Anda di halaman 1dari 7

WACANA TEOLOGI DARI TEKSTUALITAS AL-QUR’AN OLEH NASR HAMID ABU

ZAYD
Nurul Khasanah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
nurulkhaasanah@gmail.com
Abstrak
Sebuah pemikiran memiliki peran yang penting bagi seseorang. Jika benar pemikirannya maka
akan berdampak kepada suatu pemahaman yang mengarah kepada baiknya sikap serta
perilakunya. Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir dari Mesir yang kontroversial.
Pendapat-pendapatnya yang dianggap terlalu berani menjadikannya mengalami beberapa
masalah yang besar. Salah satunya adalah pendapatnya mengenai Tekstualitas al-Quran. Yang
mana pemikiran tersebut sangat berpengaruh pada pemahaman teologi terutama bagi awam.
Walaupun hal ini dianggapnya sebagai sebuah wacana keagamaan kontemporer yang berarti
sebuah pembaharuan di dunia islam.
Kata Kunci: Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Wacana Teologi.
Pendahuluan

Dengan maraknya perkembangan wacana pemikiran islam banyak muncul pandangan baru
terhadap tanzil-nya al-Quran yang berasal dari pemikir Islam modernis. Salah satunya Nasr
Hamid Abu Zayd yang menyatakan al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqqafi) artinya
teks al-Quran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur budaya arab. Sebenarnya hal
ini sedikit membahayakan karna akan menuju kepada goyahnya atau bahkan hilangnya
keyakinan bahwa teks al-Quran dalam mushaf adalah suci.
Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang tokoh yang kontroversial di abad 20. Beliau mencoba
menawarkan metodologi/pembacaan baru terhadap al-Quran. Hal ini bias dikatakan sebagai
salah satu upaya untuk merekonstruksi metode ulama terdahulu yang cenderung atomistis kepada
sebuah pengkajian yang lebih menyeluruh. Hal ini dikarenakan dalam melahirkan sebuah tafsir
tentu berkaitan dengan semangat zaman karna al-Quran bersifat sohihun fi kulli makan wa
zaman. Oleh karna itu Nasr Hamid melakukan upaya konstektualisasi pesan-pesan al-Quran.1
Latar dari pemikiran tersebut adalah penegasan Nasr Hamid mengenai warisan budaya masa lalu
yang seharusnya tidak sepenuhnya menjadi patokan dalam merumuskan wacana keagamaan pada
masa ini. Sudah semestinya tetap kritis dan melakukan pembaharuan untuk mengatasi kritis yang
sedang kita alami saat ini dengan tetap menegaskan aspek-aspek positif dari warisan budaya
masa lalu. Sehingga pembaharuan ini menggabungkan antara otentisitas dan kekinian.

1
Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya, hlm. 1
Pemikiran-pemikiran Nasr Hamid sudah sangat popular dan sudah banyak peneliti terutama
dikalangan akdemisi. Karena pemikirannya cukup kontroversial dan mempunyai perbedaan yang
cukup signifikan dibandingkan dengan tokoh pembaharu yang lain. Bagaimanakah pemikiran
Nasr Hamid?
Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang intelektual muslim yang tidak hanya terkenal di lingkaran
ulama kontemporer timur saja, akan tetapi juga Eropa dan Amerika. Karena kekritisannya, Nasr
Hamid termasuk ke dalam kategori ulama yang memiliki pemikiran yang radikal dan cenderung
reformatif terhadap pemikiran islam. Nasr Hamid lahir pada 10 Juli 1943 di desa Qahafa, dekat
kota Tanta, Mesir. Berasal dari keluarga yang religious membuatnya sudah menghafal al-Qur’an
sejak masih usia 8 tahun, bahkan ada pendapat yang menyampaikan bahwa beliau sudah bisa
menceritakan isi al-Quran pada usia tersebut. Selain mengikuti pendidikan formal, beliau juga
mengikuti pendidikan agama di Kuttab atau sebuah lembaga tradisional di Mesir.
Setelah lepas dari penjajahan Prancis, Mesir sedang dihadapkan dengan upaya membangun
pemerintahan sendiri dan bermunculan berbagai ideology serta pemikiran yang berkompetisi,
bercorak keagamaan maupun sekuler. Hal ini menyebabkan Nasr Hamid pernah menjadi bagian
dari Ikhwanul Muslimin dan memutuskan untuk keluar pada tahun 1964.
Masa kecil Nasr Hamid membawanya menjadi seseorang yang lebih kuat dan tangguh. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Tanta, pada usia 14 tahun ayahnya meninggal
dunia. Hal ini menyebabkan Nasr Hamid dituntut menjadi pribadi yang mandiri baik secara
finansial maupun intelektual.2 Setelah selesai jenjang sekolah, Nasr hamid sebenarnya ingin
melanjutkan ke jenjang kuliah, namun karena pesan dari ayahnya untuk melanjutkan di SMK
dengan jurusan teknologi dengan tujuan dia dapat segera mendapatkan pekerjaan lebih cepat,
akhirnya Nasr Hamid melanjutkan sekolah teknologi dan lulus pada tahun 1961. Setelah lulus
dari sekolah teknologi Nasr Hamid mendapatkan pekerjaan di bidang transportasi. Hingga pada
tahun 1968, Nasr Hamid melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab, Jurusan Bahasa Arab,
Universitas Cairo dan lulus pada tahun 1972 dengan predikat Cumlaude lalu diangkat menjadi
dosen tidak tetap disana.3
Kasus yang menimpa Nasr Hamid bermula dari lingkungan universitasnya ketika Nasr Hamid
mengajukan karyanya untuk promosi professornya. Salah satu dosen serta penguji yaitu Abd Al-
Shabur Sharin menyampaikan bahwa pemikiran Nasr Hamid ini tidak sesuai dengan ajaran islam
dan menganggap Nasr Hamid telah murtad. Tidak hanya sampai situ, masalahnyapun melebar
dan menyebabkan Nasr Hamid diceraikan dengan istrinya secara paksa tanpa ada persetujuan
dari keduanya. Nasr Hamid merasa tidak ada perlindungan yang baik di negaranya lalu beliau
memutuskan untuk ke Netherlands untuk mencari perlindungan serta menempuh pendidikan.4

2
Pendekatan Hermenutika AL-Quran Kontemporer Nasr Hamid Abu Zaid, hlm. 4
3
Nasr Hamid Abu Zayd and The Hermeneutical of Qur’an, hlm. 487
4
Nasr Hamid Abu Zayd and The Hermeneutical of Qur’an, hlm. 489
Nasr Hamid pernah di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), memperoleh beasiswa untuk
penelitian doctoral di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania,
Philadelphia. Nasr Hamid pernah juga menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang dan
mengajar Bahasa Arab selama 4 tahun yaitu tahun 1985-1989 lalu di Universitas Leiden
Natherlands tahun 1995-1998.5
Ada banyak karya yang dihasilkan oleh Nasr Hamid, dari sekian banyak karya tersebut banyak
yang sifatnya kontroversial karena dianggap sudah melenceng dari prinsip ajaran islam. Berikut
beberapa karya-karyanya:
- Mafhum al-nas (Dirasah fi Ulumil Qur’an)
- Al-Ittijahat al-Aql fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyat al-majaz Ind al- Mu’tazilah
(Pendekatan Rasional dalam Interpretasi: Studi terhadap Majaz menurut Kaum
Mu’tazilah).
- Falsafat al-Ta’wil; Dirasat fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘Ind Muhyiddin Ibn ‘Arabi
(Interpretasi Filosofis; Studi Terhadap Interpretasi al-Qur’an menurut Ibn ‘Arabi)
- Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan).
- Al-Imam al-Syafi’I wa Ta’sis al-Aidiu lujiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi’I dan
Pembentukan Ideologi Moderat).
- Al-Nass, al-Sultat, al-Haqiqat (Teks, Wewenang Kebenaran).
- Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil (Problematika Pembacaan dan Mekanisme
Interpretasi).
- Al-Tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran di era Pengkafiran).6
Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Dasar dari pemikiran Nasr Hamid mengenai al-Qur’an berawal dari pemahaman tentang hakikat
teks al-Qur’an yang berkaitan dengan perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Bagi
Mu’tazilah, al-Qur’an bukanlah suatu sifat akan tetapi perbuatan Tuhan yang berarti bahwa al-
Qur’an bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Sedangkan pendapat dari Asy’ariyah bahwa Al-
Qur’an adalah sifat Tuhan oleh karna itu pastilah kekal sebagaimana sifat Tuhan itu sendiri. Nasr
Hamid lebih sepakat kepada pendapat Mu’taziah bahwa al-Qur’an diciptakan oleh Tuhan, hal
tersebut memunculkan pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebuah fenomena historis dan
mempunyai konteks spesifiknya sendiri.7
Hal ini menjadikan pemikiran Nasr Hamid kontroversial, mengapa? Karna pemikiran baru
darinya ini menabrak tradisi pemikiran lama yang sudah berkembang di dunia intelektual
maupun masyarakat awam. Pemikiran itu dianggap menyimpang, bahkan Nasr Hamid dianggap
murtad hingga dipaksa diceraikan dengan sang istri. Yang pada akhirnya menjadikannya harus
pergi ke luar negeri untuk mencari “pembelaan” atau “pembenaran” dari pemikirannya tersebut.

5
Pendekatan Hermenutika AL-Quran Kontemporer Nasr Hamid Abu Zaid, hlm. 5
6
Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya, hlm. 3
7
Tradisi Intelektual Islam “Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama”, hlm 17. (Malang: Madani, 2015), Mun’im Sirry.
Hal-hal ini berimplikasi pada tiga hal: pertama: al-Quran adalah sebuah teks dan lebih
khususnya lagi teks linguistic karena Bahasa tidak bias dipisahkan dari budaya dan sejarah, al-
Quran juga sebuah teks cultural dan hsitoris. Kedua: teks haruslah dikaji dengan menggunakan
pendekatan linguistic dan sastra yang memperhatikan aspek-aspek cultural dan historis teks.
Ketiga: titik berangkatnya bukan keimanan akan tetapi obyektifitas keilmuwan, sehingga baik
Muslim maupun non Muslim dapat memberikan kontribusi kepada studi al-Qur’an.8
Berkaitan dengan pandangan beliau terhadap al-Quran adalah sebuah teks bahwa Nasr Hamid
menyatakan kalau teks-teks agama adalah teks-teks Bahasa yang bentuknya sama dengan teks-
teks yang lain dalam budaya. Setelah asumsi pertama dibangun kemudian Nasr Hamid
menyatakan bahwa umat islam saat ini memerlukan kebebasan mutlak dari otoritas teks-teks
keagamaan (khususnya al-Quran) dalam melahirkan pemahaman keagamaan yang sesuai dengan
konteks saat ini.9
Menurut Nasr Hamid para ulama konservatif tanpa disadari mengingkari tuhjuan wahyu dan
maksud syariah karena memisahkan teks dari realitas, yaitu dengan adanya tuntutan penerapan
teks yang mutlak pada realitas yang juga mutlak. Kristalisasi konsep teks bias jadi dapat
menghilangkan sebagaian aspek dari kekacauan tersebut dan dapat menyingkap kenyataan tidak
adanya pemisahan dari arus peradaban kelas hegemonic dan arus peradaban resmi yang
informative. Kita tidak dapat mengikuti ulama kuno sebab mereka hidup pada masanya dan
berijtihad, membangun dasar-dasar ilmu, mendirikan peradaban, menciptakan filsafat, dan
merumuskan pemikirannya dengan kondisi sosio dan kultural masa itu. Oleh karna itu, kita
dengan kadar yang sama tidak bias menerima begitu saja dan harus merumuskan kembali serta
membuang apa yang tidak sesuai dengan masa kita. Ringkasnya, kita sudah terlalu lama
terkungkung dalam warisan budaya mereka yang saat ini membentuk dan mempengaruhi
perilaku kita. Walaupun kita juga tidak bias mengabaikannya dan tetap harus menjadikannya
sebagai salah satu pijakan dalam mengambil sebuah hokum.10
Pada dasarnya kerangka Pemikiran Nasr Hamid dipengaruhi oleh dua hal pokok:
1. Konsep Wahyu
Menurut Nasr Hamid bahwa proses turunnya al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW
melalui dua tahapan. Pertama: tahap tanzil yaitu proses turunnya teks al-Quran secara
vertical dari Allah kepada Jibril. Kedua: tahap takwil yaitu proses dimana Nabi
Muhammad SAW menyampaikan al-Quran dengan bahasanya yaitu Bahasa Arab dan
dengan pemahaman manusia.
Hal ini berarti bahwa al-Quran yang ada sekarang hanya merupakan bentuk pemahaman
dari Nabi SAW saja sebagai penerima wahyu, bahkan Nabi ditempatkan sebagai
pengarang al-Quran. Hal itu dikarenakan interaksinya al-Quran dengan budaya dimana

8
Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya, hlm. 4
9
Teks al-Qur’an adalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 67
10
Tekstualitas Al-Qur’an, “Kritik terhadap Ulumul Qur’an”, hlm. 11
wahyu itu turun juga dengan wahyu yang menggunakan Bahasa arab. Karena anggapan
Nasr Hamid bahwa Bahasa tuhan pasti berbeda dengan Bahasa manusia.11
Pemikiran ini adalah salah satu dari sekian yang sangat kontroversial. Menurutnya wahyu
adalah sebuah proses komunikasi. Syaratnya pemberian wahyu harus berjalan secara
samar dan tersembunyi. Wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak
yang mengandung pemberian informasi –pesan- secara samar dan rahasia. Karena hal itu
bersifat rahasia maka diperlukan media khusus, yang dimana proses itu membutuhkan
dua pihak yang saling memahami Bahasa komunikasi.12
Berawal dari pemikiran ini menjadikan Nasr Hamid menganggap bahwa Al-Quran itu
adalah produk budaya, hal itu akan menimbulkan sebuah statement bahwa AL-Quran
bukan lagi sesuatu yang sakral. Dalam pandangannya bahwa historisasi teks, realitas,
budaya, dan bahasa (Bahasa Arab) menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks manusiawi
(nass insani). Disitulah Nasr Hamid telah meletakkan kedudukan al-Quran sejajar dengan
teks-teks Bahasa yang bentuknya sama dengan teks lain dalam budaya.
Ada asumsi dasar yang pada akhirnya harus dibangun yaitu Nasr Hamid menyatakan
bahwa teks-teks agama adalah teks-teks Bahasa yang bentuknya sama dengan teks-tes
pada umumnya. Oleh karna itu masyarakat islam memerlukan kebebasan mutlak dari
otoritas-otoritas keagamaan dalam melahirkan pemahaman keagamaan yang sesuai
dengan konteks saat ini.
2. Marxisme
Marxisme berkeyakinan bahwa nilai agama itu bersifat relative bergantung kepada waktu
dan zaman yang mengelilinginya. Adapun pendapat yang dikemukakan oleh Nasr Hamid
bersesuaian. Dalam ajarannya Marxisme mengenalkan metodologi materialism dialektis
yang menjadi pilar pertama dari Marxisme. Ajarannya berupa nilai-nilai social yang
terdapat dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari faktra-fakta social. Hal ini sesuai
dengan ungakapan Nasr Hamid ketika menyatakan bahwa al-Quran adalah produk
budaya artinya tersusun dan terbentuknya tidak dapat terlepas dari fakta social saat itu.
Selanjutnya adalah dalam pandangan Marxisme alam dan realitas ekonomi dan social
adalah dua fondasi dasar yang digunakan pikiran untuk membentuk, mengeluarkann dan
memproduksi segala hal. Demikian juga Nasr Hamid bahwa realitaslah yang menjadi
dasar pemahaman al-Quran dan tidak mungkin untuk diabaikan.13
Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Dalam metode hermeneutika yang Nasr Hamid menekankan pentingnya penekanan historis teks
al-Quran, kesadaran sejarah atasnya, serta sikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya.
Hubungan pembaca dan teksnya secara dialektis menjadi sangat penting di kalangan penafsir
agar tidak terjebak dalam ideologisasi penafsiran. Oleh karena itu Nasr Hamid melahirkan

11
Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 72
12
Tekstualitas AL-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qu’an, hlm. 34-36
13
Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 73
metode interpretasi yang bercorak humanis dan dialogis dengan istilah “hermeneutika
humanistic”.
Nasr Hamid menyamakan hermeneutika ini dengan takwil dalam islam yaitu makna teks tersebut
memiliki keterkaitan fungsional dengan kondisi saat ini, artinya takwil dan hermenutika adalah
sama dalam pemaknaannya. Hermeneutika kontemporer, terutama konsep productive
hermeneutic Hans-Georg Gadamer yang diistilahkan dengan al-Qiraah al-muntijah merupakan
cara baru pembacaan al-Quran yang menerima fakta adanya prasangka-prasangka yang sah.14
Abu Zaid lebih mendalami pergulatan teks dengan menggunakan semiotika dan hermeneutika.
Dengan dua alat bedah inilah ia menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah “produk budaya” (al-
muntaj al-saqafi). Melalui pemikirannya yang kontroversial ini, Abu Zaid menyatakan bahwa
teks Al-Qur’an mengalami dialektika antara teks dan realitas sosial dalam tahap yang disebut
dengan marhalah al-tasyakkul, yang menggambarkan teks Al-Qur’an sebagai “produk
kebudayaan”, dan kemudian masuk pada tahap marhalah attasykil, ketika teks yang semula
merupakan “produk kebudayaan” menjadi “produsen kebudayaan”. Dari hal ini akan lahir
hermeneutika humanistic yaitu hermeneutika yang mengembalikan teks-teks keagamaan kepada
actor manusia.
Dalam proses penfasiran menggunakan hermeneutika Nasr Hamid berupaya mencari makna dan
signifikansi atau magza dari teks-teks diskriminatif terhadap suatu kasus. Berangkat dari
mekanisme hermeneutikanya dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, Abu Zaid tidak lepas dari
kajian asbabun nuzul. Kajiannya bersifat intertekstual, sehingga Abu Zaid berusaha
menghasilkan interpretasi yang sifatnya humanis sesuai dengan keinginan masyarakat
(humanistic hermeneutics). Inilah dasar pemikiran Abu Zaid dalam menginterpretasi sebuah teks.
Teori hermeneutika humansitik yang diusung Abu Zaid dapat membawa pemahaman bergerak
dari tekstual (normatif) ke kontekstual, dari otoriter ke otoritatif, subjektif ke objektif, dan dari
ideologis ke produktif, sehingga hermeneutika dapat menarik pesan-pesan fundamental dalam
hukum Islam. Secara global, teori hermeneutika yang dilakukan oleh Abu Zaid dapat
disimpulkan bahwa teori hermeneutika yang ditawarkan Nashr Hamid Abu Zaid yang bercorak
humanis-kritis terhadap Studi al-Qur’an kontemporer dapat memberikan kontribusi dalam
diskursus pemikiran ke-Islam-an termasuk terhadap perkembangan hukum Islam kontemporer.

Kesimpulan
Setelah menyelesaikan mengenai Nasr Hamid, beliau cukup memberikan variasi dan inspirasi
terhadap perkembangan pemikiran walaupun dengan pendapat-pendapatnya yang kontroversial.
14
Pendekatan Hermeneutika Al-Quran Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd, hlm. 7
Apalagi yang berkaitan dengan teks adalah produk budaya yang mana hal ini akan memberikan
imbas yang buruk pada keimanan apabila tidak dipahami secara hati-hati.
Untuk itu sebagai seorang akademisi muslim harus berhati-hati terhadap ilmu yang akan
dipelajari terhadap pemahaman tentang al-Quran dan Islam.
Daftar Pustaka
Ahmad Fauzan, “Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd”, UNIDA Gontor
Journals, vol. 13, No 1, Maret 2015.
Ahmad Zayyadi, “ Pendekatan Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd:
Aplikasi terhadap Gender dan Woman Studies dalam Studi Hukum Islam”, IAIN Purwokerto,
Maghza Vol. 2, No 1 Januari-Juni 2017.
Fikri Hamdani, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya”, UIN Sunan Kalijaga.
Nur Zainatul, “Nasr Hamid Abu Zayd as a Modern Muslim Thinker”, July 2014.
Ismail Suardi Wekke dkk., “Nasr Hamid Abu Zayd and The Hermeneutical of Quran”, STAIN
Sorong, Indonesia.
Nasr Hamid Abu Zayd, “Tekstualitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Quran”,LKiS, Januari
2001.

Anda mungkin juga menyukai