Bicara tentang tafsir Nusantara, sebenarnya juga tidak lepas
dengan pembicaraan mengenai peradaban keilmuan keislaman di Indonesia. Sementara untuk melihat proses perkembangan peradaban khazanah keilmuan keislaman (tafsir) Nusantara, setidaknya kita bisa meminjam hasil analisa Islah Gusmian (2013:5) atas studi metodologis Ichwan dalam studi al-Quran, yang mana Islah membaginya menjadi tiga hal. Pertama, secara historis Islah dalam Khazanah Tafsir Nusantara-nya (2013:5) menyebutkan bahwa tradisi keilmuan Islam di Indonesia sudah terbangun cukup lama. Ini bisa dilihat dari mata rantai intelektual Muslim yang terajut secara sinergis dan sangat tua dengan beberapa tokoh di Timur Tengah. Wacana ini memang tidak dapat dipungkiri adanya. Katakanlah misalnya pada era kolonial, abad ke-XIX dan XX, telah terjadi penanaman ulum al-ddin terhadap ulama-ulama Nusantara di dan ke Timur Tengah, setelah terusan Zuez terbuka. Ulama-ulama ini disamping ke Haromain hendak menuntaskan rukun Islam yang kelima (baca: haji), kebanyakan dari mereka juga tidak mengabaikan kesempatan yang sangat baik demi kemajuan intelektual keislaman mereka, yaitu untuk menyempatkan studi Islam bersama para ulama Haromain disana hingga beberapa tahun. Diantara sebagian ulama tersebut seperti Syekh Nawawi al- Bantani (Banten), Syekh Mahfudz al-Tirmasi (Pacitan), KH. Hasyim Asyari (Jombang, Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Kauman Yogyakarta, Pendiri Muhammadiyah). Mereka semua mempunyai jasa yang cukup besar dalam perkembangan perjalanan keintelektualan Islam di Indonesia. Bahkan melalui goresan-goresan tafsir yang sebagian diantara mereka tulis, dapat menjadi senjata untuk melakukan aksi perlawanan terhadap kolonial. Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution dalam Pemikiran Politik Islam: dari Masa Zaman Klasik hingga Indonesia Kontemporer (2010:254), telah memaparkan tentang pergolakan politik Islam era abad ke-XX. Karena memang kita tidak dapat memungkiri bahwa, pada awal abad ke-XX banyak berdiri ormas-ormas Islam seperti Sarekat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912), Persis (1920-an), NU (1926), Perti (1930) dan Permusi (1930) dan Partai Islam Indonesia (1938). Terlepas dari perbedaan pandangan dalam organisasi- organisasi tersebut, dalam perjuangan melawan penjajah Belanda mereka memiliki kata sepakat. Bagi mereka, umat Islam harus bebas melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dan tidak boleh ada intimidasi dan paksaan-paksaan dari pihak asing. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, sebagian tokoh ormas pun bertindak melakukan upaya penafsiran ayat al-Quran dengan mengambil tema jihad dalam membela tanah air. Dengan demikian masyarakat Muslim waktu itu akan terdoktrin, sehingga melakukan perlawanan kepada penjajah. Kedua, di akhir abad ke-XX jaringan intelektual Islam Indonesia semakin meluas, seiring dengan perkembangan kajian keislaman yang tidak hanya menjadi konsern masyarakat Islam di Timur Tengah, tapi juga oleh kalangan islamisis Barat. Studi-studi ketimuran pun terjadi di belahan dunia baik di Amerika, Jerman, Prancis, maupun Belanda. Dengan demikian, jaringan intelektual keislaman Indonesia pun tidak lagi hanya berporos di Timur Tengah, tetapi juga meluas ke negara-negara Barat. Ditambah semakin meluas dan mudahnya aksesialisasi buku-buku keislaman, membuat proses intelktualisasi menjadi demikian marak di kalangan Muslim Indonesia. (Islah, 2013:6) Ketiga, telah diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, namun jangan sampai lupa kalaulah Indonesia juga merupakan kawasan yang sangat majemuk, baik dari segi agama, suku, ras dan budaya. Karena adanya kemajemukan ini menurut Islah (2013:7), telah melahirkan berbagai tantangan yang kompleks dalam membangun sebuah peradaban ke- Indonesia-an. Inklusivitas, keragaman budaya lokal, masalah hak asasi manusia (HAM), ketimpangan gender, persoalan politik dan persoalan lain, menurut Islah, merupakan diskursus penting yang terjadi di Indonesia pada akhir abad ke-XX. Kenyataan itu tentu akan memberikan nuansa yang khas dalam proses intelektualisasi keislaman di Indonesia, tak terkecuali dalam tradisi tafsir al-Quran. Nuansa Tafsir Disamping adanya proses literelisasi atau usaha dalam hal tulis menulis dalam bidang tafsir, ulama awal abad ke-XVII khususnya di Aceh seperti Nuruddin ar-Raniri juga menulis literatur khazanah keislaman dalam bidang sejarah, misalnya Bustanussalatina (Taman Raja-Raja). A. Daliman (2012: 234) menyebutkan bahwa karya ar- Raniri tersebut ditulis pada 1637 yang terdiri dari 7 buku. Isinya tentang sejarah, hikayat dan cerita tentang para Nabi, termasuk sejarah Nabi Muhammad dan sahabatnya, Raja Mesir kuno, Arab, hingga menceritakan pula situasi-kondisi masa raja-raja dan menteri serta ulama yang adil nan bijak di Aceh sebelum dan selama abad ke-XVII. Dengan berkat adanya Bustanussalatina ini, para ahli sejarah dapat mengungkap kehidupan agama dalam Kesultanan Aceh, termasuk dapat membantu dalam menyingkap indikasi embrio mufassir pada zaman tersebut. Abad ke-XVI, merupakan abad munculnya upaya penafsiran al- Quran. Kemudian penafsiran ini lebih dikenal dengan Tafsir Surah Kahf yang tidak diketahui nama pengarangnya. Satu abad kemudian muncul karya tafsir Tarjuman al-Mustafd yang ditulis oleh Abdurrouf al-Singkili (1615-1693), lengkap 30 juz. Kemudian di penghujung abad ke-XVIII Syeikh Nawawi Banten menulis tafsir Marah Labib Likasyf Makna al-Quran al-Majid, diterbitkan di Mekkah pada tahun 1880, tafsir ini di tulis dalam bahasa Arab. Dan pada tahun 1980-an muncul kitab tafsir al-Ibris karya KH. Bisri Musthofa yang menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon. Kemudian muncul Tafsir al-Quran Suci Bahasa Jawi, terbit tahun 1981, ada juga Tj al-Muslimn dan al-Ikll keduanya adalah karya KH. Misbah Musthofa (saudara kandung Bisri Musthofa), tetapi karya tafsir yang Tj al-Muslimn baru diselesaikan 4 juz, setelah menyelesaikan tafsir yang pertama (Tafsir al-Ikll). (Islah Gusmian, 2013: 19-20 dan Azyumardi Azra, 2002: 110-133) Nuansa atau corak tafsir Nusantara dari masa ke masa beragam, ada yang bernuansa kebahasaan, sosial-kemasyarakatan seperti Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah, nuansa teologis, sufistik dan psikologis. Akan tetapi di Indonesia, tafsir sufi termasuk sesuatu yang masih langka. Namun hal itu bukan berarti tidak ada, karena dalam tafsir al-Ikll dan Tj al-Muslimn karya KH. Misbah Musthofa banyak ditemukan nuansa sufistik, khususnya dalam surat al- Ftihah. Termasuk dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Walaupun dari segi corak Tafsir Al-Azhar termasuk tafsir adaby ijtimai, namun tidak sedikit ayat al-Quran yang ditafsirkan dengan nuansa sufistik. Inilah kilas tafsir Nusantara yang dari segi historis, metodologis, bentuk dan nuansa tafsir cukup beragam, namun banyak memberikan inspirasi terhadap perkembangan intelektualisasi keislaman di Indonesia agar tak kunjung redam.
Ditulis oleh: Abdul Aziz, Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, dan Ketua Ikatan Mahasiswa Kebumen Institut Agama Islam Negeri Surakarta.