Anda di halaman 1dari 23

HADITS VERSUS SAINS MEMAHAMI HADIS-HADIS MUSYKIL - NIZAR ALI

(Review Buku)

Moh. Nashiruddin

Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A. Biografi Tokoh
Nizar Ali lahir di Jepara, 21 Maret 1964. Pendidikan SD Negeri
Robayan I, Lulus tahun 1976. Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum Purwogondo
Jepara, lulus tahun 1980. SMA Sultan Agung 2 Kriyan-Jepara, lulus tahun 1983.
Sarjana Lengkap (S1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Adab, Jurusan
Bahasa dan Sastra Arab, lulus tahun 1989. Magister (S2) Program Pascasarjana
TAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 1995. Doktor (S3) Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2007.
Pekerjaan Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1992-
sekarang. Dosen dalam mata kuliah Hadis pada Jurusan Tafsir-Hadis Sekolah
Tinggi Ilmu al-Qur'an (STIQ) An-Nur Ngrukem Bantul, 2003-2004. Dosen dalam
mata kuliah Seminar Kitab Hadis pada Jurusan Tafsir-Hadis Sekolah Tinggi Ilmu
al-Qur'an (STIQ) An-Nur Ngrukem Bantul, 2005–sekarang. Dosen dalam mata
kuliah Hadis Tarbawi pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur'an
(STIQ) An-Nur Ngrukem Bantul, 2005ekarang. Dosen dalam mata kuliah
Membahas Kitab Hadis pada mbaga Kajian Islam dan Mahasiswa Pondok
Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996-1999. Dosen dalam Program Magister Guru
Bina pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta kerjasama
dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga-UMS-Depag RI, tahun 2000.
Dosen Studi al-Qur'an dan al-Hadis: Teori dan Metodologi pada Program
Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2002-sekarang. Sekretaris Pusat Bahasa IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1998-2000. Ketua Pusat Bahasa IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tahun 2002 dan 2003. Sekretaris Program Studi Pendidikan
Islam pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, tahun 2003-2007. Ketua
Program Studi Pendidikan Islam pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
tahun 2007-sekarang. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Alma Ata
Krapyak Yogyakarta, tahun 2007-sekarang.
Pengalaman Organisasi; Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
Daerah Istimewa Yogyakarta, 2001-2006. Wakil Ketua Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, 2006-sekarang. Koordinator Riset
dan Publikasi pada Lembaga Kajian Dinamika Agama, Budaya, dan Masyarakat
(PUSKADIABUMA) PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003-sekarang.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Konsultasi Agama (LKKA) el-Tashfia
Yogyakarta, tahun 2003-sekarang. Sekretaris Yayasan Bakti Sahabat Pergerakan
Yogyakarta, tahun 2006-sekarang.
Mengikuti Seminar Nasional/Internasional; International Conference
on “The Idea(l) of an Indonesian Islamic University: Contemporaray
Perspectives”, PPs UIN Sunan Kalijaga, 2004. International Workshop and Public
Forum on Equality and Plurality, CRSD UIN Sunan Kalijaga, 2004. The Future of
Social Work in Indonesia, IIS-PPs UIN Sunan Kalijaga, 2005. Transnational
Islamist Movement, Hudson Institute Washington DC and The Institute of Defence
and Strategic Studies (IDSS) Sigapore, 19-20 Sept 2006. Uji Shahih Rancangan
Perubahan Keempat UUD 1945, Pan.Ad-Hoc I BP MPR-UNY, 2002. Konferensi
Nasional Kajian Islam Indonesia, PPs UIN Sunan Kalijaga, 2003. Seminar
Nasional Teknologi Pembelajaran, Pustekkom Depdiknas, UT dan UNY, 2003.
Seminar Nasional “Reformulasi Pembidangan Ilmu di PTAI, IAIN Sunan
Kalijaga, 2003. Rakorda VII MUI se-Jawa, MUI Jatim, 2003. Pertemuan Nasional
dan Orientasi Da’i Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, PBNU-Kemitraan,
2004. Workshop Dosen-Dosen Ilmu Hadits se-PTAI Indonesia, Makassar, 2007.
Beberapa Penelitian; Hadis-Hadis Politik (Telaah SosialHistoris
terhadap Syarat Kepala Negara), Puslit IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997.
Balaghah al-Hadis (Telaah Matan dengan Pendekatan Bahasa), Puslit IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1998. Islam, Elite Kota dan Neo-Tarekat (Studi Kasus
Jama'ah Semaan al-Qur'an MANTAP Yogyakarta), The Toyota Foundation-YIIS
Jakarta, 1998. Hermeneutika dalam Tradisi Keilmuan Hadis (Studi tentang
Tipologi Pemahaman Hadis), Puslit IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.
Pengembangan Metodologi Pendidikan Agama pada Pendidikan Dasar, Puslit
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999. Pemberdayaan Pendidikan Agama Islam
di Perguruan Tinggi Umum di DIY (Kasus UGM Yogyakarta), Hibah Bersaing
Depag RI, 1999. Kependidikan dalam Perspektif Hadis, Lemlit UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2006. Pemahaman Hadis-Hadis Lingkungan Hidup
(Pendekatan Integrasi-Interkoneksi), Lemlit UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2007.
Beberapa karya ilmiah berupa menjadi buku; Al-'Arabiyyah li al-
Hayâh, Pusat Bahasa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000. Memahami Hadis
Nabi: Metode dan Pendekatan, Center for Educational Studies and Development
YPI al-Rahmah Yogyakarta, 2001. Bayani: Memahami Ayat-Ayat al-Qur'an,
Mitra Pustaka Yogyakarta, 2005. Imam Nawawi dan Metodologi Pensyarahan
Hadis, Pilar Media, Yogyakarta, 2007. Peta Kecenderungan Kajian Pendidikan
Islam pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1986-2005),
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Dan beberapa karya ilmiah dalam Jurnal/Majalah Ilmiah;
Rekonseptualisasi Pemikiran Pendidikan Islam (Suatu Tawaran), Al-Fikri,
Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 1992. Hadis pada Masa Rasulullah
(Suatu Kajian Historis), Al-Rahmah, Yogyakarta, No, 1, Tahun I, 1995. Khitan
Perempuan: Kajian Kritis terhadap Hadis Khitan, Visi Islam, Yogyakarta Vol. II.
No.1, 2003. Rekonstruksi Hukuman Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi,
Hermeneia, Volume 3, Nomor 2, Juli-Des 2004. Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa
Atharuha fi Ikhtilafi al-A'immah al-Fuqaha, Hermeneia, Volume 5, Nomor 1,
Januari-Juni 2006.
B. Kegelisahan Akademik
Hadis dikenal sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW
baik ucpan, perbuatan, ketetapan maupun hal ihwal beliau. Dari kedudukannya
hadits merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an yang dijadikan sebagai
tolak ukur oleh semmua umat islam di dunia. Memahami hadits bukanlah hal yang
mudah, akan tetapi terkadang juga beberapa matan hadits yang aneh dan sulit
untuk di pahami secara nalar manusia. Hadis-hadits ini dikenal dengan hadits
musykil.
Para ulama salaf maupun khalaf sudah menyinggung terkait hadits-
hadits musykil seperti Abu Ja’far al-Thahawi al-Hanafi yang menulis kitab
Musykil al-Athar fi Nafyi al-Thadad ‘an al-Ahadits wa Istikhraj al-Ahkam dengan
jumlah 7 jilid tebal yang kemudian diringkas oleh Abu al-Walid al-Baji al-Maliki
dalam 2 jilid. Hal yang sama dikemukakan oleh Imam Abdullah bin Muslim ibn
Qutaibah al-Dinawari dalm bukunya berujudul Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.
Dalam buku ini yang di maksud dengan hadits-hadits musykil ialah
hadits yang berisi tentang informasi atau ajaran yang tidak sejalan dengan sains
atau logika manusia. Hadits-hadits ini masih terdapat di dalam kitab Shahihain
(shahih al-Bukhari dan Shahih muslim) yang sudah diakui keshahihannya oleh
para ulama hadits. Lantas bagaimana umat islam menyikapi hadits tersebut?
Apakah menolaknya atau bahkan hadist tersebut sekedar penjelasan tentang
kondisi masyarakat di sekeliling beliau.
Sebagai sumber ajaran kedua sesudah al-Quran, hadis harus memiliki
kekuatan hujjah: Ke-hujjah-an hadis ditunjukkan melalui kesahihan sanad dan
matan sebagai persyaratan diterimanya sebuah hadis. Selanjutnya dalam
hubungannya dengan penggunaan hadis sebagai hujjah, para ulama telah
menetapkan hanya hadis-hadis yang bernilai shahîh atau setidaknya yang bernilai
hasan-lah yang dapat dijadikan pegangan. Ketentuan ini dinilai rasional, karena
penentuan otentisitas dan validitas hadis yang berasal dari Nabi Muhammad saw
memang perlu menggunakan syarat-syarat tertentu, agar tidak terjerumus kepada
kesalahan.
Sedangkan kriteria penentuan hadis menjadi shahîh, hasan dan dha'if
didasarkan atas syarat-syarat tertentu baik dari sanad maupun dari segi matn. Hadis
shahih umpamanya harus diriwayatkan oleh orang yang adil, dhâbith
(sempurna/kuat hafalannya) atau dengan kata lainnya thiqah. Di samping itu
sanadnya harus bersambung hingga bersambung sampai pada Nabi saw, tidak
janggal materi (matn) hadisnya dan tidak ada illat yang mencacatkannya.
Ketentuan ini apabila tidak dipenuhi, umpamanya kadar ke-dhâbith-annya kurang,
maka disebut hasan dan apabila tidak memenuhi kriteria salah satu atau lebih
syarat-syarat tersebut dinamakan dha'if.
Selanjutnya, dalam menghadapi masalah-masalah ini (khususnya hadis
yang secara sanad bernilai shahîh, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan sains atau
logika nalar manusia), ternyata para ulama berbeda pendapat yang kemudian dapat
diklasifikasi menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa
hadits tersebut tetap bernilai shahih hanya saja sains atau logika manusia belum
bias mencapai pada rahasia. Kelommpok kedua menganggap bahwa hadits
tersebut tidak bernilai shahih karena mengandung illat yang mencacatkannya.
Kedua klompok tersebut memiliki argumentasi masing-masing.
Klompok yang pertama meyakini bahwa standard hadits shahih sudah melalui
beberapa penilaian sehingga dapat diterima secara ilmiah. Dapat dipastikan bahwa
jika sanatnya shahih maka hadits itu datangnya dari nabi dan diakui kebenarannya
walaupun kandungannya tidak sejalan dengan nalar. Sedangkan kelompok yang
kedua meyakini bahwa kwalitas hadits yang shahih secara sanatya namun terdapat
kejanggalan pada kandungan isinya maka dianggap bahwa sesuatu yang salah
tidak dating dari nabi.
Oleh karena itu pemecahan masalah yang di perselisihkan dalam hal ini
di maksudkan tanpa melanggar aturan norma dengan merendahkan Nabi SAW
yakni dengan tetap berasumsi bahwa kualitas hadits secara sanadnya tetap
diberlakukan. Hanya saja persoalan terkait hadits yang tidak dapat diterima secara
sains atau logika manusia diperlukan adanya telaah perspektif melalui kebahasaan,
historis, kondisi sosil dan lain-lain.
C. Logika dan Sistematika
Di kalangan para ulama, ditemukan dua kecenderun pemahaman
terhadap kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut terepresentasi dalam
dua kelompok yang cukup dominan di kalangan umat Islam, yakni retriction of
traditionalist dan modernist scripturalism. Pemahaman kelompok pertama hanya
membatasi diri pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa
mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok modernist
scripturalism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan
konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks. Produk pemahaman hadis yang
dihasilkan dari kedua kelompok tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman,
yakni pemahaman tekstual/literal, dan pemahaman kontekstual.
Teori yang digunakan oleh kelompok tekstualis adalah teori tekstual-
legalistik-normatif. Teori ini menekankan pada aspek gramatika bahasa. Argumen
yang dijadikan dasar adalah meskipun hadis diyakini sebagai sabda Nabi saw,
namun karena tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling tepat untuk
memahami hadis adalah dengan merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu
sendiri. Struktur kebahasaan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika
bahasa dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi pemahaman hadis, teori ini
merupakan akibat dari pengaruh yang kuat dalam sejarah pemikiran ilmu bahasa
yang melahirkan dua mazhab, yaitu mazhab Kufah dan Basrah. Mazhab Kufah
lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang memiliki akar dan karakter yang
khas sehingga kalau menemukan beberapa kata dan kalimat yang sulit dalam
hadis, maka pemahamannya harus ditelusuri pada tradisi bahasa Arab klasik
sebagaimana orang Arab dahulu memahaminya. Adapun mazhab Basrah yang
ditekankan adalah logika universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani
(Aristoteles), bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,
hadis sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia tentunya
memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter lokal.
Teori pemahaman hadis yang direpresentasikan oleh kelompok
modernist scripturalism adalah historis-kontekstual. Teori ini mencoba memahami
hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-tekstual ke wilayah kontekstual.
Penguasaan gramatika dan gaya bahasa Arab sangat diperlukan dalam memahami
hadis. Tanpa kedua aspek tersebut, pemahaman akan kehilangan peta dan arah.
Persoalan yang muncul kemudian adalah, meskipun hadis yang datang dari Nabi
adalah berbentuk pesan dalam bahasa Arab, namun bahasa Arab yang dijadikan
wahananya sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke dalam kategori budaya
yang didalamnya terkandung sifat relatif, dan juga mengandung sistem tanda
bahasa yang bersifat arbitrer (kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang
dikandung hadis tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas
oleh pembacanya, meskipun pembacanya ahli dalam ilmu bahasa. Dalam hadis
mudah dijumpai kata ataupun kalimat yang menimbulkan multi makna, karena dari
segi bahasa memang memungkinkan. Multi makna yang bersifat semantikal ini
diperkuat lagi oleh perbedaan tingkat akademis, psikologis, dan kepentingan
politik pencari makna hadis, sehingga kita menyaksikan munculnya berbagai
hazhab atau aliran pemikiran dalam Islam, baik dalam bidang hukum, teologi,
filsafat, tasawuf maupun politik. Berbagai isu yang diperselisihkan oleh para
ulama tidak mungkin disela dengan cara penyeragaman makna karena hadis
membuka diri untuk ditafsirkan. Oleh karenanya, para ulama tidak puas dengan
pendekatan gramatika-tekstual saja. Mereka mencoba memahami hadis dengan
pendekatan historis-kontekstual, yakni untuk memahami ucapan Nabi, misalnya,
hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan
psikologis ketika Nabi Muhammad bersabda serta kepada siapa ucapan itu
dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang sosial-budaya (asbâb
wurûd al-hadîts) dari mana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka
pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara literer
dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh
dari yang dikehendaki oleh pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini
lebih diperlukan lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum.
Pemahaman yang demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam
memahami hadis.
Berangkat dari hal dimaksud, memahami hadis-hadis musykil yang
bertentangan dengan sains dan logika manusia menjadi menampakkan urgensinya
dan dinilai sangat penting untuk dilakukan dalam konteks memberikan kepastian
terhadap pemahaman hadis, apakah hadis yang dinilai bertentangan dengan logika
dan sains itu dipahami secara tekstual apa adanya, ataukah dapat dipahami secara
kontekstual, atau bahkan memang pada hakikatnya pemahaman manusia belum
menjangkau hal tersebut, atau setelah melakukan kajian mendalam terhadap hadis
yang musykil melalui perspektif keilmuan multidisipliner, hadis Nabi saw tersebut
tidak bertentangan dengan sains.
Buku ini akan mencoba menampilkan analisis terhadap beberapa hadis
Nabi saw yang sepintas bertentangan dengan sains dan hadis Nabi saw yang
bertentangan dengan logika atau nalar manusia. Prosedur metodologis
pembahasannya adalah apabila hadis Nabi saw yang dinilai musykil tersebut
diriwayatkan oleh syaikhân (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang sudah
diakui kredibilitasnya, maka kritik sanad dan matn dinafikan, selanjutnya langsung
melakukan analisis pemahaman hadis. Namun, apabila diriwayatkan oleh selain
dua imam tersebut, langkah pertama .melakukan kritik sanad dan matn. Setelah
hadis dinilai shahîh atau hasan, langkah berikutnya adalah melakukan pemahaman
hadis dengan mendialogkan antar teks dan konteks, sehingga pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kebahasaan, sejarah, sosiologi, kebudayaan dan ilmu
lain yang relevan untuk dijadikan titik tolak analisis. Pendekatan ini digunakan
apabila dalam hadis tersebut terdapat kemungkinan adanya aspek di luar teks yang
berperan dalam penentuan pemahaman hadis.
Di akhir pembahasan setiap topik dilakukan penyimpulan dengan
melihat kesesuaian hadis Nabi saw dengan sains dan logika manusia.

D. Metode dan Contoh Pembahasan


1. Hadis-hadis musykil perspektif sains
a) Hadis tentang matahari bersujud pada malam hari
Hadis yang menginformasikan matahari bersujud pada malam hari di
'Arsy, dapat dijumpai dalam beberapa kitab hadis standar, antara lain dalam
kitab yang disusun oleh Imam al-Bukhârî,' dan Imam Muslim. Salah satu
redaksi matn dapat dilihat dalam kitab Shahîh Muslim sebagai berikut:
‫حدثنا حيىي بن أيوب وإسحق بن إبراهيم مجيعا عن ابن علية قال ابن أيوب حدثنا ابن علية‬
‫حدثنا يونس عن إبراهيم بن يزيد التيمي (مسعه فيما أعلم) عن أبيه عن أيب ذر أن النيب صلى‬
‫هللا عليه وسلم قال يوما أتدرون أين تذهب هذه الشمس قالوا هللا ورسوله أعلم قال إن هذه‬
‫جتري حىت ينتهي إىل مقرها حتت العرش فتخر ساجدة فال تزال كذلك حىت يقال هلا ارتفعي‬
‫ارجعي من حيث جئت فتجع فتصبح طالعة من مطلهعا مث جتري حىت تنتهي إىل مستقرها‬
‫حتت العرش فتخر ساجدة وال تزال كذلك حىت يقال هلا ارتفعي ارجعي من حيث جئت‬
‫فتجع فتصبح طالعة من مطلهعا مث جتري ال يستنكر الناس منها شيئا حيت تنتهي إلی مستقرها‬
‫ذاك حتت العرش فيقال هلا ارتفعي أصبحي طالعة من معربك فتصبح طالعة من مغرهبا فقال‬
‫رسول هللا ال ينفع نفسا امياهنا مل تكن آمنت من أتدرون مىت ذاكم ذاك حني قبل أو كسبت‬
.‫يف إمياهنا خريا‬
Yahyâ bin Ayyûb dan Ishâq bin Ibrâhîm menceritakan kepada kami (yang
diterima) dari Ibn 'Ulayyah, (Menurut Ibn Ayyûb, Ibn 'Ulayyah
menceritakan kepadanya), (ia menyatakan bahwa) Yûnus menceritakan
kepada kami (yang diperoleh) dari Ibrâhîm bin Yazid al-Taimî (yang ia
dengar) dari ayahnya (yang memperoleh berita) dari Abû Dzar ra
meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa suatu saat, Rasulullah bertanya:
"apakah kamu tahu kemana matahari ini pergi)?" Saya menjawab: "Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah saw kemudian bersabda:
"Sesungguhnya ia (matahari) berjalan sampai berhenti di tempat tinggalnya
di bawah 'Arsy, kemudian bersujud. Ia selalu demikian sampai
diperintahkan kepadanya: "naiklah, kembalikan ke tempat kamu datang."
Lalu ia kembali, dan terbit dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan
sampai berhenti di tempat tinggalnya di 'Arsy, kemudian bersujud. la selalu
demikian sampai diperintahkan kepadanya: "Naiklah, kembalikan ke
tempat kamu datang." Lalu ia kembali, dan tertit dari tempat terbitnya.
Kemudian ia berjalan sehingga manusia tidak dapat mengingkarinya
sampai berhenti di tempat tinggalnya itu di 'Arsy. Kemudian diperintahkan
kepadanya: "naiklah, dan terbitlah dari tempat dimana kamu terbenam."
Lalu ia terbit dari tempat terbenamnya." Kemudian Nabi saw bertanya:
“Tahukah kamu sekalian kenapa demikian? Yang demikian karena iman
seseorang tidak bermanfaat bagi dirinya, dirinya tidak percaya sebelumnya
atau dalam imannya diperoleh kebajikan.
Sementara dari jalur al-Bukhârî terdapat sedikit perbedaan, yaitu ada
kalimat fa tasta'dzin fa yu'dzan (matahari meminta izin kepada Allah
bersujud, lalu diizinkan).
Hadis tersebut, dilihat dari sisi kritik sanad (al-naqd al-khârijn),
memiliki sanad muttasil-marfû', sehingga keberadaannya dapat
dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi saw dan berkualitas shahîh dari
sisi sanad. Namun dari sisi kritik matn (al-naqd aldâkhilî/al-bâthinî), hadis
ini masih mengandung kejanggalan dari sudut pandangan sains.
Kandungan isinya bertentangan dengan ilmu pengetahuan alam, karena
hadis tersebut menunjukkan adanya matahari terbenam pada suatu waktu,
lalu pergi bersujud di bawah ‘Arsy. Secara ilmiah, matahari tidak bergerak,
berputar, bumilah yang bergerak mengitari matahari. Jadi tidak mungkin,
matahari bergerak meninggalkan bumi (meski sesaat). Lebih janggal lagi
dan tidak rasional disebutkan bahwa matahari terbit dari tempat
terbenamnya.
Dilihat dari perspektif ilmu hadis, hadis ini dikategorikan sebagai hadis
musykil atau janggal/aneh. Letak ke-musykilan-nya adalah disebabkan
beberapa hal:
1) Matahari terbenam.
2) Matahari pergi dan berjalan/bergerak.
3) Matahari bersujud di bawah 'Arsy.
4) Matahari meminta izin.
5) Matahari bergerak sehingga menetap di bawah 'Arsy (sebagai
tempat menetapnya)
6) Matahari terbit di tempat terbenamnya.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijadikan dasar untuk memojokkan
dan mengklaim hadis tersebut sebagai hadis yang lemah dari segi matn,
bahkan ada yang menolak hadis terseb.. karena bertentangan dengan
penemuan sains dan fakta empiris
Berkaitan dengan hadis tentang matahari bersujud pada malam hari di
'Arsy, dapat dianalisis lebih mendalam dari perspektif linguistik bahwa
kalimat yang dinilai musykil pada kalimat “matahari bergerak dan
terbenam" sesungguhnya tidak janggal atau aneh. Ungkapan tersebut
adalah ungkapan bahasa majâzî bukan haqîqî. Gaya bahasa yang
digunakan adalah bahasa personifikasi (tasykhîsh), yakni mengungkapkan
sesuatu yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki nyawa, seperti
ungkapan "gunung tenggelam dari ufuk Barat". Kalimat ini tidak berarti
bahwa gunung bergerak tenggelam. Akantetapi ia tetap berada ditempatnya
dan tidak bergerak sedikitipun, karena dia sirna dengan berjalannya waktu
sehingga tidak tampak dilihat oleh mata. Hal yang sama juga dijumpai pada
kalimat “matahari bergerak dan tenggelam". - Kalimat ini bukan ungkapan
hakiki, tetapi kiasan (majâzî), sehingga tidak bertentangan dengan
penemuan sains yang menyatakan matahari tidak bergerak, bumilah yang
bergerak mengelilingi matahari.
Ke-musykil-an kalimat “matahari bersujud di bawah 'Arsy" dapat
diselesaikan dengan menggunakan perspektif kebahasaan. Makna kata
“sujud" dipahami bukan sujud dalam pengertian hakiki sebagaimana sujud
yang dilakukan dalam shalat, tapi dipahami dalam pengertian majâzî, yakni
“tunduk dan patuh (al-inqiyâd wa al-khudha". Al-Qur'an juga
menggunakan istilah sujud ini dalam beberapa ayatnya. Pengertian kata
“sujud” dalam ayat tersebut berarti tunduk dan patuh terhadap ketentuan
yang ditetapkan oleh Allah. Term tunduk dan patuhnya alam tersebut
dikenal dengan sunnatullâh. Oleh sebab itu, matahari, bulan, dan planet
lain akan berjalan sesuai dengan sunnatullâh. Dengan demikian, ungkapan
“matahari bersujud di bawah 'Arsy" yang disebut dalam hadis, dipahami
dalam pengertian "matahari tunduk dan patuh terhadap ketentuan Allah;
matahari akan terbit dan terbenam sesuai dengan sunnatullâh. Jadi,
matahari terbit dari arah timur, dan tenggelam dari arah barat. Matahari
berputar pada porosnya, sedang bumi mengelilingi matahari adalah
sunnatullâh (ketentuan Allah terhadap hukum peredaran jagat raya).
Pemaknaan sujud dalam pengertian majâzî sangat populer di kalangan
ahli bahasa. Sedang kata "di 'Arsy" dalam hadis tersebut digunakan untuk
mendeskripsikan ungkapan secara berlebihan" mubâlaghah fi al-inqiyâd
(berlebih-lebihan dalam ketundukan)", seperti ungkapan "fulân yasjudu
tahta qadamai fulân” (fulan bersujud di bawah kedua telapak kaki fulan),
dan “fulân yasjudu tahta 'arsy al-malik” (fulan bersujud di bawah
singgasana raja) yang dimaknai dengan “benarbenar tunduk dan patuh".
Kata sujud tersebut dimaknai dengan patuh. Oleh sebab itu, ungkapan
“matahari bersujud" sama sekali tidak bertentangan dengan penemuan
sains.
Dalam menyikapi ke-musykil-an kalimat “matahari minta izin
kemudian diizinkari", ungkapan ini dipahami dalam pengertian majâzî.
Maksud dari ungkapan ini adalah tunduk dan patuhnya matahari seolah-
olah semua aktifitasnya menuntut adanya izin dari Allah. Kemudian
digunakan ungkapan dengan gaya bahasa tasykhîs, mempersonifikasikan
benda mati seolah-olah hidup, seperti ungkapan dalam bahasa Indonesia
"coba kita menanyakan pada rumput yang bergoyang." Jadi ungkapan
“matahari minta izin" bukan dipahami secara hakiki seperti apa adanya,
akantetapi dipahami seolah-olah matahari terbit dan terbenam meminta
izin".
Kalimat “Matahari bergerak sehingga menetap di bawah 'Arsy (sebagai
tempat menetapnya)" merupakan kinayah bahwa kembalinya matahari
kepada Allah (rujû'uhâ ilâ Allâh), sehingga menetap di 'arsy manakala hari
kiamat telah datang. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa segala sesuatu akan
diker Allah (wa ila Allah turja'u al-umûr). Sebelum datangnya hari kiamat
tidak ada makhluk apapun yang menetap di sisi Allah.
Adapun ungkapan "matahari terbit di tempat terbenamnya" yang
terdapat dalam hadis, pada hakikatnya merujuk kepada tanda-tanda hari
kiamat sebagaimana disebut dalam beberapa hadis shahih yang
menyatakan bahwa menjelang hari kiamat, matahari akan terbit di tempat
terbenamnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis tentang matahari
bersujud pada malam hari memiliki validitas dan otentisitas yang kuat,
karena sanad-nya muttasil-marfu' berkualitas shahih dan matan-nya juga
shahih serta tidak bertentangan dengan sains. Keterangan Nabi saw dalam
hadis tersebut tidak berisi tentang fakta atau pelajaran sains, tetapi Nabi
saw bermaksud memberikan peringatan agar umatnya memiliki
peningkatan keimanan dengan mengamati tanda-tanda kekuasan Allah
melalui cara menghubungkan antara ciptaan dan Penciptanya.
b) Hadis tentang Makan Korma tidak akan Lapar
Pemahaman hadis Nabi saw memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam menangkap makna pesan Nabi saw. Apabila pemahaman yang
dilakukan tidak tepat, maka hasilnya pun akan tidak tepat sasaran. Hal ini
akan berpengaruh terhadap keakurasian maksud sebenarnya dari pesan
yang ingin disampaikan Nabi saw. Oleh sebab itu, hal yang terkait dengan
hadis Nabi saw ikut berperan dalam menentukan hasil pemahaman, seperti
latar belakang hadis disabdakan, sahabat yang diajak bicara, konteks
pembicaraan, bahasa yang digunakan, bahkan suasana dan Nabi saw saat
menyabdakan hadis.
Sebagai contoh, Nabi pernah bersabda kepada 'Aisyah: “rumah yang
tidak terdapat (menyimpan) korma, penghuninya akan kelaparan"."
Pemahaman terhadap hadis ini dapat menghasilkan beberapa kesimpulan
yang masing-masing dapat berbeda konsekuensi respon terhadap isi
kandungannya. Bagi orang yang memahaminya secara apa adanya tanpa
memperhatikan aspek lain di luar teks, maka bahan makanan yang paling
utama adalah korma, sehingga ia akan selalu tersedia di rumahnya, karena
makanan lain tidak menjadi penting. Sebaliknya, bagi orang yang
memahami hadis dengan melihat aspek di luar teks, maka korma hanya
menjadi makanan sekunder, bahkan tersier. Sedangkan makanan
primernya tetap makanan pokok yang berlaku di daerahnya seperti beras
atau gandum. Jika bahan makanan pokok ini tidak disediakan di rumah,
meskipun korma tersedia, maka tetap saja penghuninya akan kelaparan.
Oleh sebab itu, hadis ini tampak musykil dan bertentangan dengan sais,
karena persediaan bahan pangan yang diprioritaskan untuk ketahanan
pangan adalah makanan pokok yang berlaku di daerah masing-masing.
Hadis tentang korma sebagai bahan ketahanan pangan diriwayatkan
oleh beberapa ulama hadis antara lain: Imam Muslim, Iman al-Tirmîdzî,
Abu Dâwud, Ibn Majah, Imam al-Dâruquthnî. Salah satu hadis tersebut
dapat dilihat berikut:

‫حدثنا عبد هللا بن مسلمة بن قعنب حدثنا يعقوب بن حممد بن طخالء عن أيب الرجال‬

‫حممد بن عبد الرمحن عن أمه عن عائشة قالت قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اي‬

‫عائشة بيت ال متر فيه حياع أهله اي عائشة يت ال متر فيه حياع أهله أو جاع أهله قاهلا‬

.‫مرتني أو ثالاث‬
'Abdullâh bin Maslamah bin Qa'nab menceritakan kepada kami (ia
berkata), Ya'qûb bin Muhammad bin Thahlâ (yang berasal) dari Abî al-
Rijal Muhammad bin 'Abd al-Rahmân (yang bersumber) dari Ibunya (yang
berasal) dari 'Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: "Wahai 'Aisyah,
rumah yang tidak ada (mempunyai) korma, penghuninya lapar", Hal ini
disampaikan dua sampai tiga kali.
Hadis tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat mendalam
karena memiliki daya jangkauan pemikiran Nabi saw yang antisipatif ke
depan dalam rangka mempertahankan pangan dari kemungkinan terjadinya
paceklik dan kelaparan.
Tamr adalah buah pohon korma (al-nakhl/al-nakhîl) dari sejak mengerut
ke siap dipetik sampai masak. Beberapa istilah yang dikenal untuk
menunjuk buah korma dikenal al-busr (buah korma yang hampir masak),
dan al-ruthab (buah korma yang sudah masak). Keduanya tidak dapat
bertahan lama pasca musim berbuah, kecuali al-ruthab yang diawetkan di
freezer atau dimasukkan dalam kulkas. Adapun al-tamr adalah buah korma
yang dikeringkan sehingga mampu bertahan sampai setahun. Al-Busr
adalah al-tamr yang masih segar dan belum dikeringkan.
Pohon korma termasuk dalam rumpun tanaman palmae yang terdiri dari
beberapa jenis. Jenis yang terpenting adalah korma tamr (nakhîl tamr) dan
korma berminyak (nakhîl al-zait). Macam dari nakhîl al-zait lebih kurang
15 macam. Adapun macam dari nakhîl al-tamr lebih dari 1000 macam,
yang 400 macam berada di Jazirah Arab, dan 600 lainnya di Irak.
Al-Qur'an memberikan penjelasan korma dalam beberapa Surat. Pohon
kurma berulang sebanyak 20 kali: dengan kata al-nakhl atau al-nakhlah
disebut sendiri sebanyak tujuh kali, disebut berbarengan dengan anggur,
zaitun dan delima sebanyak satu kali, disebut berbarengan dengan zaitun
dan delima sebanyak satu kali, disebut berbarengan dengan anggur dan
zaitun satu kali dengan kata al-nakhîl, disebut berbarengan dengan żaitun
satu kali, dan disebut berbarengan dengan delima satu kali. Sedangkan
lainnya disebut dengan berbarengan dengan anggur. Oleh karena itu, Allah
memberikan keistimewaan kepada pohon kurma dan anggur dari pohon
yang lain sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah al-Ra'd berikut ini:
"Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama.
Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian
yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Tamr adalah buah korma yang memiliki kandungan unsur karbohidrat
yang dibutuhkan tubuh manusia, antara lain gula, fibers (alyâf), protein,
pelumas, dan sejumlah komposisi mineral yang penting, serta vitamin-
vitamin yang diperlukan bagi kehidupan manusia. Analisis kimia terhadap
kandungan tamr menetapkan bahwa tamr yang kering mengandung 70%
karbohidrat (yang terbesar adalah glukosa); 2,5% protein; 1,32% garam
mineral (al-amlâh al-ma'daniyyah) yang meliputi komposisi kalsium, zat
besi, fosfor (phosphorous), magnesium, potassium, tembaga, logam
(manganese), cobalt, dan séng (zinc); dan 10% fibers, serta beberapa
vitamin A, B1, B2, C, dan antioksida (mudhâddât al-uksidah), dan
komposisi kimia yang penting.
Tamr dengan segala bentuknya untuk konsumsi makanan dapat
bertahan selama setahun atau lebih tanpa mengalami kerusakan, sehingga
dapat menjadi bahan cadangan pangan yang efektif dapat disimpan dalam
tempo yang lama. Oleh sebab itu, Nabi saw melalui hadis tersebut,
menyampaikan informasi ilmiah yang sangat cerdas untuk selalu
menyediakan tamr ini sebagai bahan persediaan pangan jangka panjang
(penghuni rumah tidak akan mengalami kelaparan kalau di rumah selalu
tersedia korma). Hal ini disebabkan adanya kandungan materi yang dapat
mencegah parasit (al-thufailiyyât) dan bakteri (al-jarâtsîm).
Adapun kegunaan korma (tamr) dari sisi medis adalah sebagai makanan
yang penting untuk sel saraf. (al-khalâya al-'ashabiyah = nerve cell),
mengusir racun, bermanfaat sebagai konsumsi penderita gagal ginjal (al-
fasyal al-kulwiyy), gangguan kandung empedu, menaikkan tekanan darah,
menyembuhkan ambeien, penyakit tulang (al-niqris), obat pengendor otot
alami, memperkuat pendengaran dan penglihatan, menstimulasi gerakan
rahim, memperkuat urat rahim sehingga memudahkan proses kelahiran
norkarena kandungan hormon-hormon yang membantu proses tersebut.
Dengan demikian, hadis tentang korma ini tidak bertentangan dengan
sains dan nalar manusia. Bahkan hadis Nabi saw ini memberikan bukti
ilmiah dari manfaat korma yang tidak saja dapat dimanfaatkan untuk
persediaan bahan pangan keluarga, tetapi dapat digunakan juga untuk
manfaat medis.
2. Hadis hadis musykil perspektif logika
a) Hadis tentang Nabi Musa menempeleng malaikat
Hadis yang menginformasikan Nabi Mûsa as menempeleng malaikat,
meskipun terdapat sedikit variasi matan, dapat dijumpai dalam beberapa
kitab hadis antara lain dalam kitab yang disusun oleh Imam al-Bukhârî,'
Imam Muslim, dan lain-lain. Salah satu redaksi sanad dan matn-nya dapat
dilihat dalam kitab Shahîh Muslim sebagai berikut:

‫حدثنا حممد بن رافع حدثنا عبد الرزاق حدثنا معمر عن مهام بن منبه قال هذا ما حدثنا‬
‫أبو هريرة عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال جاء ملك املوت إىل موسی عليه السالم‬
‫فقال له أجب ربك قال فلطم موسى عليه السالم عني ملك املوت ففقأها قال فرجع‬
‫امللك إىل هللا تعايل فقال إايك أرسلتين إىل عبد لك ال يريد املوت وقد فقأ عيين قال فرد‬
‫هللا إليه عينه وقال ارجع إىل عبدي فقل احلياة تريد فإن كنت تريد احلياة فضع يدك علی‬
‫منت ثور فما توارت يدك من شعرة فإنك تعيش هبا سنة قال مث مة قال مث متوت قال فاآلن‬
‫من قريب رب أمتين من األرض املقدسة رمية حبجر قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
.‫وهللا لو أتى عنده ألريتكم قربه إىل جانب الطريق عند الكثيب األمخر‬
"Muhammad bin Râfi' menceritakan kepada kami (berkata) 'Abd al-Razzaq
menceritakan kepada kami, (berkata). Ma'mar menceritakan kepada kami
(yang ia peroleh) dari Hammâm bin Munabbih (yang berkata bahwa): "ini
(adalah berita) yang diceritakan Abû Hurairah kepada kami (yang ia dapat)
dari Rasulullah saw (bahwa Beliau) bersabda: "Malaikat maut datang
kepada Musa as seraya berkata: "Jawablah (panggilan) Tuhanmu".
Kemudian Mûsa as menempeleng Malaikat maut itu dan menyebabkan
bola matanya keluar. Malaikat kembali kepada Allah seraya berkata:
“Engkau mengutus saya kepada hamba yang tidak menghendaki kematian,
sehingga bola mata saya keluar seperti ini". Allah mengembalikan matanya
dan berfirman kepadanya: "Kembalilah kepada hamba- . Ku kemudian
katakan kepadanya apakah anda ingin tetap hidup. Jika anda ingin tetap
hidup, letakkan tanganmu di atas punggung lembu jantan, dari setiap
rambut yang ditutupi oleh tanganmu, anda akan hidup satu tahun." (Setelah
diterangkan kepada Mûsa) Mûsa bertanya: "Setelah itu bagaimana?" Allah
berfirman: "Setelah itu anda mati." Mûsa menjawab: "Jika demikian, (saya
ingin mati) se karang, (seraya meminta kepada Tuhannya) dekatkanlah
tanah suci sejauh lemparan batu." Kemudian Rasulullah saw bersabda:
"Jika saya di sana, akan saya tunjukkan kuburnya berdekatan dengan bukit
pasir merah."
Dari sisi kritik sanad (al-naqd al-khârijn), hadis-hadis tentang Mûsa
menempeleng malaikat ini memiliki sanad muttasil, sehingga termasuk
hadis marfû' dan berkualitas shahîh. Namun dari kritik matn (al-naqd al-
dâkhilîl/al-bâthini), hadis ini masih diperdebatkan oleh sebagian kecil
ulama, karena kandungan isinya bertentangan dengan nalar dan logika
manusia. Karenanya, hadis ini dikategorikan sebagai hadis aneh atau
janggal. Letak kemusykilannya disebabkan oleh beberapa kejanggalan
berikut:
1) Jika seseorang menempeleng orang lain dan berakibat memberikan
cacat orang lain, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan fasik.
Bagaimana dengan hal ini jika dilakukan terhadap malaikat?
2) Apakah malaikat maut dapat dilihat oleh orang?
3) Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Mûsa as tidak
mengetahui bahwa dirinya akan meninggal. Bahkan Nabi Mûsa as
ragu akan keabadiannya
4) Mengapa malaikat maut tidak mampu melaksanakan perintah Allah
untuk mencabut nyawa Musa as sehingga dia kembali kepada-Nya
dengan tangan hampa?
5) Mengapa Nabi Mûsa as tidak mau menerima umur yang diberikan
oleh Allah sejumlah rambut yang tertutup tangannya?
Ke-musykil-an hadis tentang Nabi Mûsa as menempeleng malaikat
maut–karena tidak logis—tidak menjadikan hadis ini dhai’f (lemah) dari
segi matn. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pada awalnya, Nabi Mûsa as tidak mengetahui kalau yang
datang tersebut adalah malaikat yang diutus oleh Allah swt. Yang tampak
di hadapannya adalah seorang laki-laki datang dan ingin menciderainya.
Jika ada orang datang, lalu dia hendak mencelakakan bahkan ingin
membunuhnya, maka tentu orang tersebut boleh atau justru wajib membela
diri.
Kedua, secara anatomis, malaikat memang tidak memiliki konstruksi
fisik seperti manusia. Namun dalam beberapa riwayat, malaikat dapat
berubah wujud dalam bentuk manusia.
Ketiga, kalimat tanya (istifhâm) yang terdapat dalam hadis Nabi saw
tidak dapat disimpulkan dengan "ketidaktahuan atau keraguan Nabi Musa
as akan datangnya kematian", sehingga bertanya tsumma mah/mâdzâ?
(kemudian setelah itu bagaimana?).
Keempat, Kematian adalah sesuatu yang mutlak bagi setiap - manusia.
Kematian juga telah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah swt, serta tidak
ada seorang pun yang mampu mengubah atau menunda kematian.
Kelima, Perbuatan menempeleng yang dilakukan oleh Nabi Mûsa as
terhadap malaikat bukan didasarkan pada ketidaksukaan atau penolakan
Nabi Mûsa terhadap kematian, tetapi disebabkan karena Nabi Mûsa as
tidak mengetahui kalau yang datang adalah malaikat maut.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hadis Nabi saw tentang Nabi
Musa as memukul malaikat maut tidak mengandung ke-musykil-an, dan
tidak bertentangan dengan nalar atau logika manusia, serta sesuai dengan
ajaran agama Islam. Bahkan hadis ini dicantumkan dalam Shahih al-
Bukhârî dan Shahih Muslim, yang diakui dan disepakati kedudukannya
oleh ulama sebagai ashahh al-kutub ba’da al-Qur’an.
b) Hadis tentang Nabi Musa mandi telanjang di depan umum
Menurut hukum islam secara fiqh, mandi dalam keadaan telanjang di
tempat menyendiri (tidak diketahui orang lain) itu dibolehkan, namun jika
di tempat umum atau terbuka dan ada kemungkinan terlihat oleh orang lain
itu tidak diperbolehkan. Terdapat suatu riwayat bahwasanya Nabi pernah
menceritakan satu peristiwa dimana Nabi Musa mandi menyendiri di
tempat terbuka, shingga ada kemungkinan untuk dilihat orang. Salah satu
bunyi redaksi hadisnya sebagai berikut:

‫حدثين حممد بن رافع حدثنا عبد الرزاق أخربان معمر عن مهام بن منبه قال هذا ما حدثنا‬
‫أبو هريرة عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فذكر أحاديث منها وقال رسول هللا صلى هللا‬
‫عليه وسلم كانت بنو إسرائيل يغسلون عراة ينظر بعضهم إىل سوأة بعض وكان موسى عليه‬
‫السالم يغتسل وحده فقالوا وهللا ما مينع موسى أن يغتسل معنا إال أنه آدر قال فذهب مرة‬
‫يغتسل فوضع ثوبه على حجر ففر احلجر بثوبه قال فجمح موسی أبثره يقول ثويب حجر‬
‫ثويب حجر حىت نظرت بنو إسرائيل إىل سوأة موسى فقالوا وهللا ما مبوسی من أبس فقام‬
.‫احلجر بعد حىت نظر إليه قال فأخذ ثوبه فطفق ابحلجر ضراب‬
Muhammad bin Râfi' menceritakan kepada saya (berkata), 'Abd al-Razzaq
menceritakan kepada kami (berkata), Ma’mar memberitahukan kepada
kami (yang diperoleh) dari Hammâm bin Munabbih yang berkata: “Ini
adalah cerita yang dituturkan oleh Abû Hurairah kepada kami (yang
diperoleh) dari Rasulullah saw, kemudian dia menyebut hadis-hadis antara
lain, Rasulullah saw bersabda: “Bani Isra'il (kalau) mandi (bersama-sama)
dalam keadaan telanjang, (sehingga) sebagian mereka dapat melihat aurat
yang lain. Namun, Musa as mandi (selalu) menyendiri, (akhirnya)
kemudian mereka berkata: "Demi Allah, Musa tidak mau mandi bersama
kami karena ia memiliki dua buah dzakar yang besar. Nabi saw
(meneruskan) berkata: "Suatu ketika, Musa pergi mandi dan meletakkan
pakaiannya di atas batu, lalu bergeraklah batu itu membawa pakaiannya,
Nabi saw (masih bercerita) berkata: "Musa mengejar batu yang membawa
pakaiannya seraya berteriak "Wahai batu, pakaian saya...pakaian saya!!,
(Batu terus bergerak) sampai kemudian (akhirnya) Bani Isra'il melihat
kemaluannya. Mereka (setelah melihat itu) berkata: "Musa (ternyata) tidak
memiliki persoalan (dengan kemaluannya)". Kemudian batu berhenti
hingga Musa dapat mengambil pakaiannya, lalu Musa memukul batu
tersebut.
Meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dan Imam
Muslim, namun dari segi matn dinilai musykil oleh beberapa kalangan
yang ingin mendistorsi kualitas hadis, karena tidak sejalan dan selaras
dengan nalar atau logika manusia. Bagaimana mungkin seorang Nabi Mûsa
as mandi di ruang terbuka dengan tanpa mengenakan sehelai pakaianpun,
sehingga terlihat kemaluannya di hadapan umum? Selain itu, bagaimana
mungkin sebuah batu dapat berjalan atau bergerak dengan sendirinya? Hal
tersebut adalah aneh dan sulit diterima akal manusia.
Dimensi kejadian yang terdapat dalam hadis Nabi saw adalah
"terlihatnya kemaluan Mûsa as oleh Bani Isra'il": Sementara aktor sejarah
dalam hadis Nabi saw tersebut adalah Nabi Mûsa as dan kaum Bani Isra'il.
Relevansi kejadian dunia yang sudah lewat dengan dunia nyata pada saat
Nabi saw menyabdakan hadis adalah "ketersinambungan mata rantai
syari'at yang diajarkan oleh para Nabi." Inilah yang menjadi inti dari isi
kandungan hadis Nabi saw.
Kalimat dalam hadis Nabi saw yang menyatakan "Bani Isra'il (kalau)
mandi (bersama-sama) dalam keadaan telanjang" menjadi pengetahuan
bagi umat Nabi Muhammad saw bahwa syari'at agama yang dibawa Nabi
Mûsa as memiliki perbedaan dalam aspek tertentu, khususnya etika mandi.
Mandi dalam keadaan telanjang dan dilakukan secara berbarengan, bahkan
di tempat terbuka sekalipun untuk konteks zaman Mûsa as merupakan hal
yang biasa dan diperbolehkan dalam syari`at Nabi Mûsa as.
E. Catatan Kritis Penulis
Pemahaman literal terhadap teks keagamaan (al-Qur'an dan Hadis Nabi saw)
tidak jarang memunculkan problem atau keganjilan-keganjilan pemikiran dalam
menangkap pesan, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan pada kenyataan
sosial, hakikat ilmiah, sains dan teknologi, atau keagamaan itu sendiri. Sebaliknya,
tidak sedikit pemahaman kontekstual juga mengalami hal yang sama, terlalu bebas
dan kadang terlepas jauh dari teks yang sesungguhnya. Karenanya, pemahaman
hadis Nabi saw menjadi sesuatu yang unik, kompleks, memerlukan kejelian, dan
ketelitian yang sangat jelimet, serta terkadang membutuhkan perangkat keilmuan
multidisiplin yang relevan.
Pada zaman dahulu, sebagian ulama sudah merasa puas dengan menyatakan wa
Allâh a'lam atau Allâh a'lam bi murâdih (Allah yang mengetahui maksud-Nya).
Akan tetapi, tatkala problem sosial dan ilmu pengetahuan semakin kompleks
seperti sekarang ini, maka literalisme seringkali tidak memuaskan pemikiran
banyak pihak. Bahkan pada gilirannya berpotensi untuk memunculkan sikap
keraguan dari sebagian orang terhadap otentisitas hadis Nabi saw, karena isinya
secara literal bertentangan dengan sains, logika, atau nalar manusia, padahal hadis
tersebut diriwayatkan oleh para imam hadis yang diakui kredibilitasnya dalam
periwayatan hadis.
Manakala menghadapi pertentangan antara bunyi hadis saw secara literal
dengan sains atau berlawanan dengan akal, maka langkah yang terbaik adalah:
1. Mendiagnosa hadis Nabi saw dari aspek sanad dan matn dengan
menggunakan kaedah kesahihah hadis melalui kritik eksternal (al-naqd al
khariji) dan kritik internal. (alnaqd al-dâkhili). Diagnosis ini penting untuk
menetapkan otentisitas dan validitas sebuah hadis itu benar-benar
bersumber dari sabda Nabi saw, ataukah berita tersebut datang dari
penuturan sahabat tentang perbuatan Nabi saw.
2. Setelah hasil diagnosa diketahui bahwa hadis tersebut otentik dan valid
berasal dari Nabi saw serta berkualitas shahîh, maka selanjutnya dilakukan
analisis dengan melihat teks dan konteks di luar teks yang meliputi latar
belakang munculnya, tujuan Nabi saw menyabdakan, siapa yang diajak
bicara dan bagaimana keadaannya, setting sosial, bahasa yang digunakan,
dalam konteks apa disabdakan. Namun apabila dijumpai hadis tersebut
otentik dan valid berasal dari sahabat yang telah diakui keadilannya, serta
berisi informasi terhadap perbuatan yang dilakukan Nabi saw (sunnah
fi'liyyah), maka langkah berikutnya meng analisis rasionalisasi dari isi
kabar dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diakibatkannya.
3. Membedah substansi materi hadis musykil yang bertentangan dengan sains
atau akal tersebut apakah disampaikan nabi saw untuk memberi informasi
ilmu pengetahuan, ataukah hanya sekedar menjelaskan kenyataan yang
berkembang sesuai dengan suasana pada saat itu, ataukah Nabi saw hanya
bermaksud memberikan warning, peringatan yang dapat dijadikan i'tibar,
pelajaran bagi umatnya.
4. Memilah dimensi makna kebahasaan yang digunakan dalam hadis Nabi
saw apakah menggunakan pola sebenarnya (haqiqi) atau kiasan (majazi).
5. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw saat menyabdakan hadis apakah
dibimbing wahyu atau hanya memberikan informasi keadaan yang sesuai
dengan suasana masyarakat pada waktu itu, dengan mencermati tema
pembicaraan dalam hadis, seperti tema eskatologis dan alam ghaib, yang
hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa bimbingan wahyu.
6. Mengelompokkan hadis Nabi saw ke dalam beberapa kategorisasi: (a)
hadis yang berisi ajaran pokok agama seperti akidah dan ibadah; (b) hadis
yang berisi ajaran yang bersifat ijtihad Nabi saw sebagai pemimpin seperti
kepala negara, komandan peperangan, dan urusan kemasyarakatan; (c)
hadis yang bersifat tindakan keseharian sebagai uswah hasanah (suri-
tauladan yang baik) seperti etika berpakaian, etika tidur, etika pergaulan,
dan sebagainya. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk menempatkan
hadis pada porsinya agar diperoleh gambaran urgensi dan signifikansinya
dalam kehidupan.
7. Menggunakan landasan ayat-ayat al-Qur'an dan hadis lain yang relevan
serta pendapat ulama yang relavan untuk memperkuat bahan analisis
terhadap pemahaman yang akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai