Anda di halaman 1dari 11

Hate Speech di Medsos

Pendekatan Nasr Hamid Abu Zayd


Sukardi Bay (17205010070)

A. Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya tentu membutuhkan berbagai macam
pengetahuan. Dari berbagai sumber yang merupakan pilar dari sebagian besar
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara
khusus, maupun masalah sosial pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik
bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur’an dan Hadits.1 Dan tampaknya tidak
ada satu orang pun yang menolak bahwa al-Qur’an dan hadis memiliki posisi
yang sangat sentral di dunia Islam.

Islam juga merupakan sebuah agama yang raḥmatan lil ālamīn yang
mengajarkan hubungan ketuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar dengan
berbagai macam syariat yang ada didalamnya sebagai hukum dalam
melaksanakan sesuatu agar tidak bertentangan dengan larangan agama.
Kemanusiaan menuntun untuk kehidupan sosial kemasyarakatan yang sesuai
dengan syariat, bertujuan untuk melindungi harkat serta martabat manusia. Setiap
perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia baik secara pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT.2

Selain itu Islam mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba,


memata-matai, mengumpat, mencaci maki, memanggil dengan julukan tidak baik,
dan perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan
manusia. Islam pun, menghinakan orang-orang yang melakukan dosa ini, juga
mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan

1
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), 2013, hlm. 19
2
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 60

1
2

mereka dalam golongan orangorang yang fasik, karena Islam bukanlah agama
yang mengajarkan untuk merendahkan orang lain.3

Hate speech sangat erat kaitannya dengan penghinaan dan pencemaran


nama baik dan merupakan pelanggaran yang menyangkut harkat dan martabat
orang lain, yang berupa penghinaan biasa, fitnah/tuduhan melakukan perbuatan
tertentu, berita yang terkait dengan ujaran kebencian sangat besar pengaruhnya
dan sangat jauh akibatnya, karena dapat menghancurkan reputasi, keluarga, karir
dan kehidupan didalam masyarakat tentunya. Sebagaimana dalam al-Quran Allah
Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok


kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolokolokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-
buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS.al-
Ḥujurāt [49]: 11)

Berdasarkan ayat tersebut, maka kiranya perlu di pahami mengenai


bagaimana hate speech di medsos, yang berdampak pada kehidupan sosial karena
sifatnya yang sensitif bertentangan dengan prinsip keadilan, kesetaraan dan hak
asasi manusia. Oleh karena itu artikel ini ingin memotret lebih dalam makna yang
terkandung di dalam hate speech perspektif hadis dengan menggunakan
pendekatan Abu Zayd yang dalam istilah disebut hermeneutik. Istilah ini menarik
untuk diangkat, karena menurut penulis ini merupakan satu tawaran metodologis
alternatif untuk memecahkan permasalahan yang dimaksud. Sebagaimana
Aristoteles mengatakan, yaitu kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari

3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm. 61
3

pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata
yang kita ucapkan.4

B. Pembahasan
1. Sekilas Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan di desa Qahafah, dekat kota Tanta, Mesir
pada tanggal 19 Juli 1943. Sejak kecil, orang tuanya memberi nama Nasr dengan
harapan semoga ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat
kelahirannya bertepatan dengan perang dunia II. Bapaknya adalah seorang aktivis
Ikhwan al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul eksekusinya Sayyid Qutb.
AbuZaid berasal dari keluarga religius. Ketika usianya mencapai 8 tahun, Nasr
Hamid Abu Zaid sudah menghafalkan al-Qur’an hingga hatam 30 juz, sehingga
dia dipanggil dengan sebutan “Syaikh Nasr” oleh anak-anak di desanya. Nasr
dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat religius. Nasr Hamid Abu
Zaid adalah salah satu tokoh pemikir Islam modern yang banyak melahirkan
pemikiran-pemikiran baru. Beliau hidup di Mesir di mana atmosfer kebebasan
berpikir berkembang pesat. Negeri tersebut juga merupakan pusat sumber
khazanah Islam. Kondisi tersebut tidak dipungkiri secara dinamis berpengaruh
pada pertumbuhan intelektualitas Abu Zaid.5
Abu Zaid kecil sebagaimana anak-anak pada semasanya, selain mengikuti
pendidikan formal di sekolah negeri setempat, Abu Zaid juga mengikuti
pendidikan agama secara non-formal di kuttab atau lembaga pendidikan
tradisional yang ada di daerahnya pada tahun 1951. Di kuttab itulah Abu Zaid
belajar membaca, menulis, dan juga menghafal al-Qur’an, di samping menerima
pelajaran-pelajaran keagamaan tradisional yang lain. Oleh karena itu, dilihat dari
sisi sosialnya (perang dunia II dan kondisi Mesir yang masih stabil) dan
keluarganya, Abu Zaid lebih banyak menelurkan pemikiran-pemikiran yang
progresif. Abu Zaid menjadikan teks al-Qur’an sebagai teks terbuka yang

4
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kani-
sius,1999), hlm. 24.
5
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dariAbu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 348.
4

menuntut adanya interpretasi bahasa. Karena itu, analisis linguistik diharapkan


mampu meminimalisasi subjektivitas dan tarikan kepentingan pembacanya.6
Adapun sejarah pendidikannya, Abu Zaid menyelesaikan gelar BA pada
1972 konsentrasi Arabic Studies. Pada saat itu, Abu Zaid lulus dengan predikat
Cumlaude (sangat memuaskan) sehingga ia diangkat sebagai asisten dosen di
almamaternya. Gelar MA pada tahun 1977 dan memperoleh gelar doctor, PhD.
pada tahun 1981 dengan konsentrasi Islamic Studies di Universitas Kairo. Beliau
menulis disertasi yang berjudul “Falsafah at-Ta’wil ‘Inda Muhyi ad-Din Ibn al-
‘Arabi” (Filsafat Ta’wil: Studi Hermeneutika al-Qur’an Muhyi ad-Din Ibn al-
‘Arabi), yang dipublikasikan pada 1983 dengan nilai memuaskan dan dengan
penghargaan tingkat pertama (Martabatun ma’a asy-Syaraf al-Ula).7
Beliau bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada
tahun 1992, beliau dipromosikan sebagai professor, tetapi ditolak karena hasil
kerja dan pemikirannya yang kontroversial, di antaranya menghujat para sahabat
Nabi. Sebelumnya, pada tahun 1978 beliau menjadi fellow pada Centre for Middle
East Studies di universitas pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana
Abu Zaid mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori
tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab
dengan hermeneutika Barat. Dia menulis artikel “al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat
Tafsir an-Nass” (hermeneutika dan problem penafsiran teks) yang menurut
pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis
dalam bahasa Arab.8
Pada bulan April 1992, pada usianya yang ke-49, Abu Zaid menikahi Dr.
Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor bahasa Inggris, Prancis dan sastra
perbandingan di universitas Kairo. Satu bulan kemudian, 9 mei 1992, beliau
mengajukan promosi professor penuh di universitas Kairo. Namun ini merupakan
awal dari tragedi hidupnya, sebuah peristiwa yang telah mempengaruhi sejarah

6
Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005),
hlm. xvii.
7
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dariAbu> Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 348.
8
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermenutika
Nas rAbu Zaid (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 18.
5

Mesir dan dunia Islam secara umum. Abu Zaid menyerahkan dua bukunya, al-
Imam asy-Syafi’i dan Naqd al-Khitab ad-Dini, serta sebelas paper akademik
lainnya kepada panitia penguji. Meskipun dua dari tiga komite menyetujui karya-
karyanya, panitia pada akhirnya mengadopsi pandangan Dr. Abd as-Sabur asy-
Syahin, yang telah menuduh Abu Zaid merusak ortodoksi Islam yang berkaitan
dengan al-Qur’an, Nabi, Sahabat, Malaikat, dan makhluk gaib lainnya. Panitia
pun menolak pengajuan promosinya.9
Abu Zaid adalah merupakan salah satu pemikir Mesir yang dianggap
kontroversial karena karya-karyanya mengundang berbagai polemik di dunia
Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-
karyanya yang menggulirkan wacana baru sebagai bentuk pencerahan dalam studi
Islam. Namun, di sisi lain, ia dijustifikasi sebagai orang sesat dan dikafirkan di
pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dianggap menyeleweng.
Vonis pengkafiran tersebut memaksa Abu Zaid hijrah ke Leiden kemudian
menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor pada
Universitas for Humanistics di Utrecth. Abu Zaid menghembuskan nafas
terakhirnya di rumah sakit spesialis as-Syeikh Zaid, Kairo tahun 2010. Abu Zaid
meninggal pada usia 67 tahun.
2. Sekilas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Berangkat dari paradigma bahwa al-Qur’an adalah sebuah “teks kebahasaan
dan realitas, maka begitu juga dengan hadis yang mempunyai struktur kebudayaan
yang sama. Maka, Nasr Hamid mencoba merumuskan sebuah metodologi yaitu
mengungkap makna asli (meaning atau ma’na), yang kemudian akan melahirkan
sebuah makna baru (significance atau magzha). Sebagai landasan metodologi
yang dibangun oleh Nasr hamid, ia membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil.
Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak
diketahui yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah. Sedangkan ta’wil
adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan maghza.
Ma’na merupakan dalalah yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga
makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik. Sedangkan maghza

9
Ibid., hlm. 22
6

menunjukkan pada makna dalam konteks sosio historis. Dalam proses penafsiran
kedua hal ini sangat berhubungan kuat satu sama lain, maghza selalu mengikuti
ma’na begitupula sebaliknya.10
Dalam membangun teori penafsirannya, Nasr Hamid memandang sangat
penting persoalan (konteks) dalam memproduksi makna. Menurutnya di dalam al-
Qur’an atau hadis terdapat beberapa level konteks, yaitu: konteks sosio cultural,
konteks eksternal, konteks internal, konteks linguistic, dan konteks pembacaan
atau penakwilan. Penggalian makna hanya dengan menggunakan atau memenuhi
kelima konteks ini sudah cukup. Pandangan Nasr Hamid ini pada dasarnya sama
dengan kerangka teori yang dibangun semiotika.11

C. Hate Speech di Medsos Perspektif hadis


Pemahaman konteks riwayat sejarah nabi menjadi satu alasan bahwa
kajian terhadap hadis. Terkait ujaran kebencian sangat urgen dalam rangka
mendapatkan keteladanan beliau dalam arti memahami makna hate speech dalam
perspektif hadis, standar dan kriterianya, serta efek dan akibatnya baik secara
individual maupun komunal kepada pelaku dan korbannya. Dalam hal ini
permasalahan hate speech di medsos, tentu juga hate speech mempunyai konteks
sosio, konteks bahasa maupun konteks pada pembacaan. Sebab, orang yang
mengucapkan hate speech, tentunya mempunyai alasan tersendiri. Yang ditujukan
kepada korban hate speech.
Dari sisi tersebut, Islam agama yang anti terhadap hate speech. Ia sangat
menentang dan menyebutnya sebagai sifat dan prilaku tak bermoral. Parah
pelakunya merupakan orang-orang yang berahlak buruk.
Nabi bersabda:

10
Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010),
hlm. 125
11
Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis
7

َّ ‫ الم‬:‫ قال‬.‫ بلى‬:‫ قالوا‬.”‫أال أخبركم بشراركم؟‬


‫ المفسدون بين‬،‫شاؤُون بالنميمة‬
ُ ‫ ال َبا‬،‫األحبة‬
‫ (أخرجه البخاري في األدب المفرد‬.“ ‫غون الب َُرآ َء العنت‬

“Maukah kalian aku beritahu tentang orang-orang yang moralnya paling buruk?.
Mereka menjawab : Ya, kami mau. Nabi mengatakan : Ialah orang-orang yang
kerjanya mengadu domba (menghasut), yang gemar memecah-belah orang-orang
yang saling mengasihi/bersahabat, dan yang suka mencari kekurangan pada
manusia yang tidak berdosa”. (HR.Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad,
323 dan Ahmad, 6/459 ).

Sementara hadis lain juga menegaskan:

ْ‫لل واليوم االَ ِخ ِرف ْليق ْل‬ ْْ :‫ قال‬:‫للاه عليه وسلّ َْم‬
ِْ ‫من كان يؤمن با‬ ْ ‫للا صلّى‬ ْْ ‫عن أبي هريرةرضيالل انه‬
ِْ ‫عن رسول‬
ْْ‫ص همت‬
ْ ‫خي ًْرا ْأولي‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyaulahu ‘anhu, dari Rasulullah ‘alaihi


wa sallam, beliau bersabda, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Kiamat maka berikanlah pernyataan yang baik atau lebih baik diam”.

Hadis diatas mengisyaratkan bahwa, dalam Islam dilarang menghina atau


menghasut sesama manusia, dalam hal ini meskipun media merupakan ruang
publik di mana setiap orang berhak untuk bereksperesi dan mengemukakan
pendapat, namun pendapat yang dikemukakan tentu tidak menyinggung atau
mengandung unsur negatif.

Dengan begitu pandangan terhadap hadis, Abu Zayd mengklarifikasi para


pembaca agar memperhatikan "hates speech" dalam wacana tertentu yang bersifat
sara. Bagi Zayd semiotika mencakup seluruh sistem tanda, baik linguistik maupun
non linguistik yang dapat memproduksi makna secara umum. Oleh karena itu
pemikiran hendaknya tidak terhenti pada terpenuhinya makna literal "teks hate
speech" semata, akan tetapi hendaknya melangkah lebih jauh untuk menguak teks
hate speech secara signifikansi sosial-budaya-ekonomi dan politik. Sebab, "teks
8

hate speech"dalam hal ini tidak dapat melepaskan dari konteks, bagaimana "teks
hate speech" itu muncul dan kepada apa "hate speech" itu berdialog. Dengan
demikian, Zayd menghendaki teks merupakan produk budaya, dan karenanya teks
harus dipahami secara kritis.12 Termasuk hate speech itu sendiri

Dalam melihat hate speech dari perspektif hadis tentunya memiliki syarat
tertentu untuk meligetimasi bahwa hate speech tersebut benar-banar sebagai ujran
kebencian. Syarat-syarat yang dimaksud adalah, pertama, dan yang terpenting,
hate speech harus bersambung pada pelakunya, di samping itu apa isi dari
pengucapan hate speech. Kedua,hate speech tidak bertentangan dengan
rasionalitas. Ketiga,hate speech kemana arah indikasinya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua alasan sebagaimana yang terjadi
dalam hate speech di medsos dalam analisa semiotik. Pertama, bahwa selama ini
dirasakan terdapat satu hegemoni hate speech yang secara tidak sadar dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan diri sebagai kebenaran
intelektual, yang mana "hate speech" sebenarnya hanya mempunyai kuasa
epistemologis dan tidak memiliki kuasa hegemonik, telah diadopsi, diubah, dan
diselipkan kerangka ideologis yang sebenarnya tidak muncul dari "hate speech"
itu sendiri, namun oleh akal manusia dalam bentuk emosional. Hal inilah yang
menimbulkan tidak adanya dinamika ilmu yang lebih kreatif dalam diri manusia
karena kebebasan sudah ada dalam "hate speech", sehingga pembaca hanya dapat
menjelaskan isi "hate speech" saja tanpa dibarengi tinjauan ulang secara kritis.
Kedua, hegemoni pemikiran yang mempraktekkan pemaksaan dan
penguasaan dengan menyusupkan indikasi-indikasi dan makna-makna di luar
perkiraan, ruang, kondisi dan lingkungan ke dalam hate speech sehingga
mengakibatkan terjadi problem rasionalis intelektual antara pembuat hate speech
dengan penerima hate speech yang dituju. Sementara itu perluasan hate speech di
medsos yang mencakup seluruh ucapan tanpa mengingat konteks pembicaraan,
sehingga setiap ucapan pelaku hate speech merupakan pengabaian terhadap
kemanusiaan secara berlebihan.
12
Nasr Hamid Abu Zayd, Maflmm al-Hashshi "Dirasatfi Ulum al-Qur'an",
(Kairo: al-Hai'ah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993), hlm. 15.
9

Dengan latar belakang dan disiplin ilmu yang dimiliki Abu Zayd, yaitu
bidang linguistik, yang disertai dengan penunjang lainnya, ia telah berusaha -lebih
berani- menggali lebih jauh dari umumnya yang dilakukan oleh kebanyakan orang
berbagai khazanah intelektual. Ini dimaksudkan agar para pemerhati produk
pemikiran tersebut peduli terhadap realitas yang mengitari “dunia teks”, “dunia
penulis atau pengarang”, dan “dunia pembaca”. Dalam hubungan ini, ada
beberapa hal yang nampaknya perlu untuk dicermati.
Pemahaman ini sebenarnya tidaklah salah sama sekali; hanya saja
ketidakmampuan orang membedakan antara kritik pemikiran dan hate speech,
yang aturannya dapat diubah-ubah tanpa disesuaikan dengan kondisi dan waktu
setempat adalah yang patut disayangkan. Karena itu, mempertahankan warisan
intelektkual semacam itu tanpa boleh dikritisi dan dikritik berdasarkan situasi dan
kondisi yang berbeda adalah merupakan sesuatu yang ironi.
Atas dasar itu pula, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan: "Bagaimana
mungkin tradisi yang asalnya adalah "daya kritis" kita perlakukan sekarang
sebagai benda "antik" yang tidak perlu dibongkar, dikritik, dan dikritisi". Artinya,
bahwa Abu Zayd menghimbau dan menggerakkan, agar dalam membaca kembali
warisan-warisan intelektual Islam hendaknya jangan berhenti pada terpahaminya
makna literal dari teks itu sendiri, tetapi melangkah ke luar untuk menguak
signifikansi sosial keagamaan. Dari sini akan tergambarlah pandangan norma-
norma benar salah, boleh-dilarang, dan lain sebagainya dalam pengertian yang
sebenarnya.

Kesimpulan
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa,
pertama, adanya hate speech di medsos dalam perspektif hadis tentunya sangat
dilarang, bahkan al-Qur’an dan hadis menentang terhadap orang-orang yang
mengolok-olok, menyinggung sesama bahkan menyebar sesuatu yang tidak benar.
Kedua, berdasarkan konsep abu zayd yang diterapkan kita perlu memaknai hate
speech lebih dalam lagi, entah sifatnya yang negatif atau megandung unsur
positif. Oleh karena itu, pemikiran hendaknya tidak terhenti pada terpenuhinya
10

makna literal "hate speech" semata, akan tetapi hendaknya melangkah lebih jauh
untuk menguak signifikansi sosial-budaya-ekonomi dan politiknya. Sebab, "hate
speech di medsos" tidak dapat melepaskan diri dari konteks di mana "hate speech
di medsos" itu muncul dan kepada siapa "hate speech" itu berdialog. Dengan
demikian, "hate speech" adalah merupakan produk budaya, dan karenanya "hate
speech" harus dipahami secara kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Hasan. al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini, (Mesir: Madlubi), 1989.


11

Hidayat Komarudin, (Nur Ahmad), Kajian Hermeneutika al-Qur’an


Kontemporer, Telaah Kritis Terhadap Model Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Vol.
9, No.1, Juni 2016.

Halimah Siti, (Jurnal Al-Makrifah: Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Islam


Nasr Hamid Abu Zayd), Vol. 1, No. 1. April 2016.
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar),
2013.
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermenutika Nas
rAbu Zaid (Bandung: Teraju, 2003).
Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993).

Nasr Hamid (Usman, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner: Al-Sunnah dalam


Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap Al-Syafi’i, Vol. 2 N0. 1 Januari-Juni
2003).
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kani-sius,1999).
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dariAbu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003).
Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005).
Surahman Cucu, (Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan), Poligami
Menurut Nasr Hamid Abud Zayd: studi atas pengaruh pemikiran Tafsir terhadap
Penetapan Hukum, Vol. 17, No.2. 2017.
Nasr Hamid Abu Zayd, Maflmm al-Hashshi "Dirasatfi Ulum al-Qur'an", (Kairo:
al-Hai'ah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993).

Anda mungkin juga menyukai