ABSTRAK
Tujuan kajian ini ialah untuk memperkenalkan pemikiran Muhammad Musthofa Azami yang
merupakan ilmuwan hadis dan memadukan metodologi barat (kritik sejarah) dan
metodologi kritik hadis/sanad yang dikembangkan oleh ulama terdahulu yang sudah mapan.
Azami salah satu pemikir hadis yang menolak kesimpulan sarjana barat akan kajian hadis.
Beliau secara terang - terangan mengkritik tajam atas pemikiran Schacht terkait keshahihan
hadis. Kritik azami bukan ditujukan kepada pandangan sarjana barat tetapi menyerang
pada metode yang mereka gunakan karena metode yang digunakan sepenuhnya
menggunakan alur ilmiah tetapi sering kali dibelokkan untuk kepentingan tidak ilmiah.
Dalam hal ini penulis juga menunnjukkan bagaiamana untuk memperoleh otentisitas hadis,
menurut Azami maka seseorang harus melakukan kritik hadis baik sanad maupun matannya.
Sehingga kajian ini menghasilkan cara untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para
orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis.
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Badrus Sholeh Kediri
81 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
PENDAHULUAN wahyu Allah yang diturunkan secara
Latar Belakang Masalah mutawatir, dari sisi otoritas sumbernya
Posisi Al-Qur’an sebagai sumber mampu memberikan keyakinan yang
utama dalam Islam, telah menjadi pasti (qath’I al-tsubut). Namun tidak
kesepakatan oleh para Ulama. Namun, hal demikian dengan hadis, yang mayoritas
yang sama tidak terjadi pada hadis, periwayatan tidak dilakukan secara
karena ada sejumlah umat Islam yang mutawatir namun ahad. Konsekuensi dari
tidak mengakui posisinya sebagai sumber proses periwayatan secara ahad ini,
hukum Islam kedua, yakni kelompok menjadikan nilai hadis tidak mampu
munkir al-sunnah. Pada umumnya umat memberikan keyakinan yang pasti atas
Islam tanpa menafikan adanya kelompok otoritas kesumberannya. Oleh karena itu,
umat yang menamakan dirinya sebagai seshahih apapun sebuah hadis, hanya
munkir al-sunnah yang dengan demikian mampu berada pada tingkat diduga kuat
mengingkari posisinya sebagai sumber berasal dari Nabi (dzanni al-wurud),
tasyri’ Islam kedua dalam stratifikasi kecuali pada hadis-hadis yang mutawatir
sumber hukum Islam. Kedua sumber yang jumlahnya relatif sedikit.2
hokum ini saling terkait dan merupakan Telah kita ketahui, kemunculan
satu kesatuan yang utuh dalam konteks orang-orang orientalis yang meneliti
perannya memberikan tuntunan hidup hadis Nabi seperti yang dilakukan oleh
manusia. Jika al-Qur’an merupakan Ignas Goldziher dimana hasil
sumber utama yang berisi prinsip-prinsip penelitiannya dipublikasikan pada tahun
pokok kehidupan yang diterangkan 1890 dengan judul “Muhammedanische
secara global (mujmal), maka hadis Studien”. Dan sejak saat itu hingga kini,
merupakan mubayyin dan tuntutan kitab itu dikalangan orang-orang
operasionalnya. Mengingat posisi hadis orientalis dijadikan semacam “kitab suci”
yang demikian strategis sebagai salah yang menjadi anutan peneliti-peneliti lain.
satu sumber pokok ajaran Islam, maka Lebih kurang enam puluh tahun setelah
kajian-kajian terhadapnya menjadi sangat buku itu terbit, Prof. Schacht juga meneliti
urgent dilakukan. Kajian dimaksud tidak sumber-sumber hadis-hadis fiqih (hadis-
hanya menyangkut matannya, tetapi lebih hadis yang menjadi rujukan hukum Islam)
penting dilakukan pertama adalah kajian selama lebih dari sepuluh tahun. Hasil
pada sanadnya.1 penelitiannya kemudian diterbitkan
Historisitas hadis berbeda dengan dalam sebuah buku berjudul “The Origin
historisitas al-Qur’an. Pebedaan dimaksud of Mohammad Jurisprudence”.
terletak di antaranya pada konteks Evolusi sikap Schacht terhadap
kemunculan, proses periwayatan, dan Islam hanya nampak ketika ia
penulisannya. Al-Qur’an yang merupakan menuangkan gagasannya pada dua karya
1 Umi Sumbulah dkk, Studi al-Qur’an dan Hadis, 2Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang:
(Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm. 2-3. UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 2-3.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 82
tulis ilmiahnya The origin of Muhammad murid beliau yaitu Ali Mustafa Ya’qub
Jurisprudence serta An Introduction to yang berjudul “Hadis Nabi dan Sejarah
Islamic Law.3 Schacht berkesimpulan Kodifikasinya”, hasil penelitian inilah yang
bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang kelak akan mematahkan dan menyanggah
shahih (autentik), terutama hadis-hadis penelitian Schacht dan orientalis pada
fiqih. Dan sejak saat itu buku tersebut umumnya terkait dengan otentisitas hadis
menjadi “kitab suci kedua” di kalangan Nabi.
orang-orang orientalis. Dan apabila Ignaz
Goldziher berhasil “meragukan” orang Biografi M.M Azami
terhadap kebenaran hadis Nabi, maka Azami mempunyai nama lengkap
Prof. Schacht lebih dari itu, ia berhasil Muhammad Mustafa Azami, lahir di kota
“meyakinkan” orang bahwa apa yang Mano, India Utara, tahun 1932.7
sering disebut hadis itu tidak autentik Kata Azami atau A’zhami adalah
berasal dari Nabi Muhammad SAW.4 nisbah pada daerah Azamgarh. Azami
Pandangan Goldziher tentang hadis dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu
diungkapkan dalam bukunya “Dirasat pengetahuan khususnya keislaman
Islamiyah dan al-‘Aqidah Wa al-Shari’ah fi (hadis) dan sangat membenci ideologi
al-Islam”.5 Ignaz Goldzhiher merupakan imperalisme. Tidak heran jika ayahnya
sarjana yang karyanya tidak perlu sendiri amat membenci bahasa Inggris
dipertanyakan sebagai kritik hadis dan melarangnya untuk mempelajari
terpenting di abad 19. Ia seorang sarjana bahasa tersebut. Kenyataan ini
pertama yang fokus pada kritik hadis dirasakannya ketika ia dilarang ayahnya
dengan pendekatan historis kritis.6 masuk pendidikan yang menggunakan
Dari sini latar belakang M.M. Azami bahasa Inggris dan lebih mengarahkan
melakukan penelitian secara mendalam kepada pendidikan agama dan
tentang otentisitas hadis Nabi dari aspek menggunakan pengantar bahasa Arab
sejarah kodifikasinya, yang tertulis dalam dalam studinya, dan disinilah hadis dan
bukunya yang berjudul “Studies in Early ilmu hadis dipelajarinya.8
Hadith Literature” yang diterjemahkan ke Hal ini dimaklumi sebab daerah
dalam bahasa Indonesia oleh salah satu India kala itu merupakan daerah jajahan
Inggris. Dampak dari penjajahan itu
3Ucin Muksin, “Al-Hadits dalam Pandangan adalah hancurnya kesatuan rakyat India
Orientalis (Joseph Schacht),” Jurnal Ilmu Dakwah, menjadi kepada kelompok-kelompok
4 (Januari-Juni, 2008), hlm. 1163.
4M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 3.
5Ummu Iffah, “Pandangan Orientalis Terhadap 7M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Sunnah (Telaah Kritis atas Pandangan Goldziher),” Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Kontemplasi, 1 (Agustus, 2010), hlm. 197. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 700.
6Muh. Zuhri, “Perkembangan Kajian Hadits 8Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M.
Kesarjanaan Barat,” Ulul Albab, 16 (2015), hlm. Mustafa Azami,” Journal of Quran and Hadith
218. Studies, 3 (2014), hlm. 121-122.
83 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
kecil sehingga mudah dikuasai.9 Azami ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau
salah seorang cendekiawan bidang hadis kembali ke tanah airnya, India.11
yang memang cukup berbeda bila Tahun 1956 Azami diangkat sebagai
dibandingkan dengan para tokoh lain Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang
sewaktu belajar di pusat orientalis atau non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau
negara non-Muslim. Fokus kajiannya diangkat sebagai Sekretaris
cenderung kepada kajian di bidang hadis Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-
dan ilmu hadis. Azami merupakan peneliti Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 Azami
yang ikut andil dalam perdebatan kajian melanjutkan studinya lagi di Universitas
hadis di Barat bersama para orientalis. Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar
Ciri khusus dari spesialisasi Azami adalah Ph.D tahun 1966 dengan disertasi
mengkritik pandangan mereka terhadap berjudul Studies in Early Hadits Literature.
kajian Islam, khususnya hadis Nabi SAW. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untu
Riwayat pendidikan Azami cukup memegang jabatan semula. Tahun 1968
dipengaruhi oleh bimbingan dan arahan beliau mengundurkan diri dari
ayahnya. Kemanapun pendidikan masa jabatannya di Qatar dan pindah ke
kecil Azami selalu dalam arahan orang tua Makkah untuk mengajar di Fakultas
dan bukan kemauan pribadi Azami Pascasarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi
semata. Azami memiliki ayah seorang Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini
pencari ilmu dan benci jajahan, termasuk Universitas Umm al-Qura’). 12
bahasa Inggris.10
Tamat dari sekolah Islam, Azami Kegelisahan Akademik
lalu melanjutkan studinya di Collage of Sejak masa lalu umat Islam sepakat
Science di Deoband, sebuah perguruan untuk menerima hadis dan
terbesar di India yang juga mengajarkan menjadikannya sebagai sumber hukum
studi Islam, dan tamat tahun 1952. Islam yang wajib dipatuhi. Pada masa lalu
Kemudian Azami melanjutkan studinya di juga sudah terdapat sejumlah orang atau
Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, kelompok yang menolak hadis, tetapi hal
Universitas al-Azhar Kairo, dan tamat itu lenyap pada akhir abad atau paling
pada tahun 1955 dengan memperoleh tidak pada akir abad ketiga. Penolakan
hadis ini muncul kembali pada abad
ketiga belas hijri yang lalu, akibat
pengaruh penjajahan Barat terhadap
dunia Islam.
9Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis”, hlm. 121-
122. Lebih jelas lihat Masykur Hakim, “Dari India
untuk Dunia: Peran Darul Ulum Doeband dalam
Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam 11M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Refleksi Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Hidayatullah Jakarta, (Vol. XI, No. 2, 2009) hal 135 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 700.
10Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis”, hlm. 122. 12 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 700.
13 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 50. 14 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 3.
85 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
langsung disandarkan pada Nabi sebagai menunjuk arti ‘tata cara, jalan, perilaku
syar’i. Sunnah secara etimologi diartikan hidup, syari’ah, dan jalan hidup’. Dan ini
dengan tata cara atau jalan yang dilalui adalah arti yang sebenarnya. Kalaupun
dahulu kemudian diikuti oleh orang- orang-orang jahiliyah atau penganut
orang belakangan, baik maupun buruk. animisme menggunakan sebuah kata
Adapun sunnah bagi ulama hadis adalah dalam bahasa Arab untuk arti yang
sabda, perkataan, ketetapan, sifat atau etimologis (harfiyah, lughowiyah), maka
tingkah laku yang langsung disandarkan hal itu tidak menjadi istilah jahiliyah atau
pada Nabi Muhammad SAW. 15 animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka
Menurut pengarang kitab Lisan al- bahasa Arab pun seluruhnya juga istilah
‘Arab mengutip pendapat Syammar, jahiliyah, dan ini tentu tidak akan
sunnah pada mulanya berarti cara atau diterima oleh akal yang sehat.18
jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang Sedangkan pendapat Margoliouth yang
dahulu kemudian diikuti oleh orang- mengatakan bahwa ‘sunnah’ pada masa
orang belakangan. Al-Tahanuwi juga awal Islam berarti ‘hal-hal yang sudah
berpendapat bahwa sunnah menurut menjadi tradisi’ adalah bertentangan
etimologi berarti tata cara, baik maupun dengan teks-teks yang menjadi
buruk.16 Sedang menurut istilah rujukannya. 19
24M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 108. 25M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 121-122.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 88
tulisan hadis para Tabi’in Muda 5. Penyebaran Hadis (Tahammul al-
(sebanyak 99 Tabi’in Muda). Beberapa ‘Ilm)
sahabat yang menulis Hadis diantaranya Para ulama dan peneliti lebih-lebih
adalah Abu Bakar al-shiddiq (w. 13 H), para pembaca umumnya masih banyak
Abu Musa al-Asy’ari (w. 42 H), Aisyah yang beranggapan bahwa hadis Nabi SAW
binti Abu Bakar (w. 58 H), Ali bin Abi tersebar secara lisan dari generasi ke
Thalib (23 SH-40 H), Abu Hurairah (w. 59 generasi. Seperti pendapat yang masyhur
H), Anas bin Malik (w. 93 H), dll. Diantara dari Malik bin Anas, dimana beliau
nama-nama Tabi’in Tua yang menulis mengatakan bahwa orang yang pertama
hadis yaitu, Umar bin Abd Aziz (w. 101 kali yang mentadwin hadis adalah Ibnu
H), Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H), Syihab al-Zuhri, adalah suatu kekeliruan
Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i (w. 96 H), pendapat yang mengatakan bahwa orang-
Abu Salamah bin Abd a-Rahman (w. 104 orang yang pertama kali menulis hadis
H), dst. Kemudian diantara Tabi’in Muda adalah al-Zuhri. Namun sejatinya
yang menuliskan Hadis adalah Ibrahim penulisanan hadis sudah dimulai sejak
bin Jarir bin Abdullah al-Bajali (w. 120 H), Nabi Muhammad SAW masih hidup, dan
Ibrahim bin Abd al-A’la (w. 125 H), hal itu berlangsung sampai kurun-kurun
Ibrahim bin Muslim al-Hajari (w. 130 H), sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti
Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w. 123 meniadakan adanya penyebaran hadis
H), dsb.26 secara lisan, atau meniadakan adanya
Adapun sebagai contoh, sahabat Ali pembuktian hadis berdasarkan kekuatan
menulis hadis yang diimla’kan langsung hafalan.28
oleh Nabi: Sejak pertengahan abad pertama
دعا رسول:قالت أم سالمة زوج النبى صلى هللا عليه وسلم hijri kitab-kitab hadis yang ditulis oleh
هللا صلى هللا عليه وسلم بأديم وعلي بن أبى طالب عنده فلم para murid (tabi’in) mulai muncul, sedang
يزل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يملى وعلي يمتب حتى materinya banyak diambil dari “kuliah”
.مأل بطن األديم وظهره وأكارعه para sahabat. Kitab yang pertama kali
“Ummu Salamah, istri Nabi SAW ditulis oleh para murid itu sepanjang
berkata: Rasulullah SAW minta pengetahuan Azami adalah kitab Basyir
diambilkan kulit, dan Ali bin Abi bin Nahik dan Hammam bin Manabbih,
Thalib berada di sisi Rasulullah SAW. keduanya adalah murid Abu Hurairah.29
Rasulullah SAW lalu mengimla’kan Sejak perempat ketiga dari abad
hadisnya, dan Ali menulisnya sampai pertama, ahli-ahli hadis sudah
kulit tersebut penuh dengan tulisan, menggunakan metode athraf, yaitu
baik di luar, dalam, maupun ujung- menulis pangkal suatu hadis sebagai
ujungnya”.27 petunjuk kepada materi hadis seluruhnya.
Yang pertama kali memakai metode ini
26M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 132-140.
27M.M. Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa
Tarikhi Tadwinihi, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 28M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 441.
1992), hlm. 127 29M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 451.
89 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
adalah Ibnu Sirin. Yahya bin ‘Atiq 6. Pemakaian Isnad (Sanad)
meriwayatkan bahwa Ibnu Sirin berkata, Di dalam menuturkan hadis yang
“Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa didengar, para sahabat selalu
kitab athraf, lalu saya menanyakan menyebutkan sumber-sumber berita yang
kepada beliau. Dari situ kemudian metode diterimanya, baik dari Nabi SAW maupun
ini tersebar dipakai kalangan ahli-ahli sahabat yang lain. Apabila yang
hadis.30 meriwayatkan hadis itu tidak melihat
Ada beberapa metode yang dipakai sendiri kejadiannya dan tidak mendengar
pada saat itu untuk menyebarkan dan langsung dari Nabi SAW sendiri, maka
mengajarkan hadis, yaitu: dengan sendirinya ia akan menyebutkan
a. Mengajarkan secara lisan. Metode ini sumber hadis itu dimana ia menerimanya.
mulai tampak sejak paruh kedua dari Inilah sebenarnya yang disebut
abad kedua hijri dan berlangsung pemakaian sanad. Dan metode yang
lama sekali sesudah itu. dipakai para sahabat pada masa Nabi
b. Membacakan hadis dari suatu kitab. SAW itulah yang kemudian melahirkan
Metode ini ada tiga macam, yaitu isnad atau metode pemakaian sanad.32
pertama guru membacakan kitabnya Menurut pengakuan prof. Schacht, ia
sendiri, sedang murid berpendapat bahwa isnad adalah bagian
mendengarkammya, kedua guru dari ‘tindakan sewenang-wenang’ dalam
membacakan kitab orang lain sedang hadis Nabi SAW. Hadis-hadis itu sendiri
murid mendengarkannya, ketiga dikembangkan oleh kelompok-kelompok
murid membacakan suatu kitab, yang berbeda-beda yang ingin
sedang guru mendengarkannya. mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-
c. Metode soal jawab. Sistem atraf tokoh terdahulu.33
(menuliska pangkal hadis saja) juga Dalam mengkaji hadis Nabi, Schacht
dipakai dalam pengajaran hadis lebih banyak menyoroti aspek sanad
dengan metode soal-jawab, dimana (transmisisi, silsilah keguruan) daripada
murid membacakan pangkal dari aspek matan. Schacht berpandangan
suatu hadis, kemudian gurunya bahwa secara keseluruhan sistem isnad
meneruskan hadis itu selengkapnya. mungkin valid untuk melacak hadis-hadis
d. Metode Imla’. Surat-surat Nabi sampai pada ulama-ulama abad kedua,
Muhammad SAW yang banyak itu, akan tetapi rantai periwayatan yang
perjanjian-perjanjian dan dokumen- merentang ke belakang sampai kepada
dokumen lainnya, begitu pula hadis- Nabi dan para sahabat adalah palsu.34
hadis yang lain telah beliau imla’kan
kepada para Sahabat.31
32M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 531.
33MM Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 534
34Khoirul Hadi, “Pemikiran Joseph Schacht
30M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 451. Terhadap Hadis,” Kontemplasi, 2 (Nopember,
31M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 454-476. 2013), hlm. 362.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 90
Schacht mengatakan bahwa olah tidak ada perbedaan antara watak
pendapat yang bersumber dari seorang kitab Fiqih dan kitab Hadis.36
Tabi’in Ibnu Sirin menuturkan bahwa Padahal secara umum, dapat kita
usaha untuk mempertanyakan dan ketahui bahwa penggunaan sanad
meneliti sanad sudah dimulai sejak dikalangan ahli-ahli Fiqih dan ahli-ahli
terjadinya ‘fitnah’ (musibah perang Sejarah adalah berbeda dengan
saudara), dimanasemua orang sudah penggunaan sanad dikalangan ahli-ahli
tidak dapat dipercaya lagi. Tanpa diteliti hadis. Ringkasan penggunaan sanad
terlebih dahulu. Dan kita akan dapat dikalangan ahli-ahli Fiqih dan ahli-ahli
mengetahui bahwa ‘fitnah’ yang bermula Sejarah dahulu adalah sebagai berikut:
dari terbunuhnya al-Walid bin yazid (w. a. Membuang (tidak menuliskan)
126 H) menjelang surutnya Daulah sebagian sanad, untuk
Umayyah itu adalah waktu yang mempersingkat pembahasan kitab,
dijadikan patokan sebagai akhir kejayaan dan cukup menyebutkan sebagian
masa lampau, yaitu masa dimana Sunnah- dari matan hadis yang berkaitan
sunnah Nabi Saw masih berlaku secara dengan bahasan itu.
umum.35 b. Membuang sanad seluruhnya, dan
Kesalahan atau kekeliruan Schacht langsung menyebutlan Hadis dari
dan kebanyakan orientalis dalam memilih sumbernya yang pertama.
materi studi sanad menyebabkan mereka c. Metode Abu Yusuf dalam memakai
melakukan kesalahan-kesalahan sanad, terkadang beliau menyebutkan
mendasar. Kaum orientalis sampai saat sanad secara lengkap, terkadang juga
ini umumnya dalam meneliti sanad hadis tidak. Terkadang beliau tidak
selalu menggunakan kitab-kitab sirah dan menjelaskan nama rawi hadis, tetapi
kitab-kitab Fiqih. Oleh karenanya nama itu sudah disebut sebelumnya.
hasilnyapun juga salah. Schacht
menjadikan kitab al-Muwatta’ karya METODE YANG DIGUNAKAN
Imam Malik, kitab al-Muwatta’ karya Apabila kita berbicara masalah
Imam Muhammad al-Syaubani, dan kitab hadis Nabi, maka kita juga perlu mengkaji
al-Umm karya Imam Syafi’i sebagai materi sikap al-Qur’an terhadap hadis, begitu
dalam studi sanad. Padahal, kitab-kitab juga sikap dan pandangan kaum muslimin
tersebut lebih tepat disebut sebagai kitab- terhadap hadis, serta sejauh mana hadis
kitab Fiqih daripada kitab-kitab hadis. itu memperoleh perhatiannya. Apabila
Namun Schacht telah menerapkan “hasil keluhuran nilai hadis dan kedudukannya
kajiannya” tersebut terhadap kitab-kitab dalam Islam sudah kita ketahui, begitu
Hadis secara keseluruhan, dan seolah- pula perhatian kaum muslimin terhadap
35M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 535. 36M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm.538-539.
91 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
masalah itu, maka kita perlu mengkaji masih berada pada tataran sumber ajaran
cara-cara yang mereka tempuh.37 Islam yang dapat dipercaya/otentik.
Hal itu akan menuntut kita untuk Keotentikan ini dibuktikannya sejak masa
melakukan kajian terhadap masalah- periwayatan, penulisan, pembukuan ke
masalah sekitar penulisan hadis dan dalam kitab-kitab kanonik. Tampaknya
kesimpangsiuran pendapat tentang Azami lebih menekankan keotentikan
masalah itu. Begitu pula sejauh mana hadis pada sisi sanad, sebab di dalam
kehidupan mereka dapat memainkan buku ini dirinya mendiskusikan secara
peranan dalam menunjang proses luas keberadaan sanad dalam menjaga
penulisan hadis tersebut. Kemudian kita keotentikan hadis. Buku ini secara khusus
lihat hasil apakah yang dapat mereka membantah teori dan pemikiran Barat
petik dalam melestarikan dan tentang keotentikan hadis.39
membukukan sunnah Nabi. Menurut Badri Khaeruman di dalam
Dan beliau menunjukkan fakta bukunya ‘Otentisitas Hadis (Studi Kritis
bahwa semua masalah mengenai hadis atas Kajian Hadis Kontemporer)’
Nabi SAW bertumpu pada masalah menyatakan bahwa M.M. Azami
sentral tentang status sunnah yang melakukan kritiknya dengan cara sebagai
merupakan sumber ajaran Islam kedua. berikut40:
Lebih lanjut beliau berargumen bahwa 1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s.,
untuk memperoleh otentisitas hadis, bahwa hadis hanya sedikit sekali
maka seseorang harus melakukan kritik yang terpelihara, karena hadis
hadis menyangkut nash atau dokumen diturunkan secara lisan dari generasi
dengan memakai beberapa metode, dan umat selama abad pertama Hijriyah.
salah satunya dengan metode 2. Disamping pembuktian atas
perbandingan.38 Bagi Azami, otentisitas kepalsuan tuduhan bahwa hadis tidak
hadis itu tetap dapat dibuktikan secara terpelihara karena diturunkan secara
ilmiah dan historis. Beliau memperkuat lisan dari generasi ke generasi, M.M
teori ulama tradisional dan melakukan Azami juga meragukan argumentasi
kajian historis-filologis untuk yang diajukan baik oleh Goldziher c.s.
mematahkan teori-teori skeptisisme dan Schacht.
orientalis.
Studies in Early Hadith Literature, A. Gagasan Yang Ditawarkan
merupakan karya orisinal yang terbagi Banyak pemikir hadis baik dari
kepada delapan bab pembahasan. Dalam kalangan Muslim maupun orientalis yang
tulisannya ini, Azami memaparkan
keadaan hadis Nabi yang menurutnya 39Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M.
Mustafa Azami,” Journal of Quran and Hadith
37M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 7. Studies, 3 (2014) , hlm. 123.
38Siti Fahimah, “Sistem Isnad dan Otentisitas 40Badri Khaeruman, Otentisistas Hadis (Studi Kritis
Hadis: Kajian Orientalis dan Gugatan Atasnya,” atas Kajian Hadis Kotemporer), (Bandung: PT
Ulul Albab, 2 (2014), hlm. 219. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 250-254.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 92
telah memberikan warna dalam studi dibelokkan untuk kepentingan yang tidak
hadis. Sementara bila dilihat dari sisi ilmiah.42
kecenderungan, terdapat perbedaan Titik tolak pemikiran Azami sendiri,
mencolok dalam kajian hadis di Barat, yang dikemukakan dalam bukunya
yakni kelompok yang sering disebut ‘Studies in Early Hadith Literature’ yang
skeptis. Kelompok pertama mengkaji terkenal ini adalah terdapat pada dua hal
hadis berangkat dari keraguan menerima penting: 1) Penelitian semua hipotesis
hadis yang banyak bertentangan dengan Orientalis, seperti Goldziher dan Schacht,
kenyataan sejarah oleh karenanya tidak penelitian ini difokuskan pada sebab yang
terbukti autentik. Sedangkan kelompok melemahkan teori mereka masing-
kedua mengkaji hadis didasarkan pada masing. 2) Penelitian atas otentisitas
keyakinan akan kebenaran hadis, baik sisi bahan-bahan kesejarahan yang digunakan
historis maupun keautentikannya. Hadis oleh para orientalis, seperti tek-teks yang
merupakan sumber hukum dan doktrin masih tersimpan dalam bentuk tulisan
teologis sehingga kecenderungannya tangan, prasasti. Kedua fokus perhatian
berupaya menjaga keberadaan hadis.41 dalam penelitian yang dilakukan M.M.
Berdasarkan kenyataan di atas, Azami tersebut, secara langsung atau
memetakan keberadaan Azami dalam tidak sesungguhnya mementahkan
pemikiran hadis, tentu dapat dikatakan argumentasi kaum orientalis di atas
bahwa dirinya termasuk sarjana yang mengenai hadis.43
menolak kesimpulan sarjana Barat Dan pokok pemikiran Azami
tentang kajian hadis. Hal ini dapat terhadap hadis dapat dilihat melalui
didasarkan misalnya pada analisa Akh. karya-karyanya dalam bidang hadis.44
Minhaji tentu tidak sulit, dimana Azami Berikut akan diuraikan perihal gagasan
sebagai sarjana Muslim yang terang- ataupun pembuktian Azami mengenai
terangan memberi kritik tajam atas beberapa konsep para orientalis:
pemikiran Schacht terkait ke-shahih-an 1. Terkait tuduhan Goldziher c.s., bahwa
hadis. Kritik Azami ini bukan hanya hadis hanya sedikit sekali yang
ditujukan kepada pandangan sarjana terpelihara, karena hadis diturunkan
Barat, tetapi menyerang dan mengecam secara lisan dari generasi umat
keras metode yang dilalui oleh mereka. selama abad pertama hijriyah.
Pemikiran Barat didasarkan pada sikap Penelitian M.M. Azami membuktikan:
negatif mereka kepada Islam sehingga
metode yang digunakan tidak sepenuhnya
mengikuti alur ilmiah, tetapi seringkali 42Ahmad Isnaeni, “Historitas Hadis”, hlm. 225.
43 Badri Khaeruman, Otentisistas Hadis (Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kotemporer), (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 249-250.
44 Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad
41Ahmad Isnaeni, “Historitas Hadis Dalam Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter
Kacamata M. Mustafa Azami, ” Episteme, 2 atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab, 2 (2014), hlm.
(Desember, 2014), hlm. 224. 225.
93 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
a) Hadis diturunkan tidak hanya sejarah atas istilah-istilah seperti:
dengan cara lisan belaka. Ia haddatsana, akhbarana, sami’na,
menunjang pembuktian ini dengan dan sebagainya. M.M. Azami
menerbitkan tiga buah corpus membuktikan kesalahan kaum
hadis yang dieditnya dalam muslimin selama ini, bahwa
disertasinya, yaitu naskah-naskah kesemua istilah di atas hanya
Suhail Ibn Abi Shalih, Ubaidillah memiliki konotasi oral belaka.
Ibn Umar, dan Ali al-Yaman al- Contoh atas pembuktian M.M.
Hakam, yang kesemuanya berasal Azami terhadap kesalah pahaman
dari abad pertama Hijriyah. ini dapat dilihat pada appendik
Dengan demikian, tuduhan bahwa bukunya tersebut.
hadis mudah dipalsukan dan tidak c) Pembuktian tentang kesalahan
dapat diimbangi oleh makna yang dalam memahami hadis-hadis yang
otentik dan buatan, menjadi tidak melarang penulisan hadis oleh
terbukti lagi. Nabi Muhammad SAW,
b) Penelitian atas istilah-istilah yang sebagaimana secara gencar
digunakan dalam referensi hadis dikemukakan oleh Imam al-Qahir
menunjukkan, bahwa berita yang al-Baghdadi dalam karyanya,
menyatakan Ibn Shihab al-Zuhri Taqyid al-‘Ilm. Azami
adalah orang pertama yang membuktikan, bahwa hanya ada
menuliskan hadis pada permulaan satu saja hadis yang otentik yang
abad II hijriyah (awwalu man berhubungan dengan penulisan
dawwana al-‘ilma) mengandung hadis, yang memiliki sanad yang
arti lain daripada yang diduga dan dha’if. Adapun hadis yang satu-
diterima secara umum selama ini. satunya tidak melarang penulisan
Azami membuktikan, bahwa al- hadis secara umum, melainkan
Zuhri adalah pengumpul larangan menuliskan hadis dalam
(compiler) belaka dari semua carik kertas, kain, muka tulang,
koleksi naskah-naskah hadis yang atau pelepah kurma yang telah
telah dibukukan selama setengah berisikan tulisan ayat-ayat al-
abad sebelumnya. Demikian pula, Qur’an, guna menghindarkan
istilah-istilah yang selama ini kekeliruan dalam pemeliharaan al-
hanya dianggap memiliki konotasi Qur’an setelah Nabi wafat
transmisi hadis secara lisan, oleh nantinya. Pembuktian dilakukan
M.M. Azami dianggap memiliki atas kenyataan, bahwa penulisan
juga arti tulisan dan tertulis. M.M. hadis adalah kejadian yang normal
Azami mendasarkan anggapannya di masa kehidupan beliau, terlebih-
ini adalah dari segi pembuktian lebih setelah berakhirnya
bahasa dan bukti-bukti tertulis pemerintahan para Khulafa’ al-