Anda di halaman 1dari 22

HADIS NABAWI DAN SEJARAH KODIFIKASINYA

(Studi atas Pemikiran Prof. Dr. M. M. Azami)

Nurul Fitria Aprilia


STAI Badrus Sholeh Kediri

ABSTRAK
Tujuan kajian ini ialah untuk memperkenalkan pemikiran Muhammad Musthofa Azami yang
merupakan ilmuwan hadis dan memadukan metodologi barat (kritik sejarah) dan
metodologi kritik hadis/sanad yang dikembangkan oleh ulama terdahulu yang sudah mapan.
Azami salah satu pemikir hadis yang menolak kesimpulan sarjana barat akan kajian hadis.
Beliau secara terang - terangan mengkritik tajam atas pemikiran Schacht terkait keshahihan
hadis. Kritik azami bukan ditujukan kepada pandangan sarjana barat tetapi menyerang
pada metode yang mereka gunakan karena metode yang digunakan sepenuhnya
menggunakan alur ilmiah tetapi sering kali dibelokkan untuk kepentingan tidak ilmiah.
Dalam hal ini penulis juga menunnjukkan bagaiamana untuk memperoleh otentisitas hadis,
menurut Azami maka seseorang harus melakukan kritik hadis baik sanad maupun matannya.
Sehingga kajian ini menghasilkan cara untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para
orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis.

Kata Kunci: Hadis, Kodifikasi, Pemikiran, Kritik


Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Badrus Sholeh Kediri
81 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
PENDAHULUAN wahyu Allah yang diturunkan secara
Latar Belakang Masalah mutawatir, dari sisi otoritas sumbernya
Posisi Al-Qur’an sebagai sumber mampu memberikan keyakinan yang
utama dalam Islam, telah menjadi pasti (qath’I al-tsubut). Namun tidak
kesepakatan oleh para Ulama. Namun, hal demikian dengan hadis, yang mayoritas
yang sama tidak terjadi pada hadis, periwayatan tidak dilakukan secara
karena ada sejumlah umat Islam yang mutawatir namun ahad. Konsekuensi dari
tidak mengakui posisinya sebagai sumber proses periwayatan secara ahad ini,
hukum Islam kedua, yakni kelompok menjadikan nilai hadis tidak mampu
munkir al-sunnah. Pada umumnya umat memberikan keyakinan yang pasti atas
Islam tanpa menafikan adanya kelompok otoritas kesumberannya. Oleh karena itu,
umat yang menamakan dirinya sebagai seshahih apapun sebuah hadis, hanya
munkir al-sunnah yang dengan demikian mampu berada pada tingkat diduga kuat
mengingkari posisinya sebagai sumber berasal dari Nabi (dzanni al-wurud),
tasyri’ Islam kedua dalam stratifikasi kecuali pada hadis-hadis yang mutawatir
sumber hukum Islam. Kedua sumber yang jumlahnya relatif sedikit.2
hokum ini saling terkait dan merupakan Telah kita ketahui, kemunculan
satu kesatuan yang utuh dalam konteks orang-orang orientalis yang meneliti
perannya memberikan tuntunan hidup hadis Nabi seperti yang dilakukan oleh
manusia. Jika al-Qur’an merupakan Ignas Goldziher dimana hasil
sumber utama yang berisi prinsip-prinsip penelitiannya dipublikasikan pada tahun
pokok kehidupan yang diterangkan 1890 dengan judul “Muhammedanische
secara global (mujmal), maka hadis Studien”. Dan sejak saat itu hingga kini,
merupakan mubayyin dan tuntutan kitab itu dikalangan orang-orang
operasionalnya. Mengingat posisi hadis orientalis dijadikan semacam “kitab suci”
yang demikian strategis sebagai salah yang menjadi anutan peneliti-peneliti lain.
satu sumber pokok ajaran Islam, maka Lebih kurang enam puluh tahun setelah
kajian-kajian terhadapnya menjadi sangat buku itu terbit, Prof. Schacht juga meneliti
urgent dilakukan. Kajian dimaksud tidak sumber-sumber hadis-hadis fiqih (hadis-
hanya menyangkut matannya, tetapi lebih hadis yang menjadi rujukan hukum Islam)
penting dilakukan pertama adalah kajian selama lebih dari sepuluh tahun. Hasil
pada sanadnya.1 penelitiannya kemudian diterbitkan
Historisitas hadis berbeda dengan dalam sebuah buku berjudul “The Origin
historisitas al-Qur’an. Pebedaan dimaksud of Mohammad Jurisprudence”.
terletak di antaranya pada konteks Evolusi sikap Schacht terhadap
kemunculan, proses periwayatan, dan Islam hanya nampak ketika ia
penulisannya. Al-Qur’an yang merupakan menuangkan gagasannya pada dua karya

1 Umi Sumbulah dkk, Studi al-Qur’an dan Hadis, 2Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang:
(Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm. 2-3. UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 2-3.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 82
tulis ilmiahnya The origin of Muhammad murid beliau yaitu Ali Mustafa Ya’qub
Jurisprudence serta An Introduction to yang berjudul “Hadis Nabi dan Sejarah
Islamic Law.3 Schacht berkesimpulan Kodifikasinya”, hasil penelitian inilah yang
bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang kelak akan mematahkan dan menyanggah
shahih (autentik), terutama hadis-hadis penelitian Schacht dan orientalis pada
fiqih. Dan sejak saat itu buku tersebut umumnya terkait dengan otentisitas hadis
menjadi “kitab suci kedua” di kalangan Nabi.
orang-orang orientalis. Dan apabila Ignaz
Goldziher berhasil “meragukan” orang Biografi M.M Azami
terhadap kebenaran hadis Nabi, maka Azami mempunyai nama lengkap
Prof. Schacht lebih dari itu, ia berhasil Muhammad Mustafa Azami, lahir di kota
“meyakinkan” orang bahwa apa yang Mano, India Utara, tahun 1932.7
sering disebut hadis itu tidak autentik Kata Azami atau A’zhami adalah
berasal dari Nabi Muhammad SAW.4 nisbah pada daerah Azamgarh. Azami
Pandangan Goldziher tentang hadis dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu
diungkapkan dalam bukunya “Dirasat pengetahuan khususnya keislaman
Islamiyah dan al-‘Aqidah Wa al-Shari’ah fi (hadis) dan sangat membenci ideologi
al-Islam”.5 Ignaz Goldzhiher merupakan imperalisme. Tidak heran jika ayahnya
sarjana yang karyanya tidak perlu sendiri amat membenci bahasa Inggris
dipertanyakan sebagai kritik hadis dan melarangnya untuk mempelajari
terpenting di abad 19. Ia seorang sarjana bahasa tersebut. Kenyataan ini
pertama yang fokus pada kritik hadis dirasakannya ketika ia dilarang ayahnya
dengan pendekatan historis kritis.6 masuk pendidikan yang menggunakan
Dari sini latar belakang M.M. Azami bahasa Inggris dan lebih mengarahkan
melakukan penelitian secara mendalam kepada pendidikan agama dan
tentang otentisitas hadis Nabi dari aspek menggunakan pengantar bahasa Arab
sejarah kodifikasinya, yang tertulis dalam dalam studinya, dan disinilah hadis dan
bukunya yang berjudul “Studies in Early ilmu hadis dipelajarinya.8
Hadith Literature” yang diterjemahkan ke Hal ini dimaklumi sebab daerah
dalam bahasa Indonesia oleh salah satu India kala itu merupakan daerah jajahan
Inggris. Dampak dari penjajahan itu
3Ucin Muksin, “Al-Hadits dalam Pandangan adalah hancurnya kesatuan rakyat India
Orientalis (Joseph Schacht),” Jurnal Ilmu Dakwah, menjadi kepada kelompok-kelompok
4 (Januari-Juni, 2008), hlm. 1163.
4M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 3.
5Ummu Iffah, “Pandangan Orientalis Terhadap 7M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Sunnah (Telaah Kritis atas Pandangan Goldziher),” Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Kontemplasi, 1 (Agustus, 2010), hlm. 197. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 700.
6Muh. Zuhri, “Perkembangan Kajian Hadits 8Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M.

Kesarjanaan Barat,” Ulul Albab, 16 (2015), hlm. Mustafa Azami,” Journal of Quran and Hadith
218. Studies, 3 (2014), hlm. 121-122.
83 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
kecil sehingga mudah dikuasai.9 Azami ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau
salah seorang cendekiawan bidang hadis kembali ke tanah airnya, India.11
yang memang cukup berbeda bila Tahun 1956 Azami diangkat sebagai
dibandingkan dengan para tokoh lain Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang
sewaktu belajar di pusat orientalis atau non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau
negara non-Muslim. Fokus kajiannya diangkat sebagai Sekretaris
cenderung kepada kajian di bidang hadis Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-
dan ilmu hadis. Azami merupakan peneliti Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 Azami
yang ikut andil dalam perdebatan kajian melanjutkan studinya lagi di Universitas
hadis di Barat bersama para orientalis. Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar
Ciri khusus dari spesialisasi Azami adalah Ph.D tahun 1966 dengan disertasi
mengkritik pandangan mereka terhadap berjudul Studies in Early Hadits Literature.
kajian Islam, khususnya hadis Nabi SAW. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untu
Riwayat pendidikan Azami cukup memegang jabatan semula. Tahun 1968
dipengaruhi oleh bimbingan dan arahan beliau mengundurkan diri dari
ayahnya. Kemanapun pendidikan masa jabatannya di Qatar dan pindah ke
kecil Azami selalu dalam arahan orang tua Makkah untuk mengajar di Fakultas
dan bukan kemauan pribadi Azami Pascasarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi
semata. Azami memiliki ayah seorang Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini
pencari ilmu dan benci jajahan, termasuk Universitas Umm al-Qura’). 12
bahasa Inggris.10
Tamat dari sekolah Islam, Azami Kegelisahan Akademik
lalu melanjutkan studinya di Collage of Sejak masa lalu umat Islam sepakat
Science di Deoband, sebuah perguruan untuk menerima hadis dan
terbesar di India yang juga mengajarkan menjadikannya sebagai sumber hukum
studi Islam, dan tamat tahun 1952. Islam yang wajib dipatuhi. Pada masa lalu
Kemudian Azami melanjutkan studinya di juga sudah terdapat sejumlah orang atau
Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, kelompok yang menolak hadis, tetapi hal
Universitas al-Azhar Kairo, dan tamat itu lenyap pada akhir abad atau paling
pada tahun 1955 dengan memperoleh tidak pada akir abad ketiga. Penolakan
hadis ini muncul kembali pada abad
ketiga belas hijri yang lalu, akibat
pengaruh penjajahan Barat terhadap
dunia Islam.
9Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis”, hlm. 121-
122. Lebih jelas lihat Masykur Hakim, “Dari India
untuk Dunia: Peran Darul Ulum Doeband dalam
Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam 11M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Refleksi Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Cet. VI;
Hidayatullah Jakarta, (Vol. XI, No. 2, 2009) hal 135 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 700.
10Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis”, hlm. 122. 12 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 700.

Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 84


Adapun alasan yang melatar hadis. Kemudian, di Anak Benua India
belakangi Azami dalam melakukan muncullah kelompok Ahlul Qur’an.
peenelitian ini, adalah: Dan dari faktor eksternal muncullah
1. Dari internal Islam, munculnya kaum orientalis yang meneliti tentang
Munkir al-Sunnah yaitu kelompok hadis Nabi seperti Ignaz Goldziher dan
Ahlul Qur’an. Prof. Schacht. Schacht berkesimpulan
2. Eksternal, mengenai pendapat para bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang
orientalis yang menyatakan bahwa shahih (autentik), terutama hadis-hadis
Hadis Nabi adalah palsu. fiqih. Apabila Ignaz Goldziher berhasil
Kemunculan Ghulam ahmad Parwez “meragukan” orang terhadap kebenaran
yang punya kegiatan menonjol, antara hadis Nabi, maka Prof. Schacht lebih dari
lain mendirikan kelompok yang bernama itu, ia berhasil “meyakinkan” orang
‘Ahlul Qur’an’, menerbitkan majalah bahwa apa yang sering disebut hadis itu
bulanan dan buku-buku dalam masalah tidak autentik berasal dari Nabi
ini. Ghulam Ahmad Parwez juga Muhammad SAW. Para orientalis dalam
sepenuhnya meniru Taufiq Sidqi di mana melakukan penelitian terhadap sanad
ia mengaku sebagai mujtahid yang tidak hadis salah satunya menggunakan teori
ada duanya, sebab ia tidak mengakui Common Link, Projecting Back.14
bahwa hadis itu dapat dijadikan sebagai Berdasarkan alasan yang telah
sebagai sumber hukum. Ia tidak hanya disebutkan di atas, Azami lalu melakukan
menolak hadis ahad saja, tetapi juga penelitian (kajian sanad hadis) dengan
menolak hadis mutawatir, seperti hadis menggunakan metode kesejarahan
tentang jumlah shalat lima waktu, jumlah (historis), filologi dan teks sebagai bukti
rakaat, tata cara sholat, dsb. Ia bahwa hadis berasal dari Nabi dan
berpendapat bahwa al-Qur’an hanya autentik. Bukan seperti apa yang
berisi perintah untuk mengerjakan shalat dipaparkan atau disimpulkan oleh para
saja. Tentang tata caranya, hal itu Munkir al-Sunnah yang tidak mengakui
diserahkan kepada kepala Negara kehujjahan hadis (baik sebagian atau
sebagaimana ia mengaturnya dengan keseluruhan dari hadis), tidak pula
mempertimbangkan situasi dan tempat.13 seperti yang dikatakan oleh kaum
Kelompok Munkir al-Sunnah dari orientalis dimana mereka berpendapat
internal Islam ini muncul sebagai akibat bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang
dari Negara-negara Barat menjajah autentik.
Negeri-negeri Islam, mereka mulai
menyebarkan benih-benih busuk untuk LOGIKA DAN SISTEMATIKA
melumpuhkan kekuatan Islam. Pada saat 1. Konsep Sunnah
itulah di Iraq muncul orang yang menolak Sunnah mempunyai otoritas
tertinggi setelah al-Qur’an karena

13 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 50. 14 M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 3.
85 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
langsung disandarkan pada Nabi sebagai menunjuk arti ‘tata cara, jalan, perilaku
syar’i. Sunnah secara etimologi diartikan hidup, syari’ah, dan jalan hidup’. Dan ini
dengan tata cara atau jalan yang dilalui adalah arti yang sebenarnya. Kalaupun
dahulu kemudian diikuti oleh orang- orang-orang jahiliyah atau penganut
orang belakangan, baik maupun buruk. animisme menggunakan sebuah kata
Adapun sunnah bagi ulama hadis adalah dalam bahasa Arab untuk arti yang
sabda, perkataan, ketetapan, sifat atau etimologis (harfiyah, lughowiyah), maka
tingkah laku yang langsung disandarkan hal itu tidak menjadi istilah jahiliyah atau
pada Nabi Muhammad SAW. 15 animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka
Menurut pengarang kitab Lisan al- bahasa Arab pun seluruhnya juga istilah
‘Arab mengutip pendapat Syammar, jahiliyah, dan ini tentu tidak akan
sunnah pada mulanya berarti cara atau diterima oleh akal yang sehat.18
jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang Sedangkan pendapat Margoliouth yang
dahulu kemudian diikuti oleh orang- mengatakan bahwa ‘sunnah’ pada masa
orang belakangan. Al-Tahanuwi juga awal Islam berarti ‘hal-hal yang sudah
berpendapat bahwa sunnah menurut menjadi tradisi’ adalah bertentangan
etimologi berarti tata cara, baik maupun dengan teks-teks yang menjadi
buruk.16 Sedang menurut istilah rujukannya. 19

(terminologi) ahli-ahli hadis, sunnah Selanjutnya Margoliouth


adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat memberikan komentar sebagai berikut:
(watak budi atau jasmani); atau tingkah “Kata ‘sunnah Nabi Saw’ banyak
laku Nabi Muhammad SAW, baik sebelum dipakai dalam naskah-naskah kuno.
menjadi Nabi atau sesudahnya. Dengan Istilah ini juga dipakai dalam naskah-
arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah naskah yang ada kaitannya dengan
sinonim dengan hadis.17 Khalifah Utsman. Barangkali karena
Pendapat Goldziher mengatakan beliau mempunyai perilaku tertentu yang
bahwa ‘sunnah’ adalah istilah animis yang berbeda dengan para pendahulunya,
dipakai dalam Islam adalah tidak sehingga hal itu mempunyai dampak
berdasarkan argumen sama sekali, tersendiri, meskipun tuduh-tuduhan
bahkan justru bertolak belakang dengan adanya perilaku itu belum jelas
dalil-dalil yang ada. Sebab seperti telah kebenarannya. Yang jelas, sampai saat itu
disebutkan bahwa kata ‘sunnah’ sudah belum ada sumber kedua yang pasti
dipakai dalam syair-syair Jahiliyah, al- dalam hukum Islam. Yang ada hanyalah
Qur’an dan kitab-kitab hadis, yaitu untuk kebiasaan yang ditunjang oleh kekuasaan,
yang kemudian menjadi unsur yang
15Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad
terbaur dalam pribadi Nabi”.20
Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter
atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab, 2 (Tanpa Bulan,
2014), hlm. 232. 18M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 21.
16M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 13. 19M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 21.
17M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 14 20M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 24.

Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 86


Padahal seluruh atau sebagian dari Hal ini karena kehidupan mereka sehari-
keterangan di atas dikaitkan dengan hari memang belum memerlukan hal itu.
‘sunnah Rasul’, ‘sunnah Nabi’, ‘Kitabullah Namun begitu banyak sumber
dan Sunnah Nabi-Nya’. Dan sebagai menyebutkan bahwa masa sebelum
pengamalan Kitab dan Sunnah, kita datangnya agama Islam di jazirah Arab
melihat bahwa Margoliouth berusaha sudah terdapat “kegiatan pendidikan”.
menutupi kenyataan seraya Kemudian hal ini memunculkan sekolah-
menafsirkannya sesuai dengan kehendak sekolah di Jazirah Arab seperti di Makkah,
sendiri, sehingga ia menuduh bahwa Taif, Madinah, dll.22
sumber kedua yang pasti dalam hukum
Islam belum terdapat pada saat itu. Ia 3. Sekitar Penulisan Hadis Nabawi
mengatakan pula bahwa yang dimaksud Pendapat yang dominan di kalangan
dengan ‘sunnah’ adalah kebiasaan yang para sarjana dan ilmuwan adalah bahwa
dilakukan dalam suatu lingkungan. hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat
Padahal ini tidak ada satu bukti pun yang mulut ke mulut sampai akhir abad
dapat mendukung pendapat tersebut. pertama hijri. Sedang orang yang pertama
Oleh karena itu, tuduhan-tuduhan kali yang mempunyai ide untuk menulis
yang tidak berlandaskan argumen logis - hadis adalah Khalifah ‘Umar bin ;Abd al-
seperti tersebut di atas- tidak dapat ‘Aziz, dimana beliau mengirimkan surat
diterima. Baik tuduhan Goldziher, kepada Abu Bakar bin Muhammad bin
Margoliouth, begitu pula Schacht yang Hazm, yang mengatakan, “Periksalah dan
menganggap bahwa ‘sunnah’ adalah ‘adat tulislah semua Hadis-hadis Nabi, sunnah-
istiadat masyarakat’. Sebab tuduhan- sunnah yang sudah dikerjakan, atau hadis
tuduhan itu juga sangat bertolak belakang dari Amrah; karena saya khawatir hal itu
dengan keterangan-keterangan yang akan punah”. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
terdapat dalam naskah-naskah yang ada, ‘Aziz juga memberikan tugas kepada Ibnu
dimana satu sama lain saling dukung dan Syihab al-Zuhri dan lain-lain untuk
menafsiri.21 mengumpulkan dan menuliskan hadis.
Pendapat Imam Malik juga populer,
2. Kegiatan Tulis Menulis di Jazirah bahwa orang yang pertama kali menulis
Arab pada Masa Jahiliyah dan hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri.23
Permulaan Islam Tentang al-Zuhri sebagai orang
Pada masa Jahiliyah bangsa Arab pertama yang menulis hadis, para
sudah mengatahui peranan tulis menulis. orientalis berbeda pendapat. Muir
Mereka menganggap bahwa tulis menulis menerima pendapat tersebut dan
adalah salah satu unsur kesempurnaan memberikan komentar bahwa sebelum
seseorang. Hanya saja mereka tidak dapat pertengahan abad kedua belum ada
menggunakannya sebagaimana mestinya.
22M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 75.
21M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 24-25. 23M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 107.
87 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
kumpulan tulisan hadis yang dapat berlawanan maksudnya itu, karena dalam
diandalkan. Sedang Guillaume masyarakat Islam terdapat dua kelompok
mengatakan, pendapat bahwa al-Zuhri yang disebut ‘kelompok ahli hadis’ dan
sebagai orang yang pertama menulis ‘kelompok ahli ra’yi’. Menurut Goldziher,
hadis adalah palsu. Goldziher dan Schacht kelompok ahli ra’yi telah membikin atau
justru lebih ekstrim dari pada yang lain. memalsu hadis-hadis yang melarang
Schacht mengatakan, untuk mengetahui penulisan hadis. Sedang kelompok ahli-
motivasi pendapat yang palsu itu perlu ahli hadis telah memalsu hadis-hadis yang
dibaca kembali tulisan Goldziher dalam memperbolehkan bahkan menyuruh
bukunya “Muhammedanische Studien”, penulisan hadis. Namun, pendapat
dan tulisan Mirza Kazim Bik dalam “al- Goldziher itu tidak benar, karena apabila
Risalah al-Asiawiyah”. Dibagian lain kita melihat daftar nama-nama orang
Schacht mengatakan, sangat sulit sekali yang menentang dan memperbolehkan
menganggap bahwa hadis-hadis yang ada penulisan hadis, maka kita akan
kaitannya dengan fiqih itu ada yang mengetahui bahwa tuduhan Goldziher
shahih. Sebab hadis-hadis itu dibikin tidaklah benar. Sebab orang yang terkenal
untuk diedarkan di kalangan masyarakat keras menentang penulisan hadis seperti
sejak paruh pertama dari abad kedua Ubaidah Ibnu Sirin, adalah kelompok ahli
sampai seterusnya.24 hadis, sedangkan orang yang
Dari keterangan di atas dapat memperbolehkan dan mendorong
diketahui bahwa penulisan hadis yang penulisan hadis seperti Hammad bin Abu
dilakukan oleh al-Zuhri itu menurut Sulaiman, al-Zuhri, al-A’masy, Abu
Schacht adalah palsu. Sebab hadis-hadis Hanifah, al-Tsauri, dan Malik adalah
fiqih menurutnya baru muncul sesudah termasuk kelompok ahli ra’yi.25
‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz.
Menurut Azami, masalah pokok 4. Penulisan Hadis Sejak Masa Nabi
yang menyebabkan para ahli berpendapat Sampai Kira-kira Pertengahan
bahwa pembukuan hadis terlambat Abad Kedua Hijri
sampai seratus tahun atau lebih adalah Untuk mengetahui sejauh mana
karena mereka hanya mengikuti kebenaran adanya penulisan hadis pada
pendapat yang populer dikalangan masa Nabi sampai pertengahan abad
mereka, tanpa meneliti sumber-sumber kedua hijriyah, Azami dalam bukunya
yang menunjukan bahwa hadis sudah telah menyajikan data-data yang sangat
dibukukan pada masa yang lebih awal. banyak dari berbagai sumber, berupa
Ada suatu masalah yang perlu tulisan-tulisan hadis para Sahabat
disebutkan disini, yaitu pendapat (mencapai 52 Sahabat), tulisan-tulisan
Goldziher yang menyatakan bahwa hadis para Tab'i’in Tua (sebanyak 52
adanya hadis-hadis yang lahiriyahnya Tabi’in pada abad pertama), dan tulisan-

24M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 108. 25M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 121-122.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 88
tulisan hadis para Tabi’in Muda 5. Penyebaran Hadis (Tahammul al-
(sebanyak 99 Tabi’in Muda). Beberapa ‘Ilm)
sahabat yang menulis Hadis diantaranya Para ulama dan peneliti lebih-lebih
adalah Abu Bakar al-shiddiq (w. 13 H), para pembaca umumnya masih banyak
Abu Musa al-Asy’ari (w. 42 H), Aisyah yang beranggapan bahwa hadis Nabi SAW
binti Abu Bakar (w. 58 H), Ali bin Abi tersebar secara lisan dari generasi ke
Thalib (23 SH-40 H), Abu Hurairah (w. 59 generasi. Seperti pendapat yang masyhur
H), Anas bin Malik (w. 93 H), dll. Diantara dari Malik bin Anas, dimana beliau
nama-nama Tabi’in Tua yang menulis mengatakan bahwa orang yang pertama
hadis yaitu, Umar bin Abd Aziz (w. 101 kali yang mentadwin hadis adalah Ibnu
H), Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H), Syihab al-Zuhri, adalah suatu kekeliruan
Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i (w. 96 H), pendapat yang mengatakan bahwa orang-
Abu Salamah bin Abd a-Rahman (w. 104 orang yang pertama kali menulis hadis
H), dst. Kemudian diantara Tabi’in Muda adalah al-Zuhri. Namun sejatinya
yang menuliskan Hadis adalah Ibrahim penulisanan hadis sudah dimulai sejak
bin Jarir bin Abdullah al-Bajali (w. 120 H), Nabi Muhammad SAW masih hidup, dan
Ibrahim bin Abd al-A’la (w. 125 H), hal itu berlangsung sampai kurun-kurun
Ibrahim bin Muslim al-Hajari (w. 130 H), sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti
Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w. 123 meniadakan adanya penyebaran hadis
H), dsb.26 secara lisan, atau meniadakan adanya
Adapun sebagai contoh, sahabat Ali pembuktian hadis berdasarkan kekuatan
menulis hadis yang diimla’kan langsung hafalan.28
oleh Nabi: Sejak pertengahan abad pertama
‫ دعا رسول‬:‫قالت أم سالمة زوج النبى صلى هللا عليه وسلم‬ hijri kitab-kitab hadis yang ditulis oleh
‫هللا صلى هللا عليه وسلم بأديم وعلي بن أبى طالب عنده فلم‬ para murid (tabi’in) mulai muncul, sedang
‫يزل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يملى وعلي يمتب حتى‬ materinya banyak diambil dari “kuliah”
.‫مأل بطن األديم وظهره وأكارعه‬ para sahabat. Kitab yang pertama kali
“Ummu Salamah, istri Nabi SAW ditulis oleh para murid itu sepanjang
berkata: Rasulullah SAW minta pengetahuan Azami adalah kitab Basyir
diambilkan kulit, dan Ali bin Abi bin Nahik dan Hammam bin Manabbih,
Thalib berada di sisi Rasulullah SAW. keduanya adalah murid Abu Hurairah.29
Rasulullah SAW lalu mengimla’kan Sejak perempat ketiga dari abad
hadisnya, dan Ali menulisnya sampai pertama, ahli-ahli hadis sudah
kulit tersebut penuh dengan tulisan, menggunakan metode athraf, yaitu
baik di luar, dalam, maupun ujung- menulis pangkal suatu hadis sebagai
ujungnya”.27 petunjuk kepada materi hadis seluruhnya.
Yang pertama kali memakai metode ini
26M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 132-140.
27M.M. Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa
Tarikhi Tadwinihi, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 28M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 441.
1992), hlm. 127 29M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 451.
89 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
adalah Ibnu Sirin. Yahya bin ‘Atiq 6. Pemakaian Isnad (Sanad)
meriwayatkan bahwa Ibnu Sirin berkata, Di dalam menuturkan hadis yang
“Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa didengar, para sahabat selalu
kitab athraf, lalu saya menanyakan menyebutkan sumber-sumber berita yang
kepada beliau. Dari situ kemudian metode diterimanya, baik dari Nabi SAW maupun
ini tersebar dipakai kalangan ahli-ahli sahabat yang lain. Apabila yang
hadis.30 meriwayatkan hadis itu tidak melihat
Ada beberapa metode yang dipakai sendiri kejadiannya dan tidak mendengar
pada saat itu untuk menyebarkan dan langsung dari Nabi SAW sendiri, maka
mengajarkan hadis, yaitu: dengan sendirinya ia akan menyebutkan
a. Mengajarkan secara lisan. Metode ini sumber hadis itu dimana ia menerimanya.
mulai tampak sejak paruh kedua dari Inilah sebenarnya yang disebut
abad kedua hijri dan berlangsung pemakaian sanad. Dan metode yang
lama sekali sesudah itu. dipakai para sahabat pada masa Nabi
b. Membacakan hadis dari suatu kitab. SAW itulah yang kemudian melahirkan
Metode ini ada tiga macam, yaitu isnad atau metode pemakaian sanad.32
pertama guru membacakan kitabnya Menurut pengakuan prof. Schacht, ia
sendiri, sedang murid berpendapat bahwa isnad adalah bagian
mendengarkammya, kedua guru dari ‘tindakan sewenang-wenang’ dalam
membacakan kitab orang lain sedang hadis Nabi SAW. Hadis-hadis itu sendiri
murid mendengarkannya, ketiga dikembangkan oleh kelompok-kelompok
murid membacakan suatu kitab, yang berbeda-beda yang ingin
sedang guru mendengarkannya. mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-
c. Metode soal jawab. Sistem atraf tokoh terdahulu.33
(menuliska pangkal hadis saja) juga Dalam mengkaji hadis Nabi, Schacht
dipakai dalam pengajaran hadis lebih banyak menyoroti aspek sanad
dengan metode soal-jawab, dimana (transmisisi, silsilah keguruan) daripada
murid membacakan pangkal dari aspek matan. Schacht berpandangan
suatu hadis, kemudian gurunya bahwa secara keseluruhan sistem isnad
meneruskan hadis itu selengkapnya. mungkin valid untuk melacak hadis-hadis
d. Metode Imla’. Surat-surat Nabi sampai pada ulama-ulama abad kedua,
Muhammad SAW yang banyak itu, akan tetapi rantai periwayatan yang
perjanjian-perjanjian dan dokumen- merentang ke belakang sampai kepada
dokumen lainnya, begitu pula hadis- Nabi dan para sahabat adalah palsu.34
hadis yang lain telah beliau imla’kan
kepada para Sahabat.31
32M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 531.
33MM Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 534
34Khoirul Hadi, “Pemikiran Joseph Schacht
30M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 451. Terhadap Hadis,” Kontemplasi, 2 (Nopember,
31M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 454-476. 2013), hlm. 362.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 90
Schacht mengatakan bahwa olah tidak ada perbedaan antara watak
pendapat yang bersumber dari seorang kitab Fiqih dan kitab Hadis.36
Tabi’in Ibnu Sirin menuturkan bahwa Padahal secara umum, dapat kita
usaha untuk mempertanyakan dan ketahui bahwa penggunaan sanad
meneliti sanad sudah dimulai sejak dikalangan ahli-ahli Fiqih dan ahli-ahli
terjadinya ‘fitnah’ (musibah perang Sejarah adalah berbeda dengan
saudara), dimanasemua orang sudah penggunaan sanad dikalangan ahli-ahli
tidak dapat dipercaya lagi. Tanpa diteliti hadis. Ringkasan penggunaan sanad
terlebih dahulu. Dan kita akan dapat dikalangan ahli-ahli Fiqih dan ahli-ahli
mengetahui bahwa ‘fitnah’ yang bermula Sejarah dahulu adalah sebagai berikut:
dari terbunuhnya al-Walid bin yazid (w. a. Membuang (tidak menuliskan)
126 H) menjelang surutnya Daulah sebagian sanad, untuk
Umayyah itu adalah waktu yang mempersingkat pembahasan kitab,
dijadikan patokan sebagai akhir kejayaan dan cukup menyebutkan sebagian
masa lampau, yaitu masa dimana Sunnah- dari matan hadis yang berkaitan
sunnah Nabi Saw masih berlaku secara dengan bahasan itu.
umum.35 b. Membuang sanad seluruhnya, dan
Kesalahan atau kekeliruan Schacht langsung menyebutlan Hadis dari
dan kebanyakan orientalis dalam memilih sumbernya yang pertama.
materi studi sanad menyebabkan mereka c. Metode Abu Yusuf dalam memakai
melakukan kesalahan-kesalahan sanad, terkadang beliau menyebutkan
mendasar. Kaum orientalis sampai saat sanad secara lengkap, terkadang juga
ini umumnya dalam meneliti sanad hadis tidak. Terkadang beliau tidak
selalu menggunakan kitab-kitab sirah dan menjelaskan nama rawi hadis, tetapi
kitab-kitab Fiqih. Oleh karenanya nama itu sudah disebut sebelumnya.
hasilnyapun juga salah. Schacht
menjadikan kitab al-Muwatta’ karya METODE YANG DIGUNAKAN
Imam Malik, kitab al-Muwatta’ karya Apabila kita berbicara masalah
Imam Muhammad al-Syaubani, dan kitab hadis Nabi, maka kita juga perlu mengkaji
al-Umm karya Imam Syafi’i sebagai materi sikap al-Qur’an terhadap hadis, begitu
dalam studi sanad. Padahal, kitab-kitab juga sikap dan pandangan kaum muslimin
tersebut lebih tepat disebut sebagai kitab- terhadap hadis, serta sejauh mana hadis
kitab Fiqih daripada kitab-kitab hadis. itu memperoleh perhatiannya. Apabila
Namun Schacht telah menerapkan “hasil keluhuran nilai hadis dan kedudukannya
kajiannya” tersebut terhadap kitab-kitab dalam Islam sudah kita ketahui, begitu
Hadis secara keseluruhan, dan seolah- pula perhatian kaum muslimin terhadap

35M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 535. 36M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm.538-539.
91 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
masalah itu, maka kita perlu mengkaji masih berada pada tataran sumber ajaran
cara-cara yang mereka tempuh.37 Islam yang dapat dipercaya/otentik.
Hal itu akan menuntut kita untuk Keotentikan ini dibuktikannya sejak masa
melakukan kajian terhadap masalah- periwayatan, penulisan, pembukuan ke
masalah sekitar penulisan hadis dan dalam kitab-kitab kanonik. Tampaknya
kesimpangsiuran pendapat tentang Azami lebih menekankan keotentikan
masalah itu. Begitu pula sejauh mana hadis pada sisi sanad, sebab di dalam
kehidupan mereka dapat memainkan buku ini dirinya mendiskusikan secara
peranan dalam menunjang proses luas keberadaan sanad dalam menjaga
penulisan hadis tersebut. Kemudian kita keotentikan hadis. Buku ini secara khusus
lihat hasil apakah yang dapat mereka membantah teori dan pemikiran Barat
petik dalam melestarikan dan tentang keotentikan hadis.39
membukukan sunnah Nabi. Menurut Badri Khaeruman di dalam
Dan beliau menunjukkan fakta bukunya ‘Otentisitas Hadis (Studi Kritis
bahwa semua masalah mengenai hadis atas Kajian Hadis Kontemporer)’
Nabi SAW bertumpu pada masalah menyatakan bahwa M.M. Azami
sentral tentang status sunnah yang melakukan kritiknya dengan cara sebagai
merupakan sumber ajaran Islam kedua. berikut40:
Lebih lanjut beliau berargumen bahwa 1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s.,
untuk memperoleh otentisitas hadis, bahwa hadis hanya sedikit sekali
maka seseorang harus melakukan kritik yang terpelihara, karena hadis
hadis menyangkut nash atau dokumen diturunkan secara lisan dari generasi
dengan memakai beberapa metode, dan umat selama abad pertama Hijriyah.
salah satunya dengan metode 2. Disamping pembuktian atas
perbandingan.38 Bagi Azami, otentisitas kepalsuan tuduhan bahwa hadis tidak
hadis itu tetap dapat dibuktikan secara terpelihara karena diturunkan secara
ilmiah dan historis. Beliau memperkuat lisan dari generasi ke generasi, M.M
teori ulama tradisional dan melakukan Azami juga meragukan argumentasi
kajian historis-filologis untuk yang diajukan baik oleh Goldziher c.s.
mematahkan teori-teori skeptisisme dan Schacht.
orientalis.
Studies in Early Hadith Literature, A. Gagasan Yang Ditawarkan
merupakan karya orisinal yang terbagi Banyak pemikir hadis baik dari
kepada delapan bab pembahasan. Dalam kalangan Muslim maupun orientalis yang
tulisannya ini, Azami memaparkan
keadaan hadis Nabi yang menurutnya 39Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M.
Mustafa Azami,” Journal of Quran and Hadith
37M.M. Azami, “Hadis Nabawi”, hlm. 7. Studies, 3 (2014) , hlm. 123.
38Siti Fahimah, “Sistem Isnad dan Otentisitas 40Badri Khaeruman, Otentisistas Hadis (Studi Kritis

Hadis: Kajian Orientalis dan Gugatan Atasnya,” atas Kajian Hadis Kotemporer), (Bandung: PT
Ulul Albab, 2 (2014), hlm. 219. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 250-254.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 92
telah memberikan warna dalam studi dibelokkan untuk kepentingan yang tidak
hadis. Sementara bila dilihat dari sisi ilmiah.42
kecenderungan, terdapat perbedaan Titik tolak pemikiran Azami sendiri,
mencolok dalam kajian hadis di Barat, yang dikemukakan dalam bukunya
yakni kelompok yang sering disebut ‘Studies in Early Hadith Literature’ yang
skeptis. Kelompok pertama mengkaji terkenal ini adalah terdapat pada dua hal
hadis berangkat dari keraguan menerima penting: 1) Penelitian semua hipotesis
hadis yang banyak bertentangan dengan Orientalis, seperti Goldziher dan Schacht,
kenyataan sejarah oleh karenanya tidak penelitian ini difokuskan pada sebab yang
terbukti autentik. Sedangkan kelompok melemahkan teori mereka masing-
kedua mengkaji hadis didasarkan pada masing. 2) Penelitian atas otentisitas
keyakinan akan kebenaran hadis, baik sisi bahan-bahan kesejarahan yang digunakan
historis maupun keautentikannya. Hadis oleh para orientalis, seperti tek-teks yang
merupakan sumber hukum dan doktrin masih tersimpan dalam bentuk tulisan
teologis sehingga kecenderungannya tangan, prasasti. Kedua fokus perhatian
berupaya menjaga keberadaan hadis.41 dalam penelitian yang dilakukan M.M.
Berdasarkan kenyataan di atas, Azami tersebut, secara langsung atau
memetakan keberadaan Azami dalam tidak sesungguhnya mementahkan
pemikiran hadis, tentu dapat dikatakan argumentasi kaum orientalis di atas
bahwa dirinya termasuk sarjana yang mengenai hadis.43
menolak kesimpulan sarjana Barat Dan pokok pemikiran Azami
tentang kajian hadis. Hal ini dapat terhadap hadis dapat dilihat melalui
didasarkan misalnya pada analisa Akh. karya-karyanya dalam bidang hadis.44
Minhaji tentu tidak sulit, dimana Azami Berikut akan diuraikan perihal gagasan
sebagai sarjana Muslim yang terang- ataupun pembuktian Azami mengenai
terangan memberi kritik tajam atas beberapa konsep para orientalis:
pemikiran Schacht terkait ke-shahih-an 1. Terkait tuduhan Goldziher c.s., bahwa
hadis. Kritik Azami ini bukan hanya hadis hanya sedikit sekali yang
ditujukan kepada pandangan sarjana terpelihara, karena hadis diturunkan
Barat, tetapi menyerang dan mengecam secara lisan dari generasi umat
keras metode yang dilalui oleh mereka. selama abad pertama hijriyah.
Pemikiran Barat didasarkan pada sikap Penelitian M.M. Azami membuktikan:
negatif mereka kepada Islam sehingga
metode yang digunakan tidak sepenuhnya
mengikuti alur ilmiah, tetapi seringkali 42Ahmad Isnaeni, “Historitas Hadis”, hlm. 225.
43 Badri Khaeruman, Otentisistas Hadis (Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kotemporer), (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 249-250.
44 Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad
41Ahmad Isnaeni, “Historitas Hadis Dalam Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter
Kacamata M. Mustafa Azami, ” Episteme, 2 atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab, 2 (2014), hlm.
(Desember, 2014), hlm. 224. 225.
93 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
a) Hadis diturunkan tidak hanya sejarah atas istilah-istilah seperti:
dengan cara lisan belaka. Ia haddatsana, akhbarana, sami’na,
menunjang pembuktian ini dengan dan sebagainya. M.M. Azami
menerbitkan tiga buah corpus membuktikan kesalahan kaum
hadis yang dieditnya dalam muslimin selama ini, bahwa
disertasinya, yaitu naskah-naskah kesemua istilah di atas hanya
Suhail Ibn Abi Shalih, Ubaidillah memiliki konotasi oral belaka.
Ibn Umar, dan Ali al-Yaman al- Contoh atas pembuktian M.M.
Hakam, yang kesemuanya berasal Azami terhadap kesalah pahaman
dari abad pertama Hijriyah. ini dapat dilihat pada appendik
Dengan demikian, tuduhan bahwa bukunya tersebut.
hadis mudah dipalsukan dan tidak c) Pembuktian tentang kesalahan
dapat diimbangi oleh makna yang dalam memahami hadis-hadis yang
otentik dan buatan, menjadi tidak melarang penulisan hadis oleh
terbukti lagi. Nabi Muhammad SAW,
b) Penelitian atas istilah-istilah yang sebagaimana secara gencar
digunakan dalam referensi hadis dikemukakan oleh Imam al-Qahir
menunjukkan, bahwa berita yang al-Baghdadi dalam karyanya,
menyatakan Ibn Shihab al-Zuhri Taqyid al-‘Ilm. Azami
adalah orang pertama yang membuktikan, bahwa hanya ada
menuliskan hadis pada permulaan satu saja hadis yang otentik yang
abad II hijriyah (awwalu man berhubungan dengan penulisan
dawwana al-‘ilma) mengandung hadis, yang memiliki sanad yang
arti lain daripada yang diduga dan dha’if. Adapun hadis yang satu-
diterima secara umum selama ini. satunya tidak melarang penulisan
Azami membuktikan, bahwa al- hadis secara umum, melainkan
Zuhri adalah pengumpul larangan menuliskan hadis dalam
(compiler) belaka dari semua carik kertas, kain, muka tulang,
koleksi naskah-naskah hadis yang atau pelepah kurma yang telah
telah dibukukan selama setengah berisikan tulisan ayat-ayat al-
abad sebelumnya. Demikian pula, Qur’an, guna menghindarkan
istilah-istilah yang selama ini kekeliruan dalam pemeliharaan al-
hanya dianggap memiliki konotasi Qur’an setelah Nabi wafat
transmisi hadis secara lisan, oleh nantinya. Pembuktian dilakukan
M.M. Azami dianggap memiliki atas kenyataan, bahwa penulisan
juga arti tulisan dan tertulis. M.M. hadis adalah kejadian yang normal
Azami mendasarkan anggapannya di masa kehidupan beliau, terlebih-
ini adalah dari segi pembuktian lebih setelah berakhirnya
bahasa dan bukti-bukti tertulis pemerintahan para Khulafa’ al-

Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 94


Rasyidin pada akhir paruh pertama sebenarnya justru melemahkan
hijriyah. argumentasi mereka sendiri.
2. Terkait dengan keragu-raguan Azami Untuk, sinyalemennya ini, Azami
terhadap argumentasi yang diajukan mengemukakan beberapa puluh
baik oleh Goldzhiher c.s dan Schacht, contoh yang diambilnya dari
antara lain melalui cara-cara berikut: karya-karya Goldzhiher dan
a) Goldziher senantiasa Schacht.
menggunakan suatu kejadian c) Para orientalis, tidak terkecuali
individual yang bersifat khusus Schacht sendiri yang dikenal
dan terbatas untuk menjadi bukti sebagai peneliti memiliki
bagi hal-hal umum yang objektivitas yang diakui, sering
disinyalirnya, seperti wasiat menutupi bahan-bahan
Muawiyah kepada salah seorang kesejarahan yang bertentangan
pengikutnya: “Janganlah ragu-ragu dengan pembuktian yang sedang
untuk memaki-maki Ali dan mereka kemukakan, dan hanya
menyumpahinya, dan menggunakan bahan-bahan yang
perbanyaklah meminta ampunan memperkuat teori-teori mereka
Tuhan bagi Utsman”. Wasiat ini belaka. Juga untuk diambil contoh-
oleh Goldziher dijadikan bukti bagi contoh cukup banyak dari karya-
kebiasaan pembesar-pembesar karya Schacht yang telah disebut di
Dinasti Umayyah untuk atas.
memasukkan bias politik ke dalam d) Seringnya Schacht, terlebih-lebih
pemberitaan mereka, dan Goldziher, salah mengartikan
karenanya pemberitaan dari ucapan-ucapan atau kejadian yang
mereka tidak dapat diterima diberitakan dalam sumber-sumber
kebenarannya. Goldziher tidak kesejarahan. Contohnya adalah
membatasi pemberitaan hal-hal ucapan Amir Ibn Sha’bu: Aku tak
yang bersifat politis belaka, pernah menulis dengan (tinta)
melainkan juga mengenai hitam di atas (permukaan kertas)
periwayatan hadis dari mereka. putih atau meminta seseorang
Hal ini secara ilmiah sebenarnya untuk mengulangi hadis sampai
tidak boleh dilakukan. dua kali. Ucapan ini tidak ada
b) Goldziher dan Schacht seringkali hubungannya dengan larangan
tidak melakukan penelitian menuliskan hadis, melainkan
(Checking) ulang yang mendalam hanya untuk menunjukkan
atas bahan-bahan kesejarahan kekuatan hafalan Amir saja.
yang mereka pakai dalam Walaupun demikian, Schacht
pembuktian, sehingga terjadi menggunakannya sebagai dalil
bahwa bahan-bahan tersebut pembuktian, bahwa pada abad

95 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102


pertama hijriyah kaum muslimin Rasanya tidak ada perlunya kita
dilarang menuliskan hadis.45 mengulangi pembicaraan yang sudah
Demikian pandangan M.M. dituturkan di muka. Sebab contoh-contoh
Azami, dalam karyanya: Studies in yang kita kaji dari kitab al-Syafi’i, Abu
Early Hadith Literature, yang Yusuf, Ibn Ishaq, dan Malik sudah
merupakan sumbangan yang memberikan gambaran kepada kita
sangat berharga bagi penelitian tentang metode ahli-ahli fiqih dan tarikh
hadis, terutama buku ini telah masa lalu dalam menukil hadis-hadis
mampu mengimbangi teori-teori Nabawi, dimana mereka hanya
yang dikemukakan oleh Goldziher menuliskan matan hadis saja dengan cara
maupun Joseph Schacht. Sehingga yang paling mudah. Berbeda sekali
langsung atau tidak langsung dengan metode ahli-ahli hadis, dimana
merupakan titik balik bagi peneliti mereka sangat terikat dengan ketentuan-
hadis untuk mengembalikan ketentuan dalam penelitian hadis
supermasi keilmuan Islam yang sehingga mereka akan menerapkan hal
hingga kini seolah-olah menjadi itu dengan segala cara yang mungkin.
milik Barat. Padahal otentisitas Oleh karena itu, meneliti hadis
data itu sesungguhnya berada di dengan berdasarkan hadis-hadis yang
Timur, seperti yang ditunjukkan terdapat dalam kitab-kitab fiqih seperti
oleh M.M Azami dalam buku di yang dilakukan Schacht, secara mendasar
atas. hal itu bukan merupakan penelitian
ilmiah yang benar. Dan dari sini dapat
B. Contoh-contoh Aplikatif ditegaskan kembali bahwa hadis-hadis
Metodologis yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih
1. Sanggahan terhadap Schacht tentang tidak dapat dijadikan sebagai obyek
contoh pemalsuan sanad penelitian hadis.
Schahct berkata, “Editor kitab ‘al- 2. Sanggahan terhadap contoh Schacht
Atsar’ karya Abu Yusuf dalam catatan kaki tentang Pertumbuhan Hadis-hadis
menulis hadis-hadis yang terdapat dalam Fiqhiyah
kitab-kitab hadis klasik dan lain-lain yang Schacht berkata, “Ada hadis-hadis
seimbang dengan hadis-hadis yang yang muncul belakangan sesudah al-
terdapat dalam kitab ‘al-Atsar’ itu sendiri. Hasan al-Bashri”. Katanya lagi, “Dalam
Perbandingan itu membuktikan bahwa risalah (paper) yang membahas masalah
perbandingan sanad sudah berkembang akidah milik al-Hasan al-Bashri, tidak
begitu jauh sampai mencapai titik terdapat satu hadis apapun. Oleh karena
sempurna. itu, pada saat itu belum ada hadis yang
berkaitan dengan masalah akidah.
Karenanya, hadis-hadis akidah tentu
45Badri Khaeruman, “Otentisistas Hadis” hlm.
250-254.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 96
muncul belakangan sesudah penulisan umat islam berargumentasi pada dalil
risalah tersebut. yang valid dan shohih.
Sanggahan dari Azami adalah: 1) Dalam sejarah bahkan pada masa
Schacht sebenarnya merasa ragu, apakah sahabat ada orang yang kurang
risalah itu tulisan al-Hasan al-Bashri atau memperhatikan kedudukan sunah
bukan. Kalau demikian, bagaimana ia sebagai sumber hukum namun masih
dapat menyimpulkan bahwa hadis-hadis bersifat perorangan. Kemudian menjelang
akidah itu baru ada sesudah al-Hasan al- akhir abad kedua muncul orang yang
Bashri? Sebab boleh jadi penulis risalah mengingkari sunah secara umum46, akibat
itu seorang ahli Ilmu Kalam dimana dalam pengaruh penjajahan barat. Tanpa
bahasannya ia tidak mencantumkan mendasarkan kepada hadis, tidak
hadis-hadis akidah. 2) Dalam risalah itu mungkin kaum muslimin bisa
terdapat kata-kata “Sunnah Rasulullah”. melaksanakan perintah sholat, karena
Apakah yang dimaksud dengan kata-kata didalam al-Quran hanya disebutkan
itu, bila sunnah Rasulullah itu tidak secara garis besarnya saja, tanpa ada
pernah ada sama sekali? keterangan berapa jumlah raka’atnya,
cara mengerjakannya, dan waktunya.
C. Signifikansi Bagi Pengembangan Studi sunnah merupakan sesuatu
Keilmuan Hadis yang penting, maka tidak heran jika
Hadis adalah sumber rujukan kedua mendapat perhatian dari para ulama
umat islam setelah al-Quran. hadis dan kalangan orietalisme, seperti
Keberadaanya menjadi ujung tombak Ignaz Goldziher, prof. Schacht, Alfred
umat islam, karena di dalamnya sarat Gume, Prof. Robson dan yang lainnya.
dengan berbagai pedoman dan penjelasan Para orientalis beranggapan bahwa hadis
yang telah disabdakan, dilakukan dan di yang telah dikodifikasikan dalam kitab-
tetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. kitab hadis tidak asli dari Rasulullah SAW,
Hanya saja perlakuan terhadap keduanya karena sanadnya tidak benar, para perawi
berbeda. Dalam konteks al-Quran, sumber di pandang palsu karena dibuat
pertama ini telah di perlakukan sangat kemudian. Caetani berpendapat bahwa
maksimal dari awal turunnya sehingga urwah ( W.93) adalah orang yang
tidak ada kesulitan dalam melakukan menghimpun hadis tetapi tidak
identifikasinya. Tetapi dalam konteks menggunakan sanad . 47

hadis, keberadaannya mengalami Apapun dan dari sudut manapun


perlakuan yang sedikit berbeda sehingga kritik yang yang di lontarkan oleh para
tidak semua hadis dapat terdeteksi
keberadaanya. Maka perlu adanya 46M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
penelitian hadis yang mana posisi hadis Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta:
sebagai sumber hukum mengharuskan Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 42.
47Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi

Hadis Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),


hlm. 164.
97 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
kaum orientalis, pada intinya mereka hadis merupakan suatu keharusan yang
menggugat keberadaan hadis sebagai mesti di lakukan ahli-ahli hadis50.
sumber hukum kedua dalam ajaran islam. Dengan terjadinya pemalsuan hadis
Kritik yang mereka lontarkan bertujuan tersebut, maka penelitian hadis menjadi
agar hadis tidak lagi dapat dipakai atau sangat penting. Tanpa dilakukan
digunakan sebagai pedoman dalam penelitian, maka hadis Nabi akan
kehidupan umat Islam. Secara otomatis bercampur aduk dengan yang bukan
ajaran-ajaran yang di kandung al-Quran hadis dan ajaran Islam akan dipenuhi oleh
tidak dapat ditegakkan48. berbagai hal yang menyesatkan umat51.
Terkait dengan historisitas hadis,
argument historis ini mencakup alasan D. Apresiasi
karena tidak semua hadis telah tertulis di Muhammad Musthofa Azami adalah
masa Nabi: secara faktual telah terjadi pemikir hadis yang mampu memberi
sejumlah manipulasi dan pemalsuan warna dan terlibat diskusi yang panjang
hadis: bahwa proses kodifikasi hadis dengan kalangan barat. sebagian besar
terjadi dalam jangka waktu yang lama: pemikirannya terkait dengan hadis dan
jumlah kitab hadis yang banyak dengan kritikan kepada orientalis. Seperti yang
metode dan kualifikasi penyusunan yang tertuang dalam karya ilmiahnya berjudul
beragam, serta telah terjadi proses Studies in Early Hadith Literature. Dalam
transformasi hadis secara makna49. bukunya tersebut beliau memaparkan
Pada dekade keempat dari abad keadaan hadis Nabi yang menurutnya
pertama, umat islam sudah mengalami masih berada pada tataran sumber ajaran
fitnah yang menyedihkan. Tampaknya Islam yang dapat dipercaya/otentik.
pada saat itu mulai muncul pemalsuan- Azami lebih menekankan keotentikan
pemalsuan hadis yang berkaitan dengan hadis pada sisi sanad, karena dalam buku
masalah politik guna mendukung suatu ini azami mendiskusikan secara luas
golongan atau memojokkan golongan lain. keberadaan sanad dalam menjaga
Oleh karena itu tampaknya jelas bahwa keotentikan hadis.
pemalsuan hadis kebanyakan mengenai Buku ini banyak membantah teori
masalah politik, dan boleh jadi pemalsuan dan pemikiran barat tentang keotentikan
hadis untuk tujuan ini sudah mulai hadis. beliau mampu mengkaji dan
muncul pada waktu terjadinya perang menganalisi secara mendalam, beliau
antara ali dan muawiyah. Sejak saat itu dengan gigih berusaha mematahkan serta
sikap hati-hati dalam memilih guru-guru menumbangkan teori-teori yang sesat

50M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah


Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta:
48Zeid B. Smeer, “Ulumul Hadis Pengantar Studi Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 536 – 537.
Hadis Praktis”, Hlm. 169. 51Usman aya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli
49Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta : pustaka firdaus,
UIN-Maliki Press, 2010) , hlm.183. 2002), hlm. 17.
Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 98
para musuh islam, membantah para sendiri juga memerintahkan mereka
penolak sunah, menangkis pikiran- melakukan hal itu.
pikiran orientalis yang meragukan Untuk memperoleh otentisitas
otentisitas hadis nabi, dan melakukan hadis, menurut Azami maka seseorang
pembelaan terhadap hadis nabawi harus melakukan kritik hadis baik sanad
dengan meng-counter pendapat para maupun matannya. Adapun rumusan
orientalis serta membongkar kepalsuan- metodologis yang di tawarkan untuk
kepalsuan secara kritis, objektif dan membuktikan keotentikan hadis nabi
argumentatif. diantaranya52 :
1. Memperbandingkan hadis-hadis dari
E. Catatan Kritis Penulis berbagai murid seorang guru.
Muhammad Musthofa Azami 2. Memperbandingkan pernyataan-
merupakan ilmuwan hadis yang pernyataan dari para ulama dari
memadukan metodologi barat (kritik beberapa waktu yang berbeda.
sejarah) dan metodologi kritik 3. Memperbandingkan pembacaan lisan
hadis/sanad yang dikembangkan oleh dengan dokumen tertulis.
ulama terdahulu yang sudah mapan. 4. Memperbandingkan hadis-hadis
Azami salah satu pemikir hadis yang dengan ayat al-Quran yang berkaitan.
menolak kesimpulan sarjana barat akan Dengan menggunakan metode ini
kajian hadis. Beliau secara terang - maka akan dapat menjawab tuduhan
terangan mengkritik tajam atas pemikiran yang salah terhadap otentisitas hadis.
Schacht terkait keshahihan hadis. Kritik Dari kajian tentang hadis dan sanadnya,
azami bukan ditujukan kepada serta pemakaiannya dalam kitab-kitab
pandangan sarjana barat tetapi ahli fiqh klasik dapat di buktikan bahwa
menyerang pada metode yang mereka kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab biografi
gunakan karena metode yang digunakan tidak tepat di jadikan sebagai objek
sepenuhnya menggunakan alur ilmiah penelitian sanad hadis, baik di tinjau dari
tetapi sering kali dibelokkan untuk gejala adanya sanad itu sendiri,
kepentingan tidak ilmiah. pertumbuhannya maupun
Bagi Azami, otentisitas hadis itu perkembangannya. Penelitian hadis yang
sampai sekarang masih bisa dibuktikan dilakukan oleh orang-orang orientalis
secara ilmiah dan historis. Kehidupan hasilnya tidak benar karena mereka
Nabi merupakan model yang harus diikuti memakai metode yang tidak benar.
oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh Untuk membantah teori yang
ruang dan waktu. Karena alasan ini maka dikemukakan oleh para orientalis,
para sahabat bahkan sejak beliau masih khususnya Prof. Schacht, yang meneliti
hidup telah mulai menyebarluaskan dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
pengetahuan tentang sunnah dan nabi
52M.M. Azami, Metodologi Kritik Hadis, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 87.
99 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102
menghancurkan teori Schacht ini juga Penulisan hadis ini selain untuk mewarisi
melalui penelitian sejarah, khususnya hadis dari generasi ke generasi
sejarah Hadis. Azami melakukan selanjutnya, juga sebagai bukti bahwa
penelitian khusus tentang hadis-hadis hadis selalu terjaga. Penjagaan hadis ini
nabi yang terdapat dalam naskah-naskah bukan hanya melalui hafalan semata,
klasik. Di antaranya adalah naskah milik tetapi juga tulisan. Ketelitian dan kehati-
Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu hatian dalam penyalinan dan
Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu penyampaian hadis tidak dilupakan oleh
Hurairah Sahabat Nabi saw. Naskah suhail para generasi Islam.
ini berisi 49 hadis. Sementara Azami Azami bersikukuh pada
meneliti perawi hadis itu sampai kepada pandangannya dalam hal proses
generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al- penyebaran hadis tidak hanya
thabaqah al-tsalitsah). Termasuk jumlah menggunakan metode lisan tetapi juga
dan domisili mereka. Azami membuktikan tulisan. Alasan yang digunakan untuk
bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi membangun teori dan pandangannya ini,
berkisar 20 sampai 30 orang, sementara Azami memberi koreksi bahwa
domisili mereka terpencar-pencar dan kebanyakan ulama hanya menerima
berjauhan, antara India sampai Maroko, pendapat yang mayoritas beredar dan
antara Turki sampai Yaman. Sementara yang diketahui. Padahal jika ditelaah lebih
teks hadis yang mereka riwayatkan jauh terdapat informasi yang
redaksinya sama. membeberkan banyak penulis hadis baik
Azami berkesimpulan bahwa sangat dari kalangan sahabat maupun generasi
mustahil menurut ukuran situasi dan sesudahnya yang serius dalam penulisan
kondisi pada saat itu mereka pernah hadis. Khususnya terbawa perdebatan
berkumpul untuk membuat hadis palsu dari adanya hadis yang melarang dan
sehingga redaksinya sama. Dan sangat membolehkan menulis hadis.
mustahil pula bila mereka masing-masing Kritik Azami atas pemikiran hadis
membuat hadis, kemudian oleh generasi yang berkembang di kalangan pemikir
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis ternyata tidak semuanya sesuai dengan
yang mereka buat itu sama. Kesimpulan fakta historis. Penulisan hadis yang
Azami ini bertolak belakang dengan selama ini diklaim sebagai kodifikasi telah
kesimpulan Schacht, baik tentang banyak memengaruhi pemikiran generasi
rekontruksi terbentuknya sanad hadis, Islam. Kodifikasi hadis memang baru
maupun bunyi teks (matan) Hadis berjalan di masa az-Zuhri, akan tetapi
tersebut. penulisan hadis sejatinya telah dimulai
Azami secara khusus dan panjang sejak masa sahabat. Bukti autentik dari
lebar mengulas kegiatan tulis menulis hal ini adalah adanya catatan-catatan
hadis sejak masa awal Islam sampai yang memuat hadis-hadis Nabi SAW yang
terwujudnya buku-buku kanonik hadis. ada di tangan sahabat (shahifah).

Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 100


Nyatalah bahwa ada beberapa sahabat
Nabi SAW yang pandai menulis meski
jumlah mereka tidak banyak.

101 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Maret 2019| 81~102


BIBLIOGRAPHY

Azami, M. M., Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah. 1996.


Azami, M.M., Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikhi Tadwinihi. Beirut: al-Maktab al-
Islami. 1992.
Azami, M.M., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterj. oleh Ali Mustafa Yaqub. Cet: VI.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 2014.
Fahimah, Siti, “Sistem Isnad dan Otentisitas Hadis: Kajian Orientalis dan Gugatan atasnya,”
Ulul Albab, Vol. 2, 2014.
Hadi, Khoirul, “Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Hadis,” Kontemplasi, Vol. 2, Nopember,
2013.
Iffah, Ummu, “Pandangan Orientalis Terhadap Sunnah (Telaah Kritis atas Pandangan
Goldziher),” Kontemplasi, Vol. 1, Agustus, 2010.
Isnaeni, Ahmad. “Historitas Hadis Dalam Kacamata M. Mustafa Azami,” Episteme, Vol. 2,
Desember, 2014.
Isnaeni, Ahmad. “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami,” Journal of Quran and Hadith
Studies,Vol. 3. 2014.
Khaeruman, Badri. Otentisistas Hadis (Studi Kritis atas Kajian Hadis Kotemporer). Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2004.
Muksin, Ucin, “Al-Hadits dalam Pandangan Orientalis (Joseph Schacht),” Jurnal Ilmu Dakwah,
Vol. 04, Januari-Juni, 2008.
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
2008.
Sumbulah, Umi, dkk., Studi al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2014
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2002.
Syarifah, Umaiyatus, “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits
(Counter atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab, Vol. 2, 2014.
Zuhri, Muh., “Perkembangan Kajian Hadits Kesarjanaan Barat,” Ulul Albab, Vol. 16, 2015.
*****

Nurul Fitria Aprilia | Hadis Nabawi dan Sejarah . . . 102

Anda mungkin juga menyukai