antaranya; Pertama, untuk mengetahui proses masuknya hadis ke
Indonesia beserta para penyebarnya, Kedua, mengetahui seperti apa
kajian hadis di Indonesia pada masa Kerajaan silam, dan Ketiga,
untuk merefleksikan alur perkembangan kajian hadis di Indonesia
masa pascakemerdekaan beserta kontribusinya bagi umat Islam
Indonesia di masa kini.
Secara teoritis, kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi
wacana baru dalam pergumulan sejarah dan dinamika kajian hadis
di Indonesia. Sementara dari segi manfaat praktis, tulisan ini dapat
dimanfaatkan masyarakat untuk memahami proses alur masuk dan
hidupnya hadis ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, serta
perkembangannya di masa Kerajaan dan pascakemerdekaan.
4
Sehingga mereka dapat tetap mempertahankan eksistensi kehidupan
hadis-hadis maupun sunnah Nabi Muhammad Saw. yang masih
hidup dan bahkan berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Pendekatan sejarah (sosial-intelektual) juga sangat penting
digunakan sebagai teori untuk membedah kajian ini. Tujuannnya
adalah untuk melihat change dan continuiti-nya. Pendekatan sejarah
(historical approach) adalah teori atau ilmu yang mengkaji peristiwa
masa lampau manusia dengan berbagai dimensinya (sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan sebagainya). Sehingga melalui pengkajian itu,
diupayakan menghadirkan kembali (merekonstruksi) masa
lampau seutuh mungkin pada masa kini (meskipun keutuhan itu
hampir tidak mungkin dapat dicapai). Keutuhan rekonstruksi itu
sangat bergantung pada seberapa banyak peristiwa masa lalu
menyisakan jejak (traces), yang kemudian oleh para ahli metodologi
jejak ini disebut sumber (sources) atau bukti (evidence).1 Dalam
wacana lain, sejarah intelektual menurut Stevan Collini yang dikutip
oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa dalam bukunya Sejarah
Intelektual: Sebuah Pengantar, merupakan upaya meneliti dan
mencari jejak pemahaman tokoh, dengan tetap melakukan
penyelidikan tentang berbagai konteks sosial. Lebih dari itu, sejarah
intelektual tidak hanya dilihat dari sejarah mengenai disiplin
penyelidikan intelektual. Oleh karenanya, sejarawan intelektual
harus melihat secara serius kontribusi dari berbagai disiplin ilmu.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kontribusi-kontribusi tersebut
dapat menyediakan bahan baku yang membantu untuk memperoleh
penjelasan yang lebih baik mengenai paduan logika dan peristiwa
(the mixture of logic and accident) dari periode tertentu.2
6
Bab II
16 Ibid., h. 28.
17 Ibid., h. 28-29. Walaupun pada masanya, Umar Ibn Abdul Aziz
banyak memerintahkan kepada seluruh gubernur dan kerajaan Islam untuk
menyuruh para ulama penghafal hadis agar menuliskan hadis kemudian
dibukukan, namun dalam hadiahnya kepada Raja Sriwijaya, dalam surat
tersebut tidak disebutkan hadiah berupa kitab hadis. Barangkali dengan
pertimbangan bahwa Sriwijaya pada masa itu belumlah sepenuhnya
mengetahui (secara dalam) akan keilmuan Islam. Apalagi, mengingat bahwa
kajian terhadap hadis adalah kajian yang dibutuhkan akan penguasaan ilmu
keislaman (lain) yang sangat dalam. Mengenai usaha pembukuan hadis besar-
besaran yang dilakukan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz ini dapat dilihat
dalam, Saifuddin Zuhri Qudsy, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan
Hadis, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, No. 2 (Oktober 2013), h. 270.
14
tengah dirajai oleh Sri Indrawarman. Walau dalam surat itu
bertulis saudara Islam-mu, namun belum ada bukti
peninggalan bahwa, Sri Indrawarman sendiri (pernah) memeluk
Islam. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz sendiri besar
kemungkinan (juga) memberikan hadiah untuk utusan
Sriwijaya, karena mereka kembali juga dengan membawa zanji
(budak wanita berkulit hitam).18
Berdasarkan penelitian Fatimi, dua surat ini memberikan
bukti kuat tentang kontak awal antara Nusantara dengan Timur
Tengah. Di dalam surat-surat itu, seraya menyatakan dirinya
sebagai Raja Nusantara (the King of al-Hind), raja Sriwijaya
menyapa Umar Ibn Abdul Aziz sebagai Raja Arab,
menjelaskan fakta bahwa raja tersebut telah akrab dengan
Arab.19 Ini merupakan salah satu indikasi ada interaksi Islam
dengan Hindi (Sriwijaya). Dimana jika melihat sekilas,
tampaknya raja Sriwijaya berkeinginan kuat untuk mengetahui
sekaligus mempelajari Islam lebih dalam dari bangsa Arab pada
waktu itu.
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz sebagai sosok umara
sekaligus ulama yang sangat menitik beratkan pada tadwn al-
hads, hingga terjadinya pengumpulan dan pembukuan hadis
besar-besaran pada saat itu. Artinya, ketika masa Umar Ibn
Abdul Aziz banyak pula terdapat ulama-ulama hadis. Sehingga
dimungkinkan sekali ia juga mengirimkan ulama yang
mempunyai ilmu di bidang hadis yang diakui kredibilitasnya ke
Nusantara khususnya Sriwijaya. Walaupun dalam literatur
sejarah belum dipastikan siapa yang dikirim sang khalifah untuk
mengajarkan Islam di Sriwijaya (Nusantara).
Terlepas dari siapa utusan dari Khalifah Umar Ibn Abdul
Aziz yang dikirim ke Nusantara untuk memperkenalkan Islam,
setidaknya para sejarawan Islam Indonesia seperti Hamka, telah
bersepakat bahwa pada sekitar abad ke-VIII M telah ada
pedagang-pedagang Muslim dari Arab dan Persia di pesisir-
18 Ibid., h. 29.
19 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim
dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), h. 29.
15
pesisir utara Sumatera yang bermukim disana.20 Bisa jadi juga,
sebagian masyarakat Sriwijaya pun telah ada yang memeluk
Islam. Mengingat telah adanya hubungan ekonomi-politik yang
terjalin di antara Sriwijaya dengan Bani Umayyah di Timur
Tengah. Bahkan sebagian orang berasumsi jikalau Sri
Indrawarwan telah memeluk Islam. Asumsi mereka didasarkan
pada surat Sri Indrawarwan yang mengatakan saudara Islam-
mu, kepada Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz. Wallahualam.
Setelah hubungan ekonomi-perdagangan Nusantara-Timur
Tengah dilakukan, dengan tidak bisa melepaskan hubungan
politik diantara kedua belah pihak, dalam tahap selanjutnya
islamisasi lebih kentara setelah adanya hubungan politik-
diplomatik (antar kerajaan). Dan ini lah salah satu cara yang
paling ampuh dalam alur islamisasi di Nusantara. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Aziz dalam penelitiannya mengenai
Islamisasi Nusantara dalam perspektif naskah Sullat al-
Salthn atau Sejarah Melayu, bahwa Islam sudah dipeluk oleh
masyarakat Nusantara jauh sebelum abad ke XIII M. Akan tetapi,
islamisasi secara masif terjadi setelah adanya Kerajaan Samudera
(Pasai) dan Kerajaan Malaka. Kedua kerajaan Islam ini
merupakan kerajaan yang berhasil melakukan dakwah al-
Islamiyyah di Nusantara. Kerajaan Malaka berhasil menyebarkan
agama Islam ke Nusantara baik dengan cara yang damai, dan
(sebagian kecil) dengan peperangan.21
Lebih lanjut dalam hasil penelitiannya, Aziz menjelaskan
bahwa pola islamisasi yang terjadi di Nusantara (Indonesia)
menggunakan pola top-down (dari atas ke bawah). Artinya,
Islam pertama-tama dipeluk oleh kalangan Raja (Sultan),
kemudian diikuti oleh seluruh rakyatnya. Karena pada masa itu,
Raja memiliki kedudukan yang sangat tinggi dihadapan
rakyatnya. Bahkan di antara raja-raja tersebut ada yang memiliki
gelar sebagai bayangan Tuhan, sesembahan rakyat, dan
22 Ibid.
23Muhammad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Javanese
Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942 (Jakarta: INIS,
2001), h. 72.
24 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), h. 194.
17
politik dan perdagangan.25 Di bidang politik, setidaknya mereka
menginginkan terbentuknya kerajaan bercorak Islam yang ada
disana. Dan cita-cita mereka pun semakin menjadi nyata ketika
mulai tumbuhnya Kerajaan Samudera Pasai di Timur Laut Aceh.
Tidak mengherankan ketika para pedagang Muslim ini
menginginkan terbentuknya kerajaan bercorak Islam di kawasan
Malaka (Sumatera), karena daerah ini dari segi ekonomi
merupakan daerah yang sangat cocok dan baik bagi usaha
pengembangan tanaman perdagangan lada. Sehingga dalam
waktu yang relatif singkat Aceh tumbuh menjadi daerah
penghasil sekaligus pengekspor terbesar hasil lada. Dan Perlak
dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian
Utara.26 Ini lah salah satu hal yang barangkali menginspirasi
komunitas (pedagang) Muslim disana untuk mendirikan
kerajaan Islam. Dengan berdirinya kerajaan Islam disana, maka
dakwah Islam pun akan lebih mudah tersebar luaskan. Boleh jadi
itu pula pemikiran komunitas Muslim disana pada waktu itu.
Hal ini senada dengan yang disebutkan A. Daliman:
...Bandar Perlak akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi kota
perdagangan yang sifatnya internasional. Banyak pula kota ini
didatangi oleh pedagang-pedagang dari Mesir, Arab, Persi dan
Gujarat. Akhirnya Kota Perlak ini pulalah berdiri kerajaan Islam
pertama di Indonesia.27
28 Ibid.
29 Ibid., h. 99-100.
19
kalangan Syarif yang telah memasuki Aceh seperti Syarif
Abubakar Ibn Huseni (w. 1000 M), dan Syarif Muhammad bin
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Umar Ibn Alwi al-Syatiri (abad ke-
XI M).30 Dengan melihat maraknya kaum Sayyid atau Syarif
yang berimigrasi ke daerah Sumatera tersebut, besar
kemungkinan jika ayah Sayyid Abdul Aziz adalah salah satu dari
beberapa Syarif tersebut. Melihat kurun waktu yang relatif tidak
jauh, yakni abad ke-XI M mereka datang ke Aceh, kemudian
awal abad ke-XII Sayyid Abdul Aziz memerintah sebagai sultan.
Bukti lain adanya hubungan langsung antara Indonesia
dengan Arab (Haramain) telah terjadi sejak birokrasi di kerajaan
(kesultanan) Nusantara dikuasai oleh Raja-raja yang religius, di
antaranya seperti Kesultanan Aceh, Malaka, Demak, Cirebon,
Banten, Buton, Mataram, Palembang dan Banjar. Abad ke-XVII,
misalnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh orientalis asal
Belanda, Snouck Hurgronje, yang dikutip oleh A. Daliman,
bahwa bukti ini bisa dilihat setelah adanya utusan-utusan dari
Kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram dan Banten ke
Mekkah.31 Tercatat bahwa sejak masa Samudera Pasai di abad
ke-XIII M, hingga masa Mataram Islam di abad ke-XVIII M dan
seterusnya, adalah masa islamisasi yang paling subur. Selain
hubungan keakraban di antara kesultanan-kesultanan Nusantara
dengan Timur Tengah yang ditandai dengan adanya ulama-
ulama kawasan Arabia (sebagai pendamping sekaligus penasihat
raja atau istana), serta datangnya para wali yang belakangan
dikenal dengan Walisongo di Jawa, mengindikasikan bahwa
pada masa tersebut hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
sudah terjalin dengan baik.
Sejak saat itu pula para raja dan kalangan birokrasi
kerajaan menjadi kelompok pertama orang yang mendalami dan
memahami Islam dalam komunitasnya. Maka, tidak mustahil jika
mayoritas kalangan kesultanan menjadi ulama. Beberapa sultan
38Abdul Aziz, Jejak Sang Wali Urut Sewu: Kilas Sejarah Perjuangan
Syekh Muhammad Najmuddin Ali Mubin (Kebumen: Sanjemedia, 2015), h. 19.
39 Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dari Masa Kemasa (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1980), h. 244.
40 Muhammad Mustaqim Mohd Zarif, Penulisan Karya Hadis Nusantara
Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan Seyikh Ali Kutan al-Kalantani
24
Pada akhirnya, kontak intelektual ini ditandai dengan
maraknya kaum Muslimin dari Indonesia yang belajar ke
Mekkah dan Madinah (Haramain), bebarengan setelah mereka
melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni haji, pada abad
ke-XVII sampai IXX. Kontak intelektual-keagamaan ini terjadi
setelah islamisasi di Nusantara merebak hampir ke seluruh
pelosok daerah di Indonesia.
Mahmud Yunus menyebutkan, bahwa pada abad ke-XVII
(1680 M), telah banyak terdapat ulama-ulama ahli syariat
(hadis dan fiqih, termasuk ahli ilmu al-Quran) yang berada di
Indonesia. Di Minangkabau misalnya, ada Syekh Abdurrauf al-
Singkili dan muridnya Syekh Burhanuddin. Sementara ulama
tasawuf disana semakin melemah, seperti Syekh Ahmad Qusyasy
(murid Syekh Abdul Qadir Jaelani dari Madinah) yang terpaksa
pindah ke Palembang dalam menyebarkan ilmu tarekatnya.41
Muslim Indonesia yang berhubungan dengan Haramain
(Timur Tengah) dapat dilihat --secara masif-- setidaknya sejak
abad ke-XVI, ketika hubungan politik dan perdagangan di antara
Nusantara dan Timur Tengah terjalin. Dalam mengkategorikan
atau menerangkan berbagai segmen imigran dan ulama
internasional yang bermukim di Haramain, dapatlah meminjam
teori Voll yang dikutip oleh Azyumardi Azra, yang
menggolongkan tiga tipe hubungan Muslim Nusantara dan
Haramain.
Tipe pertama, yang disebut dengan little imigrants, yakni
orang-orang yang datang dan bermukim di Haramain, dan
dengan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan
setempat. Mereka umumnya ke Haramain untuk melaksanakan
ibadah haji, namun karena disana mereka kehabisan bekal, maka
mereka menetapkan diri mereka untuk bermukim disana.
Mereka hidup sebagai penduduk biasa, dan tidak harus
merupakan ulama. Seperti Said Ibn Ysuf al-Hindi, seorang
dalam Sunnah Nabi Realiti dan Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-
Quran dan al-Hadith), h. 366.
41 Lihat, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1984), h. 24.
25
farassy, pembentang tikar di Masjid Nabawi, dan Rayhan al-
Hindi yang mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci, serta
mewakafkan hampir seluruh hartanya untuk membangun
sarana-sarana di Madinah.42
Tipe kedua, adalah grand imigrants. Mereka adalah ulama
par excellent. Kebanyakan imigran kategori ini telah mempunyai
dasar yang baik dalam kehidupan Islam, bahkan sebagian
mereka sangat alim dan terkenal. Kelompok ini dikelompokkan
oleh Azra sebagai jaringan ulama internasional di Haramain.43
Tipe ketiga, adalah ulama dan murid pengembara, yang
menetap di Mekkah dan Madinah dalam perjalanan panjang
mereka menuntu ilmu. Mereka umumnya datang ke Haramain
untuk haji dan meningkatkan ilmu kepada ulama-ulama (grand
imigrants Nusantara dan Timur Tengah). Ketika mereka telah
merasa mempunyai ilmu yang memadai dan telah memperoleh
otoritas untuk mengajar (ijazah) dari guru-guru mereka,
kemudian mereka kembali ke negeri asal masing-masing.
Mereka yang pulang membawa ilmu, gagasan dan metode yang
dipelajari di Haramain.44 Dengan begitu mereka menjadi
transmitters utama tradisi keagamaan, khususnya ilmu hadis
dari Haramain ke Nusantara.
Maka dari itu, salah satu pusat pendidikan Islam yang
banyak dikunjungi oleh para pencari ilmu dari berbagai belahan
dunia Islam, termasuk dari Indonesia, ialah lembaga pendidikan
Islam yang berada di Haramain, yaitu Mekkah dan Madinah.
Para ulama menyelenggarakan halaqah-halaqah di Masjidil
Haram (di Mekkah) dan Masjid Nabawi (di Madinah), untuk
membahas kitab-kitab keislaman seperti, fiqih, tafsir dan hadis,
hingga tasawuf.45 Yang menarik, pembelajaran disana tidak
terpaut dengan satu madzhab saja, melainkan para pencari ilmu
48 Ibid., h. 89-93
49 Ibid., h. 94.
28
mutu pesantren meningkat,50 hingga dapat mengundang santri
lebih banyak lagi. Para kiai juga banyak yang mulai
memperkenalkan semangat dan sistem baru dalam pendidikan.51
Sementara itu di abad XX dan XXI M, para santri dan calon
kiai (ulama) yang belajar di Haramain terus meningkat. Bahkan
tidak hanya di Haramain, mereka menyebar hingga ke Benua
Afrika seperti Mesir, Yaman, dan Sudan. Ada pula yang ke India,
Syiria, Pakistan, Irak dan (sebagian) Iran. Dalam abad yang
dapat disebut dengan abad kontemporer ini, salah satu ulama
yang menjadi Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (abad XXI)
adalah al-Muhaddis as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
(1946-2004 M). Masih dengan menggunakan tradisi isnad,
hingga pengaruhnya tersebar ke berbagai pelosok dunia,
termasuk di kawasan negara Melayu seperti Indonesia dan
Malaysia.
Sehingga terbentuknya Haiah Ash-Shofwah Al-
Malikyyah, yaitu komunitas para murid, santri (sebagian
muhibbin) alumni Ribath Al-Malikiyyah di Haramain, yang di
sana pernah belajar --dan tentunya terpengaruh-- (pemikiran)
Sayyid Muhammad Alaw al-Mlik al-Hasan al-Makk. Haiah
Ash-Shofwah di Indonesia saat ini di ketuai oleh KH. Ihya
Ulumiddin, pengasuh Mahad Nurul Haromain Pujon Malang,
Jawa Timur.
30
Bab III
65 Ibid., h. 232.
39
Naskah Sejarah Melayu, atau yang mempunyai judul asli Sullat
al-Saltn66 misalnya, ketika akan mengawali kisah, maka
dituliskan Bismillhirrahmnirrahm dan setiap kisah diakhiri
dengan Wallhu alam bi al-shawb, wailihi al-marji
walmab.67 Bahkan banyak penggunaan kata-kata Arab di
dalamnya, yang notabene berasal dari kutipan al-Quran dan
hadis. Seperti, Innallaha maassabirin (Allah beserta orang-orang
yang sabar), ini terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat
153. Ada pula hadis, Kullukum raini wa kullukum masulun an
raiyyatihi (para pemimpin nanti akan ditanyai oleh Allah SWT
tentang rakyat yang dipimpinnya).68 Hadis tersebut diucapkan
oleh Sultan Alauddin dalam wasiatnya kepada bakal
penggantinya, yaitu Raja Mamat yang menaiki tahta sebagai
Sultan Mahmud. Dalam pesan Sultan Alauddin tersebut,
menyuruh penggantinya agar tidak mendzalimi rakyat dan
senantiasa membantu mereka.69
89 Ibid., h. 194.
Muhammad Mustaqim Mohd Zarif, Penulisan Karya Hadis Nusantara
90
Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan Seyikh Ali Kutan al-Kalantani
dalam Sunnah Nabi Realiti dan Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-
Quran dan al-Hadith), h. 366.
91 Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani, Tanqh al-Qawl Syarh
Lubb al-Hadts, diterjemah oleh Zaid Husin Al-Hami dengan judul Tejemah
Tanqh al-Qawl Syarh Lubb al-Hadts: Berisi 40 Bab yang Membahas Berbagai
Amalan Fardhu dan Sunnah (Mutiara Ilmu, 2012), h. 11.
50
Di antara guru-guru Syekh Nawawi sebagian berasal dari
Haramain, khususnya Mekkah. Karena pada saat itu, Nawawi
muda yang sempat pulang ke kampung halamannya di Jawa
Barat tahun 1833 merasa tidak betah. Barangkali dengan tinggal
di Haramain menurut Nawawi merasa lebih terjanjikan, dan
benar-benar menjadi obsesi Muslim Jawa untuk meninggal
disana. Orang-orang Muslim Jawa menyebut Mekkah,
sebagaimana dikenal secara umum dalam bahasa Arab dengan
al-Mukarramah (kota suci), dan menyebut Madinah dengan al-
Munawwarah (kota yang bersinar). Pada abad XIX di Jawa, kota
Mekkah dan Madinah telah menjadi sebuah pusat kaum Muslim
dunia,92 tak terkecuali Indonesia. Dengan demikian, hubungan
Haramain dengan Indonesia sudah benar-benar terjalin sejak
beratus-ratus tahun yang lalu, bahkan sejak abad ke XVII. Maka,
tidak aneh ketika saat ini masih banyak Muslim Jawa yang
menuntut ilmu ke sana.
Bukti keterpengaruhan Syekh Nawawi dengan ulama dari
Haramain93 adalah dapat dilihat dari beberapa gurunya seperti,
Sayyid Ahmad Ibn Sayyid Abd al-Rahman al-Nahrawi (Mekkah),
Sayyid Ahmad Dimyati (Mekkah), Sayyid Zaini Dahlan
(Mekkah), Syekh Muhammad Khatib Sambas al-Hanbali
(Madinah). Dan ketika di Madinah, Nawawi melakukan
perjalanan dalam rangka menimba ilmu ke Syiria dan Mesir.94
Perjalanan menimba ilmu ini sudah menjadi tradisi ulama-
ulama (salf al-shlih) terdahulu, dan umumnya di antaranya
mereka adalah melakukan perjalanan untuk mendapatkan
(sanad) keilmuan Islam, khususnya bidang ilmu hadis.
Sebagaimana Imam Ahmad Ibn Hambal.
Abad ke-XX M, penulisan literatur kitab hadis pun belum
surut begitu saja. Dengan tampilnya satu lagi ulama Jawa, yaitu
TABEL II
PETA ULAMA HADIS BANJAR DAN KARYA-KARYANYA PADA ABAD
KE-XX M102
Nama
No Karya-Karyanya Kategori
Ulama Hadis
1. Syekh al-Tabyn al-Raw; Kitab hadis riwayah
Muhammad Syarh Arban dengan metode ijmali.
Kasyful Nawaw.
Anwar
2. Syekh Hidyah al-Zamn Jika melihat dari
Muhammad min Ahdts khir namanya, besar
(Anang) al-Zamn, dan kemungkinan bahwa
Syarani Arif Tanwr al-Thullb f kitab ini lebih mengacu
Mutsthalh al- kepada ilmu hadisnya
Hadts. (diryah), dengan
57
Demikian beberapa karya (kitab) hadis karangan ulama
Banjar pada abad ke-XX M. Disana terlihat bahwa teknis
penulisan hadis sangat beragam, disamping juga bahasa Melayu
sudah mulai muncul di era tersebut. Walaupun dalam fakta
sejarah penulisan hadis di Indonesia, bahasa Melayu dalam
kepenulisan hadis telah dilakukan sejak abad XVII M. Dimana
saat itu Nuruddin al-Raniri menunjukkan kepenulisan hadis
berbahasa Melayu melalui karyanya, Hidyat al-Habb f al-
Targb wa al-Tarhb.
Menjelang akhir abad ini, sekitar tahun 1980-an, T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengarang kitab hadis dan ilmu hadis
dengan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yaitu
Problematika Hadis Nabi sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1964), Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 2002 Mutiara Hadis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1954/1978), dan Koleksi Hadits-hadits
Hukum (Bandung: Al-Maarif, 1981). Sementara A. Hasan juga
mempunyai karya dalam bidang ini seperti, Ilmu Musthalah
Hadits (Bandung: Diponegoro, 1966/1983), Tajamah Bulughul
Maram Ibnu Hajar al-Asqalani (Bandung: Diponegoro,
1968/1984).103 Dan masih banyak lagi literatur kitab hadis di
Nusantara dari abad ke-XVII-XX M.
103 Lihat dalam tabel literatur penulisan hadis Indonesia tahun 1980-an
dalam, Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia..., h. 76-79.
58
BAB IV
Periodisasi Kajian Hadis
di Indonesia
59
Bab IV
Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Mekkah adalah Muadz bin
Jabal (salah satu sahabat Nabi SAW). Ia mengajarkan al-Quran,
hukum halal dan haram dalam Islam. Pada masa Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (86 H), Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah,
lalu mengajarkan tafsir, hadis, fiqih dan sastra disana. Beberapa
murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru Madrasah
Mekkah ini diantaranya, Mujahid bin Jabbar (seorang ahli tafsir al-
Quran) yang meriwayatkannya dari Ibnu Abbas. Kemudian ada
Atak bin Abu Rabah (ahli ilmu fiqih) dan Tawus bin Kaisan (fuqaha-
Mufti Mekkah). Setelah itu, diteruskan lagi oleh murid-murid
berikutnya yang terkenal seperti, Sufyan bin Uyainah dan Muslim
60
bin Khalid al-Zanji (guru Imam Syafii, sebelum ia berguru ke
Madinah).104
Madrasah Madinah
Madrasah disini lebih termasyhur daripada madrasah-
madrasah lainnya. Karena disinilah pusat ke-Khalifah-an
(pemerintahan Islam) pada saat itu. Dari Khalifah Abu Bakar, Umar
dan Ustman, hingga sahabat-sahabat Nabi SAW banyak yang tinggal
di Madinah ini. Bahkan yang mengajar di madrasah ini adalah
langsung sahabat terdekat Nabi SAW, yakni Umar bin Khathab, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabbit (ahli qiraat dan fiqih) dan Abdullah
bin Umar (tergolong sahabat kecil, yang ahli dalam bidang hadis,
dan ia dianggap sebagai pelopor madzhab ahl al-hads yang
berkembang pada masa-masa berikutnya). Bahkan Muh. Zuhri
menyebutkan, di Madinah ini dikenal dengan pamikiran fiqihnya,
hingga dikenal sebagai fiqih ahli hadis.105 Setelah para ulama
sahabat wafat, digantikan oleh murid-muridnya (kalangan tabiin)
seperti, Saad bin Musyayyab dan Urwah bin Zubair bin Awwan,
yang digenerasi berikutnya muncul seorang ahli hadis dan fiqih,
yaitu Syihab al-Zuhri.106
Madrasah Bashrah
Madrasah Bashrah ini pun kebanyakan guru-gurunya
merupakan seorang ahli dalam bidang hadis. Seperti, Abu Musa al-
Asyari (ahli ilmu fiqih, hadis dan al-Quran), Anas bin Malik (salah
satu periwayat hadis terbanyak, yang tentunya ahli dalam ilmu
hadis), Utbah bin Ghazwan, Imran bin Husain, Abu Barzah al-
Islami, Maqal bin Yassar dan Abdurrahman bin Samurah.107 Guru
lain yang mengajar disini adalah Hasan al-Basri (seorang tabiin
yang ahli fikir, pidato, sejarah dan tasawuf). Hasan al-Basri
digadang-gadang sebagai perintis madzhab Ahl al-Sunnah (dalam
104 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
ke-X, 2010), h. 72-72.
105 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis..., h. 43.
106 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 73.
107 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis..., h. 44.
61
ilmu kalam). Sedangkan disisi lain juga ada Ibn Sirrin, seorang
murid sekaligus pengganti dari Anas bin Malik, yang juga sebagai
ahli hadis dan fiqih.108
Madrasah Kuffah
Ulama dari kategori sahabat yang tinggal di Kuffah adalah
Khalifah Ali bin Abi Thalib (setelah sebelumnya ia juga pernah
tinggal di Madinah), Abdullah bin Masud, Saad bin Abu Waqash
dan Said bin Zaid bin Amr bin Nufail.109 Ali mengurusi politik dan
pemerintahan, sedangkan Abdurrahman bin Masud dan para
sahabat lainnya mengurusi ilmu agama. Sebagai salah satu sahabat
ahli hadis, yang banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW,
Abdurrahman bin Masud juga ahli dalam ilmu fiqih dan ahli tafsir.
Diantara beberapa murid Abdurrahman bin Masud yang kemudian
meneruskan perjuangannya di Kuffah diantaranya seperti, al-
Qamah, al-Aswad, Masruq, al-Harits bin Qais dan Amr bin Syurah.
Dalam perjalanannya, Madrasah Kuffah ini melahirkan sosok dari
salah satu ulama empat madzhab yang terkenal, yaitu Imam Abu
Hanifah.110
Madrasah Damsyik
Madrasah Damsyik didirikan serta dikembangkan atas upaya
Khalifah Umar bin Khathab, setelah ia mengirimkan tiga orang guru
agama ke negeri itu, yaitu Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu
Dardak. Madrasah ini secara geografis (saat ini), masuk dalam
kawasan wilayah Syam (Syiria). Ketiga guru yang dikirimkan Umar
itu pun mengajar di tempat-tempat yang berbeda, walaupun masih
dalam satu cangkup wilayah atau kawasan yang sama. Abu Dardak,
misalnya, mengajar di Damsyik, Muadz bin Jabal mengajar di
Palestina dan Ubadah mengajar di Hims. Pada masa selanjutnya,
mereka digantikan oleh murid-muridnya (dari kalangan tabiin)
diantaranya adalah, Abu Idris al-Khailany, Makhul al-Dimasyki,
111 Ibid.
112 Lihat misalnya, Hamka, Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran
Islam di Indonesia, dalam naskah pidato yang diucapkan ketika akan
menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Al-Azhar Mesir, pada 21
Januari 1958 (Jakarta: Tintamas, 1958). disana Hamka menjelaskan bahwa
Abdullah bin Amr bin Ash juga merupakan sahabat Nabi SAW yang pertama
menyebarkan Islam di tanah Mesir. Oleh karenanya, ia membuka madrasah
sebagai tempat pendidikan Isalam disana.
113 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., h. 74.
63
Melihat beberapa madrasah-madrasah yang didirikan sekaligus
diajarkan oleh para sahabat Nabi SAW dan para tabiin diatas, dapat
disimpulkan bahwa kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman, baik al-
Quran dan tafsir, fiqih, dan hadis pada khususnya, telah dilakukan
di abad pertama Hijriyyah. Dan pengajaran ini langsung
disampaikan (ditransmisikan) oleh para sahabat dan tabiin, kepada
para murid-muridnya sampai dengan ke generasi berikutnya,
hingga sekarang. Oleh karenanya, tradisi transmisi keilmuan
(sanad) merupakan tradisi yang tetap digunakan dan dipertahankan
oleh para ulama. Baik ulama mutaqaddimin, maupun ulama
mutaakhrin.
Mahmud Yunus, dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam,
menyebutkan:
...ulama-ulama sahabat tersebar ke seluruh kota-kota di
negara Islam yang terus bertambah luas. Mereka itulah pendiri
madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota itu.114
Kajian
hadis di Indonesia pada mulanya dipelopori oleh
dua ulama Nusantara sebagaimana telah disebutkan di sub bab
sebelumnya yaitu, Syekh Abdurrauf al-Singkili dan Syekh
Nuruddin al-Raniri, pada abad ke-XVII M. Dan menurut Tasrif,
kajian hadis pada abad tersebut (XVII M) hingga abad XIX masih
dalam ruang lingkup kajian hadis yang bersifat individual.115
Upaya yang dilakukan oleh kedua ulama diatas lebih
menekankan kepada pembinaan mengenai praktik keagamaan,
terutama fiqih dan akhlak. Penelitian mengenai nilai keotentikan
hadis, baik dari aspek sanad maupun matan (musthalh al-
hadts) sama sekali belum tersentuh. Ini berarti, pada masa itu
kajian mengenaiilm al-mushthalh al-hadts belum
mendapatkan ruang yang luas dari kalangan ulama Nusantara.
Sebagaimana pernyataan Federspiel yang dikutip oleh Tsalis,
mengemukakan bahwa kajian hadis pada masa penjajahan
Belanda, masih sebagai bagian dari kajian fiqih, bukan bidang
ilmu yang berdiri sendiri.116
Kajian hadis di Indonesia, pada awalnya lebih mengacu
kepada kitab-kitab hadis fiqhi, ini terjadi sekitar tahun 1923.
Walaupun pada saat itu, pengajian kitab hadis Bukhr tetap
dijalankan oleh Kiai Hasyim. Bahkan Kiai Kholil Bangkalan (guru
Kiai Hasyim) juga tidak jarang untuk menyempatkan ikut
mengaji kitab tersebut di Jombang.117 Dan pengajian terhadap
hadis (fiqhi) ini, sampai sekarang masih sangat kental di
115 Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 143.
116 Tsalis Muttaqin, Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia..., h. 34.
117 Mochamad Samsukadi, Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren,
dalam Jurnal Religi: Jurnal Studi Islami, Vol. 6, No. 1 (April 2015), h. 63.
65
pesantren Jombang pada khususnya, dan pesantren-pesantren
salaf di Indonesia pada umumnya.
Sekalipun sejak abad ke-XVII sudah ditemukan, kajian hadis
tidaklah begitu pupuler pada masa-masa sebelum abad ke-XX.118
Ketidakpopuleran tersebut menurut Agung Danarto,
sebagaimana yang dikutip oleh Tasrif, disebabkan oleh adanya
kecenderungan kepada tasawuf yang lebih dominan daripada
syariat. Kecenderungan ini akhirnya bergeser menuju syariat
akibat pembaruan dan pemurnian (Islam) yang berlangsung
sejak abad ke-XVII. Begitu pula munculnya tarekat
Naqsabandiyyah pada abad ke-XIX yang lebih berorientasi
kepada syariat daripada tarekat, merupakan bagian dari proses
pergeseran ini. Namun demikian, pembaruan pada abad ke-XVII
belum cukup membawa pergeseran perhatian yang lebih besar
kepada hadis. Baru pada abad ke-XX, munculnya pembaruan
akibat dampak modernisme dengan slogan kembali kepada al-
Quran dan sunnah menandai munculnya perhatian yang
cukup besar kepada hadis.119 Dengan demikian, pada tahun
1900-an keatas, kajian terhadap hadis pun sudah mulai merebak
ke seluruh penjuru lembaga-lembaga pendidikan, maupun
pesantren atau madrasah di Indonesia.
Mahmud Yunus menyebutkan, bahwa beberapa Madrasah
yang didirikan sejak tahun 1900-an kebanyakan mengkaji
tentang nahwu-shorof, tauhid, fiqih dan tasawuf (akhlak).
Sementara hadis dan ilmunya, biasanya diajarkan di kelas-kelas
tertentu (yang teratas). Sebagaimana pengajaran yang terjadi di
Sumatera Thawalib, baik yang didirikan oleh Haji Rasul (Syekh
Abdul Karim Amrullah) pada tahun 1914 di Padang Panjang,
maupun Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, yang didirikan
oleh Syekh Ibrahim Musa tahun 1908, dan dituruti dengan
Sumatera Thawalib Padang Japang serta Minanjau yang
didirikan tahun 1906.120
118 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 39.
119 Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia..., h. 145.
120 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia..., h. 73.
66
Hadis diajarkan di Madrasah Sumatera Thawalib tersebut
mulai kelas tiga. Untuk melihat lebih jelas mengenai pengkajian
hadis di Sumatera Thawalib, dapat dilihat tabel III dan IV berikut
ini:121
TABEL III
PENGAJARAN HADIS DI SUMATERA THAWALIB TAHUN
1920-an (AWAL ABAD XX M)
No. Kelas Nama Kitab
1. Kelas III Hadth Arban al-Naww
2. Kelas IV Jawhir al-Bukhr
3. Kelas V Jawhir al-Bukhr
4. Kelas VI Shahh Bukhr (Muslim)
5. Kelas VII Shahh Bukhr (Muslim)
TABEL IV
PENGAJARAN ILMU HADIS DI SUMATERA THAWALIB TAHUN
1920-an (AWAL ABAD XX M)
No. Kelas Nama Kitab
Matn Baiqniyyah; Jawhr
1. Kelas IV Maknn (Jawhr al-Balghah,
kitab maani)
Syarh Baiqniyyah; Jawhr
2. Kelas V Maknn (Jawhr al-Balghah,
kitab maani)
3. Kelas VI Talkhs (kitab maani)
4. Kelas VII Talkhs (kitab maani)
TABEL V
LITERATUR HADIS DAN ILMU HADIS YANG DIGUNAKAN DI
PESANTREN MENURUT TEMUAN MAHMUD YUNUS, TOTO
EDI DKK DAN MARTIN VAN BRUINESSEN BERDASARKAN
PENELITIAN TSALIS MUTTAQIN
Data
No. Nama Buku Penulis
Penerbitan
1. Hadis Ahkam Achmad Usman Surabaya:
Al-Ikhlas,
1996
2. Hadis-hadis Politik Muhibbin Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar,
1996
3. Hadis Tarbawi Abubakar Surabaya:
Muhammad Karya
Abditama,
1997
4. Hadis Nabi: Telaah Muhammad Yogyakarta:
Historis dan Zuhri Tiara
Metodologis Wacana,
1997
5. Sikap Rakyat Danusiri Yogyakarta:
Terhadap Ittaqa Press,
Penguasa, Refleksi 1997
Hadis
6. Amalan Shahih M. Thalib Bandung:
Menurut Hadis Gema
Shahih Risalah
Press, 2000
Gambar 2
80
Gambar 3
Gambar 4
Kajian Hadis di Youtube/File/VCD/DVD
Oleh Al-Muhaddits Sayyid Muhammad Alawi
al-Mlik al-Hsan
81
Gambar 5
84
Aziz. Islamisasi Nusantara dalam Perspektif Naskah Sejarah
Melayu (Skripsi S-1, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
Aziz, Abdul. Jejak Sang Wali Urut Sewu: Kilas Sejarah Perjuangan
Syekh Muhammad Najmuddin Ali Mubin (Kebumen:
Sanjemedia, 2015).
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-III,
2007).
Baso, Ahmad. Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi
Bangsa, dalam Jurnal KARSA, Vo. 20, No. 1 (2012).
Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim
dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012).
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999).
____________________. Pesantren And Kitab Kuning: Maintenance
And Continuation of A Trasition of Religion Learning, dalam
Wolfgang Marschall (ed.), Text from the Island: Oral and
Written Traditions of Indonesia and the Malay Word (Berne:
The University of Berne Institute of Ethnologi, 1994).
Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012).
Deraman, Fauzi. Wan Mazwati Wan Yusoff, dkk, Sheikh Ahmad
Al-Fatani and His Bisyaratul Amilin wa Nazaratul Ghafilin: A
Contribution in Hadith Studies, dalam Jurnal Middle-East J.
Sci. Res., 13 (2): 191-195,( 2013).
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Yogyakarta:
LP3ES, 2011).
Djamas, Nurhayati. Dinamika Pendidikan di Indonesia:
Pascakemerdekaan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009).
Fathurrahman, Oman. The Roots of Writhing Hadith Tradition of
Hadth in Work Nusantara: Hidyat al-Habb by Nr al-Dn al-
Rnr, dalam Jurnal Studia Islamika,Vol. 19, No. 1 (2012).
85
_________________. Ulah Malaysia danKetidakpedulian Kita,
dalam Harian Seputar Indonesia (Kamis 27 Agustus 2009).
Fatkhan, Muh. Dakwah Budaya Walisongo: Aplikasi Metode
Dakwah Walisongo di Era Multikultural, dalam Aplikasia,
Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 (Desember
2003: 122-141).
Federspiel, Howard M.. Kajian Al-Quran Di Indonesia, Terj. Tajul
Arifin (Bandung: Mizan, 1996).
Hamka. Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di
Indonesia, dalam naskah pidato yang diucapkan ketika akan
menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Al-Azhar
Mesir, pada 21 Januari 1958 (Jakarta: Tintamas, 1958).
______. Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura, Cet. IV, 2002).
Hasbullah, Moeflich. Sejarah Sosial Intelektual Islam Indoensia
(Bandung: Pustaka Setia, 2012).
Hasan al-Aydrus, Muhammad. Asyraf Hadramaut, diterjemahkan
oleh Ali Yahya dengan judul, Sejarah Penyebaran Islam di Asia
Tenggara: Asyraf Hadramaut dan Peranannya (Jakarta: Lentera,
1997).
Hisyam, Muhammad. Caught Between Three Fires: The Javanese
Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942
(Jakarta: INIS, 2001).
Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2015).
Islah Gusmian. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika
hingga Ideologi (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 2008).
Lombard, Denys. Le sultanat dAtjh au temps dIskandar Muda
(1607-1636), diterjemahkan oleh Winarsih Arifin dengan
judul, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Forum Jakarta-
Paris, 2014).
86
Lutfiyani. Membahas Kitab Hadis Rislah Ahl al-Sunnah wa al-
Jamah: Karya KH. M.Hasyim Asyari, (Skripsi S1, Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
Maharsi. Memahami Islam Nusantara: Kajian Simbolisme Struktural
Terhadap Naskah Sejarah Melayu, dalam Himayatul Ittihadiyah
(ed.), Islam Indonesia: Dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya
(Yogyakarta: PKSBi, 2011).
Mahfudz al-Tirmusi al-Jawi, Muhammad. Kifyat al-Mustafd (t.p.:
Dr al-Basyir al-Islam, t.th.).
Margono, Hartono. KH. Hasyim Asyari dan Nahdlatul Ulama:
Perkembangan Awal dan Kontemporer, dalam Jurnal Media
Akademika, Vol. 26, No. 3, (Juli 2011).
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosantoso. Sejarah
Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).
Mas`ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006).
Metcalf, Barbara D. A Historical Overview of Islam in South Asia,
dalam arikel Introduction (t.dt.).
Mohamed Amin, Abdur Rahman. Sabda Nabi Muhammad dalam
Sulalatus Salatin, dalam Jurnal Melayu: Jurnal Antar Bangsa
Dunia Melayu, Jilid 8 Bil. 1 (2015).
Mohammad, Ali. Peranan Ulama dalam Memartabatkan Tamadun
Islam di Nusantara: Tumpuan terhadap Abdur Rauf Singkel,
dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 4, Universitas Malaya (2009, h.
81-98).
Mohd Zarif, Muhammad Mustaqim. Penulisan Karya Hadis
Nusantara Abad Ke-19: Antara Syeikh Nawawi Banten dan
Seyikh Ali Kutan al-Kalantani dalam Sunnah Nabi Realiti dan
Cabaran Semasa (Kuala Lumpur: Jabatan al-Quran dan al-
Hadith, t.th.).
Muddofar, Moch. Kitab Manhaj Dzaw al-Nadzar karya
Muhammad Mahfudz al-Tirmisi, dalam Jurnal Studi Ilmu-
Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 8, No. 1 (Januari 2007).
87
Muhsin Z, Mumuh. Islam: di antara Arab, Cina dan Nusantara,
dalam makalah yang disampaikannya dalam acara diskusi buku
yang diselenggarakan oleh SELASAR Pusat Kajian Lintas Budaya
Fakultas Sastra Universitas Pdjadjaran (Kamis, 26 April 2007).
Munawwir, Imam. Kebangkitan Islam dari Masa Kemasa (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1980).
Muttaqin, Tsalis. Khazanah Pemikiran Hadis di Indonesia (IAIN
Surakarta: EFUDE Press, 2013).
Nadhiran, Hedhri. Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia:
Analisis Teori Hadis Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam artikel (t.dt.).
Nur Ichwan, Moch. The End of Jawi Islamic Shcolarship? Kitab Jawi,
Quranic Exegesis, and Politics in Indonesia, dalam Md. Salleh
Yaapar, Rainbows of Malay Literature and Beyound (Malaysia:
Universitas Sains Malaysia, 2000).
______________. Literatur Quran Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi
Kuasa, Pergeseran, dan Kematian, dalam Jurnal Visi Islam,
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1, No. 1 (Januari 2002).
Purmaini, Marhumah. Etika Pelajar Menurut KH. Hasyim Asyari
dalam Kitab Adab al-Alim wa al-Mutaallim, (Skripsi S-1,
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010).
Sa`ad Ibn Man al-Zuhr, Muhammad Ibn. Al-Thbaqt al-Kubr
(Madinah: Maktabah Al-Khanji, Jilid III, 2001).
Sabri Mohamad, Wan Nasyrudin Wan Abdullah dkk. Syeikh
Mahfudz al-Tirmusi: Tokoh Ilmu Qiraat Nusantara, dalam
Jurnal Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, (25-26
NOVEMBER, 2011).
Saifuddin, dkk. Peta Kajian Hadis Ulama Banjar, dalam Jurnal
Tashwir, Vol. 1 No.2, (Juli Desember 2013).
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Samsukadi, Mochamad. Paradigma Studi Hadis di Dunia
Pesantren, dalam Jurnal Religi: Jurnal Studi Islami, Vol. 6, No.
1 (April 2015).
88
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,
(Yogyakarta: Kanisius, Cet. ke-V, 1988).
Sukri, Moh. Dinamika Pemikiran Fikih Mazhab Indonesia:
Perspektif Sejarah Sosial, dalam Jurnal Analisa, Volume XI,
Nomor 2 (Desember 2011, IAIN Raden Intan Lampung).
Sulasman dan Suparman. Sejarah Islam di Asia dan Eropa (Bandung:
Pustaka Setia, 2013).
Tasrif, Muh. Kajian Hadis di Indonesia: Telaah Historis terhadap
Studi Hadis dari Abad XVII-Sekarang, dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No.1 (Januari 2004:
141-166).
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010).
Umar Mauladdawilah, Abdul Qadir. 2 Pendidik Sejati: Perjalanan
dua ulama besar kebanggaan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam
berdakwah dan membina ummat di Tanah Air (Malang:
Pustaka Basma, 2013).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006).
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1984).
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
ke-X, 2010).
Zuhri Qudsy, Saifuddin. Umar bin Abdul Aziz dan Semangat
Penulisan Hadis, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, No. 2
(Oktober 2013).
89
Tentang Penulis
91
Catatan:
92